30 Maret 2011

Solusi Atasi Jenuhnya Industri Telekomunikasi

Tulisanku tentang industri telekomunikasi berjudul "Solusi Atasi Jenuhnya Industri" dimuat di harian "Koran Jakarta", 29 Maret 2011. Berikut ini saya share isinya, semoga bermanfaat:

Pertengahan Maret lalu, Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyrakat Informasi (LPPMI) bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri menyelenggarakan seminar telekomunikasi dengan topik “Mengubah Kejenuhan Menjadi Peluang”. Pembicara yang hadir, baik dari kalangan pemerintah, operator, maupun pengamat, semua memaparkan suatu perspektif tentang kejenuhan industri telekomunikasi Indonesia.

Ada yang bicara soal perlunya revolusi, keluar dari dari wilayah red ocean ke blue ocean, insentif, serta tentunya dipaparkan juga angka-angka yang menunjukkan bahwa jumlah pengguna industri ini—jika digabungkan antara telepon tetap lokal berbasis kabel dan berbasis nirkabel (fixed wireless access) sampai seluler telah mencapai angka 243 juta—telah melebihi jumlah populasi Indonesia yang berkisar di angka 220-an juta.

Memang kejenuhan masih dapat diperdebatkan, baik dengan melihat realitas bahwa pengguna telekomunikasi dapat memiliki dua atau lebih nomor maupun angka nomor hangus yang tinggi. Namun, bisa jadi kejenuhan hanyalah soal waktu mengingat grafik pertumbuhan industri sudah mulai menurun sejak tahun lalu. Jika memang jenuh, apa yang bisa diperbuat? Hal pertama yang dapat dikembangkan sebagai wilayah blue ocean, yang persaingan dan aturannya belum ketat, adalah data pita lebar (broadband).

Dari beberapa data statistik, pengguna pita lebar kita masih di bawah 5 persen dari total populasi sehingga potensinya masih terbuka lebar. Hal lain yang juga dapat dioptimalkan adalah penggunaan layanan telekomunikasi untuk mesin cerdas seperti data card, komputer tablet, vending machine, serta perangkat lain yang membutuhkan keterhubungan komunikasi berbasis nirkabel. Di banyak negara lain, ketika memasuki fase jenuh, persaingan tidak diarahkan pada pembangunan infrastruktur baru, melainkan persaingan dalam hal kualitas.

Yang menarik, jika para pemain industri telekomunikasi tampak agak “resah” karena industri akan memasuki fase jenuh, justru pemain industri lain melihat bahwa telekomunikasi yang menguasai infrastruktur TIK adalah industri yang siap “mencaplok” industri lain yang ber-platform TIK. Industri musik misalnya. Industri ini tentunya berutang budi pada industri telekomunikasi bukan karena layanan ring back tone miliknya tidak bisa dibajak, namun juga pendapatan yang secara keseluruhan mencapai 2,5 triliun rupiah, dan di tahun ini akan mencapai lebih 4 triliun rupiah.

Selain musik, industri yang ketar-ketir adalah perbankan dan penyiaran. Dengan potensi yang ada, misalnya, operator te lekomunikasi tidak lagi dibatasi dalam hal transaksi keuangan bergerak (mobile money), seperti pengiriman uang atau mobile banking. Dalam hal penyiaran, dengan perkembangan terkini bahwa penyiaran akan menjadi digital serta berbasis protokol internet (IPTV), maka fungsi lembaga penyiaran yang ada akan berubah menjadi penyedia konten saja, sementara infrastruktur—sesuai dengan perubahan konvergensi ke arah integrasi vertikal, yakni satu infrastruktur dapat digunakan untuk berbagai layanan TIK—akan lebih mendominasi.

Memang ada kekhawatiran bahwa yang menikmati pembangunan infrastruktur adalah konten dan aplikasi asing, seperti Google, Yahoo, Facebook, dan Twitter. Ini memang dapat dipahami. Namun, perlu cara pandang lain bahwa aplikasi-aplikasi itulah yang mendorong pemanfaatan data pita lebar dan killer application sehingga pengguna menggunakan layanan data operator. Jika memang dikhawatirkan trafik “lari” ke luar negeri semua, saatnya kita memikirkan untuk mengembangkan konten dan aplikasi lokal.

Selain itu, kalaupun konten dan aplikasi asing mau dijajakan di sini, perlu ada kewajiban mereka juga membangun server di sini. Dengan begitu, perlukah ada kekhawatiran? (Heru Sutadi)