13 Desember 2012

Alasan Kenapa Cukai Pulsa Harus Ditolak


Pemerintah bakal memasukkan pulsa telepon dalam kategori barang kena cukai, hal itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro. Menurutnya sebagaimana dikutip berbagai media,  pengenaan cukai pada pulsa telepon seluler dimaksudkan untuk membatasi penggunannya karena berdampak negatif pada kesehatan.

Dikatakan Bambang, pengenaan cukai pada pulsa telepon didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 39/2007 tentang Cukai, dimana  setiap komoditas bisa dikenai cukai jika memiliki sifat atau karakteristik tertentu. Yakni, konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, serta pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Selain itu, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Dan menurutnya, berbagai riset menunjukkan bahwa penggunaan telepon seluler lebih dari sepuluh tahun akan menggandakan risiko kanker otak. Selain itu, radiasi telepon seluler dapat memicu kanker otak, tumor sel saraf pendengaran, tumor kelenjar saliva, leukemia, dan limfoma.

Apa yang disampaikan pemerintah, laya dikritisi dan mungkin pengenaan cukai pada pulsa harus ditolak. Ada berbagai alasan yang dapat dikemukakan untuk menolak kebijakan ini:

1. UUD 1945 padal 28 hufuf f dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Ini artinya apa, bahwa berkomunikasi melalui media apapun, termasuk telekomunikasi, merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia Indonesia yang harus dipenuhi oleh negara. Hambatan atau halangan, termasuk menambah beban untuk bisa mendapatkan kesempatan berkomunikasi, menjadi bagian dari pelanggaran HAM.

2. Misi Kementerian Kominfo terkait telekomunikasi adalah bagaimana memberikan tarif terjangkau pada masyarakat, dan itu terealisir sejak 2008, dimana sebelumnya tertinggin di bawah Australia. Dengan tarif terjangka, maka penetrasi dan teledensitas telekomunikasi meningkat, dan menjangkau ke daerah-daerah, hingga semua lapisan.

3. Di tahun 2011, pemerintah telah menyedot uang masyarakat pengguna telekomunikasi sebesar Rp. 12 trilyun-an, dengan penambahan cukai ini, mau berapa lagi uang yang harus disetor masyarakat melalui jasa telekomunikasi kepada negara. Padahal, sektor lain, justru menjadi beban karena harus subsidi seperti listrik maupun BBM. Di sektor ini tak ada subsidi yang dikeluarkan negara.

4. Angka Rp. 12 Trilyun didapat, selain melalui pemanfaatan pendapat dari frekuensi, sebesar 0,5 % dari gross revenue operator yang tentunya akan dimasukkan dalam struktur tarif ke masyarakat untuk BHP Telekomunikasi.

5. Sementara itu, masyarakat juga telah menanggung untuk membangun wilayah-wilayah terluar dan terpencil melalui program USO sebesar 1,25% dari gross revenue operator, yang tentunya juga dimasukkan dalam struktur tarif ke konsumen. Artinya, dalam tarif yang dibahas, 1,25% + 0,5 % disetor ke negara sebagai BHP USO dan BHP Telekomunikasi.

6.  Saat membeli pulsa, konsumen sudah dibebani PPN 10%, baik untuk kartu prepaid maupun postpaid.

7.  Hingga saat ini, belum ada penelitian yang secara tegas dan jelas menyatakan ada korelasi hubungan kesehatan dengan penggunaan ponsel.

8. Sektor telekomunikasi sebagai sektor yang mandiri, harusnya diberikan insentif, bukan diberikan hambatan. Apalagi, ke depan banyak target pembangun broadband khususnya yang harus dicapai. Jangan membutakan diri, bahwa sektor ini telah memberikan kontribusi terhadap PDB, dan banyak penelitian menunjukkan ada hubungan antara sektor telekomunikasi dengan pembukaan lapangan kerja dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

10 Agustus 2012

Diwawancara Telecoms.com Mengenai LTE di Indonesia



Heru Sutadi is Executive Director of Indonesia’s ICT Institute and is speaking on Day Two of theLTE Asia 2012 conference taking place on 18-19 September 2012 at the Marina Bay Sands, Singapore. We speak to him on where Indonesia is with LTE and what it will take to make the technology affordable to roll out in the region.
What have been the main developments and milestones for you over the last 12 months with regards to LTE?
In Indonesia we started with LTE trials in 2010 but there is still a great focus on 3G. In June 2012, Indonesia hosted the Indonesia LTE Forum, focusing on how best to share LTE issues, implement LTE networks and connect Indonesian users with LTE technology. This forum consisted of the regulator, operators, vendors, researchers from the universities and consumers. I am a founder for this forum, which is part of Indonesian ICT Institute (III) of which I am the Executive Director.
What business models would you say are best for monetising LTE?
The best is vendor financing for the equipment as operators have to spend a lot of money on the spectrum fees.
How important are small cells to network roll-out plans?
I think the first implementation is macro cell and then micro cell and maybe pico cells next. Pico cells are important as operators put this technology in to provide in-building coverage, (for offices, malls and hotels). Demand for data connections inside buildings is very high.
What impact do you think technology such as IMS and Joyn will have?
These technologies will impact Indonesia in terms of licensing. Because this is a new IP-based technology, we think that our licensing must be reformed and this means we will have to revise our Telecommunication Act (No. 36/1999).
Do you think that VoLTE will have an impact and if so, in what time frame?
The technology will have an impact on operators and consumers but I am not sure about time frame. Perhaps, it will take around one year from now.
There has been successful downward pressure on roaming charges within the EU – is this also a concern for you?
We talk about this issue not only in Indonesia but also in Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) countries. We hope we can follow the EU and decrease roaming charges in ASEAN countries.
Do you think that network sharing between operators is necessary to make LTE roll-outs affordable?
The trend in the future is not only network sharing but also frequency sharing. In Indonesia it’s okay to share networks but not the frequency. Sharing is the best way to make LTE roll outs affordable.
Net neutrality remains a contentious issue and has recently been enshrined in law in the Netherlands. What is your stance on this?
I agree with the principle of net neutrality. But in Indonesia, even though we have open, neutral technology we have to carefulHere everything regarding telcos must be clearly mentioned in law and be licensed, otherwise it’s illegal. For sure, we need to reform and revise the Telco Act so net neutrality can be adopted as part of our strategy to give Indonesian citizen better ICT services.
What are the main challenges you expect to face in the next 12 months?
We have some challenges with regard to spectrum allocation for LTE. We are still waiting a decision from the government as to which frequency we will be able to use for LTE. We want to use 700 MHZ or 2.6GHz but 700MHz is still being using by analogue TV and this will not be moved to digital until 2018. 2.6GHz is still being using for satellite TV. The other options are the 60MHz of space we have for TD LTE at 2.3GHz or refarming 1800MHz and maybe 900MHz. Moving forward we will need to discuss the standardisation, education and socialisation of consumers and the many regulations.

13 Juni 2012

Tulisan Mengenai Adopsi Teknologi Netral

Tulisan saya berjudul "Adopsi Teknologi Netral" dimuat di Harian suara Karya 8 Juni 2012. Selain dapat juga dibaca dari tautan Suara Karya Online, berikut ini tulisan saya tersebut:

UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 pada Lampiran bagian D mengamanatkan bahwa pembangunan telematika (telekomunikasi dan informatika) diarahkan untuk mendorong terciptakan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based society). Salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui penerapan konsep teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri.

Ada beberapa pengertian mengenai teknologi netral. Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik No 11/ 2008, teknologi netral atau kebebasan memilih teknologi diartikan sebagai pemanfaatan teknologi informasi dengan tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu, sehingga dapat mengikuti perkembangan ke depan.

Sementara itu, konsep teknologi netral dipakai pula terkait dengan pemanfaatan frekuensi. Pada beberapa alokasi pita frekuensi (850 MHz, 900 MHz dan 1800 MHz), kewajiban Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi diubah dari Izin Stasiun Radio ke BHP Pita. Maka, pengenaan biaya penggunaan spektrum frekuensi tidak lagi ke teknologi/BTS tapi ke lebar pita (bandwidth). Itu artinya, frekuensi dapat dipakai untuk teknologi apa pun sepanjang mengikuti standar internasional dan tidak menimbulkan gangguan pada layanan eksisting.

Salah satu bentuk adopsi teknologi netral dalam pemanfaatan spektrum frekuensi diatur dalam Permen Kominfo No 19/2011 terkait dengan perkembangan teknologi Broadband Wireless Access di 2,3 GHz. Aturan ini dikeluarkan untuk menjawab salah satu tantangan perubahan teknologi dan memenuhi target penyebaran pita lebar (broadband) nasional sebagaimana tertuang dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Adapun beberapa batasan teknologi netral yang dimaksud adalah moda penggunaan frekuensi TDD (time division duplex), jenis layanan sesuai peruntukan penggunaan pita frekuensi radio dan izin penyelenggaraan telekomunikasi yang ditetapkan serta tidak hanya terbatas pada teknologi WiMax 16.d dan 16.e saja.

Adopsi ini sebenarnya bukan tanpa sebab. Berdasarkan fakta, pemenang seleksi penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched yang menggunakan pita frekuensi radio 2360-2390 MHz untuk keperluan layanan pita lebar nirkabel (wireless broadband access) dari tahun 2009 sampai pertengahan 2011 masih belum dapat memberikan penyediaan layanan kepada masyarakat sesuai komitmennya. Selain itu, juga atas pertimbangan adanya aspirasi dari pemenang seleksi untuk dapat menggunakan teknologi berkelanjutan (sustainable), yang mampu bersaing dengan teknologi lainnya dan pada akhirnya dapat mendukung ketersedian layanan teknologi informasi bagi masyarakat.

Pengaturan layanan berbasis netral teknologi ini memberi kebebasan kepada penyelenggara untuk memilih teknologi dalam rangka mengoperasikan jenis layanannya. Antara lain, dengan tujuan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi radio, mendorong perkembangan dan inovasi teknologi informasi, menjamin keberlanjutan (sustainable) teknologi yang mampu bersaing antarteknologi satu dan lainnya; serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Suka atau tidak suka, dalam pemanfaatan frekuensi, satu rentang frekuensi yang dapat digunakan untuk teknologi yang berbeda baru di 2,3 GHz. Soal apakah rentang frekuensi lain dapat dipakai untuk teknologi yang berbeda termasuk dari yang dipakai sekarang, tentu ini menjadi tantangan tersendiri.
Di banyak negara, khususnya untuk penggunaan frekuensi 900 MHz dan 1800 MHz yang sekarang ini banyak dipakai oleh operator seluler ditata kembali dengan istilah refarming.

Konsep ini menjadi pembicaraan karena teknologi terkini, mengingat spektrum frekuensi merupakan sumber daya terbatas. Arahnya adalah mengoptimalisasi spektrum yang sudah dialokasikan dengan teknologi terbaru. Indonesia sendiri telah memberikan peluang dilaksanakannya netral teknologi pada kedua pita frekuensi tersebut melalui pengaturan kewajiban BHP berdasarkan pita. Namun uniknya, setiap negara memiliki aturan main berbeda mengenai bagaimana pengalokasian spektrum, pemanfaataan spektrum untuk layanan/teknologi apa dan berapa lama spektrum dapat dimanfaatkan oleh operator.

Belum lagi, dengan kebijakan International Telecommunication Union (ITU) yang membagi dunia ini menjadi tiga region di mana Indonesia sebagai negara Asia masuk di region 3. Sementara Eropa di region 1 dan Amerika di region 2. Dampaknya, teknologi yang dipakai di region 2, misalnya, bisa berbeda dengan di region 3. Kasus Ipad 4G contohnya, disebut 4G di Amerika Serikat karena mereka menggunakan LTE di 700 MHz.
Koordinasi, filterisasi di sisi transmitter maupun receiver maupun pengaturan daya keluaran BTS menjadi hal yang harus dilakukan agar interferensi tidak terjadi. Sehingga, sebelum diputuskan apakah teknologi netral diadopsi untuk teknologi-teknologi terbaru, perlu dilakukan uji coba apa pengaruhnya terhadap teknologi lain dalam rentang frekuensi yang sama, maupun rentang frekuensi lain yang berdekatan.

Dalam implementasi teknologi netral, pemilihan alat dan perangkat telekomunikasi seperti base station, antenna serta subscriber station wajib memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan. Karena, operator telah membayar BHP Frekuensi berdasarkan Pita, maka operator akan sangat hati-hati dalam melakukan perencananaan dan pemilihan teknologi yang digunakan karena akan berdampak kepada efisiensi biaya investasi yang dibelanjakan.
Mengingat Regulator selalu mendengung-dengungkan pencapaian target broadband maka penggunaan netral teknologi perlu didukung mengingat teknologi yang seluler generasi ke 2 (2G) dengan teknologi GSM dan DCS tidak dapat menjawab kebutuhan jaringan pita lebar (broadband). Regulator harus mensyaratkan bahwa teknologi yang dipilih tidak menimbulkan interferensi yang akan berdampak kepada pelayanan ke pelanggan dan jaringan milik operator lain. ***

Penulis adalah pegiat di Indonesia ICT Institute


14 Mei 2012

Pengguna Mobile Broadband Indonesia Tembus 100 Juta


Pengguna mobile broadband Indonesia menembus angka 100 juta pengguna? Wow. Angka psikologis yang cukup fantastis dan menunjukkan peran dari layanan bergerak seluler dalam memberikan layanan data. Angka itu bukan angka rekaan melainkan angka yang didapat dari laporan operator yang memberikan layanan data. 
Pertama adalah dari Telkomsel. Menurut Info Memo Telkomsel, dan dapat dibaca dari laman  http://www.telkomsel.com/about/news/876-Kinerja-Gemilang--Telkomsel-Catat-Laba-Bersih-Perusahaan-Sebesar-3-5-Trilyun-Rupiah-di-Kuartal-Pertama-2012.html terlhat bahwa pengguna data Tsel mencapai 40 juta pengguna. Itu laporan di Q1 2012. 

Sementara menurut XL pada kuartal yang sama http://www.tribunnews.com/2012/05/05/pelanggan-xl-meningkat-50-persen pengguna mencapai 27,9 juta pengguna. Indonesia memang tidak mengungkap berapa besar pengguna data mereka, namun dari laman http://surabaya.tribunnews.com/2012/04/17/indosat-genjot-jumlah-tambah-pelanggan-data dikatakan bahwa pengguna data mereka sebesar 60% dari pengguna total seluler sebesar 52,1 juta, sehingga didapat angka 31,26 juta pengguna. Dari tiga besar ini, hingga akhir Maret sudah mencapai 99,16 juta. Dengan asumsi peningkatan 1% dari total pengguna maka di akhir Maret, maka di Mei angka 100 juta sudah terlampaui.

Kalaupun tidak menggunakan metode peningkatan setelah Maret, kontribusi lebih dari 100 juta disumbang oleh Axis dengan 4,25 juta pengguna. Dimana menurut laman http://www.tabloidpulsa.co.id/news/3825-axis-sukses-uji-jaringan-hspa-di-semarang pengguna data Axis adalah sebesar 25% dari pengguna seluler mereka yang sebesar 17 juta, atau sekitar 4,25 juta. Ditambah pengguna 3 yang diasumsikan pengguna data juga sama dengan axis sekitar 25% dari 16 juta pengguna mereka yangs ebesar 16 juta, sehingga didapat 4 juta pengguna http://www.indonesiafinancetoday.com/read/13026/Second-Carrier-3G-bagi-Tri-dan-Axis-Terkendala-Telkomsel . Kontribusi pengguna data juga disumbang oleh SmartFren dengan 2 juta pengguna di 2011 yang dapat dibaca dari laman http://www.tempo.co/read/news/2012/05/10/072403093/Smartfren-Targetkan-3-Juta-Pelanggan-Data
Dan walaupun ratusan ribu, Aha BTEL mencatatkan 300 ribu pengguna data sebagaimana bisa diakses di laman http://www.bakrie-brothers.com/mediarelation/detail/1956/bakrie-targetkan-pendapatan-rp-64-triliun-di-2016

24 April 2012

Sharing Tulisan di "Referensi Selular 2012"

Berikut saya sharing tulisan saya yang dimuat di "Referensi Selular Indonesia 2012" yang diterbitkan oleh Majalah Selular . Semoga bermanfaat.

Dari 2011 yang Penuh Dinamika,
ke 2012 yang Penuh Harapan


Tak terasa matahari 2011 terbenam dan tergantikan fajar baru 2012. Di industri telekomunikasi—yang secara luas menjadi industri teknologi informasi dan komunikasi (ICT), begitu banyak isu dan peristiwa yang terjadi di 2011, yang tentunya akan sedikit banyak berdampak dengan apa yang akan terjadi di 2012, bahkan di tahun-tahun berikutnya.
Di tahun 2011, perkembangan industri telekomunikasi, makin hari makin terasa kompetitif. Jika melihat angka-angka statistik pengguna telekomunikasi Indonesia, terlihat bahwa industri ini jumlah penggunanya yang berbasis nirkabel, dari FWA (fixed wireless access) dan bergerak seluler telah melebihi jumlah populasi Indonesia sekitar angka 237,5 jutaan. Memang angka ini masih diperdebatkan, karena realitas pengguna telekomunikasi dapat memiliki 2 atau lebih nomor serta  angka nomor hangus (churn) yang tinggi. Namun, kejenuhan nampaknya memang hanya soal waktu mengingat grafik pertumbuhan industri sudah mulai menurun sejak tahun 2009 lalu.
Pengguna yang sudah mencapai angka psikologis sama dengan populasi, makin diramaikan karena persaingan ini melibatkan operator nirkabel yang banyak. Di satu sisi, saat ini konsumen begitu mendapat banyak pilihan untuk memilih layanan telekomunikasi yang murah, berkualitas dan jaringan yang makin ada di mana-mana. Namun di sisi lain, bagi operator, industri telekomunikasi memasuki persaingan yang meminjam istilah W. Chan Kim and Renée Mauborgne memasuki kompetisi berdarah atau diistilahkan dengan red ocean.
Meski begitu, persaingan yang tajam sesungguhnya terjadi di layanan suara dan teks, dan arahnya memang trafik suara dan teks akan menurun. Jadi kelesuan yang terjadi di 2011 adalah akibat pengguna beralih ke layanan data—yang akan menjadi layanan utama ke depan. Dari beberapa statistik yang didapat, pengguna layanan data pita lebar (broadband) kita masih di bawah 5% dari total populasi. Sehingga, potensinya masih terbuka lebar dan akan meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan akan data pita lebar bergerak memang akan jadi primadona dan operator tahu mengenai hal itu. Peningkatan tersebut dipengaruhi kebutuhan konsumen untuk mendapatkan layanan internet di manapun dan  kapanpun, sehingga mobile data menjadi pilihan. Tentu saja pengaruh mempengaruhi kebutuhan data disebabkan juga oleh penggunaan smartphone seperti Blackberry, iPhone, serta dimulai sejak 2010 adalah penggunaan tablet seperti iPad, Galaxy Tab serta tablet lainnya, dan tentunya peningkatan juga dipengaruhi oleh penggunaan datacard (dongle).
Hal lainnya adalah juga pengguna media sosial seperti Facebook maupun Twitter. Orang Indonesia kini dikenal sebagai pengguna Facebook nomor dua di dunia, dan memberikan kontribusi 15% kicauan di Twitter dunia, yang bahkan beberapa isu sering menjadi trending topics. Dengan begitu artinya, layanan data dibutuhkan untuk mengganti status, menanggapi status serta nge-tweet.
Makin banyaknya orang Indonesia tergabung ke media sosial, kebutuhan akan layanan data tidak hanya untuk orang kota, orang kaya dan orang terdidik saja, tapi sudah bergeser ke orang-orang desa juga, berpenghasilan menengah ke bawah serta anak-anak sekolah. Ini semua jadi peluang pasar yang bisa digarap di tahun 2012 mendatang. Dan untungnya, regulasi mengenai layanan data belum diatur secara ketat sehingga masih ada ruang yang cukup bagi operator untuk berinovasi.
Di tahun 2011, yang mencuat juga ke permukaan adalah maraknya pengiriman SMS sampah (spam) dan juga isu sedot pulsa. SMS spam dipicu karena jumlah pengguna telekomunikasi kita yang sudah setara dengan populasi, sehingga mengirimkan tawaran kartu kredit, jual-beli produk serta menipu pengguna, disebarluaskan dengan media SMS.
Berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan regulator, namun memang diakui belum ampuh mengatasi SMS spam ini karena pengiriman SMS sampah disebabkan beberapa faktor secara bersama termasuk penawaran SMS gratis lintas operator dan hadirnya mesin-mesin maupun aplikasi pem-broadcast SMS. Diharapkan di tahun mendatang masalah ini dapat diselesaikan oleh regulator dan juga operator, sebab ketidaknyamanan yang dirasa pengguna dapat berdampak pada tingginya nomor yang hangus.
Yang tak kalah menyedot perhatian adalah soal sedot yang diakibatkan layanan berbasis jasa pesan premium. Sebenarnya, layanan pesan premium adalah layanan yang baru. Sehingga, pengaturan yang ada juga tidak terlalu ketat, sebab jika ketat maka industri telekomunikasi ke depan yang akan berbasis konten akan tidak tumbuh. Namun, kepentingan publik juga harus diperhatikan. Langkah yang dilakukan BRTI sebagai regulator, dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 177/2011—dimana di dalamnya berisi instruksi untuk melakukan unreg secara massal, larangan penawaran konten melalui SMS broadcast, serta penggantian pulsa konsumen yang dirugikan—meski berat bagi industri, merupakan langkah penyelamatan mengembalikan kepercayaan publik terhadap layanan jasa pesan premium ke depan.
Ke depan, tentu industri ini perlu dibenahi. Peraturan Menkominfo No. 1/2009 tentang Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa SMS ke Banyak Tujuan, perlu dievaluasi dan direvisi, mengingat longgarnya aturan bukan menumbuhkan industri tapi digunakan untuk memperkaya pundi-pundi dan merugikan pengguna. Selain juga mengevaluasi penyedia jasa pesan premium, yang perlu juga dilakukan adalah yang bersalah perlu diberikan sanksi sesuai aturan dan ketentuan yang ada. Memang kejahatan—apalagi berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang akan kian canggih—akan terus ada, tetap perlu upaya agar hal ini dapat diminimalisir dengan segala cara.
Di tahun 2012, yang tak kalah menarik adalah kemungkinan mulai diadopsinya LTE. Hal ini dikarenakan di tahun 2011 ini pemerintah menetapkan bahwa pita frekuensi 2,3 GHz yang tadinya dikhususkan untuk WiMax 16d, dibuka pemanfaatkan pada teknologi yang netral, sehingga TD LTE bisa diadopsi. Meski LTE sudah uji coba sejak 2010 lalu, namun adopsi secara sungguhan pastinya tetap saja dinanti. Namun di sisi lain, persaingan memberikan layanan pita lebar juga akan meningkat dengan masuknya operator telekomunikasi ‘baru’ yang memenangkan tender BWA yang digelar 2009 lalu. Namun harapan masih ada karena penetrasi data yang masih rendah dan arah pengguna layanan akan juga makin ke sektor yang lebih luas seperti perbankan, kesehatan maupun pendidikan.
Dengan makin banyaknya penyelenggara layanan data, diharapkan jaringan pita lebar juga akan menjangkau seluruh pelosok negeri. Namun begitu, peran semua pemangku kepentingan di industri memang diharapkan agar dapat memanfaatkan layanan data secara maksimal untuk membuat Indonesia lebih sejahtera. Dari beberapa penelitan, ada korelasi signifikan antara pertumbuhan broadband di sebuah negara deng korelasi signifikan antara pertumbuhan broadband di sebuh negara dengan peningkatan GDP, dan antara penggunaan broadband dengan pembukaan baru lapangan kerja.

14 April 2012

Diwawancara Telecoms.com Soal Broadband di Indonesia

Telecoms.com mewawancarai saya soal broadband di Indonesia. Berikut hasilnya sebagaimana dapat juga diakses di


http://www.telecoms.com/42347/indonesian-regulator-“by-2015-half-of-the-population-will-be-connected-to-the-internet”/

Heru Sutadi is Commissioner at the Indonesian Telecom Regulatory Authority. Telecoms.com talks to him about the challenges facing service providers and operators in rolling out broadband in the country.


What is the core technology your network is currently based on and what are the development plans for the future? We use two kinds of technology, fiber optic cable and wireless to provide broadband in Indonesia. Mostly we use 3G/HSPA-based wireless broadband technology and Broadband Wireless Access (BWA) spectrum at 2.3 GHZ due to it being easier to implement in open and widespread areas such as Indonesia. In some cities we have already provided FTTH with fibre optic. We also use fibre optic for  our backbone. In the future we plan to build a fiber optic backbone in the Eastern part of Indonesia. For wireless access we have allocated a second carrier and are preparing for a third that will be a 3G-based operator. The 2.3GHz spectrum in the county is technology neutral so it’s just a matter of time matter for Indonesia to adopt LTE at this frequency.
What major developments have there been for the broadband industry in your region over the past year?
Last year we allocated a second carrier as a 3G operator, so there are now five operators with 2 x 10MHz in order to provide broadband. We have provided broadband in 5000 districts as part of our broadband services obligation. We hope that by 2015 all 72,000 villages will have broadband connection and half of the Indonesian population (119milion) will be connected to the internet as per our World Summit on the Information Society (WSIS) commitments.
Speed is often touted as a priority, but some view the major challenge to be coverage and network capacity. What is your view?
Our priorities are coverage and network speed. The first is coverage. We want broadband to cover all of Indonesia with a minimum standard rate of 256kbps. After that, step-by-step we will increase that rate. Based on user demand, in big cities like Jakarta, we are already looking at how to increase speed levels.
Is FTTH really necessary for businesses and consumers and what are the stumbling blocks to rolling it out?
In some cities: Jakarta, Bandung, Surabaya, some homes are already connected to fibre optic. But not all areas can be serviced with FTTH due to Indonesia’s very large, very unique geography. We are separated by the sea and because of that it’s often not easy to lay cables to homes, so in these situations wireless network are easier implement
To what extent can fixed wireless connections help in the roll out of broadband connectivity?
Wireless connections are helpful for the Indonesian situation. Maybe we can say that wireless broadband is our priority rather cable broadband. That said, in some areas or city we provide broadband by fibre optic cable due to it being more stable and able to deliver more speed than wireless.
Will the dominance of mobile connectivity limit the growth opportunities for fixed line connections?
Between mobile connectivity and fixed line they will complement each other. Personal connectivity with a smartphone is the wireless market, but for home that’s a fixed line market and each has its advantages and disadvantages.
What is your stance on bandwidth caps, line throttling and traffic management?
Actually, we do not regulate these things, but some consumers have already sent complaints to us, so we have a plan to regulate QoS for data connections. From our Consumer Protection law, providers must give clear and complete information in their ads, so consumers know the terms and condition when they are using data connections.
What are the trends in terms of data traffic and how is it affecting your network expansion plans?
Data traffic is increasing due to increasing use of smarphones such as Blackberry, which holds the top position in Asia Pacific, the iPhone, or tablets. Facebook and Twitter use contribute significantly and that affecting expansion of broadband network in Indonesia.
What are the biggest challenges you expect to be face over the next 12 months?
Our big challenges will be especially related to spectrum frequency as some 3G operators feel that 2x10MHz is not enough. Other issues are how to provide backbone connections to connect Western and Eastern Indonesia, how to build internet exchanges in five big islands and how to connect the National Internet Exchange to TIER-1, so not all traffic needs to go through Jakarta.
Why is your attendance at this event so important for you and your company and what aspect are you looking forward to most?
From this event I hope I can get new information regarding latest the broadband technology. I hope to share experiences with other delegates on how other countries implement and deliver broadband to its citizens with all problem and challenges and how to best solve them.

14 Februari 2012

Mendapat Award dari Radio Elshinta


Hari ini merupakan hari yang terasa cukup istimewa. Dalam rangka memperingati Ulang Tahun Radio Elshinta ke-44 dan Ulang Tahun ke-12 Program News and Talk, diberikan beberap penghargaan, kepada institusi maupun nara sumber yang telah secara informatif memberikan informasi dan menjawab keluhan masyarakat melalui Radio Elshinta.


Alhamdulillah, saya kebagian mendapat salah satu penghargaan tersebut. Sebagai anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, yang kerap dihubungi Radio Elshinta untuk merespons isu publik dan memberikan penjelasan pada masyarakat mengenai isu yang ada.

Apa yang saya terima sesungguhnya merupakan award yang harusnya diberikan pada publik itu sendiri, yang selama ini begitu setia untuk melaporkan keluhan akan layanan telekomunikasi maupun isu yang sedang ramai adalah pencurian pulsa yang telah merugikan masyarakat. Tanpa masukan dan informasi dari publik, tentunya saya bukanlah apa-apa. Dan sebagai pelayan publik, adalah kewajiban saya untuk menginformasi isu-isu aktual sejelas-jelasnya pada masyarakat, dan sedapat mungkin menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat, termasuk mendengar keluh-kesah mereka akan layanan telekomunikasi. Penghargaan yang diberikan Radio Elshinta ini juga merupakan kado terindah di saat menjelang masa tugas saya yang akan segera berakhir dalam beberapa waktu ke depan.

Sekali lagi, terima kasih Radio Elshinta. Terima kasih masyarakat pengguna layanan telekomunikasi semua di manapun berada.