25 April 2009

Komunikasi dan Budaya (Bagian-1)

Komunikasi dan budaya secara timbal balik saling berpengaruh satu sama lain. Budaya dimana secara individu-individu disosialisasikan, akan berpengaruh terhadap cara mereka dalam berkomunikasi. Dan cara bagaimana individu-individu itu berkomunikasi, dapat mengubah budaya yang mereka miliki dari waktu ke waktu. Hanya saja, kebanyakan analisis tentang komunikasi antarpribadi mengabaikan hubungan ini dan aspek budaya menjadi kosong dalam studi komunikasi. Sebaliknya, studi-studi tentang komunikasi lintas budaya, menguji pengaruh budaya terhadap komunikasi. Kebanyakan analisis tentang komunikasi lintas budaya membandingkan dan mempertentangkan pola-pola komunikasi dari berbagai macam budaya (Gudykunst & Ting-Toomey, 1988).

Budaya
Ada banyak definisi tentang budaya (lihat Kroeber & Kluckhon, 1952), namun tidak ada sebuah konsensus terhadap suatu defenisi. Konsep bahwa budaya dapat dilihat sebagai segala sesuatu yang dibuat oleh manusia (Herskovits, 1955) atau sebagai sebuah sistem makna yang dimiliki bersama (Geerzt, 1973), hanya merupakan dua kemungkinan konseptualisasi. Budaya juga telah disamakan dengan komunikasi. Hall (1959), menyakini bahwa “budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya” (hal 169). Birdwhistell (1970) mengambil posisi yang sedikit berbeda, budaya dan komunikasi merupakan istilah yang mempresentasikan dua pandangan yang berbeda atau metode representasi dan keterhubungan yang terpola dan terstruktur. Sebagai “budaya” fokusnya terletak pada struktur, sebagai “komunikasi” fokusnya terletak pada proses (hlm. 318).

Keesing (1974) mengisolasikan dua pendekatan utama untuk mengidentifikasikan budaya, yaitu budaya sebagai sistem yang adaptif dan budaya sebagai sistem yang ideal. Bagi orang yang melihat budaya sebagai hal yang adaptif, mereka memiliki kecenderungan untuk melihat budaya sebagai hal yang menyatukan orang-orang untuk sistem ekologi dimana mereka hidup. Harris (1968), misalkan, berpendapat bahwa budaya menurun kepada pola prilaku yang diasosiasikan dengan kelompok orang tertentu, yaitu untuk “kebiasaan” atau untuk “prinsip hidup” seseorang. Para teoritis budaya yang berpandangan seperti ini, melihat budaya sebagai perkembangan menuju keseimbangan.

Teori-teori ideal dari budaya memandang budaya sebagai sistem kognitif atau sistem simbolik. Goodenough (1961) berpendapat, budaya “terdiri dari standar-standar untuk memutuskan apakah sesuatu itu, untuk memutuskan apa yang dapat, untuk memutuskan apa yang dirasakan seseorang mengenai hal tersebut, untuk memutuskan apa yang harus dilakukan mengenai hal itu dan untuk memutuskan bagaimana caranya melakukan sesuatu itu“ (hlm. 522). Geerzt (1966) sebagai salah satu dari pendukung utama aliran “budaya sebagai sistem simbolik” berpendapat, masalah tentang analisa budaya sebanyak masalah dalam menentukan kebebasan sebagai keterikatan, teluk juga jembatan. Citra yang cocok, kalau seseorang harus punya tentang budaya organisasi, bukan jaring laba-laba atau gundukan pasir. Penggunaan gurita oleh Geertz sebagai metafora untuk memahami kebudayaan, bahwa kebudayaan ditata sekaligus tak tertata pada waktu yang bersamaan.

Keesing berargumen bahwa ada beberapa masalah dengan kedua pendekatan pokok atas kebudayaan. Pandangan kebudayaan sebagai sistem adaptif bisa mengarahkan kita pada reduksi kognitif, sementara pandangan kebudayaan sebagai sistem simbolik bisa mengarahkan kita untuk melihat dunia simbol budaya sebagai hal yang secara semu seragam. Untuk mengatasi permasalahan dalam kedua tipe definisi tersebut, Keesing meminjam pembedaan antara kompetensi dan performasi linguistik untuk menjelaskan kebudayaan. Keesing menunjukan bahwa kebudayaan harus dipelajari dalam latar sosial dan ekologis, dimana di dalamnya manusia berkomunikasi satu sama lain. Rohner (1984) berpendapat bahwa seorang individu adalah anggota kelompok masyarakat, seorang individu berpartisipasi dalam sistem sosial dan saling berbagi kebudayaan.

Keesing (1974) menekankan bahwa budaya merupakan teori mengenai “permainan yang dimainkan” dalam masyarakat. Secara umum dia mengemukakan bahwa kita sangat tidak sadar akan aturan-aturan permainan yang sedang dimainkan, tapi kita berperilaku seolah-olah ada kesepakatan umum mengenai aturan-aturan itu. Sebagai ilustrasi, jika kita bertemu dengan orang asing dari Mars dan orang itu (Martian) meminta kita untuk menjelaskan mengenai aturan-aturan dari budaya kita, kita mungkin tidak bisa mendeskripsikan banyak hal mengenai aturan itu karena kita sangat tidak sadar akan aturan-aturan itu.

Keesing (1974) berpendapat bahwa kita menggunakan teori kita mengenai permainan yang dimainkan untuk menginterpretasikan sesuatu yang tidak lazim yang kita jumpai. Kita juga menggunakan teori dalam berinteraksi dengan orang lain yang kita temui dalam masyarakat kita. Keesing juga menjelaskan bahwa anggota-anggota suatu budaya sama sekali tidak memiliki secara tepat pandangan yang sama tentang budaya. Tidak satu individupun mengetahui semua aspek budaya, dan tiap orang mempunyai pandangan yang khas tentang budaya. Meskipun demikian, teori-teori yang dianut bersama oleh anggota-anggota suatu budaya berbagi, betapapun, cukup bertumpang-tindih sehingga mereka bisa mengkoordinasikan prilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari.

* Gudykunst, William B., Ting-Toomey, Stella. Communication in Personal Relationships Across Cultures: An Introduction, dalam Communication in Personal Relationships Across Cultures, William B. Gudykunst et al. (ed.). Thousan Oaks: Sage Publications.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

terima kasih untuk artikelnya. pas banget untuk bahan kuliah saya.

oia, jangan lupa mampir ke sini ya...

Zaenal Arifin mengatakan...

Om heru Makasih buat Artikelny menarik untuk bahan presentasi saya thz