Kasus Prita Mulyasari yang berselisih dengan RS Omni Internasional Tangerang menyedot perhatian banyak orang. Bukan cuma galangan dukungan pembebasan Prita yang ditahan di LP Tangerang yang dalam waktu singkat mencapai puluhan ribu orang melalui media jejaring sosial seperti Facebook, para calon presiden pun, dimana saat Prita ditahan kampanye Pilpres sedang berlangsung, berkomentar dan mendesak pembebasan Ibu dua anak itu. Dan akhirnya, genap tiga minggu ditahanan, Prita dibebaskan bisa pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga.
Prita ditahan karena dianggap melanggar Pasal 310 KUHP jo Pasal 27 ayat 3 UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Asal muasalnya, Prita mengirimkan keluhan mengenai pelayanan RS Omni Internasional yang menurutnya mengecewakan ke beberapa teman melalui media surat elektronik (E-Mail). Apa yang dikeluhkan Prita dan menyebar ke dunia maya dianggap pihak RS sebagai pencemaran nama baik.
* * *
Apa yang terjadi dengan Prita, perlu dibedakan secara tegas antara substansi keluhan dengan media. Hal ini agar tidak ada kesan, seolah-olah UU ITE menjadi ”biang kerok” penahanan Prita, sehingga harus direvisi. Padahal, sebagaimana diketahui, UU ITE sendiri telah mengalami pembahasan yang lama di DPR dan menyangkut Pasal 27 ayat 3, juga telah mendapat penetapan Mahkamah Konstitusi untuk tetap dimasukkan dalam UU ITE atas judicial review yang dilakukan masyarakat agar Pasal ini dicabut.
Dalam kasus Prita, yang perlu dikedepankan adalah substansi pengaduan Prita mengenai keluhan layanan RS. UU ITE hanya bicara mengenai medium, dimana apa yang dilakukan di dunia nyata, dapat pula diberikan sanksi jika itu terjadi di dunia maya. Sehingga, kasus di masa lalu seperti hacking, cracking, carding, penyebaran pornografi, judi, termasuk pencemaran nama baik melalui internet, yang selama ini banyak terjadi, ditangkap pelakunya, namun kemudian lolos ketika masuk ke pengadilan karena kepastian hukum mengenai kejahatan elektronik masih lemah atau bahkan belum ada.
Mengenai substansi, sejak berdirinya negara ini, UUD 1945 telah menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan, meski memang euphoria kebebasan berpendapat meledak sejak reformasi bergulir di tahun 1998. Ini bisa dilihat dari demontsrasi yang dilakukan masyarakat, hadir dan menjamurnya nya media cetak, buku, televisi dan tak ketinggalan juga media online.
Dengan hadirnya fasilitas blogging, tiap individu bebas menyuarakan pikiran, curahan hati maupun gugatan terhadap lingkungan sekeliling. Tambah lagi dengan adanya jejaring sosial, dalam kampanye legisltaif lalu tercatat, ada galangan dukungan untuk tidak memilih tokoh tertentu ”Say No to ....”, meski ada juga ”lawannya” yang membuat kelompok diskusi ”Say Yes to....”. Hal-hal seperti itu, berlanjut menjelang Pilpres mendatang.
Selain jaminan UUD 1945, Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8/1999 juga menjamin agar konsumen mendapatkan layanan yang berkualitas dari produsen. Sehingga, yang perlu dipertanyakan adalah, apakah RS Omni Internanasional, sebagai produsen, memang telah memberikan layanan berkualitas kepada Prita, sebagai konsumen. Inilah yang perlu diuji di pengadilan. Hanya saja, sesungguhnya, pihak RS dapat segera melakukan introspeksi. Sebab betatapun, konsumen adalah raja, yang keluhannya menjadi masukan bagi RS untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanannya.
Mengenai keluhan pengguna atau konsumen, sesungguhnya bukan hal yang baru. Di banyak mengenai, hampir tiap hari Rubrik Pembaca memuat keluhan masyarakat akan berbagai hal, dari layanan operator telekomunikasi, perbankan, perumahan sampai masalah layanan pemerintahan. Dan uniknya, proses menyampaikan keluhan dan menjawab keluhan terjadi. Setelah ada keluhan, pihak yang dikeluhkan biasanya menyampaikan hak menjawab keluhan, dan banyak yang berujung dengan kalimat, ”Keluhan sudah diselesaikan dengan baik.”
* * *
Adanya pemikiran yang menyatakan bahwa kasus Prita mencuat karena UU ITE, perlu dilihat dari dua kacamata, pertama, memang UU ITE memasukkan unsur pencemaran nama baik secara elektronik sehingga pencemaran nama baik yang dilakukan secara ”tradisional” juga dapat dibidik jika pencemaran nama baik dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kedua, UU ITE hanyalah menjadi penguat agar apa pencemaran nama baik secara maya, juga dapat dibidik sama halnya pencemaran nama baik secara nyata.
Sebab, walaupun bagi sebagian kalangan kebutuhan akan UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik dirasa terlalu mewah dan tidak mempunyai dampak besar terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun sesungguhnya bangsa ini memerlukan kepastian hukum menyangkut hal-hal yang berbau elektronik, apalagi dengan berubahnya modus kejahatan yang tadinya bersifat offline (tradisional) menjadi online sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam catatan beberapa perusahaan keamanan teknologi informasi, posisi Indonesia di dunia hitam kejahatan cyber cukup disegani, dan bertengger dalam 10 besar internasional. Kejahatan internet yang marak di Indonesia meliputi penipuan kartu kredit, penipuan perbankan, defacing, cracking, transaksi seks, judi online dan terorisme dengan korban berasal selain dari negara-negara luar seperti AS, Inggris, Australia, Jerman, Korea serta Singapura, juga beberapa daerah di tanah air. Karena dicap sebagai sarang penjahat dunia maya, saat belum adanya UU ITE, orang Indonesia yang ingin berbelanja lewat internet sering tidak dipercaya lagi oleh merchant luar negeri, sehingga Indonesia dikhawatirkan tersingkir dari ekonomi digital yang mengglobal.
Untuk memerangi kejahatan internet yang telah, sedang dan akan muncul, itulah UU ITE lahir untuk kepastian hukum. RUU ITE sendiri telah menempuh waktu yang lama untuk dibawa ke parlemen dan dibahas. UU ini cukup lengkap dan dapat dijadikan payung karena beberapa hal yang terkait dengan kepastian hukum mengenai informasi elektronik telah diadopsi semisal perebutan nama domain, HAKI, perlindungan informasi pribadi, hacking, cracking, carding serta perdagangan password.
Satu hal pasti, UU ITE membutuhkan peningkatan pengetahuan dan kemampuan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) mengenai seluk-beluk cybercrime, agar juga tidak salah dalam mengambil putusan, termasuk dalam kasus Prita. Tak ketinggalan, meningkatkan pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk dapat menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab dan cerdas. Pemikiran yang menyatakan bahwa kita bebas berbuat semaunya di dunia maya, harus dihilangkan karena sudah ada koridor hukum yang harus dipatuhi bersama. Berpendapat adalah hak, namun di sisi lain, berpendapat juga tetap harus menghargai dan memperhatikan hak dipunya orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar