15 Maret 2010

Sony Vs Sony AK

Dunia internet Indonesia kembali gaduh. Pasalnya, dikabarkan bahwa Sony Corporation Jepang melakukan somasi melalui lawyer dari Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP) kepada Sony Arianto Kurniawan yang menggunakan domain “bermukim” di sony-ak.com. Sony AK ditanya seputar penggunaan trade mark Sony dalam produknya di sony-ak.com. Sony-ak.com sendiri merupakan situs pengetahuan berlabel “Sony AK Knowledge Center”. Tempat Sony AK berbagai ilmu dengan khalayak, khususnya pengguna internet.


Terkait dengan kasus ini, ada beberapa hal yang perlu dikedepankan. Pertama, jelas validitas berita mengenai adanya somasi dari pihak Sony Corp terhadap Sony AK melalui HHP. Dari beberapa kabar melalui media didapatkan bahwa Sony Indonesia tidak mengetahui bahwa Sony Corp Jepang telah ”memesan” somasi pada HHP untuk dikirimkan ke Sony AK. Sehingga, jika itu kemudian dinyatakan memang tidak ada, bahkan dianggap tidak ada koordinasi antara lawyer dengan Sony Corp, kasus ini sebenarnya bisa dianggap selesai dan ditutup. Dimana Sony-ak.com tetap bisa beraktivitas di sony-ak.com. Namun, menurut berita terakhir, dikabarkan bahwa Sony Corp belum mencabut somasi pada Sony AK, sehingga mungkin kasus ini akan berlanjut.


Kedua, jika ditelaah, kasus ini cukup menarik. Mengingat, somasi yang dikirimkan berlandaskan penggunaan kata ”Sony” yang dianggap trade mark Sony Corporation. Tentu saja, perlu ditelaah apakah ada hubungan bisnis maupun persaingan antara kedua Sony tersebut.


Jika dilihat, Sony AK merupakan kependekan dari nama Soni Arianto Kurniawan, sehingga, Sonny AK sesungguhnya secara sah dan meyakinkan bisa menggunakan sony-ak.com. Apalagi, Sony Corp sendiri bukan berlabel sony-ak dan Sonny AK dikabarkan sudah eksis sejak 2003. Berdasar konsep first come first serve, siapa daftar pertama maka dia yang boleh memakai, Sony AK boleh saja menggunakan sony-ak.com. Pun, nama Sony di sini bukan merupakan product namun karena namanya adalah Sony. Begitu banyak orang Indonesia juga yang bernama Sony.


Sony AK bisa jadi tidak berhak menggunakan nama situs dengan kata Sony, jika memang Sony AK menjadikan situsnya sebagai saingan Sony Corp untuk memalsukan produk dan layanan dari Sony Corp. Atau, situs ini dikembangkan
untuk menjelek-jelekan Sony Corp, namun dalam kenyataan nya tidak sama
sekali. Sehingga, tentunya tidak ada dasar pemberat bahwa situs ini harus
diambil alih.


Yang terjadi, nampaknya, ada upaya untuk mengambil alih situs sony-ak.com
dengan dalih penggunaan nama Sony. Dipakai untuk apa, memang belum jelas. Namun, sebagaimana lazimnya di dunia, Sony Corp perlu melakukan pendekatan dengan Sony AK, bukan malah dengan somasi. Sebab, situs-situs yang sudah dikuasai orang lain, ketika dibutuhkan, ada transaksi tertentu yang dilakukan. Meski, Sony AK sendiri berkeras tidak akan memindahtangankan situsnya ke Sony Corp.

Dari kasus ini jelas, bahwa sesungguhnya orang Indonesia tidak lagi dapat dipandang sepandang mata mengenai aturan-aturan terkait dengan domain,
dimana dengan alasan ”sama” kemudian ingin diambil alih. Apalagi, kita
sendiri sudah punyai UU ITE, yang suka atau tidak suka sebenarnya juga
mengatur soal domain. Namun, mengingat ini bersifat internasional, kelaziman internasional sebetulnya juga dapat dipakai. Yang jelas, apakah Sony AK layak menggunakan sony-ak.com? Jika memang layak, tidak bersinggungan dengan Sony Corp, tidak ada alasan Sony Corp mensomasi Sony AK. Kalau ingin memakai situs sony-ak.com, baiknya dilakukan pendekatan saja, tidak dengan cara-cara hukum, yang bukan tidak mungkin akan berdampak buruk bagi keberadaan produk-produk Sony di tanah air.


Ini bukan main-main dan tidak bisa dianggap remeh. Kasus bebasnya Bibit-Chandra, pimpinan KPK, dukungan terhadap Prita Mulyasari juga Bilqis, membuktikan bahwa masyarakat internet Indonesia cukup kuat untuk menggalang dukungan, dengan dampak yang mungkin tidak diperkirakan sebelumnya.

14 Maret 2010

Terorisme Bukan Islam dan Islam Bukan Teroris


Terorisme–mengingat beberapa orang (yang kemudian disebut sebagai “teroris”) yang sudah ditangkap, dijatuhi hukuman mati atau bahkan ditembak mati di tempat seperti Dr Azhari, Noordin M. Top, Dulmatin dkk., merupakan muslim, kemudian dikaitkan dan ada stigma bahwa terorisme itu identik dengan Islam, dan Islam adalah teroris. Pendapat ini tentu tidak benar. Sebab dalam genesis terorisme, “the enemy is not Islam, but nihilism”. Sebab, Islam sesungguhnya merupakan rahmatan lil Alaamin” merupakan rakhmat bagi semesta alam.


Jika ditelaah lebih jauh, banyak definisi yang dikemukakan mengenai terorisme. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengkaitkan antara terorisme dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam resolusinya No 50/186, PBB menegaskan bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah “…creates an environment that destroys the freedom from fear of the people”.


Sementara itu, definisi terorisme yang dikemukakan dalam “The Mind of A Terrorist Fundamentalist: The Psychology of Terror Cults” (Morgan, 2001) disebutkan bahwa terorisme adalah: “…the systematic use of terror or unpredictable violence against government, publics or individual to attain a political objective. Terrorism has been used by political organization with both rightist and leftist objectives, by nationalistic and ethnic groups, by revolutionaries, by environmentalist, and by the armies and secret police of governments themselevs.”


Dalam perangnya melawan terorisme, menyusul Tragedi 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai aktivitas yang: “(a) involves a violent or an act dangerous to human life, property or infrastructure and (b) apperars to be intended : to indimidate or corce a civilian population, to influence the policy of a government by intimidation or coercion or to affect the mass destruction, assasination, kidnapping or hostage-taking” (Bush, 2001).


Jika diperhatikan satu per satu, nampak ada kesamaan dari beberapa definisi tersebut. Dimana terorisme merupakan aktivitas yang melanggar HAM, dapat dilakukan siapa saja dan organisasi mana saja baik dengan tujuan politis, pengerusakan peralatan maupun infrastruktur dengan teror yang sistematis serta penggunaan kekerasan.


Jadi terorisme merupakan penggunaan teror yang sistematis atau kekerasan yang tidak diprediksikan melawan pemerintah, publik maupun individu dengan tujuan politis. Terorisme digunakan tidak saja oleh organisasi politik yang berhaluan kiri maupun kanan, nasionalis dan kelompok etnis namun juga oleh tentara dan intelijen dalam pemerintahan itu sendiri.

Terorisme adalah kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime) dan dikategorikan pula sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crime against humanity).


Digolongkan demikian karena tindak pidana terorisme selau menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan jadi korbannya.
Tidak hanya terbatas korban jiwa, tapi terorisme juga menyebabkan pengrusakan, penghancuran bahkan pemusnahan harta benda, lingkungan hidup, sumber-sumber ekonomi, kegoncangan sosial dan politik, bahkan meruntuhkan eksistensi negara. Penggunaan berbagai senjata, mulai dari bahan peledak, senjata kimia, senjata biologi, bahkan mungkin penggunaan senjata nuklir telah lazim dipraktekan dalam kejahatan terorisme.



Tindak pidana terorisme pada umumnya dilakukan secara terencana oleh orang-orang terlatih, sistematis, terorganisasikan dan kerapkali pula bersifat lintas negara. Karenanya, sekarang ini tidak ada satu negara pun yang negaranya dapat bebas dari ancaman segala bentuk terorisme (Turan, 2002).


Tipologi terorisme (The Psychology of Teror-The Mind of the Terrorist dalam Majalah Sabili 31 Oktober 2002):
1. Revolutionary. Jenis teror ini bertujuan menggulingkan atau mengganti pemerintahan yang ada. Misalnya: Red Army Faction, PLO, Sandinista


2. Political, yakni kelompok-kelompok yang memfokuskan dirinya untuk mendapatkan power atau supremasi, mengganti pemerintahan yang mengganggu atau untuk mengubah keyakinan


3. Nationalis,Model ini mempromosikan kepentingan etnis atau kelompok agama tertentu yang dianggap sedang dianiaya oleh kelompok lainnya. Misalnya: Sikh radikal dan IRA


4. Cause Base, yaitu kelompok-kelompok yang mengabadikan dirinya untuk tujuan sosial atau keagamaan dengan menggunakan kekerasan untuk menghadapi keluhan, ketidakpuasan atau kemarahan. Misalnya: Kelompok “Kampanye Anti Aborsi”, Feminist Terrorist in Nepal


5. Enviromental, yakni kelompok-kelompok yang mendedikasikan dirinya untuk memperlambat perkembangan yang mereka yakini telah menyebabkan gangguan terhadap binatang. Misal: Animal Liberation Front


6. State Sponsored, kelompok jenis ini tercipta pada satu kondisi, di mana rezim yang berkuasa menyediakan dana, sumber-sumber intelijen atau material untuk grup-grup teror yang biasanya beroperasi di luar perbatasan mereka. Misal: negara-negara penjajah di abad 18-awal abad 20


7. Genocide—satu kondisi di mana suatu pemerintahan mencoba untuk membasmi suatu kelompok minoritas dalam teritorialnya (Kamboja, Rwanda, Bosnis, Irak dan Turki.

10 Maret 2010

Internet Untuk Terorisme

Densus 88 diberitakan menembak mati orang yang diduga sebagai teroris di Warnet di kawasan Pamulang, Tangerang. Peristiwa ini, kalau diikuti mempunyai hubungan diketahuinya kelompok teroris di Serambi Mekkah, Aceh. Apalagi, hal itu diperkuat dengan blog bernama alufuq.wordpress.com, yang memuat ajakan jihad dan pernyataan bahwa ada kelompok yang mengaku sebagai Tandzim Al Qoidah Indonesia Serambi Makkah yang menyinggung soal jihad di Aceh.



Beberapa waktu lalu, di tengah perkembangan pasca peledakan bom JW Marriott dan Ritz Carlton, satu kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Tanjim Al Qo’idah Indonesia mengaku bertanggung jawab atas ledakan bom itu. Pernyataan mereka beredar luas di internet. Salah satu situs yang memuat statement kelompok yang dipimpin Abu Mu’awwidz Nur Din bin Muhammad Top adalah http://mediaislam-bushro.blogspot.com. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah itu benar pernyataan Noordin? Sebab, selama ini, dalam aksi terorisme di Indonesia, tidak pernah ada pihak yang merasa bertanggung jawab, dan mengaku peledakan itu adalah ulah mereka, yang disebut sebagai teroris.


Terkait dengan hal itu, ada beberapa catatan yang bisa dikemukakan:


1. Salah satu kunci dari penelusuran terorisme adalah melalui teknologi informasi. Di era informasi seperti sekarang ini, jangan lah pernah dipikir bahwa kejahatan terorisme akan tetap menggunakan media tradisional saja, dengan sel-sel yang rapi, namun juga menggunakan kemajuan teknologi informasi. Beberapa kasus yang pernah mengemuka adalah penggunaan laptop oleh Imam Samudra, ini yang dilakukan beberapa teroris yang ditelusuri di beberapa negara seperti Inggris.


2. Pemanfaatan teknologi informasi dalam terorisme bukan hal baru. Sebelumnya, dengan hadirnya situs propraganda anshar.net untuk memasyarakatkan apa yang mereka sebut dengan Jihad. Selain situs anshar.net, dibeli juga domain anshar.org dan anshar.info oleh orang yang sama, yang dalam ini menamakan dirinya Maz Fiderman. Menurut catatan Network Solution, anshar.net sudah terdaftar sejak 2001. Dengan administrative contact adalah Gede Batang dan menggunakan alamat di Ambon, Maluku. Ada kemungkinan situs ini sudah lama berfungsi dan dijadikan media berkomunikasi dan propaganda para teroris. Situs Anshar.net jelas situs tersebut dapat dikategorikan sebagai situs perluasan paham teroris dengan mengatasnamakan jihad. Jika melihat isi situs, yang menarik adalah tercantumnya nama Mukhlas, pelaku bom Bali I, sebagai Syaikh Mukhlas atau Ustadz Mukhlas yang aslinya bernama Ali Ghufran Al-Tanjuluni hafidzahullah memberikan wasiat kepada semua kaum muslimin.


3. Terkait dengan Blog alufuq.wordpress.com maupun Blog Noordin M. Top (yang saat itu ternyata Noordin benar masih hidup dan diyakini menulis blog tersebut) beberapa waktu lalu, apalagi melihat isi dari situs tersebut dengan beberapa sasaran yang diinginkan, Baiknya, blog-blog terkait terorisme jangan dianggap angin lalu. Sebab, dari substansi komunikasi ada hubungan antara yang disampaikan dengan kejadian yang ada.


Dari fenomena yang ada dua hal yang bisa ditarik, pertama, adalah bahwa terorisme telah menggunakan media baru seperti internet untuk berkomunikasi, baik sesama teroris maupun untuk mencari pengikut. Kedua, dengan sifat internet yang global dan canggih, para pelaku terorisme nampaknya mempunyai latar belakang pendidikan dan pemanfaatan internet yang cukup bagus serta bersifat lintas negara.


Walaupun kelihatannya, audiens yang ingin diajak berkomunikasi adalah komunitas berbahasa Indonesia (dan Melayu), namun bisa jadi situs ini dikendalikan dari dalam negeri. Pemanfaatan Blog merupakan metode baru, dimana berbeda dengan situs dengan domain tertentu yang lebih mudah ditelusuri, blog punya tingkat kesulitan cyber forensic yang lebih tinggi, apalagi dengan sifat internet yang anonimous. Memang bisa saja, itu bukan dikerjakan para teroris, tapi bukan berarti tak terkait dengan ”sekrup” terorisme di tanah air.