24 Mei 2008

BBM Naik dan 2009

BBM naik tinggi
susu tak terbeli
orang pintar tarik subsidi
anak kami kurang gizi
...
(Lagu "Galang Rambu Anarki", Iwan Fals)

Foto: Antri BBM, 1 jam menjelang kenaikan BBM di POM Bensin Ciganjur, 23 Mei 2008


BBM naik lagi. Keputusan tidak populer di tengah ekonomi masyarakat yang belum menentu dan industri baru bangkit dari krisis yang berkepanjangan. Tentu SBY-JK punya alasan untuk menaikkan BBM di saat harga minyak dunia yang melambung tinggi. Namun, masyarakat juga punya alasan kenapa BBM tidak harus dinaikkan.

Secara politik, tentu kenaikan BBM ini jadi pertaruhan SBY-JK di 2009, 1 tahun tersisa menjelang pemilihan presiden baru digelar. Meski secara pemasaran politik keputusan ini menjadi bad campaign jika SBY dan JK maju dalam pemilihan presiden mendatang, namun semua keputusan tetap akan ada di tangan "pembeli"--masyarakat pemilih dalam pemilu nanti. Apalagi, bangsa ini memang dikenal bangsa "pelupa".

19 Mei 2008

Kita Butuh Single Identity Number

Tentu Anda akan mengalami kejengkelan yang sama, ketika misalnya, beberapa koruptor kakap yang sudah ditetapkan sebagai tersangka bahkan tinggal menunggu vonis hukuman dengan mudahnya kabur ke luar negeri. Rasa jengkel bisa berubah menjadi heran ketika kita mengetahui bahwa hal itu lumrah terjadi karena begitu banyak orang bisa mempunyai KTP ganda, paspor ganda, SIM ganda dan bahkan surat-surat kepemilikan tanah ganda. Kok bisa seperti itu ya? Adakah yang salah dengan sistem administrasi kependudukan kita?


Ya, diakui atau tidak, memang ada yang salah dengan administrasi kependudukan kita. Hingga saat ini, kita belum mempunyai data yang tertib, akurat dan unik, sehingga kasus-kasus seperti telah disebutkan sebelumnya, begitu sering terjadi. Selain dampak negatif, pelayanan publik juga menjadi tidak maksimal. Kita dikepung oleh beragama identitas diri yang berbeda-beda dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Padahal, jika berbagai layanan publik dapat dilakukan dengan satu identitas, tentu alangkah mudah dan efektifnya.


Untuk memiliki data administrasi kependudukan yang tertib, akurat dan unik, pemanfaatan teknologi informasi dapat dioptimalkan. Dengan teknologi informasi, maka data dan informasi yang dihasilkan akan lebih efisien, efektif, akurat serta akses yang lebih cepat. Dan untuk mengkoordinasikan semua data dan informasi yang ada, maka diperlukan adanya Single Identity Number (SIN). Identitas yang unik begitu mendesak diperlukan apabila pemerinta berniat untuk meningkatkan pelayananannya kepada publik dan mendapat kepercayaan dari publik—satu hal yang begitu krusial diperlukan untuk menjamin kelangsungan jalannya roda pemerintahan.

Urgensi SIN
Identitas informasi di Indonesia, kalau boleh dibilang, begitu tumpang tindih. Hal itu terjadi karena pengumpulan informasi berbeda-beda berdasar kepentingannya sehingga informasi bersifat sektoral. Salah satu bentuk tumpang tindih identitas ifnormasi terhadap obyek yang sama, dapat dilihat bila kita membandingkan sistem penomoran bidang tanah yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menggunakan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) dengan sistem penomoran bidang tanah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Nomor Obyek Pajak (NOB).


Kondisi yang membuktikan identitas informasi tumbuh dan berkembang pada masing-masing institusi atas obyek yang sama, juga terjadi pada penomoran identitas personal dalam sistem kependudukan (KTP), perpajakan (NPWP), kepolisian (SIM dan BPKB) serta keimigrasian (paspor). Karena tak ada identitas yang unik untuk obyek yang sama, sebenarnya bukanlah hal mengherankan jika kemudian ada orang yang mempunyai beberapa KTP misalnya.


Seharusnya, untuk obyek yang sama, perlu identitas unik yang sama meskipun dikelola lembaga yang berbeda. Di sinilah pentingnya single identity number. Dengan SIN akan menhasilkan keterpaduan sistem informasi. Dengan adanya keterpaduan, maka proses analisis dan informasi yang melibatkan data dari berbagai lembaga dapat dilakukan dengan mudah. Sehingga, penyajian informasi-informasi yang bersifat strategis menjadi lebih tertib, akurat dan mudah diakses.


Pengembangan SIN berdampak positif dalam pelayanan kepada masyarakat, secara dapat lebih optimal. Institusi-institusi yang terlibat di dalam sistem dapat melakukan ekstraksi informasi lintas-sektoral. SIN juga berkontribusi besar karena mengandung data informasi terkait dengan ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebagai sebuah instrumen, SIN juga dapat digunakan untuk memonitor kepatuhan warga negara dalam memenuhi kewajibannya.


SIN juga dapat digunakan sebagai alat untuk menelusuri dan analisis terhadap sumber daya pendapatan, terutama terkait dnegan perpajakan. Sehingga, SIN berperan sebagai pengakselerasi peningkatan negara dari sektor keuangan.

Menuju SIN
Dalam hal identitas nasional, hampir semua negara memilikinya. Meski ada juga yang menggunakan istilah berbeda seperti di Amerika Serikat dengan social security number.Namun tetap saja, dibanding data yang berbeda antara satu lembaga atau keperluan dengan lembaga atau kepentingan lain, satu identitas yang unik terhadap warga negara diperlukan.


Setelah melihat betapa bermanfaatnya SIN, persoalan yang menyeruak ke permukaan adalah bagaimana mengkonvergensikan beberapa identitas dari berbagai lembaga terhadap obyek yang sama. Dari berbagai lembaga pemerintahan, ada keinginan agar SIN tidak tidak merusak sistem yang dibangun masing-masing lembaga tersebut. Maksudnya, SIN tetap mengakomodasikan identitas yang sudah ada dan dibangun masing-masing institusi.


Pemikiran tersebut, setidaknya merupakan langkah maju. Hanya saja, hal itu perlu dijabarkan lebih jauh bagaimana memperoleh hubungan lebih jauh antara identitas dari lembaga-lembaga yang ada menjadi satu identitas yang unik. Sehingga, identitas yang dihasilkan tetaplah bersifat unik, sama secara nasional, lengkap dan permanen. Jika SIN tidak mencakup hal-hal tersebut, manfaat SIN sendiri diragukan.


Hal lain yang begitu kritis diperlukan dalam mengimplementasikan SIN adalah “political will” dari pemerintah, termasuk juga lembaga-lembaga yang berkepentingan dengan current identity dan perubahan menuju SIN, untuk mengakselerasi terwujudnya SIN. Bahkan, ketika SIN diimplementasikan pun, perubahan ini perlu mendapat dukungan dan penyikapan yang positif dari birokrasi. Tanpa ada keinginan baik dan kultur pemerintah yang berubah, SIN tetaplah hanya sebatas wacana saja.


Selain “political will”, pemerintah perlu segera mendorong regulasi yang terkait dengan SIN. Tanpa adanya kepastian hukum, seperti jika terjadi pencurian ataupun pengerusakan data informasi yang disimpan di basis data, maka masyarakat justru makin khawatir dengan perubahan ke SIN. SIN bisa jadi bumerang ketidakpercayaan terhadap pemerintah, karena SIN bisa menjadi gateway membuka semua informasi terhadap satu obyek.


Masalah ini perlu mendapat perhatian serius karena terkait dengan bagaimana format SIN itu sendiri. Jika di dalamnya tercantum tanggal lahir, maka menebak SIN pihak-pihak lainnya bisa lebih mudah. Sehingga jika tidak dilindungi regulasi yang kuat mengenai informasi elektronik, kejadian cyber semisal penyalahgunaan kartu kredit akan makin terjadi. Apalagi, Indonesia cukup terkenal di jajaran atas terkait cybercrime.

11 Mei 2008

Kualitas Layanan dan Hak Konsumen

Seperti diketahui, di era sekarang ini, telah terjadi perubahan paradigma hubungan konsumen yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan penyedia layanan. Hubungan yang tadinya menjadinya konsumen layaknya obyek, kini saatnya menjadikan konsumen sebagai subyek. Untuk itu, para penyedia layanan yang terkait dengan TIK mulai saat ini perlu mengedepankan pemberian layanan yang berkualitas bagi konsumennya.


Menurut UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi selain harus mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga harus tetap menjamin mutu serta tidak mengakibatkan kerugian di pihak konsumen.

Secara lebih tegas, pasal-pasal dalam UU tersebut menyebutkan apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen, serta apa yang menjadi hak dan kewajiban pelaku usaha. Terkait dengan kualitas layanan, pelaku usaha wajib menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan barang da/atau jasa yang tidak memenuhi atau sesuai dengan standar yang dipersyaratkan.

Pembinaan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh pemerintah yang dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. Sementara pengawasannya dilakukan bersama oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.

Mengingat tugas seperti itu, makanya regulator telekomunikasi bersama pemerintah saat ini telah mengeluarkan beberapa aturan standar mengenai kualitas layanan (quality of services, QoS), beberapa layanan jasa telekomunikasi—dari PSTN hingga telepon bergerak seluler. Dengan aturan yang menjadi standar tersebut, maka penyedia jasa layanan telekomunikasi yang tidak dapat memenuhi standar tentu saja akan mendapatkan sanksi.


Sesunguhnya, soal penerapan kualitas layanan ini janganlah dianggap sebagai suatu beban. Dengan standar minimal yang harus dipenuhi, seyogyanya kualitas layanan menjadikan tantangan bagi para penyelenggara jaringan dan jasa untuk berkompetisi secara sehat memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Tanpa standar minimal, maka yang terjadi dengan pengertian kualitas adalah apa yang bisa diberikan penjual produk saja, bukan apa yang seharusnya konsumen dapatkan.

Selain mutu, UU Perlindungan Konsumen juga memberikan hak bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi produk yang dijual. Hak konsumen tersebut menjadi kewajiban pelaku usaha. Contoh pemberian informasi yang tidak lengkap, sering terjadi ketika operator telekomunikasi beriklan soal tarif. Untuk tarif, memang sepertinya terjadi persaingan yang tajam antarpenyelenggara jaringan dan jasa TIK, baik voice maupun data, untuk menggaet dan mempertahankan loyalitas penggunanya. Namun, terkadang atau bahkan sering tarif yang disampaikan tidak informatif dan menimbulkan kerugian di sisi pelanggan.

Misalnya saja ada tawaran dari operator telekomunikasi y untuk menggunakan layanan bicara Rp. x/jam. Angka yang disodorkan memang murah, namun apakah angka itu bisa dicapai oleh pengguna? Tentu tidak semudah yang dibayangkan. Tarif segitu baru dapat dicapai jika pembicaraan tidak terputus selama satu jam, dan itu hanya berlaku untuk tarif dalam satu operator bersangkuta (on net). Jika baru setengah jam putus, ya tarifnya akan berbeda, termasuk untuk ke operator lain.

Contoh lainnya misalnya ada tawaran untuk berbicara Rp. z/detik. Karena tadinya hitungannya adalah per menit, maka ketika dibagi menjadi 60 detik, tarif kelihatan jauh lebih murah. Memang basis perhitungannya berubah menjadi detik, namun jika Rp. z/detik dikalikan 60 detik, tarifnya tidak lebih murah. Tarif yang tidak informatif, dimana syarat dan ketentuan berlaku tidak dipublikasikan secara jelas, jelas muaranya akan merugikan konsumen.

Pelaku usaha wajib pula memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila produk yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Misalnya saja, pernah ada operator berkeinginan memberikan tarif SMS murah, beragam bonus yang diberikan, namun yang terjadi justru sentralnya jeblok. Termasuk juga tawaran pembicaran murah per jam yang dicontohnya sebelumnya. Gimana mau murah, wong rata-rata durasi pembicaran yang tercapai hanya sekitar 30 menitan saja.

Atau untuk layanan internet. Banyak ISP, termasuk operator 3G menawarkan kecepatan up to sekian kbps atau mbps. Namun karena up to, jika bit rate terebut tidak tercapai, ya konsumen diminta maklum karena tak ada kecepatan minimal yang wajib diberikan dari angka maksimal yang disampaikan. Lagi-lagi konsumen merasa dirugikan.

Pelaku usaha dilarang juga menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan produk dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana dijanjikan. Karena itu pula, pernah ada desakan agar pelaku usaha SMS Premium menghentikan layanan SMS premiun yang mengiming-imingi hadiah. Karena menurut Pasal 14 UU 8/1999, penarikan hadiah tidak jelas batas waktunya serta tidak diumumkan melalui media massa.


Selain itu, SMS premium yang menawarkan pulsa gratis bagi sekian puluh pengirim pertama tanpa jelas layanan yang diberikan apalagi tawaran bagi “pengirim tercepat” juga merupakan jebakan karena start time-nya yang tidak ada yang tahu. Apalagi jika disepakati bahwa tujuan akhir memberikan layanan TIK adalah menumbuhkan perekonomian, lokomotif peradaban dan alat mencerdaskan bangsa, tentu apakah itu penyedia jaringan, penyedia jasa TIK, termasuk content provider, tidak akan lagi memberikan layanan tanpa nilai tambah kepada masyarakat. Dengan begitu diharapkan, tak ada lagi tudingan bahwa SMS Premium menjadi SMS penyedot pulsa atau apapun namanya. Sebab, industri ini juga harus dijaga dari pihak-pihak yang hanya menggunakan TIK sebagai media vacum cleaner penyedot uang dari masyarakat tanpa memberikan layanan bermanfaat.

Selain UU No. 8/1999, UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi juga memberikan perlindungan bagi konsumen telekomunikasi. Seperti tertuang pada Pasal 15, jika terjadi kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi, kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya. Aturan ini juga pernah disampaikan ketika jaringan beberapa operator bermasalah sehingga konsumen tidak dapat menggunakan jasa dari operator tersebut.

Terkait dengan privacy (hak pribadi), penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya. Walaupun rekaman dapat diberikan oleh penyelenggara jasa te!ekomunikasi untuk kepentingan proses peradilan pidana atas permintaan permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, serta permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu, namun dalam kondisi normal, hak pribadi konsumen tetap dihargai.

Meksi begitu, tak dapat dipungkiri, banyaknya pengiriman email serta SMS ‘sampah’ yang menerobos ruang pribadi konsumen. Untuk memperkuat koridor, mau tidak mau, UU ITE menjadi sandaran untuk menghadapi serangan email dan SMS ‘sampah’. Meski bisa jadi itu dianggap belum cukup. Seperti di Australia misalnya, untuk mengatasi penggunaan SMS, termasuk juga telepo seluler, sebagai sasaran telemarketing, dikeluarkan Do Not Call Register Act 2006. Jadi siapapun yang tidak sudi menerima SMS maupun telepon ‘sampah’ dipersilakan untuk mendaftarkan nomornya ke regulator setempat—ACMA. Nomor yang terdaftar artinya dilarang untuk dikirimi SMS ‘sampah’ serta ditelepon untuk menjadi sasaran telemarketing.

Apakah kita akan melindungi konsumen hingga ke arah sana atau mengadopsi aturan tersebut, tentunya perlu kajian lebih dalam dan menanti perkembangan. Jika dengan UU ITE nantinya ditambah aturan mengenai SMS Premium tidak mempan mengatasi persoalan tersebut, maka Do Not Call Register perlu diadopsi. Sebab ruang privat konsumen nantinya bukan sekadar akan diganggu telemarketing, namun juga untuk keperluan lain dengan modus yang sama, merayu konsumen agar terbujuk dengan apa yang ditawarkan penelepon atau pengirim SMS. Selain terganggu, muaranya adalah konsumen akan dirugikan lagi.

05 Mei 2008

Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan ICT Indonesia


Het wonder is geschied, Insulinde, de schoone slaapeter, is ontwaakt (Suatu keajaiban telah terjadi, Insulinde, putri yang tidur itu, telah bangkit).

Kalimat yang diucapkan Mr C Th van Deventer 100 tahun lalu, mengomentari kelahiran Boedi Oetomo sebagai penanda Kebangkitan Nasional Indonesia, cukup relevan ditanyakan kembali saat ini menjelang kita memperingati Satu abad Kebangkitan Nasional, terutama untuk sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Akankah 2008 menjadi momentum Kebangkitan TIK Nasional atau justru terpuruk dan terhempas dari percaturan masyarakat digital yang mengglobal?


Pertanyaan tersebut menarik untuk dikedepankan. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meyakini bahwa pada tahun 2030 nasib Indonesia akan berubah, menjadi satu dari lima negara maju di dunia. Lembaga keuangan dan konsultasi dunia juga memberikan prediksi hampir sama, bahkan disebut-sebut akan menjadi satu dari tujuh besar dunia sebelum 2015. Harapan maupun ramalan itu bisa jadi hanya sekadar angan semata jika kita tidak secara serius dan konsisten mengubah paradigma pembangunan ekonomi—seperti dikatakan Don Tapscott dalam bukunya The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence” (1995), dari industri yang berbasis pada baja, kendaraan dan jalan raya ke arah ekonomi baru yang dibentuk oleh silikon, komputer dan jaringan.

Indikator kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan TIK dalam pembangunan ekonomi di antaranya dapat dilihat dalam E-Readiness yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit untuk tahun 2007. Indonesia hanya berada di peringkat 67 dengan nilai 3.39. Sementara untuk pemanfaatan layanan pemerintahan elektronik (e-government), Indonesia berada pada peringkat 106 dari 189 negara yang disurvei oleh PBB dalam pengembangan e-government. Posisi ini merosot dari posisi sebelumnya pada peringkat 96.

Jika melihat metode evaluasi e-readiness, ada enam kategori penilaian yaitu konektivitas dan infrastruktur teknologi, lingkungan bisnis, sosial dan budaya, legal, visi dan kebijakan pemerintah, serta adopsi masyarakat dan dunia bisnis. Masing-masing kategori, kemudian dijabarkan dalam sekitar 100 kriteria. Di antara kriteria tersebut adalah penetrasi telepon bergerak, internet maupun broadband, keterjangkauan tarif broadband, keamanan internet, angka melek internet, payung hukum untuk mengatur internet, strategi pembangunan digital maupun ketersediaan layanan online, baik sektor pemerintahan maupun bisnis.

Dari kriteria tersebut, selain kondisi penetrasi telepon bergerak yang memang cukup baik dengan mendekati angka 100 juta pengguna, hal yang wajar jika posisi Indonesia cukup terbelakang. Pengguna internet kita menurut catatan APJII baru pada angka 25 juta-an, layanan broadband kita masih terbatas dan tarifnya pun masih mahal. Untuk layanan online, baik untuk sektor bisnis maupun pemerintah, diakui sudah tumbuh. Namun, layanan tersebut masih belum menjadi layanan utama mengingat infrastruktur yang belum merata dan menjangkau seluruh pelosok desa, SDM yang terbatas dan tak ketinggalan adalah kesadaran memanfaatkan TI secara cerdas. Maret lalu, RUU ITE yang bertahun-tahun diperjuangkan akhirnya disahkan menjadi UU, namun saat penilaian dilakukan tentu saja kemajuan ini belum masuk dalam hitungan.

Dalam hal industri perangkat TIK, posisi Indonesia juga masih hanya menjadi ‘penonton’ dan pengguna (user) para vendor besar kelas internasional. Kalaupun banyak pihak lokal dilibatkan, posisinya tak bergeming hanya sebagai distributor produk-produk luar negeri, industri perangkat lokal tidak jalan, kalau tidak mau dikatakan tidak ada.

Bersamaan dengan maraknya investasi asing di sektor TIK kita, termasuk penguasaan asing di beberapa operator telekomunikasi, industri konten juga tidak bisa menghindari hal itu. Mayoritas industri konten Indonesia saat ini juga dikuasai asing. Hal ini tentu memprihatinkan dan membuat kita bertanya-tanya apakah orang Indonesia tidak ada yang pintar untuk membuat konten yang bagus. Ataukah memang, kepintaran orang-orang kita di bidang TIK hanya yang negatif saja, semisal cybercrime yang selalu masuk dalam urutan 10 besar di dunia?

Belajar dari Malaysia, negeri Jiran yang bercokol di posisi 36 e-readiness, dalam menghadapi Era Informasi, jauh hari di tahun 1991 PM Malaysia kala itu, Mahathir Muhammad, mengemukakan Vision 2020 agar Malaysia menjadi satu negara maju. Strategi baru yang dijalankan Malaysia adalah meletakan landasan menghadapi era digital itu dengan mengkreasikan Multimedia Super Corridor (MSC). MSC merupakan proyek pembangunan terkait dengan TIK yang paling komprehensif. Lebih dari sekadar technology park, MSC merupakan kendaraan untuk mentransformasikan sosial dan ekonomi Malaysia menuju masyarakat berpengetahuan di tahun 2020.

Ketertinggalan Indonesia sesungguhnya dapat dikejar dengan kesungguhan dan kerja keras dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) TIK Indonesia—dari pemerintah, regulator, kalangan industri, legislatif hingga masyarakat biasa.


Setelah disahkannya UU ITE, beberapa percepatan yang diharapkan dapat segera dirampungkan di antaranya adalah efektifnya ID SIRTII (Indonesia Security Incident Responses Team on the Internet Infrastucture) guna membantu pengawasan keamanan jaringan telekomunikasi berbasis IP, serta mengingat pengguna internet yang kalah jauh dengan pengguna telepon seluler (ponsel), strategi e-learning, e-business maupun e-government, dapat diubah menjadi m-learning, m-business maupun m-government dimana layanan pendidikan, bisnis maupun pemerintah dapat dilakukan dengan melalui ponsel.

Urusan akses dan infrastruktur ini akan lebih lengkap jika program Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation-USO) mulai dapat dijalankan dan rencana pembangunan Palapa Ring, dimana fase pertama akan mengarah ke Indonesia Timur, segera dimatangkan seta diimplementasikan.

Dalam pengembangan produksi lokal, sesungguhnya pemerintah dan regulator telekomunikasi telah memberikan kewajiban pada penyelengara telekomunikasi untuk mengalokasikan 30% capital expenditure dan 50% operational expenses-nya dari total belanjanya untuk menggunakan produk nasional. Dana riset milyaran rupiah telah pula digelontorkan Depkominfo/Postel untuk pengembangan produk telekomunikasi, khususnya WiMax. Bahkan bulan Mei nanti direncanakan diluncurkan produk WiMax versi Indonesia yang bekerja di frekuensi 2,3 GHz.


Banyak kalangan menilai langkah ini terlambat dan diragukan, namun sesungguhnya jika tidak dimulai dari sekarang kapan lagi industri nasional bereposisi dari sekadar user atau penonton hilir mudiknya perangkat produksi asing menjadi produsen dan memacu industri TIK untuk ekspor.

Yang juga menjadi PR kita bersama adalah bagaimana SDM Indonesia mempunyai kualitas penguasaan TIK secara merata melalui jalur pendidikan formal dan non formal, maupun pengembangan standar kompetensi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan implementasi TIK. Saat ini ada indikasi kian membanjirnya tenaga kerja TIK dari luar negeri ke tanah air. Kalau tadinya tenaga kerja asing itu masuk bersama dengan vendor, selain tetap melalui jalur yang sama, yang angkanya meningkat menyusul vendor-vendor yang jumlah juga kian banyak dan beragam, tenaga kerja asing juga masuk seiring dengan naiknya investasi asing dalam sektor TIK.

Agar seabad Kebangkitan Nasional tidak justru menjadi kematian TIK Nasional, tak ketinggalan, kita semua haruslah menggunakan layanan TIK secara cerdas. Artinya, menggunakan TIK sebagai alat untuk meningkatkan nilai tambah pengetahuan maupun ekonomi, bukan sekadar alat berkomunikasi bahkan dijadikan alat penyedot finansial masyarakat hingga kebiasaan menabung jadi kian berkurang. Upaya kita semua dan waktu yang akan menjawab, apakah Putri Insulinde sekarang akan tetap tertidur atau bangkit seperti yang pernah dikatakan Van Deventer 100 tahun.