22 Oktober 2009

Menuju Knowledge Based Society dengan TIK

Tulisan ini sudah dimuat di Okezone.com (21/10/2009)

Peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan menjadi signifikan ke depannya seiring perubahan paradigma ekonomi, dari ekonomi industri ke arah ekonomi digital yang kreatif. Masyarakat yang tadinya pra-agraris, kemudian berubah agraris, meningkat lagi menjadi masyarakat industri, lalu kemudian menjadi masyarakat informasi dengan TIK sebagai dasar untuk menggerakan ekonomi bangsa dan menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge based society).

Peran TIK akan menjadi demikian penting lagi dalam World Summit on Information Society (WSIS) telah disepakati bahwa di tahun 2015 separuh penduduk dunia diharapkan sudah terkoneksi ke internet. Di tingkat negara-negara APEC dan ASEAN bahkan disepakati dengan kewajiban broadband service obligation (BSO), sehingga seluruh desa yang diharapkan sudah mempunyai akses telepon di tahun 2010 ini, perlu ditingkatkan dengan terkoneksi ke internet berpita lebar (broadband).

Ada dua kunci utama dalam menghadapi information age. Pertama adalah visi dan misi pemerintah. Seperti Malaysia, di tahun 1991 Mahathir Mohamad mengemukakan visinya agar Malaysia menjadi satu negara maju dalam 29 tahun ke depan. Vision 2020, begitu disebutnya, merupakan agenda nasional pembangunan jangka panjang untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Malaysia. Tantangan terbesar yang harus dihadapi Malaysia untuk dapat menggapai mimpi kesuksesan di 2020 adalah perubahan masyarakat yang secara dramatis dari masyarakat agraris ke masyarakat informasi.

Strategi baru yang dijalankan Malaysia adalah meletakkan landasan menghadapi era digital itu dengan mengkreasikan Multimedia Super Corridor. Visi MSC adalah mengkreasikan lingkungan multimedia yang ideal untuk berbisnis yang dapat mentransformasikan dan mengantarkan negara jiran tersebut menuju masyarakat berpengetahuan di tahun 2020.

Kedua, komitmen dari pemerintah. Seperti yang dicontohkan Australia. Pemerintah di sana, sejak sejak Desember 1997, berkomitmen untuk mengembangkan layanan pemerintahan secara elektronik. Targetnya, semua layanan pemerintahan yang penting akan online pada Desember 2001. Berkat komitmen pemerintah yang kuat, target tersebut tercapai. Sehingga, target dilanjutkan, yaitu meningkatkan jenis layanan online dengan berfokus pada transaksi yang interaktif antara pemerintah, publik dan sektor bisnis. Di tahun 2002, apa yang dilakukan Australia, mendapat pengakuan. Menurut laporan United Nations on E-Government, Australia dinilai berhasil memimpin di wilayah Asia Pasifik dalam transisi menuju layanan pemerintahan secara elektronik. Secara global, Australia mendapat posisi di nomor dua, di bawah Amerika Serikat.

Dan ketiga, strategi. Ini terkait dengan apa yang menjadi visi dan bagaimana mencapai visi tersebut dengan memperhatikan kondisi terakhir mengenai TIK di Indonesia. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan terkait dengan ICTnomic (ekonomi berbasis TIK). Yaitu, konektivitas dan infrastruktur, lingkungan bisnis, lingkungan sosial dan budaya serta visi dan kebijakan pemerintah.

Dalam hal konektivitas dan infrastuktur ada tiga tantangan, yaitu ketersediaan akses yang mengarah ke broadband, tarif yang terjangkau bagi masyarakat serta layanan yang berkualitas bagi semua. Dalam hal lingkungan bisnis, perlu dikedepankan pemanfaatan e-commerce, e-government, e-healt maupun e-education.

Terkait dengan sosial dan budaya, sumberdaya manusia Indonesia perlu mendapat literasi mengenai pemanfaatan TIK dan menggunakannya secara cerdas. Sulit rasanya bicara ICTnomic, jika edukasi masyarakat dan pengetahuan mengenai internet tidak cukup baik. Adopsi masyarakat dan sektor bisnis terhadap pemanfaatan TIK juga perlu dikedepankan sebab hal itu merupakan ukuran kesuksesan implementasi dari saluran digital untuk masyarakat dan kalangan bisnis. Yang saat ini belum tergarap secara maksimal adalah membuat dan mengembangkan konten lokal yang mencerdaskan, menarik dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Jika satu per satu tantangan tersebut dapat diselesaikan, termasuk menetapkan pentahapan dan prioritas-prioritasnya, yakinlah bahwa masyarakat berbasis pengetahuan akan terwujud, dan bukan tidak mungkin ekonomi akan kian membaik, yang muaranya adalah kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan TIK sebagai alatnya. Syukur-syukur jika Indonesia bisa menjadi satu kekuatan ekonomi baru, seperti yang diramalkan banyak analis-analis dunia. Semoga.

18 Oktober 2009

Trend Perkembangan Buku, Majalah dan Surat Kabar

Untuk melihat trend perkembangan industri pers buku, majalah dan suratkabar, ada perkembangan lain yang perlu diperhatikan. Yaitu: teknologi dan ekonomi politik. Dari segi teknologi, trend perkembangan industri komunikasi meliputi (Alwi Dahlan, 1999):

1. Konvergensi Teknologi
Konvergensi dari komputer, telekomunikasi dan media masa membawa perubahan dengan hadirnya hadirnya kerajaan media, gaya hidup baru, tantangan berkarir, perubahan regulasi, isu-isu sosial dan kekuatan baru yang dinamis dalam masyarakat. Konvergensi teknologi itu juga membawa perubahan dalam pengertian proses komunikasi yang terkait dengan trend media saat ini.

Seperti, khalayak yang kian punya kekuatan sehingga pesan dibuat berdasarkan kemauan dari audiens dan tidak lagi sama untuk semua orang. Kemudian juga interaktivitas antara pengirim dan penerima komunikasi. Komunikasi kini dapat juga dilakukan secara simultan dimana khalayak menerima pesan pada saat yang sama atau asinkron dimana pesan tidak harus diterima pada saat yang ditentukan tetapi dapat diterima di lain waktu.

2. Digitalisasi
Perubahan semua bentuk informasi (teks, gambar, suara, data dan gerak) dari analog ke dalam format konversi yang dapat dibaca komputer. Digitalisasi memungkinkan kualitas pesan yang baik, pemakaian saluran yang sedikit sehingga dapat memuat banyak pesan serta pemakai dapat mengontrol pesan yang diinginkan.

3. Teknologi SeratOptik dan Laser

Perkembangan teknologi ini memungkinkan tersedianya lebar pita yang dapat membawa ratusan sinyal audio, video dan multimedia dengan kecepatan sangat tinggi.

4. Teknologi Jaringan
Teknologi jaringan dalam tingkatan lokal, lebar, metropolitan, nasional maupun global memungkinkan terbangunnya jaringan komunikasi yang menghubungkan setiap sudut bumi. Dengan hadirnya teknologi Laser dan serat optik, dimungkinkan pula komunikasi yang lebih cepat karena jarak tidak lagi menjadi hambatan dan juga kualitas yang makin baik.

Implikasi perkembangan teknologi ini bagi industri media massa depan, dapat dilihat bahwa teknologi membuat beberapa perubahan penting mengenai watak dan bentuk indutri media massa depan, yang antara lain:
a. Munculnya media konvergen. Media konvergen menggabungkan beberapa teknologi yang mampu menampilkan informasi dalam bermacam bentuk. Teknologi tidak lagi spesifik ntuk satu media tapi dapat bergabung untuk semua media.

b. Demassifikasi media. Peranan media komunikasi massa makin berkurang. Proses komunikasi tidak lagi diprakarsai oleh sumber atau media tapi oleh penerima komunikasi yang berinteraksi sesamanya dan dengan media. Saat ini sudah banyak bermunculan dan dimanfaatkan banyak orang jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dll.

c. Divergensi media. Media menjadi pribadi, sesuai dengan kebutuhan informasi pribadi media melayani setiap pribadi dengan informasi yang bersifat spesialis.

d. Keterkaitan dan persaingan global. Sumber informasi dan media saling terkait dalam jaringan global, dengan interaksi tinggi. Persaingan antarmedia massa tradisional tidak hanya terbatas pada daerah atau negara tertentu, tapi bersifat global.

e. Kebutuhan informasi. Masyarakat pengguna multimedia membutuhkan keanekaragaman informasi yang sangat bervariasi dan kaya, yang hanya dapat dipenuhi oleh sumber atau penyedia yang juga beranekaragam dan sangat banyak jumlahnya.

f. Konglomerasi informasi. Pasar global yang luas dan terbuka, membukakan peluang bagi industri global yang juga berskala besar. Berkat modal besar dan teknologi yang tinggi, muncul konglomerasi industri global di bidang komunikasi, yang mengusai berbagai bidang, baik industri manufaktur (komputer, peralatan konsumen, sarana perkantoran, peralatan komunikasi) maupun industri pelayanan atau penyedia informasi. Konglomerasi ini dapat meliputi berbagai bidang yang luas antara lain industri penyedia isi, penyedia pelayanan (Dahlan, 1996)

Selain teknologi, yang mempengaruhi trend perkembangan industri media adalah ekonomi politik media. Hal-hal yang dilihat dalam ekonomi media adalah struktur industri, prilaku institusi media serta hubungan antara media dan khalayak. Beberapa hal yang menjadi perlu mendapat perhatian dalam melihat trend industri media di antaranya adalah produksi dan distribusi, monopoli media, hak atas kekayaan intelektual serta pasar yang berubah dari massa ke lebih segmentasi.

Hal lain yang tidak bisa diabaikan adalah segi politik. Dalam hal ini, yang lebih perlu mendapat perhatian adalah masalah kebebasan berpendapat dan penyensoran (sensorship).

Secara garis besar, trend perubahan teknologi, ekonomi dan politik, berimplikasi terhadap trend perkembangan industri majalah, buku dan suratkabar dalam hal produksi, distribusi, konsentrasi kepemilikan, pembajakan serta sensor.

Trend Perkembangan Buku
Ø Produksi: - komputerisasi
- meningkatnya jumlah buku yang diterbitkan
- hadirnya E-Books
- genre: beragam dan sulit dikarakteristikan
Ø Distribusi: toko buku, penerbit dan secara online.
Ø Ekonomi-politik: - adanya konsolidasi dan konsentrasi kepemilikan
- pembajakan buku
- kebebasan berbicara dan penyensoran.

Trend Perkembangan Majalah
Ø Produksi: - komputerisasi
- makin beragam namun segmented mengikuti usia, hobi
- hadirnya Web ‘zines’
- genre: investigasi, digest, majalah berita dan majalah bergambar
Ø Distribusi: eceran, langganan, online
Ø Ekonomi-politik: - adanya konsolidasi dan konsentrasi kepemilikan
- kebebasan berbicara dan sensor.

Trend Perkembangan Suratkabar
Ø Produksi: - komputerisasi
- cetak jarak jauh
- hadirnya edisi internet untuk suratkabar, lebih personal
Ø Distribusi: videoteks, online
Ø Ekonomi-Politik: - monopoli berita
- konsolidasi bersifat integrasi horisontal: menggabungkan surat kabar yang sudah ada dalam satu jaringan kepemilikan
- konsolidasi yang bersifat integrasi vertikal: menggabungkan suratkabar dengan media lain yang lebih besar dari grup utamanya, seperti menggabungkan kepemilikan jaringan suratkabar dengan radio, televisi dan lain-lain.
- Kebebasan berbicara dan penyensoran

Tinjauan di Indonesia:

Secara umum, trend perkembangan industri buku/majalah dan suratkabar global hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia. Hanya saja, seperti dalam catatan Deddy N Hidayat (2000), perlu diperhatikan bahwa Indonesia di satu pihak merupakan bagian dari sistem kapitalisme global, namun di lain pihak struktur ekonomi politik Orde Baru yang berkuasa hingga 32 tahun mampu pula mengembangkan ciri-ciri yang spesifik.

Karakteristik yang menonjol itu adalah intervensi negara yang amat menonjol dalam ekonomi atau negara menjadi bagian integral dari perkembangan sistem kapitalis yang ada. Di sektor industri media cetak, sejumlah anggota keluarga mantan Presiden Soeharto serta pejabat menjadi patron atau pemilik saham di sejumlah media cetak.

Selain itu, seperti dijelaskan Jacob Utama (2001), pers dalam suatu negara akan selalu dipengaruhi oleh pikiran dasar dan orientasi pokok yang sedang berlaku dalam masyarakatnya. Pers Indonesia juga terbawa oleh orientasi pembangunan. Pers tidak hanya melaporkan pembangunan, namun juga diharapkan pendapat dan sumbangan pemikirannya tentang model pembangunan.

Sementara itu, Alwi Dahlan (1996) melihat bahwa industrialisasi komunikasi di Indonesia sebenarnya sudah terlambat datang. Tatkala media massa kita sedang mengalami proses industrialiasasi, media di negara industri justru mulai meninggalkan bentuknya yang sekarang dan menjalani peralihan ke arah dunia pasca industri di bidang informasi. Ketertinggalan satu tahap di belakang negara maju, jika di zaman yang lalu tidak menjadi masalah, tidak begitu dengan sekarang.

Kebutuhan yang didorong oleh arus globalisasi di bidang informasi menipiskan batas-batas sistem pers di masing-masing negara. Di bidang pers, revolusi komunikasi menghadirkan sistem cetak jarak jauh dan media massa internet. Akibat yang ditimbulkan fenomena komunikasi tersebut, antara lain adalah meningkatnya kecepatan arus dan volume pemberitaan di dalam masyarakat.

Media internet dapat menggabungkan kelebihan media cetak (ketahanan onformasi) dan elektronik (kecepatan menyampaikan isi berita dan penyajian yang terinci) sekaligus walau dalam skala yang sangat kecil dibanding media aslinya. Mengikuti tantangan zaman itulah, kemudian hadir pula versi online beberapa suratkabar seperti Media Indonesia, Kompas, Republika, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan dan sebagainya; majalah Tempo, Gatra, Gamma, Femina, Kosmopolitan dan lain-lain untuk majalah online.

Beberapa catatan penting trend perkembangan industri buku, majalah dan suratkabar di Indonesia:

Trend Perkembangan Buku
ü Jumlah dan judul buku yang diterbitkan makin banyak karena kemudahan pengumpulan data, kebebasan berbicara, dan pasar yang beragam
ü Komputerisasi produksi, akan terkait dengan mutu cetakan, desain kulit muka dan sebagainya
ü Meski belum begitu banyak, fenomena E-Books juga terjadi
ü Tantangan ekonomis: pembajakan buku
ü Distribusi selain melalui toko buku, penerbit, juga online

Trend Perkembangan Majalah
Ø Ragam majalah makin banyak mengikuti usia, hobi, ketertarikan. Selain itu juga, hadir majalah asing versi Indonesia seperti Mens Health, Cosmopolitan.
Ø Pengumpulan dan penyebaran berita menjadi kian cepat dan akurat.
Ø Hadirnya Web ‘zines’, seperti Gatra.com, Gamma.com, Angkasa, Popular Online, juga termasuk Astaga.com, Indonews dan sebagainya.
Ø Pencabutan lembaga SIUPP membuat pers majalah tidak dihantui ketakutan pembreidelan

Trend Perkembangan Suratkabar
Ø Era reformasi dan meningkatnya kriminalitas, membuat hadirnya suratkabar-suratkabar baru berbau politik dan kriminal
Ø Sistem cetak jarak jauh juga sudah digunakan
Ø Hadirnya edisi internet untuk suratkabar, membuat kita bisa memilih berita sesuai dengan keinginan, lebih personal
Ø Pencabutan lembaga SIUPP membuat pers suratkabar tidak dihantui ketakutan pembreidelan
Ø Secara ekonomis, hadir konglomerat media, seperti Kompas Grup, Jawa Pos Grup, Pos Kota Grup.
Ø Tumbuhnya suratkabar komunitas (community newspaper) menyusul diberlakukannya otonomi daerah. Sebut saja Purwokerto yang memiliki Sudirman Pos, Bogor yang mempunyai Bogor Pos dan Radar Bogor, Brebes dengan Brebes Pos dan sebagainya. Ada pula koran yang berisfta iklan, seperti Bandung Advertiser dll.

DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, M. Alwi. (1996). “Trend Industrialisasi Media Massa dan Multimedia”. Makalah diskusi panel Industri Media Massa dan Multimedia, ISKI.
Hidayat, Dedd N. (2000) “Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam “Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah hegemoni”. Deddy N. Hidayat dkk., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muis, A. (1996). “Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers”. Jakarta: Mario Grafika.
Nihayah, Khotimatun dkk. (1993). “Dunia Buku Indonesia”. Politeknik Universitas Indonesia Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan.
Soedarmanto, JB., Subagya, PD. (2002). “Pemasaran Buku di Indonesia”. Jakarta: Ikapi.
Straubhaar Joseph dan LaRose, Robert (2002). “Media Now: Communication Media in the Information Age”. Wadsworth.
Tanuwijaya, Hikmat S (2001). “Situs Berita, Media Informasi Nan Cepat”. PC Media, 27 Mei 2001.
Widyawati, Nina dkk. (2000). “Pers Daerah Menyongsong Otonomi dan Desentralisasi”. Jakarta: Puslibatang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.
Winters Jeffry, A. (2000) “Dampak Politis dari Sumber dan Teknologi Informasi Baru di Indonesia”, dalam “Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah hegemoni”. Deddy N. Hidayat dkk., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Utama, Jacob. (2001) “Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

14 Oktober 2009

Pendapat Mengenai Kasus Prita Mulyasari dan UU ITE

Kasus Prita Mulyasari yang berselisih dengan RS Omni Internasional Tangerang menyedot perhatian banyak orang. Bukan cuma galangan dukungan pembebasan Prita yang ditahan di LP Tangerang yang dalam waktu singkat mencapai puluhan ribu orang melalui media jejaring sosial seperti Facebook, para calon presiden pun, dimana saat Prita ditahan kampanye Pilpres sedang berlangsung, berkomentar dan mendesak pembebasan Ibu dua anak itu. Dan akhirnya, genap tiga minggu ditahanan, Prita dibebaskan bisa pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga.

Prita ditahan karena dianggap melanggar Pasal 310 KUHP jo Pasal 27 ayat 3 UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Asal muasalnya, Prita mengirimkan keluhan mengenai pelayanan RS Omni Internasional yang menurutnya mengecewakan ke beberapa teman melalui media surat elektronik (E-Mail). Apa yang dikeluhkan Prita dan menyebar ke dunia maya dianggap pihak RS sebagai pencemaran nama baik.
* * *

Apa yang terjadi dengan Prita, perlu dibedakan secara tegas antara substansi keluhan dengan media. Hal ini agar tidak ada kesan, seolah-olah UU ITE menjadi ”biang kerok” penahanan Prita, sehingga harus direvisi. Padahal, sebagaimana diketahui, UU ITE sendiri telah mengalami pembahasan yang lama di DPR dan menyangkut Pasal 27 ayat 3, juga telah mendapat penetapan Mahkamah Konstitusi untuk tetap dimasukkan dalam UU ITE atas judicial review yang dilakukan masyarakat agar Pasal ini dicabut.

Dalam kasus Prita, yang perlu dikedepankan adalah substansi pengaduan Prita mengenai keluhan layanan RS. UU ITE hanya bicara mengenai medium, dimana apa yang dilakukan di dunia nyata, dapat pula diberikan sanksi jika itu terjadi di dunia maya. Sehingga, kasus di masa lalu seperti hacking, cracking, carding, penyebaran pornografi, judi, termasuk pencemaran nama baik melalui internet, yang selama ini banyak terjadi, ditangkap pelakunya, namun kemudian lolos ketika masuk ke pengadilan karena kepastian hukum mengenai kejahatan elektronik masih lemah atau bahkan belum ada.

Mengenai substansi, sejak berdirinya negara ini, UUD 1945 telah menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan, meski memang euphoria kebebasan berpendapat meledak sejak reformasi bergulir di tahun 1998. Ini bisa dilihat dari demontsrasi yang dilakukan masyarakat, hadir dan menjamurnya nya media cetak, buku, televisi dan tak ketinggalan juga media online.

Dengan hadirnya fasilitas blogging, tiap individu bebas menyuarakan pikiran, curahan hati maupun gugatan terhadap lingkungan sekeliling. Tambah lagi dengan adanya jejaring sosial, dalam kampanye legisltaif lalu tercatat, ada galangan dukungan untuk tidak memilih tokoh tertentu ”Say No to ....”, meski ada juga ”lawannya” yang membuat kelompok diskusi ”Say Yes to....”. Hal-hal seperti itu, berlanjut menjelang Pilpres mendatang.

Selain jaminan UUD 1945, Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8/1999 juga menjamin agar konsumen mendapatkan layanan yang berkualitas dari produsen. Sehingga, yang perlu dipertanyakan adalah, apakah RS Omni Internanasional, sebagai produsen, memang telah memberikan layanan berkualitas kepada Prita, sebagai konsumen. Inilah yang perlu diuji di pengadilan. Hanya saja, sesungguhnya, pihak RS dapat segera melakukan introspeksi. Sebab betatapun, konsumen adalah raja, yang keluhannya menjadi masukan bagi RS untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanannya.

Mengenai keluhan pengguna atau konsumen, sesungguhnya bukan hal yang baru. Di banyak mengenai, hampir tiap hari Rubrik Pembaca memuat keluhan masyarakat akan berbagai hal, dari layanan operator telekomunikasi, perbankan, perumahan sampai masalah layanan pemerintahan. Dan uniknya, proses menyampaikan keluhan dan menjawab keluhan terjadi. Setelah ada keluhan, pihak yang dikeluhkan biasanya menyampaikan hak menjawab keluhan, dan banyak yang berujung dengan kalimat, ”Keluhan sudah diselesaikan dengan baik.”
* * *

Adanya pemikiran yang menyatakan bahwa kasus Prita mencuat karena UU ITE, perlu dilihat dari dua kacamata, pertama, memang UU ITE memasukkan unsur pencemaran nama baik secara elektronik sehingga pencemaran nama baik yang dilakukan secara ”tradisional” juga dapat dibidik jika pencemaran nama baik dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kedua, UU ITE hanyalah menjadi penguat agar apa pencemaran nama baik secara maya, juga dapat dibidik sama halnya pencemaran nama baik secara nyata.

Sebab, walaupun bagi sebagian kalangan kebutuhan akan UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik dirasa terlalu mewah dan tidak mempunyai dampak besar terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun sesungguhnya bangsa ini memerlukan kepastian hukum menyangkut hal-hal yang berbau elektronik, apalagi dengan berubahnya modus kejahatan yang tadinya bersifat offline (tradisional) menjadi online sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam catatan beberapa perusahaan keamanan teknologi informasi, posisi Indonesia di dunia hitam kejahatan cyber cukup disegani, dan bertengger dalam 10 besar internasional. Kejahatan internet yang marak di Indonesia meliputi penipuan kartu kredit, penipuan perbankan, defacing, cracking, transaksi seks, judi online dan terorisme dengan korban berasal selain dari negara-negara luar seperti AS, Inggris, Australia, Jerman, Korea serta Singapura, juga beberapa daerah di tanah air. Karena dicap sebagai sarang penjahat dunia maya, saat belum adanya UU ITE, orang Indonesia yang ingin berbelanja lewat internet sering tidak dipercaya lagi oleh merchant luar negeri, sehingga Indonesia dikhawatirkan tersingkir dari ekonomi digital yang mengglobal.

Untuk memerangi kejahatan internet yang telah, sedang dan akan muncul, itulah UU ITE lahir untuk kepastian hukum. RUU ITE sendiri telah menempuh waktu yang lama untuk dibawa ke parlemen dan dibahas. UU ini cukup lengkap dan dapat dijadikan payung karena beberapa hal yang terkait dengan kepastian hukum mengenai informasi elektronik telah diadopsi semisal perebutan nama domain, HAKI, perlindungan informasi pribadi, hacking, cracking, carding serta perdagangan password.

Satu hal pasti, UU ITE membutuhkan peningkatan pengetahuan dan kemampuan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) mengenai seluk-beluk cybercrime, agar juga tidak salah dalam mengambil putusan, termasuk dalam kasus Prita. Tak ketinggalan, meningkatkan pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk dapat menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab dan cerdas. Pemikiran yang menyatakan bahwa kita bebas berbuat semaunya di dunia maya, harus dihilangkan karena sudah ada koridor hukum yang harus dipatuhi bersama. Berpendapat adalah hak, namun di sisi lain, berpendapat juga tetap harus menghargai dan memperhatikan hak dipunya orang lain.

13 Oktober 2009

Paradigma ICTnomic-ku Dimuat Koran Jakarta

Tulisan mengenai aplikasi dan implikasi ICTnomic yang saya tulis hari ini (13/9/2009) dimuat di Koran Jakarta. Berikut isinya, bagi yang belum sempat baca korannya:

Ekonomi dunia sedang berubah. Basis ekonomi yang tadinya berdasar pada baja, kendaraan dan jalan raya, kini berubah jalur ke arah ekonomi baru yang dibentuk oleh silikon, komputer dan jaringan. Transformasi tersebut, yang terjalin dengan transformasi lain, globalisasi, menciptakan paradigma baru ekonomi, pembangunan ekonomi berbasis information and communication technology (ICT)—ICTnomic. Perkembangan ini cukup menarik.

Di masa dulu, misalnya saja, saat Soeharto menjadi Presiden, berkembang konsep ekonomi ”Soehartonomic”, yang mengacu pada konsep pembangunan berdasar pemikiran Soeharto. Begitu juga dengan dengan istilah ”Habibienomic”, yang mengarah pada konsep pembangunan menurut Habibie. Dengan ICTnomic, konsep top down seperti itu bisa jadi tidak dikenal lagi. Sesuai dengan semangat kebebasan, demokrasi maupun perubahan, siapa pun bisa mengembangkan ekonomi, baik di tingkat negara maupun rumah tangga, dengan menggunakan ICT sebagai alat maupun sokoguru aktivitasnya.

Tokoh macam Bill Gates dengan Microsoft-nya, Marck Zuckerberg melalui Facebook, serta Google yang dikembangkan oleh Larry Page dan Sergey Brin maupun Yahoo! yang diciptakan oleh Jerry Yang dan David Filo, menjadi bukti bahwa ekonomi dapat berputar dan bergerak di luar kendali penguasa.
Sebenarnya, begitu banyak contoh lain, termasuk dari dalam negeri, bagaimana ICT (teknologi informasi dan komunikasi) kini telah membuat ekonomi seakan terpisah dari jalannya roda pemerintahan. Ini artinya, siapapun pemimpinnya, bisnis ICT akan tetap berjalan sesuai konsep dasar cyber dimana diibaratkan seekor tikus yang akan mencari jalan keluarnya sendiri dari labirin.

Peran ICT dalam pembangunan akan kian penting. Lihat saja, sektor ini telah menggerakan ekonomi secara masif—dari sekadar menjadi penjual voucher di gang-gang sempit, pemasar ponsel-ponsel baik lama maupun yang teranyar, hingga hadirnya begitu banyak operator dengan beragam lisensi, bahkan memberikan pemasukan bagi negara yang cukup signifikan dan cenderung meningkat tiap tahunnya, baik dalam bentuk pajak maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Direktorat Jenderal Postel, Depkominfo, pada anggaran 2008, dari BHP frekuensi radio saja ditargetkan untuk dapat mencapai Rp. 4,61 trilyun, dan untuk 2009 ditargetkan untuk memperoleh Rp. 5,61 trilyun (Siaran Pers Ditjen Postel, 17 Juni 2009).

Dalam ICTnomic, ada beberapa perubahan maupun pergeseran yang perlu menjadi perhatian. Seperti disebutkan Don Tapscott dalam ”Digital Economy: Promise and Peril In The Age of Networked Intelligence”, pergeseran terjadi dari produksi yang berbasis “tenaga” (brawn) ke basis “otak” (brain) yaitu pengetahuan tentang pekerjaan dari para pekerjanya. Kini pengetahuan menjadi variabel kunci bagi perusahaan masa depan. Tingkat pengetahuan yang tinggi dari para pekerja akan membuat mereka menjadi kreatif dan inovatif dalam bekerja. Ini yang kemudian menjadi dasar dari ekonomi kreatif.

Kemudian, semua informasi tidak lagi ditampilkan secara apa adanya (sistem analog), tetapi dengan menggunakan simbol angka 0 dan 1. Dalam ekonomi baru, informasi dikemas dalam bentuk digital. Dengan teknologi digital, orang dapat melakukan pekerjaannya dengan banyak orang dari tempat yang berlainan, dalam waktu yang bersamaan tanpa harus bertemu secara langsung. Informasi dapat diakses lewat komputer—termasuk telepon seluler, baik dalam bentuk tulisan, audio maupun video.

Produk juga tidak lagi berbentuk fisik, tetapi virtual (maya/semu) termasuk juga aktivitas ekonomi yang dilakukan. Seperti virtual office, di mana para pekerja tidak lagi harus melakukan aktivitas di kantor. Bisnis perusahaan mendapatkan informasi tentang pasarnya dengan cepat karena mereka telah terhubung dengan jaringan internet yang memungkinkan akses informasi dengan cepat. Misalnya informasi tentang supplier, pesaing, konsumen dan lainnya. Sehingga, fungsi dari para perantara antara produsen dan konsumen akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan produsen melalui teknologi informasi, dapat langsung melakukan komunikasi dengan para konsumen.

ICTnomic juga bicara mengenai keterpaduan antara telekomunikasi, komputer dan media. Informasi dan transaksi bisnis dalam dilakukan melalui media eletronik dalam waktu yang sangat cepat, terus-menerus sehingga dibutuhkan informasi yang akurat dan cepat dalam hitungan detik. Dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada, membuat persaingan akan makin tajam dalam membuat produk yang sama atau bahkan lebih unggul. Di sinilah perlunya perhatian terhadap inovasi. Karena suatu produk baru akan segera menjadi ketinggalan jaman kalau tidak dilakukan inovasi terus-menerus, termasuk mensosialisasikannya secara luas.

Namun begitu, ICTnomic ternyata dapat juga menimbulkan kesenjangan yang mengarah pada perpecahan. Misalnya antara mereka yang mengusai teknologi dengan yang tidak; antara yang tahu dan yang tidak tahu; antara yang mempunyai kemampuan mengakses dan yang tidak, karena tidak semua orang sudah memasuki era informasi. Untuk kondisi Indonesia, empat tingkatan masyarakat dari pra-agraris, agraris, industri dan hingga masyarakat informasi, semua ada di sini. Empat tingkatan masyarakat—dari suku-suku yang ada di pedalaman dan tidak tersentuh kemajuan jaman termasuk barang-barang elektronik, hingga yang tiap saat aktif meng-update status melalui situs jejaring sosial—semuanya adalah kekayaan dan kenyataan negeri ini. Tugas besar kita semua adalah bagaimana mewujudkan “ICT Untuk Semua” sehingga tiap individu masyarakat dapat menjadi aset negara dan menjadi roda-roda penggerak ekonomi negara. Semoga.

11 Oktober 2009

Sejarah Film dan Perkembangan Film Indonesia

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia.


Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).


Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.


Film kita tidak hanya dapat dinikmati di televisi, bioskop, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD, film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway ini.

Isu yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film adalah persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik. Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film, adalah: (1) Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang berpengaruh terhadap hasil film; (2) Film mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari audiensnya. Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya. Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup besar.

Hal lainnya adalah soal konglomerasi dalam industri ini, dimana konglomerat besar industri film dunia mempunyai kontrol terhadap pendistribusian film ke bioskop, video, stasiun Televisi kabel dan stasiun televisi sampai luar negeri. Hal tersebut berimplikasi yang membuat pemain baru tidak bisa masuk.

Hampir sama dengan industri musik dan rekaman, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual juga menghantui industri perfilman. Meski dalam setiap film produksi AS terhadap peringatan dari FBI, namun pembajakan film tetap saja tidak bisa diremehkan begitu saja.


Industri Film Indonesia
Bagaimana dengan industri film Indonesia? Topik lama ini sudah dua dekade lamanya menjadi bahan perbincangan kalangan film Indonesia. Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor.

Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari persoalan dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun semakin melebarkan jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film.

Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia. Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose Purnomo dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi harapan, karena selain terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga, tak terasa bahwa industri perfilman sesungguhnya sudah seratus tahun dikenal di Indonesia.


Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.


Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.


Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.

Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.


Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.

Di tahun ‘80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun ‘70-an menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.


Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun ‘80-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.


Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun ‘80-an, kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela.

Meski dalam kondisi “sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional. Pertengahan ‘90-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.


Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.

Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.


Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King, Garuda di Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.

Bahan Bacaan

Mambor, Victor C. (2000). “Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia”. Jakarta: Kunci Cultural Studies Center.
Straubhaar, Joseph dan LaRose, Robert (2002). “Media Now: Communication Media in the Information Age”. Wadsworth.

06 Oktober 2009

Mobile Money dan Tantangan Implementasi

Tulisan saya kembali dimuat Harian Bisnis Indonesia hari ini Selasa, 6 Oktober 2009. Terima kasih Bisnis Indonesia. Berikut isi lengkap tulisan nya:

Mobile Money dan Tantangan Implementasi

Teknologi dan pengguna telepon bergerak berkembang dengan begitu cepat.
Untuk kondisi Indonesia saja, setelah era 2G dan 2,5G, kemudian hadir 3G, yang bahkan sekarang disebut-sebut sudah mencapai 3,9 G atau sebentar lagi memasuki era 4G, sebuah lompatan teknologi yang memungkinkan transfer data dilakukan secara cepat.


Dari sisi pengguna, Indonesia merupakan negara di kawasan Asean yang pertumbuhan pengguna telepon bergeraknya meningkat secara signifikan. Dalam catatan WCIS (World Cellular Information System) ataupun Informa Telecoms and Media, kontribusi Indonesia terhadap pengguna telepon bergerak di kawasan cukup tinggi, yaitu 35%. Angka ini di atas Vietnam yang 20%, bahkan Malaysia yang hanya 7% dan Singapura dengan kontribusi 2%.
Di tingkat dunia, pasar Indonesia juga dianggap cukup besar dan masuk dalam peringkat ketiga pada kuartal pertama tahun ini dengan 43,3, juta pengguna, di bawah India (127,8 juta) dan China (88,5 juta). Posisi Indonesia sebagai peringkat pertumbuhan ketiga di Asia Pasifik diprediksi terus terjadi hingga 2013. Termasuk 3G yang akan mencapai pengguna hingga 42%.

Perkembangan layanan telepon bergerak, bahkan sudah ke tingkat pita lebar (broadband) tentu perlu diimbangi dengan aplikasi ataupun konten yang menarik, mencerdaskan dan bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Sebab apabila itu tidak terjadi, dikhawatirkan industri ini hanya akan mendorong masyarakat menjadi konsumtif. Salah satu yang mungkin bisa dikembangkan adalah transaksi dagang secara bergerak atau lebih dikenal dengan istilah mobile commerce (M-Commerce).

Pengembangan terkini dari m-commerce cukup sukses di beberapa negara. Kecenderungan m-commerce yang awalnya hanya terbatas pada pembelian layanan konten telepon seluler seperti berita, cuaca, trafik lalu lintas, ringtone, wallpaper, musik, kemudian pembelian tiket bioskop, berkembang ke arah perbankan bergerak dan pembayaran mikro, yang kemudian mengarah ke uang bergerak (mobile money).

Layanan keuangan bergerak pertama kali diimplementasikan pada 2001 oleh Mobipay di Spanyol, sementara layanan perbankan bergerak telah diberikan bertahun-tahun di Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura dan Eropa. Mobile money menjadi fokus perhatian karena fenomena ini sukses di beberapa negara berkembang seperti Kenya, Afrika Selatan dan Filipina. Di Kenya misalnya, layanan yang diberikan sejak Maret 2007, digunakan oleh separuh populasi di sana sebagai sarana utama pengiriman uang. Diprediksi hingga akhir 2013 lebih dari 424 juta pengguna telepon seluler akan mengirimkan uang ke pengguna ponsel lainnya dalam negara yang sama dan 73 juta akan mengirimkan uang ke negara lain.

Terkait dengan uang bergerak, ada tiga tipe utama layanan keuangan, yaitu pengiriman uang bergerak (mobile money transfer), perbankan bergerak (mobile banking) serta pembayaran bergerak (mobile payment). Layanan pengiriman uang bergerak memungkinkan mengirim atau menerima sejumlah uang antarpengguna ponsel. Layanan ini bisa berupa pengiriman domestik dan internasional.

Beberapa operator dalam negeri sudah mulai memberikan layanan ini. Untuk international remittance, yang menjadi target adalah para pekerja Indonesia yang sedang bekerja di negeri orang yang berkeinginan mentransfer uang untuk keluarga di kampung halaman. Negara yang jadi target adalah Malaysia, Hong Kong serta negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi.

Layanan perbankan bergerak di sini juga sudah beroperasi sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan ini menjadi layanan pelengkap selain perbankan melalui Internet. Beberapa bank telah bekerja sama dengan operator untuk memasukkan layanannya sebagai layanan dasar setaraf dengan layanan ringtone, wallpaper ataupun layanan konten informasi dan hiburan lainnya.

Proses mengetahui adanya pengiriman uang tidak perlu dilakukan dengan mengunjungi bank bersangkutan atau Anjungan tunai mandiri, sebab informasi akan langsung dapat diterima melalui SMS yang dikirimkan pascatransaksi dilakukan.

Pembayaran bergerak juga mulai diberikan sejak 2 tahun lalu, dengan istilah e-wallet. Hanya saja saat itu masih ada keraguan soal layanan ini mengingat payung hukum yang melindungi transaksi elektronik masih lemah. Namun, dengan di sahkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), di mana transaksi elektronik secara tegas diatur dan ada payung hukum melindungi, maka keraguan berangsur berkurang.

Belum cukup
Hanya saja, dalam implementasi layanan uang bergerak secara umum, walau sudah ada UU ITE, hal itu dirasa belum cukup. Ada beberapa isu yang perlu dipertegas karena mungkin bisa menjadi hambatan upaya untuk mengurangi peredaran uang kartal di masyarakat.

Pertama adalah pembagian kewenangan antara operator dan lembaga keuangan seperti bank. Memang ada keinginan dari operator telekomunikasi untuk bisa menjadi bagian dari lembaga keuangan, tentu saja itu perlu dilihat bagaimana UU mengaturnya. Sebab, walaupun alat pembayaran yang sah adalah uang, di beberapa wilayah dan transaksi tertentu, pulsa telah juga dapat berubah fungsi sebagai alat pembayaran dan alat tukar.

Kedua adalah jaringan. Selain belum semua perbankan turut memanfaatkan pemberian layanan uang bergerak, belum semua operator juga tertarik memberikan layanan serupa. Jika sudah memberikan layanan, untuk menjangkau seluruh penduduk Indonesia, jaringan telekomunikasi yang menjangkau seluruh penjuru tanah air diperlukan. Yang menarik, ada wilayah yang dengan susah payah coba dijangkau jaringan seluler, tetapi menara telekomunikasi yang ada kemudian 'ditebangi' pemerintah daerah setempat.

Hal krusial lainnya adalah keamanan (security). Masalah ini sering menjadi keraguan bagi konsumen untuk mempercayai layanan uang bergerak. Memang hal itu tidak terlepas dari budaya kita yang masih mempercayai cara-cara lama dalam berdagang ataupun melakukan transaksi keuangan, seperti membeli barang yang harus melihat wujud aslinya dibanding membeli secara maya lewat internet misalnya. Ini menjadi tugas bersama.

Tugas operator telekomunikasi menjamin jaringannya aman digunakan, lembaga keuangan menjamin transaksi berjalan sesuai kehendak konsumen dan ada perlindungan hukum memadai dari transaksi elektronik yang dilakukan sesuai amanat UU ITE.

Dan terakhir adalah soal edukasi dan sosialisasi. Tanpa hal itu, sulit rasanya layanan uang bergerak bisa dimanfaatkan masyarakat secara masif. Selain itu, masyarakat juga perlu diberdayakan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya dalam transaksi uang bergerak. Dengan adanya kepercayaan, dan keperluan kecepatan transaksi, maka layanan uang bergerak akan menjadi killer application untuk semua, guna memberikan layanan keuangan yang nyaman, mudah diakses dan terjangkau, baik pelanggan perbankan maupun di luar perbankan.