30 Mei 2009

Belajar Mengembangkan ICT dari Jerman

Layanan Elektronik Hampir di Semua Lini

Istilah “jam karet” tidak asing lagi dalam kosakata kehidupan kita saat ini. Bahkan, budaya “ngaret” begitu sulit dihilangkan mengingat keterbatasan infrastruktur dan sistem transportasi di Indonesia. Bahkan karena kemacetan yang tidak dapat diprediksi, khususnya di kota-kota besar, “ngaret” dengan alasan macet dapat dimaklumi sebab jalanan mana misalnya di Jakarta yang tidak macet bahkan di hari libur sekalipun.

Lain di sini, lain pula di Jerman. “Ngaret” begitu memalukan. Hal itu selain karena memang alat dan sistem transportasi umum teratur secara amat baik, juga perjalanan dari satu tempat ke tempat lain begitu dapat diprediksi bahkan dapat dihitung berapa lama dan jenis kendaraan apa yang dapat dipergunakan. Dan informasi seperti itu, dapat diakses secara luas melalui internet.

Ambil contoh saja dengan transportasi di sebuah kota kecil di wilayah Franconia, Nuremberg. Melalui situs www.vgn.de, kita dapat memprediksi berapa lama perjalanan dan angkutan apa saja yang dugunakan. Katakanlah penulis yang pernah bekerja di sana ingin pulang ke rumah dari kantor yang terletak di Jalan Thurn-und-Taxis ke RentaHome di kawasan dekat Europaplatz. Dengan fasilitas timetable kita tinggal memasukkan kedua tempat itu, jam perjalanan dan klik!

Jika kita memasukkan jam perjalanan sekitar pukul 17, terlihat bahwa perjalanan membutuhkan waktu 33 menit dengan berbagai pilihan: 16: 56, 17:06, 17:16 ataupun 17:26. Dari electronic timetable tersebut yang dalam prakteknya begitu on time, terinci jenis kendaraan apakah itu bus, kereta bawah tanah (U-Bahn) maupun tram berikut nomor “trayek” yang harus kita gunakan dan di mana kita harus berganti kendaraan-kendaraan tersebut. Tak ketinggalan adalah perjalanan tersebut masuk dalam zone berapa untuk dapat menentukan tarif yang harus dibayar.

Bukan hanya untuk dalam kota saja. Dari kota yang hanya berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa ini, dapat pula ditentukan jenis dan lamanya perjalanan untuk keluar kota. Katakanlah kita mempunyai jadwal pertemuan di Frankfurt pukul 9 pagi. Maka, lewat situs www.bahn.de, akan didapat informasi jam berapa saja kereta akan berangkat dari Nuremberg, baik yang langsung ke Frankfurt maupun harus berganti kereta di kota lain.

Agar sampai di Frankfurt sebelum pertemuan, maka didapat setidaknya tiga jadwal perjalanan, dengan berbagai variasi waktu tempuh. Yang tercepat adalah menggunakan ICE (InterCity Express)—kereta cepat di sana, langsung dengan waktu tempuh 2 jam 10 menit. Namun perjalan dilakukan pada pukul 05:29 dan tiba di Frankfurt 07:39 waktu setempat. Yang mungkin agak siangan adalah kereta ICE yang berangkat pukul 06:37 dan tiba di Frankfurt pukul 08:53. Hanya saja, karena tidak langsung ke stasiun utama, yang memilih perjalanan ini harus berganti dengan kereta lain di Frankfurt bagian Selatan.

Menariknya, semua pemesanan untuk perjalanan dapat dilakukan melalui internet. Bahkan untuk memesan hotel di tempat yang dituju. Jika sekiranya perjalanan yang dipilih dengan kereta ICE yang untuk satu orang dewasa bertarif 41 Euro dirasa melebihi ukuran kantong, maka dapat dipih perjalanan dengan kerete Regional Express (RE) yang bertarif 30,80 Euro. Hanya saja, waktu tempuh yang diperlukan menjadi 3 jam 15 menit dan jika mengambil waktu keberangkatan jam 06:09, maka akan tiba di tujuan pukul 09:24.

Selain soal jadwal perjalanan, tarif dan jenis kereta yang digunakan, situs jawatan perkeretaapian di Jerman itu juga memberikan penawaran-penawaran dengan paket khusus. Selain untuk dalam kota, ditawarkan pula paket perjalanan ke negara-negara tetangga dari negara jantung Eropa tersebut. Penawaran bisa berupa potongan harga maupun last minute, dengan atau tanpa hotel. Semua transaksi bisa dilakukan hanya melalui internet dari rumah, kantor maupun cyber cafe. Dan tiket, tentunya setelah transaksi terjadi, dapat diantar hingga ke rumah.

Segala Lini
Layanan e-government di Jerman, hampir diberikan di semua lini. Dan karena Jerman merupakan negara federasi, tiap-tiap negara bagian bahkan dalam tingkat kota, walaupun beberapa aplikasi yang ditawarkan hampir sama, namun tetap ada yang khas dari layanan yang ditawarkan.

Misalnya saja Kota Rosenheim yang menawarkan layanan interaktif untuk mencari tempat parkir. Bagi yang membutuhkan tempat parkir yang kosong, dapat dicari di pintu masuk tempat-tempat parkir maupun mencarinya baik secara online dengan internet maupun melalui telepon seluler dengan fasilitas internet. Selain tempat dengan peta kota yang cukup komprehensif, peminat dapat pula mengetahui informasi mengenai tarif serta jam buka maupun tutup. Situs yang dapat diakses dari ponsel dengan fasilitas internet adalah wap.rosenheim.de.

Sementara itu, Kota Bonn yang terletak di negara bagian North Rhine-Westphalia, menawarkan bermacam layanan online seperti aplikasi bisnis, aplikasi untuk ijin kerja, pendaftaran kendaraan dan sebagainya. Layanan yang cukup bagus dari bekas ibu kota Jerman ini adalah portal informasi mengenai seluruh Taman Kanak-Kanak di kota itu. Para orang tua dapat mendaftarkan anak-anak mereka ke TK yang dipilih secara online. Asalh tahu saja, walaupun gratis, untuk memasukkan anak ke sekolah, pendaftaran dilakukan jauh beberapa bulan sebelumnya.

Kota Cologne lain lagi. Dengan koneksi keamanan SSL, warga kota itu dapat memesan dokumen seperti akte kelahiran, akte perkawinan dan dokumen penting lainnya. Melalui situs kota tersebut, pengunjung diinformasikan juga bagaimana tahap-tahap untuk memesan dokumen yang dimaksud. Sistem juga menawarkan pengantaran dokumen serta pembayaran yang berbeda-beda.

Bagi para pencari kerja, persoalan yang mencuat sejak reunifikasi Jerman di tahun 1990, pemerintah melalui situs Departemen Kerja di sana, juga membuka informasi seputar lowongan kerja di www.arbeitsamt.de. Di situs tersebut, dipertemukan antara pencari dan perusahaan-perusahaan yang mencari pekerja. Tentu saja, pencari kerja diharuskan mengisi keahlian spesifik yang dimiliki sehingga pemberi kerja mendapatkan orang yang tepat untuk posisi yang ditawarkan.

Selain dimanfaatkan orang Jerman sendiri, situs ini juga sering dikunjungi orang luar Jerman yang berkeinginan bekerja di sana termasuk dari Indonesia. Apalagi ketika Jerman begitu membutuhkan orang asing yang ahli di bidang teknologi informasi dengan iming-iming kartu hijau (greencard). Banyak orang Indonesia beruntung mendapatkannya dan berhak atas segala fasilitas layaknya orang Jerman, kecuali ikut pemilu. Di samping situs pemerintah, situs lain seperti www.jobpilot.de sebenarnya menawarkan juga lowongan bagi para pencari kerja, namun dikelola oleh swasta.

Karena menjadi negara tujuan untuk belajar terutama untuk pendidikan tinggi, hampir semua universitas maupun fachochshcule membuka informasi seluas-luasnya terhadap calon mahasiswa untuk mengetahui tentang lembaga pendidikan tinggi di sana. Termasuk informasi mengenai akomodasi, beasiswa, serta keadaan kampus. Yang menarik, beberapa kampus juga menyajikan kunjungan virtual ke kampus mereka, sampai hingga ke dalam perpustakaannya. Tak ketinggalan, dapat pula dilihat keadaan kampus secara realtime lewat kamera-kamera yang dipasang di sudut-sudut kampus.

Bukan hanya kampus saja yang bisa disaksikan secara realtime, acara-acara unik di Jerman pun seperti pesta minum bir Oktoberfest di Muenchen pun dapat disaksikan lewat kamera yang dipasang di pojok-pojok keramaian. Begitu juga dengan dengan acara Christkindlmarkt yang diadakan di Nuremberg. Ramainya pasar dengan penjual pernak-pernik, anggur, makanan, serta perabotan dapur menjelang Natal itu dapat disaksikan dari belahan dunia manapun melalui kamera yang terhubung ke internet melalui situs www.nürnberg.de.

Untuk menelusuri layanan e-government di Jerman baiknya memang peselancar mahfum akan Bahasa Jerman (Deutsch). Hal itu karena meski situs-situs sudah disajikan dalam dua bahasa, Deutsch dan Inggris, namun banyak link-link yang walaupun sudah berbahasa Inggris, kemuudian kembali lagi ke Deutsch. Bagi orang Jerman tentu tidak menjadi masalah, namun tidak bagi orang luar Jerman.

Enam Fase Perencanaan

Sebelum semua layanan yang telah digambarkan dapat dipergunakan masyarakat, dalam buku manual pengembangan dan implementasi e-government di Jerman, yang versi Inggris-nya hanya dipublikasikan secara online, ada enam fase perencanaan yang perlu jadi perhatian. Yaitu: inisialisasi, strategi, analisis, desain pada high level, implementasi dan tes, serta pengenalan dan awal pengoperasian. Keenam fase tersebut merupakan titik awal untuk mengenalkan e-government kepada publik di sana. Tahap perencanaan dapat diartikan sebagai saran bagaimana layanan dapat disediakan secara online.

Dari beberapa fase, yang menarik untuk disimak adalah fase strategi karena di sinilah didefinisikan tujuan e-government bagi publik. Setelah didefinisikan, pada fase ini kemudian ditentukan layanan apa saja yang mungkin diimplementasikan secara online. Setelah diidentifikasi, kemudian ditentukan prioritas. Baru kemudian ditentukan strategi implementasinya. Strategi implementasi di sini termasuk merencanakan sumberdaya manusia, finansial dan membuat guidelines.

Dalam fase realisasi dan tes beberapa aktivitas yang dilakukan meliputi persiapan pembuatan software dan adaptasi. Kemudian dilakukan procurement dan instalasi software dan hardware. Setelah itu dilakukan manajemen perubahan, dokumentasi hingga persiapan untuk pengetesan. Sebelum benar-benar layanan e-government digunakan, dilakukan pengujian lebih dulu dengan memperhatikan faktor keamanan situs-situs tersebut.

Mengenai masalah keamanan, hal itu akan terkait dengan proteksi pertukaran data yang menyangkut kerahasiaan, integritas dan keaslian. Aspek-aspek itu sangat penting dalam aplikasi e-government dan merupakan kondisi realistis yang patut menjadi perhatian karena layanan e-government tidak berjalan dalam ruang hampa. Setelah semua itu, baru kemudian didapat kesimpulan apakah layanan e-government yang akan dipublikasikan ke masyarakat dapat dipakai atau tidak.

Pengembangan e-government di Jerman dikoordinasikan oleh Bundesamt für Sicherheit in der Informationstechnik (BSI) melalui apa yang dinamakan BundOnline 2005, sejak diluncurkan sekitar empat tahun lalu. Di bawah bendera BundOnline 2005, tujuan yang ambisiusnya adalah menawarkan semua layanan pemerintahan secara online pada 2005. Dan hal itu, hampir semua tercapai. Termasuk komponen dasar berupa ruang virtual untuk surat-menyurat yang saat ini masih dalam tahap pengembangan di bawah koordinasi BSI.

Dalam hal pengertian e-government sendiri, yang menarik dari Jerman adalah pemahaman bahwa e-government bukanlah sekadar proyek implementasi teknologi informasi. Tapi merupakan bagian dari modernisasi layanan publik pada tiap tingkatan administratif pemerintahan. Sehingga, inisiatif semisal Deutschland Online maupun inisiatif yang terkait dengan perubahan birokrasi, hal itu terkait dengan e-government. Ha itu dapat dimengerti, karena tantangan terberat dalam implementasi e-government adalah mengubah kultur birokrasi industri ke birokrasi era informasi, serta melayani publik dan bukan dilayani.

23 Mei 2009

Menyoal Fatwa Haram Facebook

Ulama dari Pondok Pesantren se Jawa-Madura menetapkan bahwa Facebook adalah haram jika digunakan secara berlebihan. Pengharaman ini dilakukan untuk proses mencari jodoh melalui Facebook. Ini cukup menarik. Sebab, dalam beberapa waktu terakhir ini ada beberapa fatwa haram yang dikeluarkan, seperti merokok, maupun beryoga, yang sayangnya, fatwa tersebut ternyata tidak diindahkan banyak kalangan perokok maupun yang gemar olah raga yoga. Lalu bagaimana dengan Facebook (yang awalnya haram dibatasi dalam soal perjodohan)?

Facebook begitu cepat berkembang. Sejak diluncurkan 4 Februari 2004, di Indonesia sudah saja sudah ada sekitar 1,5 juta orang pengakses dan penggemar setia FB. Angka ini mungkin akan terus bertambah, dan FB akan menjadi pandemi mengingat beberapa layanan yang memikat pengguna, terutama sekali menghubungkan jalinan silaturahmi yang telah sekian tahun terputus—menghubungkan kita kembali dengan teman-teman masa kecil, remaja, kuliah, bahkan saudara yang sudah lama tidak ada kabar beritanya. Menakjubkan bukan. Tidak heran, resto di mall, caffee, maupun tempat makan favorit, kerap ramai oleh kumpul-kumpulnya reuni apakah SD, SMP, SMA, kuliah. Ya, semua itu karena FB, yang sedikit banyak begitu mempengaruhi kehidupan kita. Tokoh-tokoh maupun selebritas, yang secara ”normal” susah didekati, bisa tiba-tiba saja menjadi teman virtual kita.

Pemilu kemarin, bahkan jelang Pilpres nanti, FB juga marak dengan para caleg yang mencari pendukung lewat dunia maya. SBY, JK maupun Megawati, juga sudah bersiap membuat FB untuk pencitraan politik dan mencari pemilih. Peranan ini tentu tak lepas dari fenomena penggunaan FB dalam kampanye yang dilakukan Barack Obama dalam kampanye Pilpres nya, yang membuat Obama menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat.

Jika diperhatikan, FB juga telah dipakai untuk beberapa hal. Dari hal-hal yang bersifat permainan, survey, juga beragam komunitas. Ada komunitas penggemar majalah tertentu, stasiun televisi tertentu, buku, masakan, politik, dan sebagainya, pokoknya FB merubah area yang tadinya masuk di yahoogroups, misalnya, langsung ke FB. Yang menarik, saat ini banyak orang lebih mudah digapai melalui message di FB atau comment status dibanding email atau telepon langsung (hehe kok bisa ya...) Ya lihat saja, wartawan-wartawan sekarang misalnya, menanyakan nara sumber nya—termasuk juga menghubungi narasumber, juga melalui FB. Dengan jawaban yang tertulis, tentunya proses editing lebih mudah dan tak perlu salah tulis dari translasi wawancara verbal.

Namun memang, FB harus digunakan secara bijaksana. Memang menarik membuat status dan memberi comment status orang lain. Namun ingat, jangan terlalu sering bikin status maupu kasih comment, sebab itu artinya Anda tidak fokus dengan pekerjaan Anda. Secukupnya saja kasih comment maupun update status. Sebab, bekerja juga adalah ibadah. Kalau sepanjang hari waktu dihabiskan ke FB, produktivitas menurun, sehingga jangan heran kalau banyak kantor mulai menutup akses ke FB. Selama, masih wajar, tentunya ”main” FB boleh-boleh saja.

Sehingga semua berpulang di diri kita sendiri. Sesuatu yang berlebihan, juga tidaklah elok. Sebab internet merupakan wilayah yang netral, dia dapat digunakan untuk hal-hal positif serta negatif, dimana kitalah yang menentukan pilihan itu. Untuk hal positif, begitu banyak yang bisa dilakukan. Beberapa sekolah, misalnya, menggunakan FB dalam proses belajar mengajar, bahkan melibatkan orang tua untuk monitoring perkembangan dan keadaan buah hatinya tercinta. Untuk hal negatif, juga tentunya sangat mudah. Kita bisa menyebarkan fitnah, mengumbar foto atau video yang melanggar UU Pornografi dan Pornoaksi, bahkan transaksi seks serta judi online.

Karena berpulang pada diri sendiri, di sinilah peran orang tua, guru, ulama, pemuka agama, bahkan presiden sekalipun, untuk mengingat anaknya, para murid, jamaah, rakyat, agar menggunakan FB secara cerdas dan bertanggung jawab. Sebab betapapun, internet adalah alat, bukan tujuan, dimana tujuannya adalah kita menjadi lebih cerdas, lebih berdaya, mempunyai network luas, yang muaranya adalah adalah agar Indonesia menjadi lebih baik di masa mendatang, lebih cerdas, sehat, mandiri, dan sejahtera. Itu bisa dicapai, jika kita saling mengerti tugas dan tanggung jawab masing, dan tidak membakar lumbung untuk menangkap seekor tikus alias melarang FB untuk mencegah hal yang bersifat negatif.



Soal mencari jodoh di FB, ya ini cukup sulit. Terkadang, kita sendiri tidak tahu siapa jodoh kita, dan bagaimana cara bertemunya. Ada yang bertemu di acara keramaian, bertemu di kereta api, bus kota, ada yang dijodohkan, ya termasuk ada yang bertemu melalui wahana virtual, dan berakhir ke pelaminan. Hingga saat ini, belum ada penelitian bahwa pernikahan yang berawal dari pertemuan di FB, maupun media internet, berakhir berantakan termasuk apakah akan panjang jodoh mengingat FB saja baru dikenal masyarakat kita.

19 Mei 2009

Intelektual, Masyarakat Informasi dan Menghilangnya Public Sphere*

Membaca tesis Philip Elliot berdasar apa yang dilihat dan dihadapinya adalah kelanjutan perubahan cara yang melibatkan orang-orang dalam masyarakat sebagai warga politik dari negara bangsa terhadap unit konsumsi dalam korporasi dunia. Konsekuensi logis hal ini adalah berlanjutnya erosi, seperti yang dikatakan Jurgen Habermas sebagai public sphere atau oleh C. Wright Mills dengan istilah komunitas publik.

Habermas melihat kedua tipe penyampaian politik berdasar pengetahuan, informasi dan asosiasi dalam demokrasi negara bangsa sebagai tipe borjuasi kapitalis. Masyarakat massa mengembangkan tingkat penerimaan kenyamanan, kesenangan dan kontrol dimana orang-orang berpartisipasi menjadi anggota pasar. Karena menyandarkan diri pada pasar, Nora dan Minc (1978) berpendapat, pasar bukanlah tempat untuk berpartisipasi melainkan konsumsi.

Daniel Bell (1976,1980) dan lainnya, yang memandang adanya ledakan informasi dan komunikasi akan menciptakan masyarakat dengan bentuk yang yang lebih rasional, berpendapat bahwa adalah terlalu simplifikatif jika teknologi baru serta-merta akan menaikan akses informasi secara umum dan membuka kemungkinan baru komunikasi dua arah. Ada dua alasan yang dikemukannya, yaitu persoalan akses dan pengertian tentang informasi dan komunikasi itu sendiri.

Masalah akses menurutnya tidaklah semata persoalan alat yang bersifat fisik. Hal ini juga melibatkan hak dan sumber untuk menggunakannya. Dianalogikan di sini bagaimana suatu perpustakaan sebagai toko ilmu pengetahuan dapat mengajak pengunjungnya untuk menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan yang ada pada toko tersebut. Betapapun minimnya idealisme yang direalisasikan dalam praktek, sistem perpustakaan telah terinspirasi oleh tujuan masyarakat informasi .

Kelemahan antara analogi yang lama dan yang baru bagaimanapun akan tampak
setelah mempertimbangkan tujuan-tujuan pengontrol-pengontrol baru dari informasi. Herbert Schiller (1981) menerangkan adanya privatisasi dalam sistem informasi. Perusahaan komersial merupakan pembuat-pembuat informasi baru yang memiliki kepentingan utama dalam menjaga kerahasiaan informasi untuk melindungi rahasia-rahasia komersial mereka. Kepentingan kedua ialah menciptakan suatu komoditas untuk dijual di pasar.

Ada beberapa masalah lain dalam analogi perpustakaan. Meskipun perpustakaan memiliki katalog-katalog yang didesain untuk mempermudah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan serta pertanyaan lainnya yang lebih sulit untuk dihindari. Siapa yang akan menulis katalog? Siapa yang akan menetapkan pertanyaan-pertanyaan dan tingkat kemungkinan jawaban? Lebih jauh, siapa yang akan mengakumulasi kapasitas ilmu pengetahuan? Inilah karakter utopia teknologi yang akhirnya hanya akan mendomestivikasi fungsi kehidupan dan privatisasi kehidupan sosial.

Privatisasi dalam pengertian ini merupakan satu kunci dari semua proses yang diasosiasikan dengan analisa Frankfurt school mengenai media dan pengaruhnya pada hubungan sosial, bukan melalui pesan-pesan yang mereka bawa tetapi melalui tipe interaksi yang anjurkan. Argumen kuat Frankfurt School adalah kemungkinan adanya manipulasi, suatu argumen yang tidak sepenuhnya ditanya dalam ‘efek’ penelitian. Kelemahan dari argumen ini adalah bahwa privatisasi akan menghilangkan kemungkinan masyarakat untuk menjawab ulang karena hal itu menghilangkan kesempatan mereka untuk berasosiasi dimana kebutuhan umum diakui dan tuntutan diformulasikan.

Masalah kedua dari visi Bell, masyarakat yang kaya informasi adalah apa yang kita ambil saat ini sebagai suatu informasi dan sebagai suatu proses komunikasi informatif yang didasarkan pada model rasional tentang segala hal, tetapi memiliki nilai simbol yang tinggi, isi myth dan pasif serta nilai hiburan. Hal penting pada konsep informasi adalah kekenyalan dari masyarakat ideal secara rasional, pemerintahan yang demokratis dan kesuksesan kaum intektual dalam promosi kesetaraan informasi ditambah dengan pilihan rasional menyamakan kemajuan sosial.

Soal kesetaraan informasi ditolak oleh intelektual-intelektual konservatif. Hukum Hayek, misalnya, mengklaim bahwa usaha pembentukan ulang legislatif selalu mempunyai pengaruh yang berlawanan dari tujuan yang dimaksud. Argumen tersebut berlawanan dengan pendapat Gouldner (1979) dengan adanya “Klas Baru”. Menurutnya, klas baru ini merupakan mesin pemerintah sebagai penyedia dan pemroses informasi bagaimana seharusnya pemerintah bertindak. Ini yang menyebabkan para intelektual dalam dunia penelitian dan lembaga pendidikan berada dalam tekanan yang kian meningkat.

Konsep mengenai informasi Fabianesque adalah melihat informasi sebagai suatu sumber kebutuhan sosial yang dapat dilihat dalam perbicangan mengenai media massa. Pertumbuhan pers didasarkan pada dua proses, ketentuan dari fungsi informasi, terutama secara komersial dan secara finansial, kemudian kontroversi politis. Lebih jauh, kedua fungsi tersebut telah ditransformasikan.

Fungsi komersial telah meluas dan dengan transformasi berita ke dalam suatu komoditas, fungsi politik memudar. Namun begitu, perdebatan mengenai pers masih berlanjut pada istilah mengenai pers bebas yang mampu memberi informasi dan mencerminkan kepentingan opini untuk mempercepat pengambilan keputusan dalam demokrasi.

KOMENTAR
Hal utama yang disorot dalam bagian ini adalah peran para intelektual dan masyarakat informasi dalam menghilangnya public sphere. Sehingga yang perlu dikritisi dari paparan Elliott, benarkah intelektual dan masyarakat informasi berperan dalam erosi public sphere?

Jika dilihat apa yang menjadi argumen Elliott cukup rasional. Bahwa perubahan keterlibatan orang-orang dalam masyarakat sebagai warga politik dari negara membawa mereka ke dalam unik konsumsi korporasi dunia, bukan partisipasi. Kemudian juga adanya dua persoalan yang dihadapi mengenai peran teknologi baru, yaitu akses dan pengertian informasi dan komunikasi itu sendiri.

Soal akses, memang benar bahwa persoalannya bukan sekadar persoalan fisik saja namun juga hak dan sumber untuk menggunakannya. Seperti dengan hadirnya perkembangan teknologi informasi yang baru, internet. Persoalan akses memang bukan sekadar urusan koneksi fisik saja, namun juga bagaimana menggunakan teknologi tersebut dan hak untuk mengkoneksinya.

Mengenai pengertian informasi dan komunikasi, apa yang disampaikan Elliott cukup membuka wawasan baru tentang istilah yang jika ditarik ke dalam negeri, telah terjadi kesalahpengertian mengenai pengertian informasi dan komunikasi. Seperti dengan digembar-gemborkannya mengenai masyarakat informasi, yang sesungguhnya menurut Bell, informasi terkait dengan masyarakat ideal secara rasional, pemerintahan yang demokratis dan kesuksesan kaum intelektual dalam promosi kesetaraan informasi ditambah dengan pilihan rasional menyamakan kemajuan sosial.

Antitesis dari tesis Elliott dapat dilihat dari tulisan Mark Poster (1999) lewat “Cyberdemocracy: Internet and The Public Sphere”. Poster dalam uraiannya, yang berkebalikan dengan yang dikatakan Elliott soal teknologi dan erosi public sphere, justru melihat bahwa teknologi baru ini membuka wacana tentang konsep public sphere modern. Terutama mengenai pertemuan tatap muka (face-to-face) dan istilah-istilah baru seperti virtual communities ataupun electronic cafe. Ada nada optimis bahwa public sphere di internet memungkinkan orang berdiskusi secara bebas serta hadirnya media-media independen yang tidak mengikuti arus komersialisasi pasar.

Bahkan teknologi internet sendiri sejalan dengan kritikan John B. Thomson (1983) terhadap pandangan Habermas mengenai public sphere yang dinilainya sebagai public sphere borjuis dan laki-laki, model public sphere borjuis merupakan idealisasi sejarah yang tidak sesuai gerakan sosial non borjuis dan mengenai penurunan public sphere dari Structural Tranformation.
Sedang mengenai peran intelektual dalam erosi publick sphere, karena masalah kesetaraan informasi masih menjadi perdebatan kalangan intelektual sendiri, maka begitu sulit untuk membebankan tanggung jawab kesetaraan informasi itu di kalangan intelektual sendiri. Tapi jika alangkah baiknya jika memang intelektual dapat menjalankan fungsi tersebut.


*Elliot, Philip(1971). Intellectuals, The ‘Information Society’ and The Disappearance of The Public Sphere dari Media, Culture and Society, Schlesinger, P. dan Sparks, C. (ed.) Academic Press, London, Vol.4, No.3, pp.244-6.

15 Mei 2009

Belajar dari Malaysia Cara Memajukan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT)

Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di suatu negara memang tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kepedulian pemerintahnya terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas administrasi negara. Seperti juga di Malaysia. Pemerintah di sana karena merasa perlu untuk meng-upgrade administrasi pemerintahan yang sesuai dengan perkembangan jaman ke era informasi, meluncurkan apa yang dinamakan Multimedia Super Corridor (MSC). Salah satu dari pengembangan information and communication technology (ICT) di sana adalah e-government.

Masuknya e-government dalam MSC di era Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohamad adalah sebagai katalis perubahan paradigma aparat pemerintahan serta menjadikan kemajuan e-government di Malaysia sebagai acuan pemerintahan di dunia, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi terkini untuk memfasilitasi layanan pemerintahan yang efektif dan efisien melalui layanan elektronik.

Walaupun sempat diguncang badai krisis ekonomi sejak 1997, satu tahun sejak dimulainya MSC, dalam catatan Mahathir Mohamad, implementasi e-government di Malaysia tidak terganggu bahkan mencatatkan kemajuan berarti. Termasuk dalam kemajuan yang dimaksud Mahathir adalah pembuatan cetak biru e-government yang komprehensif, kebijakan teknologi informasi dan standar dokumen yang terkait e-government serta beberapa proyek e-government yang telah terimplementasikan.

Visi 2020
Dalam menghadapi information age, di tahun 1991 Mahathir Mohamad mengemukakan visinya agar Malaysia menjadi satu negara maju dalam 29 tahun ke depan. Vision 2020, begitu disebutnya, merupakan agenda nasional pembangunan jangka panjang untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Malaysia.

Tantangan terbesar yang harus dihadapi Malaysia untuk dapat menggapai mimpi kesuksesan di 2020 adalah perubahan masyarakat yang secara dramatis dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Satu tantangan ini dapat dilalui dengan cukup sukses dimana setelah menggantungkan pada hasil alam seperti karet, minyak kelapa sawit, minyak maupun timah, kemudian sektor manufaktur tumbuh menggantikannya bahkan mencapai hingga 80% dari nilai ekspor Malaysia.

Babakan berikutnya yang juga harus dilalui adalah adalah era ekonomi tanpa batas yang mengedepankan teknologi, informasi dan ide. Ekonomi baru ini akan banyak dikendalikan oleh teknologi informasi dan komunikasi serta internet. Dan, yang tak bisa diabaikan adalah globalisasi, gaya hidup serta model-model baru bisnis berbasis elektronik. Strategi baru yang dijalankan Malaysia adalah meletakan landasan menghadapi era digital itu dengan mengkreasikan Multimedia Super Corridor.

Multimedia Super Corridor

MSC merupakan proyek pembangunan terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi yag paling komprehensif. Lebih dari sekadar technology park, MSC merupakan kendaraan untuk mentransformasikan sosial dan ekonomi Malaysia. Visi MSC adalah mengkreasikan lingkungan multimedia yang ideal untuk berbisnis yang dapat mentransformasikan dan mengantarkan negaranya penyanyi terkenal Siti Nurhaliza itu menuju masyarakat berpengetahuan di tahun 2020.

MSC selain mengubah paradigma untuk mengkreasikan nilai dalam era informasi, juga membangun area fisik dengan ukuran 15 km x 50 km di selatan Kuala Lumpur, Ibu Kota Negara. Area MSC memanjang dari sebelah Utara di Pusat Kota Kuala Lumpur ke Selatan hingga Bandara Internasional Kuala Lumpur di Sepang. Di jantung MSC ada dua proyek mega yaitu Putrajaya dan Cyberjaya. Putrajaya merupakan kota administrasi pemerintahan federasi Malaysia yang baru, sedang Cyberjaya merupakan kota information and communication technology (ICT) dengan gedung-gedung “pintar” dan infrastruktur ICT mutakhir yang diperuntukan bagi kehidupan dan bisnis.

MSC dihubungkan dengan jaringa transmisi dari 2,5 – 10 Gbps, dimana jaringan yang digunakan 100% menggunakan serat fiber. MSC dapat pula dihubungkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Dengan kondisi seperti itu, tidak salah jika ada pendapat yang mengatakan bahwa MSC merupakan gabungan antara silicon valley dan hollywood. Hal itu karena pembangunan MSC selain infrastruktur yang sangat besar, juga membutuhkan modal pengetahuan dan intelektual.

Ada tujuh aplikasi spesifik yang dianggap sebagai pembuka proyek MSC. Aplikasi-aplikasi itu meliputi: e-government, telemedicine, kartu multiguna nasional, sekolah cerdas, penelitian dan pengembangan, situs manufaktur yang mendunia serta pemasaran tanpa batas. Semua itu merupakan aplikasi konseptual untuk menyediakan lingkungan yang optimal guna mendukung perusahaan multimedia di dalam MSC. Di tahun 2001, ketujuh proyek itu ditambah hingga menjadi delapan dengan dimasukkannya technopreneur development.

Dalam perkembangannya, sebagai gerbang ke masa depan (the gateway to the future), kemudian hanya ada enam area utama dalam aplikasi multimedia dalam pembangunan MSC dan mengakselerasikan Negeri Jiran ini menuju era informasi: e-governemnt, kartu multiguna nasional, telehealth, sekolah cerdas, penelitian dan pengembangan serta e-business.

Aplikasi-aplikasi itu akan menyediakan Malaysia dan perusahaan internasional lainnya kesempatan untuk beroperasi secara lebih terbuka dengan industri-industri maju dalam bidang multimedia, institusi riset dan akademik, serta customer dalam satu lokasi investasi yang menurut pemerintah di sana sebagai paling atraktif di dunia. Aplikasi-aplikasi tersebut juga memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk membangun centre of excellence untuk aktivitas penelitian dan pengembangan serta menciptakan pusat layanan nilai tambah antara perusahaan-perusahaan yang ada di tingkat regional dengan pelanggan-pelanggannya.

Dari enam aplikasi yang dikembangkan, ada beberapa pilot project yang dimajukan. Dalam hal kartu multiguna (multi-purpose card), ada dua hal yang dikembangkan. Yaitu, kartu multiguna untuk pembayaran dan kartu multiguna untuk kepemerintahan. Kartu multiguna untuk pembayaran dikomandani oleh Malaysian Electronic Payment System Sdn. Bhd. (MEPS). Perusahan tersebut kemudian kerjasama dengan lembaga perbankan yang berkait dengan kartu pembayaran sehingga satu kartu dapat digunakan untuk banyak fungsi dan berbagai lembaga keuangan.

Kartu multiguna untuk kepemerintahan, menjadikan kartu identitas, ijin, kesehatan dan informasi lainnya dalam satu kartu. Kartu tersebut menggunakan platform umum smart card. Pelaksanaan kartu tunggal tersebut dibagi dalam dua fase. Fase pertama untuk sekitar dua juta orang di MSC atau area Klang Valley. Fase kedua akan diperkenalkan secara nasional. Kartu tersebut akan dipakai di pusat-pusat layanan pemerintahan.

Telehealth difokuskan untuk untuk memberdayakan individu dengan menyediakan akses yang cukup baik mengenai informasi kesehatan untuk mengembangkan manajemen kesehatan pribadi. Telehalth terdiri dari empat aplikasi. Yaitu, rencana kesehatan seumur hidup, informasi dan edukasi kesehatan personal, edukasi pengobatan lanjutan dan konsultasi jarak jauh. Untuk tiga aplikasi pertama dikembangkan oleh Medical Online Sdn. Bhd., sementara untuk konsultasi jarak jauh dilakukan oleh Worldcare Health Sdn. Bhd.

Sekolah cerdas di Malaysia adalah sebuah insitusi pembelajaran dimana secara sistematis berbeda dalam hal belajar mengajar dan proses manajemen sekolah utnk membantu siswa mengimbangi perkembangan di era informasi. Konsep smart school diambil dari pengalaman beberapa negara yang menjalankan menjalankan aplikasi yang sama, yang kemudian disesuaikan dengan sistem pendidikan di Malaysia.

Sehingga kemudian, proses yang terkait dengan kurikulum, material belajar mengajar serta penilaian, berubah dan memungkinkan siswa untuk melatih memberikan penilaian dan belajar sendiri, dengan kecepatan belajar yang ditentukan sendiri oleh masing-masing siswa. Pilot project sekolah cerdas dimulai pada tahun 1999, dan berakhir 2002. Sekolah cerdas saat ini sudah mulai dijalankan di beberapa sekolah di sana untuk berbagai tingkatan.

Cluster penelitian dan pengembangan MSC menciptakan lingkungan dan menyatukan sumberdaya perusahaan untuk lebih mempromosikan teknologi multimedia masa depan. MAC menyediakan lingkungan infrastruktur yang ideal untuk penelitian dan pengembangan di sana, infostruktur, pusat penelitian dan pengembangan, insentif dan kesempatan menjalankan proyek-proyek penelitian dan pengembangan.

Aplikasi e-business sebagai gabungan dari pengembangan situs yang mendunia dan pemasaran tanpa batas bertujuan untuk membangun infrastuktur yang mendukung pertumbuhan e-commerce di Malaysia. Beberapa perusahaan dan pemerintah telah menggunakan kekuatan internet untuk mengakses informasi dan pasar baru serta menjual dan membeli produk atau layanan. MSC sendiri merupakan fokus aktivitas aplikasi e-business.

10 Mei 2009

Ternyata Benar, Quick Count Misleading!

Sebulan lalu, ketika beberapa lembaga riset mulai mengumumkan hasil quick count Pemilu 9/4, yang juga jadi politainment di beberapa stasiun TV karena disiarkan secara lansgung, lewat media ini saya menegaskan bahwa ada sesuatu yang salah dengan quick count yang ditayangkan dan disampaikan ke masyarakat, dan bahkan cenderung menyesatkan.

Beberapa persoalan terkait dengan quick count adalah, pertama, karena tentu saja masalah sample yang diambil. Dalam penelitian, sampel sangat menentukan, apakah dapat mengeneralisasi hasil yang didapat dari beberapa TPS diangkat ke tingkat nasional. Kedua, hasil yang dicapai dengan persentase, tidak menggambarkan hasil anggota legislatif nantinya. Mengingat, ada perbedaan perhitungan antara quick count, dengan hitung-hitungan bilangan pembagi pemilih. Sehingga, meski persentasi tinggi, belum tentu perwakilan di DPR juga akan sama. Apalagi ada perbedaan antara hasil DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.

Analis saya tersebut Alhamdullilah terbukti. Kemarin malam, 9/5, KPU mengumumka hasil ”akhir” perolehan suara dan kursi DPR dari Pemilu 9/4 lalu. Dimana perbandingan antara hasil quick count dan hasil KPU dapat dilihat sebagai berikut.

Hasil KPU ”Manual”:
Hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dibacakan oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menetapkan bahwa: Partai Demokrat memperoleh 148 kursi di DPR (26,43 persen), Golkar (108 kursi, 19,29 persen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (93 kursi, 16,61 persen), Partai Keadilan Sejahtera (59 kursi, 10,54 persen), Partai Amanat Nasional (42 kursi, 7,50 persen), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi, 6,96 persen), Partai Gerakan Indonesia Raya (30 kursi, 5,36 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (26 kursi, 4,64 persen), dan Partai Hati Nurani Rakyat (15 kursi, 2,68 persen).
Jumlah suara sah dalam Pemilu 2009 mencapai 104.099.785 suara, sedangkan suara tidak sah mencapai 17.488.581 suara.


Hasil Quick Count:
Sumber: Detikcom.

Persoalan perbedaan karena memang quick count tidak cocok diterapkan untuk konversi dari suara yang didapat partai dengan keterwakilan di DPR.

Lalu apakah quick count bisa dipakai dalam Pilpres mendatang? Count count memang bisa lebih dipakai untuk Pilpres karena tidak ada konversi dan tidak banyak variabel serta pilihan. Namun, pemanfaatan quick count dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis”, melihat hasil quick count boleh-boleh saja. Namun begitu, hendaknya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak mengklaim hitungannya yang paling benar. Sebab UU Pemilu kita sesungguhnya hanya mengakui penghitungan suara manual. Sehingga, dalam pilpres mendatang, tetap saja baiknya ditunggu saja KPU menyelesaikan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU.

04 Mei 2009

Komunikasi dan Budaya (Bagian-2)

Ada dua pendekatan dasar dalam studi mengenai budaya: emic dan etic. Pendekatan emic memfokuskan pada pengkajian budaya dari dalam, pada pemahaman budaya ketika anggota-anggota dari budaya memahami kebudyaan mereka. Sebaliknya, pendekatan etic memfokuskan pada memahami budaya dari luar dengan membandingkan budaya-budaya yang menggunakan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya.
Perbedaan antara pendekatan emic dan etic dapat ditelusuri lewat pembahasan Pike (1966) tentang fonetik (ujaran-ujaran vokal yang universal) dan fonemik (ujaran-ujaran vokal yang secara budaya bersifat unik). Brislin (1983) berpendapat bahwa dalam pemakaiannya dewasa ini, perbedaan itu pada daarnya digunakan sebagai sebuah metafora untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan antara pendekatan yang bersifat spesfik terhadap budaya (emic, budaya tunggal) dan pendekatan umum terhadap budaya (etic, universal) dalam penelitian. Berry (1980, pp.11-12) menyajikan sebuah rangkuman singkat tentang perbedaan-perbedaan itu (lihat tabel 1.1).

Sebagian besar penelitian sosiologis dan psikologis cenderung bersifat etic, sedangkan sebagian besar penelitian antropologis cenderung bersifat emic. Penelitian komunikasi cenderung menggunakan pendekatan psikologis dan antropologis, dan itu berarti dapat berupa pendkatan emic atau etic.

Ketika pengujian konsep-konsep yang menggunakan metode etic itu diasumsikan berlaku secara lintas budaya, maka pengujian-pengujian itu dimaksudkan sebagai pendekatan etic yang dipaksakan (Berry, 1969) atau pendekatan etic semu (Triandis, Malpass dan Davidson, 1973). Sebaliknya, pendekatan etic yang sebenarnya muncul dari data empiris; pendekatan-pendekatan itu merupakan ciri-ciri umum dari konsep yang sedang dipelajari dalam budaya yang dikaji.

Walaupun pendekatan emic dan etic dipandang sebagai pendekatan yang berlawanan, kedua pendekatan ini dapat digabungkan. Triandis (1972), merekomendasikan data emic dan etic. Satu cara untuk menyempurnakan hal ini memperoleh kelengkapan dari konsep dibawah studi dan termasuk aspek bahwa komunikasi antar budaya, sebagaimana aspek yang khas terhadap budaya yang dipelajari.

Dalam tinjauan pendekatan emic dan etic, dilakukan tinjauan singkat bagaimana pendekatan ini digunakan dalam studi komunikasi dalam hubungan pribadi lintar budaya. Dimulai dengan pendekatan emic. Pendekatan ini didasarkan pada antropologi, sosiolingusitik atau model etnografi dari percakapan. Berikutnya diuji pendekatan etic. Model-model ini didasarkan pada upaya menemukan cara sistematik dimana budaya yang berbeda dan dalam mengisolasi aspek universal dari komunikasi antar budaya.

Penelitian Antropologi dalam Komunikasi :
Pendekatan Emic

Penelitian antropologi biasanya meliputi pendekatan emic dalam memahami budaya. Tujuan penelitian antropologi adalah menggambarkan beberapa aspek budaya, dari perspektif anggota budaya yang diuji. Kebanyakan penelitian antropologi menguji satu budaya, tetapi terdapat penelitian yang menggunakan perspektif komparatif.

Tidak semua penelitian antropologi memfokuskan diri pada komunikasi. Di sini, penelitian antropologi meluas pada komunikasi antarbudaya. Tidak mungkin untuk membuat tinjauan bahkan ‘ujung dari gunung es’ dari penelitan antropologi pada komunikasi di sini, sedikit contoh dalam dua ilustrasi, meskipun begitu tidak bisa dibuktikan.

Basso (1970) mengamati bahwa keheningan dalam budaya Apache adalah tepat dalam konteks dari hubungan sosial yang tidak pasti dan tidak bisa diprediksi. Keheningan lebih dipilih daripada berbicara ketika status dari orang yang diajak berkomunikasi dengan suku Apache bersikap mendua. Rosaldo (1973, 1980) meneliti tentang seni pidato Ilongot yang juga berguna untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya berkomunikasi dalam hubungan pribadi.

Hall (1959, 1966, 1976, 1983) penelitian antropologi paling banyak frekuensinya disebut dalam kerja studi komunikasi antarbudaya. Hall (1976) bekerja pada konteks komunikasi bahasa rendah—tinggi adalah sangat penting. Dia mendefinisikan komunikasi berkonteks rendah seperti melibatkan pesan-pesan dimana “informasi yang besar (yang menunjukkan makna untuk pesan) tetap dalam kode-kode yang eksplisit” dan komunikasi berkonteks tinggi seperti pesan-pesan dimana “kebanyakan informasi” disamping dalam konteks fisik atau didalam diri seseorang, sementara sangat sedikit dalam kode-kode eksplisit, mengirimkan bagian dari pesan. Skema ini digunakan dalam deskripsi emic tentang komunikasi dalam beragam budaya, sebagaimana dalam perbandingan etic, tentang komunikasi.

Penelitian Sosiolinguistik:
Suatu pendekatan emic

Penelitian sosiolinguistik antarbudaya dirancang untuk menguji kegunaan dari bahasa di dalam budaya yang khusus atau antar budaya. Octis (1986) mengemukakan bahwa kebanyakan perbedaan antarbudaya dalam bahasa adalah “perbedaan dalam konteks dan atau frekuensi kejadian” (hlm. 10). Disimpulkan bahwa perbedaan-perbedaan dalam penggunaan bahasa adalah suatu fungsi dari ‘meliputi isi semantik-pragmatis, sejumlah teman bicara yang termasuk, hubungan sosial dari para pembicara, teman-teman bicara, keadaan, ukuran rutinitas peniruan dari sebuah frekuensi kejadian dalam pengalaman anak-anak muda (hlm. 10)”.

Studi Albert (1972) tentang budaya pidato dalam ilustrasi Burundi pada penelitian sosiolinguistik mengenai penggunaan bahasa. Mendasarkan diri pada wilayah kerjanya, dia mencatat bahwa anggota budaya Burundi menggunakan derajat gaya pidato formal yang berbeda sesuai dengan kasta, usia, jenis kelamin, martabat, hubungan persahabatan, tempat tinggal yang berdekatan dan hubungan ekonomi politik seseorang. Albert menekankan bahwa ‘peranan sosial dengan adat kesopanan, cocok dengan bentuk dan gaya berpidato, dan termasuk tanda-tanda ekstralinguistik dan topik-topik diskusi (hlm. 86).

Etnografi Berpidato:
Sebuah Pendekatan Emic

Penelitian etnografi berpidato melibatkan kombinasi penelitian antropologi dan sosiolinguistik. Penelitian etnografi berpidato berdasar pada hasil kerja Hymes (1962), Gumperz (1971, 1982), Phillipsen (1989) dan siswa-siswa mereka. Penelitian ini memfokuskan pada perbedaan pola komunikasi dan aturan-aturan komunikasi yang digunakan dalam pidato komunitas khusus (misalnya sekelompok orang yang membagi pengetahuan mengenai aturan-aturan komunikasi dan intepretasi pidato). Kepentingan khusus dalm studi etnografi berpidato ini adalah menggambarkan cara berpidato yang dibentuk secara kultural (Hymes, 1974).

Katriel (1986) menggambarkan pidato “dugri” dalam budaya “Sabra” Israel “dugri” (bicara lurus) digunakan untuk mempertunjukkan ketulusan, ketegasan, kealamiahan, dan ketegangan pada perhatian wajah yang membolehkan ekspresi (ungkapan) bebas dari pendapat, pikiran, atau keinginan pembicara yang dapat merupakan ancaman terhadap si pembicara (hlm. III). Pembicara Hebrew menggunakan pidato “Dugri” untuk menggambarkan bahwa mereka telah bersikap jujur terhadap diri mereka sendiri. Pembicara Arab, secara kebalikan, menggunakan pidato ‘dugri” untuk menunjukkan perhatian pada kejujuran dengan menyatakan informasi yang sesungguhnya merupakan hiasan dan selubung (persembunyian).

Morris (1981) melakukan studi lapangan untuk memeriksa wacana dalam Puerto Rico. Ia menggambarkan bahwa wacana tersebut membutuhkan pembicara untuk menciptakan dirinya dan orang lain dalam “risiko” sehingga mereka dapat mengurangi pertentangan yang muncul dengan berbagai cara yang memungkinkan morris menekankan bahwa gambaran sistematik tentang makna yang kabur, menggunakan bahasa secara tidak tepat dan tidak langsung (hlm. 135).

Dimensi Keanekaragaman Budaya:
Pendekatan Etic

Aspek etic dari budaya sering diuji dari segi dimensi keanekaragaman budaya. Maksudnya, dimensi yang berdasarkan budaya-budaya itu menjadi berbeda atau sama yang dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan atau kesamaan-kesamaan dalam tingkahlaku komunikasi lintas budaya. Dimensi utama dari keanekaragaman budaya yang diisolasikan oleh para teoritisi lintas budaya adalah individualisme-kolektivisme (seperti hubungan budaya Cina, 1987; Hofstede, 1980; Ito, 1989; Kluckhohn & Strodtbeck, 1961; Triandis, 1995). Dalam budaya individualistik kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan individu lebih diutamakan daripada kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan kelompok. Dalam budaya kolektivistik kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan dalam kelompok lebih diutamakan dari pada kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan individu (Triandis, 1995).

Para teoretisi lain memisahkan dimensi-dimensi yang berbeda dari keaneragaman budaya. Hofstede (1980), misalnya, memisahkan individualisme-kolektivisme dengan tiga dimensi tambahan, yaitu: penghindaran ketidakpastian, jarak kekuasaan, maskulinitas-feminitas. Penghindaran ketidakpastian meliputi tingkat sejauh mana anggota-anggota dari sebuah kebudayaan berusaha menghindari ketidakpastian.

Dalam budaya dengan tingkat penghindaran ketidakpastian yang tinggi, ketidakpastian dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya dan anggota-anggota berusaha menghindari ketidakpastian itu. Dalam budaya dengan tingkat penghindaran ketidakpastian yang rendah, ketidakpastian dipandang sebagai bagian yang penting dari kehidupan dimana dengan ketidakpastian itu anggota-anggota dari kebudayaan tersebut sepakat.

Jarak kekuasaan menunjuk pada tingkat dimana ketidaksetaraan kekuasaan dianggap sebagai hal yang wajar dan melekat dalam individu-individu dalam budaya tersebut. Dalam budaya jarak kekuatan yang tinggi ketiadaan nilai kekuatan dipandang sebagai alami dan mencakup dalam individu-individu yang terlibat. Dalam budaya jarak kekuatan yang rendah masyarakat diasumsikan seimbang atau sejajar dan ketiadaan di antara individu-individu yang dianggap sebagai fungsi dari peran yang masuk dalam situasi khusus.

Maskulinitas dan feminitas dianggap sebagai peran jenis kelamin di dalam sebuah budaya. Dalam budaya maskulin ada peran seks yang rentan untuk pria dan wanita. Di dalam budaya feminim peran seks adalah tidak kaku dan ada ketidakjelasan ekspektasi pria dan wanita.

Penggunaan dimensi dari variability budaya sebagai konsep etic membolehkan kesamaan perbedaan dan perbedaan dalam perilaku yang diprediksikan dalam lintas budaya. Untuk menggambarkannya, Triandis (1995) berargumen bahwa fokus yang relatif terhadap budaya kolektivistik dan individualistik mengarah pada perbedaan orientasi menuju anggota kelompok dan di luar kelompok. Triandis menyatakan bahwa ada suatu perbedaan yang signifikan pada cara berkelakuan tiap individu terhadap anggota-anggota dalam kelompoknya dan anggota-anggota kelompok luar pada budaya kolektivistik. Akan tetapi perbedaan tersebut tidaklah signifikan dalam budaya individualistic. Prediksi jumlah dapat didasari pada masing-masing dimensi variabilitas budaya (lihat Gudykunts & Matsumoto).

Meskipun, dimensi-dimensi variabilitas budaya membuat prediksi-prediksi persamaan dan perbedaan budaya, masing-masing dimensi dimanifestasi dalam suatu cara unik ke dalam masing-masing budaya. Gudykunts dan Nishida (1994), sebagai contoh menjelaskan bahwa untuk memahami kolektivisme di Jepang. Sebagai ilustrasi, Hamaguchi (1980) berisi tentang budaya Jepang “Kontekstualistik”. Diskusi Hamaguchi tentang konteks yang sama dengan deskripsi tentang kolektivisme, tetapi ini juga berisi emic budaya Jepang yang tidak termasuk ke dalam diskusi umum dari kolektivisme. Hal ini diharapkan, sebab cara kolektivisme adalah manifestasi sebuah budaya unik pada budaya tersebut.

Dimensi-Dimensi Universal Hubungan Personal:
Suatu Pendekatan Etic
Triandis (1977) membagi empat dimensi hubungan sosial pendekatan universal. Dimensi pertama adalah asosiasi-tidak asosiasi. Perilaku asosiasi mencakup menolong, suportif, atau kooperatif, sementara sikap tidak asosiasi mencakup perlawanan atau menghindar dari orang lain. Dimensi universal kedua adalah superordinasi-superordinasi. Prilaku superordinat mengkritisi atau memberikan pesanan-pesanan, sementara prilaku subordinat meliputi: menanyakan persetujuan, atau mematuhi (kepatuhan). Dimensi ketiga adalah intimasi-formal. Prilaku intimasi mencakup membuka diri (keterbukaan), Ekspresi emosi, atau sentuhan. Dimensi terakhir dari perilaku sosial universal adalah jelas-samar. Jelas adalah tampak oleh orang lain., sementara perilaku samar adalah tidak tampak oleh orang lain.

Asosiasi-tidak asosiasi, superordinasi-subordinasi, intimidasi, dan perilaku jelas-tersamar adalah universal, akan tetapi derajat kepada siapa dimanifestasikan beragam lintas budaya. Triandis berpendapat bahwa dimensi disosiasi (pemisahan diri) dihubungkan dengan orientasi nilai sifat dasar manusia yang dikemukakan Klukhon & Strodtbeck (1961). Perilaku asosiasi (mudah bergaul) menonjol dalam budaya dimana orang berpendapat bahwa hal tiu merupakan sifat dasar manusia yang baik, dan perilaklu disosiasi (memisahkan diri) dalam budaya disebut disebut orang sebagai sifat dasar manusia yang jelek.

Dimensi atasan-bawahan mirip dengan dimensi jarak kekuatan variabilitas budaya yang dikemukakan Hofstede (1980). Triandis (1984) berpendapat bahwa keberadaan atasana-bawahan dilihat sebagai sifat alami dan sebuah fungsi karakteristik manusia dalam budaya yang punya jarak kekuatan yang tinggi. Perilaku atasan bawahan tidak dilihat sebagai sifat budaya rendah. Dalam budaya rendah, adanya atsan-bawahan dipandang sebagai fungsi peranan manusia dan bukan sebagai karakteristik yang terlahir begitu saja.

Keintiman-formalitas dapat dihubungkan dengan isu umum tentang kontak. Triandis (1984) menyatakan bahwa dalam budaya kontak “orang sering menyentuh, mereka berdiri lebih dekat dengan satu sama lain, mereka mendekatkan badan mereka sehingga mereka berhadapan dengan satu sama lain, mereka melihat satu sama lain di mata, dan mereka menggunakan gerakan yang lebih kuat dalam untuk ekspresi emosionalnya” (hlm. 324). Budaya non-kontak melibatkan pola yang berbeda: sedikit sentuhan, berdiri dengan terpisah, sedikit kontak mata, dan level rendah dari ekspresi emosional. Orang-orang dalam budaya kontak cenderung untuk mengekspresikan perasaannya secara terbuka, sementara anggota budaya non-kontak cenderung untuk menekannya.
Triandis (1984) menyarankan bahwa dimensi jelas-tersembunyi berubah-ubah sebagai fungsi dari variasi budaya longgar-ketat. Boldt (1978) mendefinisikan pengetatan struktural dalam istilah perbedaan peran (jumlah peran dan hubungan peran) dan keterhubungan peran (sifat ikatan di antara peran-peran). Semakin banyak peran yang ada dan semakin ketat mereka terikat, struktur sosial itu pun semakin ketat secara struktural. Triandis berpendapat bahwa terdapat lebih banyak perilaku yang dapat diamati dalam budaya longgar daripada dalam budaya ketat.
Adamopoulos dan Bontempo (1986) memusatkan perhatian terhadap universalitas tiga dimensi dari hubungan antarpribadi dengan menggunakan bahan kesusastraan dari berbagai periode sejarah yang berbeda-beda. Mereka mencatat bahwa afiliasi dan dominasi tampak bersifat universal, tanpa banyak perubahan dalam waktu 3000 tahun. Keintiman, sebaliknya, juga universal, namun perilaku-perilaku yang dianggap intim telah berubah seiring waktu.
Foa dan Foa (1974) mengambil pendekatan yang berbeda dalam mengisolasi dimensi universal perilaku. Mereka menyatakan bahwa sumber daya yang ditukar individu-individu selama interaksi dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok yang tertata dalam sebuah lingkaran: cinta (pukul 12 menggunakan permukaan jam untuk mewakili lingkaran), jasa-jasa (pukul 2), barang-barang (pukul 4), uang (pukul 6), informasi (pukul 8), dan status (pukul 10). Sumber-sumber ini berbeda-beda sepanjang dua dimensi: Pertama, partikularisme. Kepentingan dari identitas individu (penerima atau pemberi) dalam pertukaran (bergerak turun dan naik di permukaan jam, partikularisme paling kecil pada pukul 6 dan paling besar pada pukul 12. Kedua, kenyataan. Tingkatan dimana sumber mempunyai nilai muka, lawan dari nilai simbolik (bergerak dengan horisontal melintas permukaan jam, kenyataan yang paling kecil pada pukul 9 dan yang paling besar pada pukul 3).
Sumber-sumber yang paling terdekat dari kerangka kerja Foa dan Foa, satu sama lain, semakin banyak kesamaan yang mereka terima, dan semakin besar kepuasan yang muncul ketika sumber-sumber dipertukarkan. Penelitian Foa dan Foa mengindikasikan bahwa struktur sumber dapat diterapkan lintas budaya. Fiske membatasi empat bentuk dasar dari hubungan manusiawi: penggunaan bersama, kesesuaian yang sepadan, tingkatan kewenangan, dan penghargaan pasar.

Penggunaan bersama adalah sebuah hubungan yang sepadan dimana orang-orang dipadukan (untuk tujuan yang ada) sehingga batasan dari diri individu menjadi kabur (tidak jelas). Kesesuaian yang sepadan adalah sebuah hubungan yang sepadan antara orang-orang yang berbeda satu sama lain dan mereka sebaya. Tingkat kewenangan adalah sebuah hubungan yang tidak setara antara dua orang yang tidak sepadan. Penghargaan pasar adalah sebuah hubungan yang ditengahi oleh nilai-nilai dari beberapa sistem pasar. Sistem pasar, contohnya, mungkin didasarkan pada tindakan orang-orang, jasa-jasa, atau barnag-barang. Fiske mengatakan bahwa empat model ini menyediakan “tata bahasa” untuk hubungan sosial. Penelitian Fiske mendukung pernyataan ini. Empat bentuk dasar dari perilaku sosial adalah dasar untuk semua jenis-jenis lainnya dari hubungan-hubungan dan lintas budaya yang universal (menyeluruh).

Fiske mengatakan bahwa semua bentuk perilaku dapat digunakan dalam beberapa situasi dalam beberapa budaya. Anggota-anggota dari budaya, bagaimanapun belajar memilih bentuk-bentuk perilaku yang khas dalam situasi tertentu. Triandis berpendapat bahwa orang-orang dalam budaya yang kolektivistik belajar untuk menggunakan penggunaan bersama dan tingkatan kewenangan daripada kesesuaian yang sepadan dan penghargaan pasar. Anggota-anggota dari budaya individualistik, sebaliknya, lebih belajar untuk menggunakan kesesuaian yang sepadan dan penghargaan pasar daripada dua yang lain. Tingkatan kewenangan juga dapat dilihat berbeda sebagai sebuah fungsi dari jarak kekuasaan. Smith dan Bond mengatakan bahwa harga pasar dikaitkan dengan orientasi maskulin dari Hotstede dengan kesesuaian sepadan dikaitkan dengan orientasi feminin.