22 Januari 2009

Konvergensi, ENUM dan TI Indonesia Masa Depan

Enam tahun lalu, di sebuah media nasional, saya menulis bagaimana konvergensi akan menjadi kunci masa depan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Tak perlu menunggu waktu terlalu lama, konvergensi antara telekomunikasi, media (penyiaran) dan informatika telah hadir di sekitar kita. Secara mudahnya, lihat saja ponsel-ponsel sekarang ini, selain untuk berbicara, juga bisa mengirim SMS/MMS, faksimili maupun berinternet ria.

Bahkan dengan teknologi 3G, lewat fasilitas video call , lawan bicara pun dapat ditatap. Sementara dengan mobile TV, penyiaran yang secara tradisional melalui monitor televisi berubah ke layar ponsel. Semua itu menyebabkan kita sekarang kesulitan untuk memilah-milah mana yang menjadi domain telekomunikasi, media maupun informatika, karena batas-batas ketiganya kian kabur.

Yang perlu dikedepankan adalah bagaimana posisi dan strategi Indonesia sebagai implikasi konvergensi menuju apa yang dinamakan Next Generation Networks (NGN), yang bahkan sekarang berubah menjadi Now Generation Networks. Walaupun NGN dinilai sebagai jargon untuk industri telekomunikasi saja, bukanlah perdebatan makna NGN yang dikedepankan, namun bagaimana Indonesia saat ini menyikapi tantangan dan peluang menuju TIK berbasis IP, baik untuk infrastruktur, kemudahan akses serta tentunya strategi yang mantap agar bangsa ini tidak hanya menjadi obyek pemasaran produk-produk asing dan menjadi bangsa tertinggal di tengah era informasi yang mengglobal.

Dari penyatuan telekomunikasi dan internet, selain kebutuhan akan adanya internet berpita lebar dengan harga murah, implementasi WiMax untuk jaringan akses ke pelanggan (last mile), yang juga menjadi bahan diskusi hangat adalah permintaan nomor dari penyelenggara jasa internet menyambut apa yang disebut-sebut sebagai Electronic Number Mapping atau juga dikenal dengan Telephone Number Mapping (ENUM).

Hanya saja, menghubungkan antara permintaan penomoran dengan ENUM merupakan simplifikasi dari ENUM itu sendiri dan menyamakan antara ENUM dengan Telepon IP. Sebab meski memfasilitasi panggilan VoIP pengguna dari jaringan IP dan PSTN, ENUM bukanlah fungsi VoIP dan jangan menyamakan dengan ruting VoIP biasanya yang berbasis protokol SIP, H.323 maupun IAX.

ENUM merupakan enabler antara PSTN dan Internet. Sebagaimana dijabarkan International Telecommunication Union (ITU), ENUM merupakan protokol komunikasi yang menyatukan sistem penomoran telepon E.164 dengan sistem pengalamatan internet (DNS) menuju ke sebuah uniform resource identifier yang dapat digunakan untuk melakukan kontak terhadap sumber yang terkait dengan nomor tersebut. Secara konsep, ENUM mengkonversikan nomor telelpon E.164 semisal +61392859000 ke nama domain lengkap 0.0.0.9.5.8.2.3.6.1.e164.arpa. Beberapa alamat komunikasi yang dapat disatukan dengan ENUM seperti alamat rumah atau kantor, email, nomor telepon lainnya maupun situs internet.

Infrastruktur ENUM memfasilitasi sinyal berbasis IP dan interkoneksi antarpenyedia layanan. Interkoneksi memungkinkan penyedia layanan VoIP untuk menghindari biaya terminasi PSTN, menjaga kualitas end-to-end dan mencegah adanya fitur yang tidak berfungsi. Dengan ENUM, beragam penyedia VoIP dapat dijembatani saat jaringan IP tersedia. Sementara tanpa ENUM, penyedia VoIP tak punya alternatif untuk menggunakan PSTN sebagai transportasi biasa antara telepon berbasis IP pada jaringan yang berbeda.

Sebagaimana diketahui, selain frekuensi, nomor merupakan sumber daya alam yang terbatas sehingga pemanfaatannya harus seefisien mugkin. Arah trend regulasi dunia mengenai penomoran, jelas mengarah pada dua hal, yaitu number portability dan ENUM. Keduanya, secara langsung maupun tidak langsung mempunyai hubungan yang unik untuk sama-sama mengefisienkan penomoran, mengubah paradigma nomor sebagai milik operator menjadi milik negara yang ‘dipinjamkan’ kepada konsumen, serta secara lebih jauh mengubah tatanan industri.

Rencana Dasar Teknis Telekomunikasi tahun 2000 memang sudah mengantisipasi hal tersebut dan terbuka peluang untuk mengimplementasikannya. Namun, karena implementasi yang tidak sesederhana membalikkan telapan tangan dan akan mengubah tatanan industri, konsep penomoran baru itu perlu dipersiapkan secara lebih matang. Kesalahan mengambil keputusan, pertaruhannya adalah nasib TIK kita ke depan.

Sambil menyusun arah yang bermuara pada bagaimana langkah-langkah menghasilkan masyarakat Indonesia berbasis ilmu pengetahuan, target-target dan strategi TIK ke depan, yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah bagaimana mensinergikan aturan sektor telekomunikasi, penyiaran dan informatika, yang sudah konvergen. Beberapa negara, terkait dengan konvergensi tersebut, sudah menghasil apa yang dinamakan UU Konvergensi, sementara posisi Indonesia, aturan yang membawahi sektor-sektor TIK masih terpisah-pisah, bahkan ada yang aturannya masih bersifat RUU. Diskursus mengenai bagaimana aturan termasuk regulator sektor-sektor TIK tentunya perlu lebih diintensifkan juga agar didapat aturan yang konvergen, dapat diaplikasikan dan komprehensif.

18 Januari 2009

Teori-Teori Media

Teori Ekonomi Politik Media
Dalam melakukan kajian terhadap media massa sebagai industri, kita dapat melakukan kajian berdasarkan teori ekonomi politik media. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Garnham, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar pelbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pesan, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan (dalam McQuail, 1991:63).

Pembicaraan mengenai sistem ekonomi selalu akan terkait dengan masalah kapital atau modal dari para pemilik media. Karl Marx menyatakan bahwa kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumberdaya produksi vital yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal. Oleh Marx mereka dinamai sebagai kaum borjuis. Mengenai kaitan kapitalisme dan media massa, dikatakan oleh Stuart Hall bahwa media massa merupakan sarana paling penting dari kapitalisme abad 20 untuk memelihara hegemoni ideologis. Media massa juga menyediakan kerangka berpikir bagi berkembangnya budaya massa lewat usaha kelompok dominan yang terus menerus berusaha mempertahankan, melembagakan, melestarikan kepenguasaan demi menggerogoti, melemahkan dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang dikuasai (dalam Bungin,2001).

Salah satu upaya yang dilakukan oleh media massa untuk terus berkuasa adalah dengan pemanfaatan teknologi informasi. Lewat pengusaan TI tersebut, media massa dapat melakukan efisiensi yang berpengaruh terhadap daya saing media tersebut dalam konteks persaingan industri media. Efisiensi dapat dilakukan terhadap proses produksi maupun distribusi content media yang dapat dilakukan dalam waktu yang cepat, bahkan sampai pada struktur organisasi yang semakin ramping.

Perkembangan TI dalam industri media massa, membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap karakteristik media massa. Bahkan kemudian perbedaan karakteristik tersebut telah menjadi determinan antara media massa yang selama ini kita kenal (media massa konvensional) dengan media baru yang memiliki karakteristik yang berbeda akibat pengadopsian teknologi informasi.

Media Konvensional dan Media Baru
Sejak lama kita sudah mengenal media massa seperti televisi, radio, surat kabar, film, majalah yang saat ini dikatakan sebagai media konvensional (Straubhaar, 2002). Penggunaan istilah media konvensional ini sebagai bentuk pembedaan dari media baru yang merupakan konvergensi media konvensional, komputer dan telekomunikasi. Media baru tersebut adalah internet. Mengacu pada Straubhaar (2002 ) media konvensional dan media baru mempunyai perbedaan karakteristik.

Karakteristik dari media konvensional secara umum, bahwa proses komunikasi (konvensional) selalu berawal dari sumber (source)-yang mengirimkan pesan (message) melalui media (channel) kepada penerima (receiver), atau SMCR model, dan komunikasi dengan menggunakan media massa diartikan sebagai komunikasi dari satu sumber ke komunikan banyak jumlahnya; namun feedback-nya masih bersifat tertunda; menurunnya jumlah sumber dalam media massa, tidak berkuasa dan kemampuannya sebagai gatekeeper maupun pembentuk opini publik jauh berkurang.

Sementara itu, dalam media baru ditemukan adanya interactivity, yaitu kemampuan untuk menyeleksi isi pesan dari sejumlah pilihan yang dengan segera akan disediakan oleh media tersebut. Dalam pandangan kontemporer, penekanannya lebih pada proses dimana sumber dan penerima saling memberikan kontribusinya untuk menciptakan makna. Beberapa hal yang fundamental dalam fungsi media juga telah mengalami perubahan.

Hal ini ditandai antara lain oleh pesan dibuat berdasarkan kemauan dari audien yang spesifik, tidak lagi sama untuk semua orang; audiens semakin terbagi dalam kelompok yang kecil dan anonim, semakin meningkat partisipasi mereka untuk menciptakan isi media, beranjak dari audiens media massa yang pasif menjadi interaktif pada media baru; mereka bisa mengontrol isi media bahkan dapat memesan tampilan media seperti keinginan mereka; penemuan teknologi digital memungkinkan untuk mencampurkan teks, suara, gambar grafis maupun video dalam jaringan multimedia yang terintegrasi untuk menghasilkan tampilan seluruh media dari stasiun komputer

Hal senada dikatakan oleh McQuail (1994:17) tentang karakteristik media baru
[1], yaitu adanya desentralisasi—pengadaan dan pemilihan berita tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemasok komunikasi; kemampuan tinggi—pengantaran melalui kabel dan satelit mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya; komunikasi timbal balik (interactivity)—penerima dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi dan dihubungkan dengan penerimaan lainnya secara langsung; fleksibel dalam bentuk, isi dan penggunaan.

Dalam pengadopsian suatu TI ke dalam sebuah organisasi media, perlulah kita memahami keterkaitan antara informasi sebagai output dari organisasi media dengan teknologi informasi yang digunakan untuk menghasilkannya.

Informasi, Teknologi Informasi dan Organisasi Media
Dalam pandangan Harrington (1993), informasi dapat dimaknai dalam dua paradigma yang dapat mempengaruhi sebuah organisasi. Pertama, dalam paradigma berdasar sumber (resource-driven), pemahaman terhadap informasi lebih fokus pada kontinyuitas dan konsistensi dari informasi itu sendiri. Kedua, dalam paradigma berdasar persepsi (perception-driven), informasi dilihat sebagai sebuah konsep yang abstrak, sebagai produk dari persepsi individual.

Ini merupakan fenomena yang temporer dan hanya dimiliki oleh penerima informasi. Paradigma yang digunakan oleh sebuah organisasi dalam memaknai informasi akan berpengaruh terhadap desain dari organisasi mereka. Jika informasi dipahami sebagai sebuah sumber daya (resource) daripada sebagai hasil dari sebuah sistem, biasanya akan ada kontrol yang lebih tersentral, karena asumsinya informasi merupakan bagian dari kekayaan organisasi (corporate property). Dalam kerangka paradigma ini, pandangan terhadap informasi diwarnai oleh penggunaannya sebagai sumber. Seperti sumber daya lainnya, informasi dapat disediakan pada waktu kapanpun dengan kepastian penerimaan sebuah nilai perkiraan darinya. Informasi dikaitkan sebagai sesuatu yang tidak berubah, karenanya dapat dengan mudah diakomodasi ke dalam prosedur formal dari sebuah organisasi.

Berkaitan dengan hal tersebut, Herbert A. Simon mengajukan proposisi: Pertama, informasi keberadaannya bersifat independen dari penerimanya. Sebagai konsekuensinya, sistem informasi didesain dengan asumsi bahwa informasi dapat diprediksi dan mempunyai nilai yang konsisten; Kedua, informasi secara logis tidak berubah selama pengiriman, sehingga jika sebuah organisasi bisnis digerakkan oleh fungsi-fungsi pengiriman informasi, maka semakin tinggi nilai dari seperangkat informasi yang diberikan, akan semakin penting berhubungan dengan fungsi pengirim.

Sementara itu, jika informasi dimaknai sebagai sesuatu yang dimiliki secara personal, maka informasi tersebut akan dilihat sebagai bagian yang ada di luar struktur formal organisasi (Harrington,1993). Paradigma ini tidak mempertimbangkan informasi sebagai sumber. Individu atau kelompok mengusahakan informasi mereka sendiri.

Yang dimiliki oleh organisasi adalah seperangkat data, fakta dan angka spesifik untuk fungsi tertentu, tetapi bagaimana data tersebut digunakan adalah tergantung pada kompetensi dari individu itu sendiri dalam menginterpretasikannya. Manajemen dapat mengontrol secara tidak langsung melalui pelatihan, tetapi mereka tidak dapat mengontrol secara langusng proses berpikir di mana data diolah menjadi informasi.

Dalam paradigma ini berlaku proposisi bahwa, pertama, informasi tidak ada di luar persepsi dari penerimanya. Konsekuensinya karena informasi bersifat individualistik maka tidak tepat untuk memperlakukannya sebagai sebuah sumber daya (resource).

Kedua, informasi lebih dari sekedar pemrosesan data, sehingga untuk dapat bekerja secara efektif, maka sistem (baik manual maupun computerized) harus didesain untuk menghasilkan data dan bukan informasi. Data merupakan input bagi sebuah proses, sedangkan informasi merupakan output dari proses.

Ketiga, data bersifat absolut, sedangkan informasi tidak. Data mempunyai sifat “bebas-waktu” dan karena itu tidak berubah dan statis. Sedangkan informasi dapat diganti dan diubah. Informasi bersifat ‘terikat-waktu” dan nilanya dapat berganti dari peristiwa ke peristiwa berikutnya. Bersifat dinamis dan berkembang karena ditentukan oleh persepsi individu. Konsekuensinya, integritas dari informasi yang dihasilkan sebagai sebuah sumber harus dapat dipertanyakan.

Dan keempat, informasi tidak pernah dapat ditransmisikan. Data dapat diubah ke dalam data yang lain, dikirimkan dan diterima. Sedangkan informasi diubah sebagai bagian dari data, hanya dapat diterima tetapi tidak pernah dikirimkan. Konsekuensinya, tidak ada apapun sebagai sebuah sistem informasi, karena informasi sangat sementara (transient). Subyektivitas individu dapat dibentuk melalui pelatihan dan prosedur formal untuk menentukan apakah itu informasi. Pada waktu yang lain, persepsinya mungkin berbeda. Sistem informasi tidak dapat bekerja dalam cara ini.

Perbedaan dari kedua paradigma tersebut mungkin tampak tidak kentara, demikian juga dalam penggunaan informasinya. Tetapi menurut penelitian NBS berpengaruh terhadap desain organisasi. Karakteristik struktural dari pengadopsian kepemilikan informasi secara individual bisa bersifat ektrem. Di satu sisi dapat sangat organik dan informal (adhocracies) di mana semua anggota tampak memberikan kontribusi secara sama, masing-masing memproses sebuah teknik tertentu untuk menginterpretasikan data. Di sisi yang lain, organisasinya bersifat formal dan mekanistik (birokratik). Kekakuan dari struktur mencegah penggunaan beberapa informasi sebagai sebuah sumber, sehingga kegagalan beberapa proses terjadi pada individual.

Hal ini berlawanan dengan paradigma berdasar-sumber di mana karakteristik struktural dari organisasi tampak berorientasi terpusat, dengan lingkungan pengaruh pada pinggiran, kepentingan mereka tergantung pada nilai yang diterima dari seperangkat informasi tertentu.

Jika informasi memberikan manusia akses terhadap kemanusiaannya, maka teknologi memberikan cara mencapainya. Teknologi adalah proses historis yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan persepsinya terhadapa lingkungannya. Teknologi dapat dipandang dari empat perspektif.

Menurut perspektif ilmiah, teknologi lebih dilihat tidak lebih hanya sebagai mesin, yang dapat diprediksi dan dikontrol, dianalisis dan didesain, terbatas dan fisik. Sementara itu perspektif sosiologis memandang teknologi sebagai fenomena sosial. Ada tiga tema utama yang menjadi bahasannya, yaitu teknologi sebagai faktor penggerak yang menimbulkan perpecahan antara pemilik dan pekerja; kekuatan pemersatu yang mempererat bersama elemen-elemen yang terpisah dalam sebuah organisasi; dan sebagai sebuah proses sosial di mana elemen-elemen organisasi yang terpisah secara jauh tetapi sangat terintegrasi dalam satu sistem.

Sedangkan perspektif politis lebih memandang teknologi sebagai alat dalam proses politis daripada sebagai sebuah proses. Ini memberikan kontribusi bahwa teknologi tidak hanya berkaitan denagn proses produksi atau proses sosial belaka, tetapi juga dapat digunakan sebagai senjata.Topik yang dikaji berkaitan dengan gagasan tradisional bahwa teknologi adalah instrumen konflik, yang digunakan untuk mengontrol dan mengalahkan yang lain; teknologi sebagai senjata politik baik nasional maupun internasional. Perbaikan dari tema sebelumnya, tidak hanya sebagai senjata politik tetapai lebih terintegrasi ke dalam proses sosial.

Terakhir, perspektif ekonomi, melihat teknologi sebagai sumber daya yang harus dikelola. Tema kajiannya, bahwa teknologi dapat diubah dari jangka pendek ke jangka panjang hanya dengan investasi; dan bahwa teknologi adalah faktor yang kurang luar dan lebih sebagai sesuatu yang dapat dikontrol dan kekuatan yang dapat digunakan untuk berubah.

Teknologi informasi (TI), meskipun juga teknologi tetapi adalah sesuatu yang sangat berbeda. TI lebih terbatas pada dasar pengetahuan dari teknologi umum (general technology) dan memberi penggunanya akses terhadap bidang perseptual yang secara teoritis tidak terbatas. Idealnya, TI memberi kita akses terhadap database yang terintegrasi luas mengikuti konstruksi pengetahuan dimana tidak dapat diterima dalam sistem tradisional yang manual.

Teknologi umum dibatasi oleh domain fisik, dapat berupa mesin, atau proses yang abstrak seperti management technology. Namun demikian teknologi tersebut tidak dapat membangkitkan persepsi sejauh parameter yang didesain untuk dirinya sendiri. TI, di lain pihak, dapat. Seperti teknologi yang lain, TI juga mempunyai ciri fisik. Pertemuan antara orang dan struktur pengetahuan tersebut adalah peralatan fisik, untuk mengaksesnya kita harus menggunakan hardware dan software.

Karena itu ada dua dimensi dari semua teknologi, yaitu physical domain dan perceptual domain. Batasan fisik dari teknologi umum membuat bias terhadap physical domain, sementara kebalikannya adalah true (kebenaran) bagi TI. Fokus kita pada TI. Pertama, ada dimensi fisik dari mesinnya yaitu hardware, seperti keyboard komputer, modem, dll. Kedua, dimensi perseptual yang memberikan TI kekuatan yang lebih besar yaitu kemampuannya untuk menyediakan dan memanipulasi persepsi kita melalui struktur pengetahuan. Misalnya, organisasi digerakkan oleh persepsi-persepsi dari anggotanya. Sehingga TI mempunyai potensi untuk mengubah karakteristik organisasi dengan mengubah persepsi kita.

Jadi, TI didefinisikan dalam dua terminologi baik aspek fisik maupun perseptual. Tetapi ada juga elemen manusia, tanpanya kedua domain tersebut tidak memiliki arti apapun. Melalui pengkonstruksian pengetahuan yang dibentuknya, ia mempunyai kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia dan akhirnya terhadap cara kita bertindak dalam organisasi.

Kriteria yang digunakan untuk mengukur keberhasilan dari sebuah TI didasarkan pada efisiensi dan domain fisik. Dengan kata lain jika dapat menghasilkan dengan lebih cepat, itu dikatakan berhasil. Kita menilai sistem komputer kita jika komputer tersebut melakukan proses produksi. Apa yang tidak kita lihat adalah efek yang lebih luas, karena kita tidak melihat dampaknya sampai persepsi kita mengabaikannya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Isi Media
Merujuk pada pemikiran Shoemaker dan Reese (1996) dengan teori donut-nya, ada lima level (tingkatan) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi isi media, yaitu:

Pada tingkat individu dari pekerja media, karakteristik individu (seperti jender, etnis, dan orientasi seksual) dan latar belakang dan pengalaman pribadinya (seperti pendidikan, agama dan status sosial ekonomi orang tua) tidak hanya membentuk sikap, nilai dan kepercayaan pribadi individu, namun mengarahkan latar belakang dan pengalaman profesionalnya. Pengalaman profesional ini akan membentuk peranan dan etika profesionalnya. Peran etika profesional ini memiliki efek langsung terhadap isi media massa, sedangkan sikap, nilai dan kepercayaan pribadi mempunyai efek tidak langsung, karena bergantung kepada kedudukan individu sendiri dalam organisasi media yang dapat memungkinkannya untuk mengesampingkan nilai profesional dan/atau rutinitas organisasi.

Pada tingkat runitas media, kebutuhan media akan pasokan bahan baku yang akan diproduksi menjadi teks media melahirkan tugas organisasi media untuk mengantarkan produk yang paling layak kepada konsumen—dalam keterbatasan waktu dan ruang—dalam kerja yang paling efisien. Runitas media dimaksudkan untuk dapat mengatasi masalah produk apa yang dapat diterima oleh audiens, apakah organisasi media mampu memprosesnya dan bahan mentah apa yang tersedia dari supplier.

Wujud dari rutinitas media adalah adanya news value (untuk menyeleksi content dari sisi kemenarikannya), the routine of objectivity (berupa seperangkat prosedur di mana pekerja media dapat melindungi diri dari serangan dan kritik) dan audience routine (gaya penyajian berita yang menganut struktur bercerita/story structure).

Pada tingkat organisasi media, yang menjadi fokus adalah tujuan organisasi media, yaitu tujuan ekonominya, mencari keuntungan. Tujuan lainnya seperti memproduksi content yang berkualitas, melayani publik dan mendapatkan pengakuan profesional dibangun mengikuti tujuan mencari keuntungan.

Pada tingkat ekstramedia, faktor-faktor yang mempengaruhi content media antara lain sumber-sumber informasi yang dijadikan isi media (seperti kelompok kepentingan dalam masyarakat), sumber-sumber pendapatan media (seperti pengiklan dan khalayak) serta institusi sosial lainnya (seperti pemerintah).
Pada tingkat ideologi, yang ingin diamati adalah bagaimana media berfungsi sebagai kepanjangan kepentingan kekuatan dominan dalam masyarakat, bagaimana rutinitas media, nilai-nilai dan struktur organisasi dikombinasikan untuk mempertahankan sistem kontrol dan reproduksi dari ideologi dominan tersebut.

Kriteria Penilaian Penampilan Media
Mengacu pada apa yang dikemukakan oleh McQuail (1991:123-132), ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menilai kinerja media, yaitu:
Pertama, kebebebasan dan independensi, prinsip ini harus diartikan sebagai tidak adanya peraturan atau kontrol yang membatasi atau mengarahkan media. Pada jenjang organisasi media, kebebasan biasanya dinilai berdasarkan kadar kontrol yang disajikan oleh para pemilik dan manajer terhadap para komunikator (penyunting, produsen, dan lain-lain), serta kontrol yang dikenakan oleh pada komunikator sendiri terhadap pada bawahannya (wartawan, pengarang, seniman, dan lain-lain) dalam wadah organisasi yang seringkali bersifat birokratis dan hirarkis. Sehubungan dengan isi media, seringkali terwujud dalam bentuk penghapusan berita tertentu sehingga mengakibatkan perbedaan antara isi suntingan dengan apa yang diberikan oleh sumber. Prinsip ini setidaknya memberi harapan bahwa media akan mampu melakukan berbagai upaya aktif untuk menciptakan dan memelihara suasana independen serta menolak kontrol eksternal yang dipaksakan atau konformitas dengan kelompok yang mementingkan diri sendiri.

Kedua, ketertiban dan solidaritas, kebanyakan media telah bergerak dalam batas-batas yang dapat diterima oleh masyarakat dan terikat oleh harapan masyarakat untuk tidak berbuat sesuatu yang seharusnya tidak dilakukannya, yang dapat menimbulkan disorganisasi sosial, atau merusak individu, kelompok sosial atau masyarakat itu sendiri. Wujudnya dapat berupa penyajian bukti atau prakiraan yang mantap menyangkut dampak negatif yang bisa timbul. Sedangkan perwujudan solidaritas media masih dapat diidentifikasi dalam beberapa bentuk, misalnya dukungan dewan redaksi terhadap kelompok yang bertentangan; himbauan tentang kepentingan bersama dan kedamaian; pemantapan identitas, kepentingan dan semangat bangsa; dan dukungan pada nilai-nilai komunitas setempat.

Ketiga, keanekaragaman dan akses. Keanekaragaman merupakan kondisi yang diperlukan khalayak untuk dapat menentukan pilihan. Keanekaragaman refleksif, mengandung pengertian bahwa keanekaragaman media harus merupakan pencerminan keanekaragaman masyarakat secara proporsional. Sementara akses yang terbuka mengandung makna bahwa semua pandangan dan sektor dalam masyarakat dianggap sama.

Keempat, obyektivitas dan kualitas informasi. Obyektivitas pada umumnya berkaitan dengan berita dan informasi. Menurut J. Westersthal, komponen utama obyektivitas berita dapat digambarkan sebagai berikut:

Komponen utama obyektivitas berita
Kefaktualan dikaitkan dengan bentuk penyajian laporan tentang peristiwa atau pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada sumber dan disajikan tanpa komentar. Kefaktualan ditentukan oleh kebenaran, yang dapat berupa keutuhan laporan ketepatan yang ditopang oleh pertimbangan independen, dan tidak ada niat untuk menyalaharahkan atau menekan. Relevansi berkenaan dengan proses seleksi yang dilaksanakan menurut prinsip kegunaan yang jelas untuk kepentingan khalayak dan masyarakat. Impartialitas, dihubungkan dengan sikap netral wartawan (reporter), sikap yang menjauhkan setiap penilaian pribadi dan subyektif demi pencapaian sasaran yang diinginkan.

Kelima, kualitas budaya, prisip ini dimaksudkan untuk isi media yang bersifat fiksi, hiburan dan iklan. Maknanya bahwa isi media harapannya mempunyai kualitas kebenaran dan keaslian, kedalaman, tidak berupaya untuk melakukan manipulasi dan mengarahkan pada sikap kritis. Hal ini dapat dilakukan dengan perbandingan antarsaluran atau antarkurun waktu.

Berkaitan dengan sifat dari media baru, maka masalah yang berkenaan dengan kualitas informasi dan potensi interaksi semakin menonjol, maka hal-hal yang menyangkut kebebasan, ketertiban, keanekaragaman dan kualitas budaya menjadi kurang mendesak untuk dipersoalkan.

08 Januari 2009

Layanan Berbasis Telepon Bergerak

Ada tulisan yang sudah dimuat Koran Jakarta, 8 Januari 2009. Terima kasih Korjak dan rekan Doni, atas dimuatnya PSO ini.


Pertumbuhan pengguna telepon bergerak di Indonesia sangat dramatis. Lihat saja, jika sebelumnya diprediksi bahwa pengguna telepn seluler (ponsel) baru akan melampaui angka psikologis 100 juta pada 2009, kenyataannya di tahun 2008 separuh penduduk Indonesia telah diperkirakan telah terkoneksi akses telekomunikasi, dimana dalam catatan regulator, jelang akhir tahun 2008 saja pengguna sudah melebihi angka 130 juta pengguna.



Selain teledensitas pengguna, telepon bergerak juga memberikan kontribusi berarti dalam hal penetrasi. Hampir semua kecamatan di Indonesia telah terjangkau sinyal ponsel. Bahkan kini, operator-operator seperti Telkom, Telkomsel, Indosat dan XL, juga mulai berlomba-lomba memberikan layanan di daerah terpencil dan terluar di wilayah Republik Indonesia. Karena itu tidak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan di depan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pertengahan 2008 lalu menegaskan bahwa sektor telekomunikasi diarahkan menjadi pro rakyat dengan tarif yang terjangkau dan layanan yang menjangkau ke seluruh Indonesia.



Hanya saja, pertanyaan krusial terkait dengan perkembangan layanan telepon seluler adalah apakahnya cukup sampai di situ saja? Jawabannya, tentu tidak. Dalam Undang-Undang Telekomunikasi No. 36/1999, persoalan akses hanyalah di satu sisi. Sementara di sisi lain, ada tujuan yang lebih dari telekomunikasi yang sekadar sebagai alat, yaitu bagaimana layanan telekomunikasi bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.



Secara kasat mata, diakui memang saat ini begitu banyak kalangan memanfaatkan dan mendapat manfaat dari layanan dan bisnis telekomunikasi. Bukan cuma orang kota, orang tua dan hanya pegawai kantoran, melainkan juga hingga pelosok kampung, anak-anak, serta tukang ojek, bahkan tukang bakso merasa memilikinya agar pelanggan dapat menghubunginya jika dibutuhkan. Gerai-gerai penjual voucher juga bertebaran di mana-mana karena pulsa kini telah melengkapi sembako menjadi kebutuhan pokok kesepuluh. Yang tak kalah menariknya, kini Pemda-Pemda juga melirik bisnis telekomunikasi untuk menjadikannya Pendapatan Asli Daerah.



Selain perkembangan tersebut, kini saatnya kita memikirkan peran besar lain yang dapat disumbangkan telepon bergerak untuk kemaslahatan rakyat. Peran itu berupa layanan nilai tambah, seperti m-government, m-business, m-health maupun m-learning, menggantikan peran e-government, e-business, e-health maupun e-learning yang saat ini masih belum berjalan efektif karena terkendala dengan jumlah pengguna internet yang masih sangat jauh dibanding pengguna ponsel.



Dengan m-government, maka sesungguhnya layanan pemerintahan dapat pula dijalankan secara bergerak dan hanya melalui ponsel. Misalnya saja pemberitahuan mengenai masa berlaku KTP, SIM maupun passport yang akan habis, semua informasi bisa disampaikan dengan cara mudah, baik melalui SMS, MMS maupun layanan data 3G atau GPRS.



Begitu juga dengan layanan bisnis, kesehatan serta pendidikan. Untuk bisnis, saat ini masyarakat sudah terbiasa menggunakan layanan m-banking. Di tahun ini, layanan-layanan pembayaran juga sudah diberikan para operator. Bahkan, akan hadir pula layanan vending machine untuk membeli minuman atau kue-kue ringan dimana uang akan digantikan dengan SMS. Sementara kesehatan memang belum banyak dielaborasi, baru sekadar dimanfaatkan rumah sakit-rumahsakit untuk mendapatkan masukan dari pasien mengenai layanan yang diberikan atau menampung keluhan.



Pendidikan juga sudah mulai memanfaatkan layanan ponsel untuk mengecek hasil ujian, pemberitahuan jadwal kuliah maupun komunikasi antara orang tua dan guru. Namun sebenarnya, potensinya bisa lebih besar. Selain belajar jarak jauh, buku-buku elektronik yang sekarang ini harus diunduh melalui internet, sesungguhnya dapat disebarluaskan di sekolah-sekolah dengan fitur teknologi yang ditanam dalam ponsel.



Begitu juga dengan museum-museum atau wahana-wahana yang memberikan nilai edukasi. Penjelasan mengenai tempat-tempat tersebut, ketika kita berkunjung, tidak perlu menggunakan buku atau guide, melainkan cukup dengan mengirimkan informasi yang dimaksud melalui ponsel.



Untuk mewujudkan itu semua yang diperlukan adalah dukungan membangun ekosistem implementasi layanan berbasis telepon bergerak. Pemerintah harus aktif mendukung inisiatif layanan bergerak, terutama untuk layanan publik. Industri ditantang untuk memperkuat infrastruktur dan menyediakan lingkungan akses broadband memadai. Masyarakat perlu juga memberi masukan layanan-layanan yang dibutuhkan. Dan kita semuanya tentunya harus berkomitmen, bahwa layanan yang diberikan harusnya yang mencerdaskan, membangun karakter bangsa dan mensejahterakan masyarakat.

04 Januari 2009

Dibikinin Karikatur Dong...

Setelah dibikinin profil satu halaman koran, bahkan ada yang dua halaman majalah secara penuh, ternyata ada tabloid telekomunikasi yang selain bikin wawancara satu halaman juga bikinin karikatur lucu tentang saya. Belum pernah sih ada bikinin kayak begini. Nggak tahu, mirip nggak ya?

Ayo, ada yang bisa bikin karikatur yang lebih mirip dengan saya nggak...?? BTW, terima kasih Tablod Outlet untuk karikatur dan wawancara nya.