20 Februari 2009

Informasi, Teknologi dan Teknologi Informasi

Dalam pandangan Harrington (1993), informasi dapat dimaknai dalam dua paradigma yang dapat mempengaruhi sebuah organisasi. Pertama, dalam paradigma berdasar sumber (resource-driven), pemahaman terhadap informasi lebih fokus pada kontinyuitas dan konsistensi dari informasi itu sendiri. Kedua, dalam paradigma berdasar persepsi (perception-driven), informasi dilihat sebagai sebuah konsep yang abstrak, sebagai produk dari persepsi individual. Ini merupakan fenomena yang temporer dan hanya dimiliki oleh penerima informasi.

Paradigma yang digunakan oleh sebuah organisasi dalam memaknai informasi akan berpengaruh terhadap desain dari organisasi mereka. Jika informasi dipahami sebagai sebuah sumber daya (resource) daripada sebagai hasil dari sebuah sistem, biasanya akan ada kontrol yang lebih tersentral, karena asumsinya informasi merupakan bagian dari kekayaan organisasi (corporate property). Dalam kerangka paradigma ini, pandangan terhadap informasi diwarnai oleh penggunaannya sebagai sumber. Seperti sumber daya lainnya, informasi dapat disediakan pada waktu kapanpun dengan kepastian penerimaan sebuah nilai perkiraan darinya. Informasi dikaitkan sebagai sesuatu yang tidak berubah, karenanya dapat dengan mudah diakomodasi ke dalam prosedur formal dari sebuah organisasi.

Berkaitan dengan hal tersebut, Herbert A. Simon mengajukan proposisi: Pertama, informasi keberadaannya bersifat independen dari penerimanya. Sebagai konsekuensinya, sistem informasi didesain dengan asumsi bahwa informasi dapat diprediksi dan mempunyai nilai yang konsisten; Kedua, informasi secara logis tidak berubah selama pengiriman, sehingga jika sebuah organisasi bisnis digerakkan oleh fungsi-fungsi pengiriman informasi, maka semakin tinggi nilai dari seperangkat informasi yang diberikan, akan semakin penting berhubungan dengan fungsi pengirim.

Sementara itu, jika informasi dimaknai sebagai sesuatu yang dimiliki secara personal, maka informasi tersebut akan dilihat sebagai bagian yang ada di luar struktur formal organisasi (Harrington,1993). Paradigma ini tidak mempertimbangkan informasi sebagai sumber. Individu atau kelompok mengusahakan informasi mereka sendiri.

Yang dimiliki oleh organisasi adalah seperangkat data, fakta dan angka spesifik untuk fungsi tertentu, tetapi bagaimana data tersebut digunakan adalah tergantung pada kompetensi dari individu itu sendiri dalam menginterpretasikannya. Manajemen dapat mengontrol secara tidak langsung melalui pelatihan, tetapi mereka tidak dapat mengontrol secara langusng proses berpikir di mana data diolah menjadi informasi. Dalam paradigma ini berlaku proposisi bahwa, pertama, informasi tidak ada di luar persepsi dari penerimanya. Konsekuensinya karena informasi bersifat individualistik maka tidak tepat untuk memperlakukannya sebagai sebuah sumber daya (resource).

Kedua, informasi lebih dari sekedar pemrosesan data, sehingga untuk dapat bekerja secara efektif, maka sistem (baik manual maupun computerized) harus didesain untuk menghasilkan data dan bukan informasi. Data merupakan input bagi sebuah proses, sedangkan informasi merupakan output dari proses.

Ketiga, data bersifat absolut, sedangkan informasi tidak. Data mempunyai sifat “bebas-waktu” dan karena itu tidak berubah dan statis. Sedangkan informasi dapat diganti dan diubah. Informasi bersifat ‘terikat-waktu” dan nilanya dapat berganti dari peristiwa ke peristiwa berikutnya. Bersifat dinamis dan berkembang karena ditentukan oleh persepsi individu. Konsekuensinya, integritas dari informasi yang dihasilkan sebagai sebuah sumber harus dapat dipertanyakan.

Dan keempat, informasi tidak pernah dapat ditransmisikan. Data dapat diubah ke dalam data yang lain, dikirimkan dan diterima. Sedangkan informasi diubah sebagai bagian dari data, hanya dapat diterima tetapi tidak pernah dikirimkan. Konsekuensinya, tidak ada apapun sebagai sebuah sistem informasi, karena informasi sangat sementara (transient). Subyektivitas individu dapat dibentuk melalui pelatihan dan prosedur formal untuk menentukan apakah itu informasi. Pada waktu yang lain, persepsinya mungkin berbeda. Sistem informasi tidak dapat bekerja dalam cara ini.

Perbedaan dari kedua paradigma tersebut mungkin tampak tidak kentara, demikian juga dalam penggunaan informasinya. Tetapi menurut penelitian NBS berpengaruh terhadap desain organisasi. Karakteristik struktural dari pengadopsian kepemilikan informasi secara individual bisa bersifat ektrem. Di satu sisi dapat sangat organik dan informal (adhocracies) di mana semua anggota tampak memberikan kontribusi secara sama, masing-masing memproses sebuah teknik tertentu untuk menginterpretasikan data. Di sisi yang lain, organisasinya bersifat formal dan mekanistik (birokratik). Kekakuan dari struktur mencegah penggunaan beberapa informasi sebagai sebuah sumber, sehingga kegagalan beberapa proses terjadi pada individual.

Hal ini berlawanan dengan paradigma berdasar-sumber di mana karakteristik struktural dari organisasi tampak berorientasi terpusat, dengan lingkungan pengaruh pada pinggiran, kepentingan mereka tergantung pada nilai yang diterima dari seperangkat informasi tertentu.

Jika informasi memberikan manusia akses terhadap kemanusiaannya, maka teknologi memberikan cara mencapainya. Teknologi adalah proses historis yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan persepsinya terhadapa lingkungannya. Teknologi dapat dipandang dari empat perspektif.

Menurut perspektif ilmiah, teknologi lebih dilihat tidak lebih hanya sebagai mesin, yang dapat diprediksi dan dikontrol, dianalisis dan didesain, terbatas dan fisik. Sementara itu perspektif sosiologis memandang teknologi sebagai fenomena sosial. Ada tiga tema utama yang menjadi bahasannya, yaitu teknologi sebagai faktor penggerak yang menimbulkan perpecahan antara pemilik dan pekerja; kekuatan pemersatu yang mempererat bersama elemen-elemen yang terpisah dalam sebuah organisasi; dan sebagai sebuah proses sosial di mana elemen-elemen organisasi yang terpisah secara jauh tetapi sangat terintegrasi dalam satu sistem.

Sedangkan perspektif politis lebih memandang teknologi sebagai alat dalam proses politis daripada sebagai sebuah proses. Ini memberikan kontribusi bahwa teknologi tidak hanya berkaitan denagn proses produksi atau proses sosial belaka, tetapi juga dapat digunakan sebagai senjata.Topik yang dikaji berkaitan dengan gagasan tradisional bahwa teknologi adalah instrumen konflik, yang digunakan untuk mengontrol dan mengalahkan yang lain; teknologi sebagai senjata politik baik nasional maupun internasional. Perbaikan dari tema sebelumnya, tidak hanya sebagai senjata politik tetapai lebih terintegrasi ke dalam proses sosial.

Terakhir, perspektif ekonomi, melihat teknologi sebagai sumber daya yang harus dikelola. Tema kajiannya, bahwa teknologi dapat diubah dari jangka pendek ke jangka panjang hanya dengan investasi; dan bahwa teknologi adalah faktor yang kurang luar dan lebih sebagai sesuatu yang dapat dikontrol dan kekuatan yang dapat digunakan untuk berubah.

Teknologi informasi (TI), meskipun juga teknologi tetapi adalah sesuatu yang sangat berbeda. TI lebih terbatas pada dasar pengetahuan dari teknologi umum (general technology) dan memberi penggunanya akses terhadap bidang perseptual yang secara teoritis tidak terbatas. Idealnya, TI memberi kita akses terhadap database yang terintegrasi luas mengikuti konstruksi pengetahuan dimana tidak dapat diterima dalam sistem tradisional yang manual.

Teknologi umum dibatasi oleh domain fisik, dapat berupa mesin, atau proses yang abstrak seperti management technology. Namun demikian teknologi tersebut tidak dapat membangkitkan persepsi sejauh parameter yang didesain untuk dirinya sendiri. TI, di lain pihak, dapat. Seperti teknologi yang lain, TI juga mempunyai ciri fisik. Pertemuan antara orang dan struktur pengetahuan tersebut adalah peralatan fisik, untuk mengaksesnya kita harus menggunakan hardware dan software.

Karena itu ada dua dimensi dari semua teknologi, yaitu physical domain dan perceptual domain. Batasan fisik dari teknologi umum membuat bias terhadap physical domain, sementara kebalikannya adalah true (kebenaran) bagi TI. Fokus kita pada TI. Pertama, ada dimensi fisik dari mesinnya yaitu hardware, seperti keyboard komputer, modem, dll. Kedua, dimensi perseptual yang memberikan TI kekuatan yang lebih besar yaitu kemampuannya untuk menyediakan dan memanipulasi persepsi kita melalui struktur pengetahuan. Misalnya, organisasi digerakkan oleh persepsi-persepsi dari anggotanya. Sehingga TI mempunyai potensi untuk mengubah karakteristik organisasi dengan mengubah persepsi kita.

Jadi, TI didefinisikan dalam dua terminologi baik aspek fisik maupun perseptual. Tetapi ada juga elemen manusia, tanpanya kedua domain tersebut tidak memiliki arti apapun. Melalui pengkonstruksian pengetahuan yang dibentuknya, ia mempunyai kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia dan akhirnya terhadap cara kita bertindak dalam organisasi.

Kriteria yang digunakan untuk mengukur keberhasilan dari sebuah TI didasarkan pada efisiensi dan domain fisik. Dengan kata lain jika dapat menghasilkan dengan lebih cepat, itu dikatakan berhasil. Kita menilai sistem komputer kita jika komputer tersebut melakukan proses produksi. Apa yang tidak kita lihat adalah efek yang lebih luas, karena kita tidak melihat dampaknya sampai persepsi kita mengabaikannya.

12 Februari 2009

Aneh, UU ITE Dibahas Bertahun-tahun Kok Dibilang Terlalu Singkat

Jakarta - Sidang perkara uji materiil UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berlanjut. Kali ini, saksi ahli yang dihadirkan pemohon meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar membatalkan UU tersebut."UU ITE memberi ketidakpastian hukum karena dibahas terlalu singkat. Bagaimana bisa menjadi payung hukum?" kata Rudi Rusdiah di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (12/2/2009). http://www.detikinet.com/read/2009/02/12/144444/1083936/399/saksi-ahli-batalkan-uu-ite

Baca berita Detikcom hari ini (12/2/2009), ada hal yang aneh. Pasalnya, UU ITE tidak dibahas secara singkat. Setelah menanti bertahun- tahun, DPR baru di 2008 mensahkan Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE menjadi undang-undang.Walaupun bagi sebagian kalangan kebutuhan akan UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik dirasa terlalu mewah dan tidak mempunyai dampak besar terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun sesungguhnya bangsa ini memerlukan kepastian hukum menyangkut hal-hal yang berbau elektronik, apalagi dengan berubahnya modus kejahatan yang tadinya bersifat offline (tradisional) menjadi online sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Penting untuk dicatat, meski penetrasi semisal internet di Indonesia masih cukup rendah, namun posisi Indonesia di dunia hitam kejahatan cyber cukup disegani. Nama Indonesia naik turun dalam posisi dominan kejahatan internet, seperti dicatat AC Nielsen tahun 2001 Indonesia berada pada posisi keenam terbesar di dunia atau keempat di Asia dalam tindak kejahatan cyber. Kemudian data ClearCommerce yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat, mencatatkan, pada 2002 Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal carder terbesar di dunia.

VeriSign, perusahaan keamanan teknologi informasi dunia, mencatat bahwa Indonesia berada pada peringkat paling atas di dunia dalam hal persentase kejahatan penipuan perbankan di dunia. Sementara dalam hal kuantitas, posisi Indonesia berada di urutan ketiga. Karena dicap sebagai sarang teroris dunia maya, orang Indonesia yang ingin berbelanja lewat internet sering tidak dipercaya lagi oleh merchant luar negeri.

Kompleks
Satu kata yang dapat menggambarkan apa yang disebut dengan cybercrime adalah kompleks. Hal itu dikarenakan hampir semua kejahatan yang bersifat kejahatan tradisional dengan bantuan teknologi informasi dapat berubah menjadi kejahatan baru yang kemudian dapat disebut sebagai cybercrime. Ada beberapa terminologi yang dipakai mengenai cybercrime.Krone (2005) mengatakan, cybercrime adalah kriminalitas terhadap data dan hak cipta. Ini kemudian ditambahkan termasuk fraud, unauthorized access, pornografi anak, dan cyberstalking (Zeviar-Geese, 1997).

Terminologi lain yang mungkin dapat mewakili pengertian cybercrime adalah kejahatan yang melibatkan komputer atau jaringan sebagai alat, target, ataupun tempat melakukan kriminalitas (Wikipedia).Dalam catatan beberapa literatur dan situs-situs yang mengetengahkan cybercrime, berpuluh jenis kejahatan yang berkaitan dengan dunia cyber. Yang masuk dalam kategori kejahatan umum yang difasilitasi teknologi informasi, antara lain penipuan kartu kredit, penipuan bursa efek, penipuan perbankan, pornografi anak, perdagangan narkoba, serta terorisme.

Sementara itu, kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran, di antaranya denial-of-service attack, defacing, cracking, ataupun phreaking.Kejahatan internet yang marak di Indonesia meliputi penipuan kartu kredit, penipuan perbankan, defacing, cracking, transaksi seks, judi online, dan terorisme dengan korban berasal selain dari negara-negara luar—seperti AS, Inggris, Australia, Jerman, Korea, dan Singapura—juga beberapa daerah di Tanah Air.Yang cukup menarik adalah judi lewat media internet. Walaupun pihak kepolisian begitu gencar dan menyatakan perang terhadap judi, namun ternyata hanya beberapa ratus meter dari Istana Negara kemudian diketahui menjalankan bisnis judi lewat internet dengan alamat www.indobetonline.com.

Untuk memerangi kejahatan cyber yang telah, sedang, dan akan muncul, mendesak diperlukannya kepastian hukum. Idealnya kita memiliki cyberlaw yang menjadi payung bagi aturan-aturan yang terkait dengan dunia cyber, namun karena RUU ITE telah menempuh waktu yang lama untuk dibawa ke parlemen dan dibahas, UU ITE sesungguhnya dapat pula dijadikan payung karena beberapa hal yang terkait dengan kepastian hukum mengenai informasi elektronik telah diadopsi UU ITE semisal perebutan nama domain, HAKI, perlindungan informasi pribadi, hacking, cracking, carding, serta perdagangan password.

Tak ketinggalan adalah UU ini juga mengikuti tren kejahatan cyber yang mengglobal, seperti kasus penipuan lewat e-mail yang dilakukan penjahat cyber dari negara-negara seperti Nigeria, Afrika Selatan, yang banyak menelan korban orang Indonesia. Itu artinya, yurisdiksi UU nantinya berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk setiap orang di luar Indonesia yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU tersebut yang akibatnya dirasakan di Indonesia.

Begitu juga pengadilan di Indonesia berwenang mengadili setiap tindak pidana di bidang teknologi informasi yang dilakukan oleh setiap orang, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, yang akibatnya dirasakan di Indonesia.Namun begitu, pengesahan UU ITE bukanlah akhir cerita dan jadi jaminan bahwa kejahatan cyber akan berkurang. Hanya berselang dua hari setelah UU ini disahkan, situs www.depkominfo.go.id di-deface hacker. Selain kasus ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah (PR) pertama sejak UU ITE disahkan, PR lainnya adalah dibutuhkannya segera peraturan pemerintah sebagai penjabaran apa yang menjadi semangat UU ITE.

Selain itu, agar efektif, perlu juga dijalin kerja sama antardepartemen dan instansi dalam lingkup nasional, regional, maupun global. Pengetahuan masyarakat untuk dapat menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab dan aman juga perlu ditingkatkan. Begitu juga dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) mengenai seluk-beluk cybercrime. Tak ketinggalan adalah perlunya segera lembaga yang bertanggung jawab terhadap ”keamanan” cyber guna memantau lalu lintas traffic data walau bukan untuk menyadap. Muaranya jelas agar Indonesia tidak akan terisolasi dari ekonomi digital yang mengglobal.

Satu hal yang patut dikedepankan, membatalkan UU ITE adalah langkah mundur. Jika ada harus yang diluruskan, mungkin itu menjadi wewenang MK untuk memutuskannya. Hanya saja, internet memang berpotensi menjadi media agitasi, provokasi, dan tersebarnya isu/fitnah yang tak bertanggung jawab. Jika pers, jelas siapa penulisnya, redaksinya, tapi di blog--misalnya, dengan anonimous, semua bisa dilakukan. Tentu perlu ada koridor hukum juga yang mengatur hal itu.

11 Februari 2009

Memahami Politik Sebagai Suatu Proses


Memahami politik sebagai suatu proses, mempunyai sejarah yang panjang dan mahal. Thucydides menceritakan proses alamiah dari perang Poloponnesian sebagai suatu tragedi sejarah. Sesuatu yang hebat tetapi kurang makna sebagai rangkaian dari peristiwa-peristiwa manusia dimana memimpin untuk mengakhiri kebesaran Athenian. Konsep Thucydides tentang proses sebagai kombinasi dari antimoni – proses makro dan mikro, kesempatan dan kebutuhan, keacakan dan kepastian – sisa dari contoh besar tentang kesulitan dan kekuatan inheren dalam penjelasan proses tentang sejarah politik.


Paling tidak sejak Polybius ada, telah banyak usaha-usaha untuk mendukung lingkaran sejarah, mengulang-ulang aturan tentang perubahan politik sepanjang waktu, dimana mengulang untuk mereka sendiri atau sukses untuk mereka sendiri. Elaborasi teori-teori dari Spengler dan Toynbee memimpikan mengulang-ulang aturan-aturan untuk menumbuhkan dan menjatuhkan peradaban. Hegel dan Marx, melihat pembangunan pertunjukan dalam sejarah, suatu proses tentang konflik dan diperbaharui sepanjang waktu. Weber, di sisi yang lain, memandang model tentang memahami proses sejarah sebagai mekanisme, suatu pembangunan yang kurang makna dari proses makro dimana tidak dibutuhkan pikiran yang maju, tidak cocok dalam pertunjukan yang rapi atau lingkaran ‘rasional’.

Pada resiko dari keruntuhan, banyaknya pandangan yang berbeda-beda diantaranya pertama, terdapat proses-proses ide-ide tentang putaran (cyclical), dimana sejarah diulang sendiri dalam pengulangan-pengulangan yang bisa diidentifikasi. Kedua, terdapat visi berirama, dimana tidak proses melingkar, tetapi melihat serangkaian aturan-aturan pada perubahan sejarah dan politik sepanjang waktu. Kemudian ada tradisi pembangunan yang berpikiran maju, dimana dalam berbagai cara melihat proses politik membawa perubahan pertunjukan sejarah yang terus lebih baik. Hal ini bertentangan dengan pandangan pembangunan yang tidak berpikiran maju, dimana argumen bahwa seseorang dapat mengobservasi dan mengidentifikasi proses utama dalam kegiatan politik, tetapi tidak sebagai bagian dari pola sejarah yang progresif.


Pada akhirnya ada pandangan yang kurang popular tetapi sama–sama baik, yaitu proses politik adalah suatu hal yang tidak dapat dimengerti, dan acak, juga bagian dari sesuatu yang tidak berpola atau bagian dari perkembangan yang dapat diidentifikasi, secara rasional dapat ditentukan., atau bahkan rangkain kausalitas yang dapat diterima. Pandangan yang terakhir ini dapat dikaitkan dengan eksistensialism, tetapi hal itu minimal kembali kepada Hume dalam bidang filsafat dan Machiavelli dalam bidang filsafat politik.

Machiavelli memandang politik adalah proses yang murni dan sederhana., sama sekali tanpa ciri-ciri yang dapat dikemukakan oleh pemikir lain yang telah kita sebut,yang terjadi pada dunia yang tidak permanen dan tidak stabil, Dengan keberuntungan yang pada puncaknya mengatur hasil situasi politik dan dengan sejarah dan politik menuju suatu tempat. Kita boleh menyebut pada hal ini sebagai pandangan dinamis dari proses politik.

PENGARUH FILSAFAT DAN FISIKA KLASIK

Ide tentang proses mendapatkan pengaruh besar pada periode modern oleh refleksi filosofis yang terinspirasi oleh fisika dan biologi baru, khususnya apa yang secara longgar diistilahkan sebagai “filsafat proses”. Penemuan bahwa ruang dan waktu itu tidak terpisah dan mutlak, bahwa sifat biologi itu dinamis dan berkembang, bahwa prilaku partikel sub atom rupanya menentukan efeknya.


Kita menyebut empat pemikir yang berpengaruh dalam bidang filsafat proses dan madzhab pemikiran yang sering dikaitkan dengan ide proses yaitu : Pragmatisme.
Nietzsche (1954) memandang kehidupan sebagai proses perubahan dan manusia selalu ada dalam proses yang tidak pernah berakhir. Dia memandang kehidupan itu berputar dalam lingkaran lebih jauh “perulangan abadi”, membusuk dan bangkit kembali. Bergson (1955) menerima gagasan tentang tentang durasi, yang memandang realitas sebagai proses temporal tanpa rajutan, yang terdiri dari beberapa aspek yang menentukan masa lalu tetapi juga sesuatu yang baru dari kreativitas intuitif pada masa kini. Seperti Bargson, Whitehead (1978) mengartikan proses dengan menghubungkanya ke metafisika yang tak jelas.


Keduanya mempercayai kemajuan melalui “kemajuan kreatif dari alam”. Seorang pemikir katolik berpengaruh, Tielhard de Cardin ( 1959) memandang evolusi sebagai kekuatan kreatif dari “fenomena manusia”yang merupakan ciptaan tertinggi. Tidak seperti Nietzsen, para pemikir memberikan ide mereka dengan menambahkan unsure teologis.

Keseluruhan kaum pragmatisme menolak godaan untuk menghubungkan alam dari proses sosial kepada pemeliharaan untuk tuhan. Piere (1931-1958) mengembangkan kosmologi evolusioner…Penganut aliran pragmatis secara keseluruhan menahan diri untuk menghubungkan alam dan proses social ke dalam pemeliharaan tuhan. Pierce membuat kosmologi evolusioner yang sulit yakni sebuah realitas yang berkesinambungan dalam perubahan yang dinamis di dunia ini yang dicirkan oleh “objective chance” (kesempatan yang onjektif). Teori-teori James dan Dewey lebih menekankan lagi pada evolusi dinamis yang terjadi di alam semesta. Dewey pada suatu kesempatan berpendapat bahwa masalah komunikasi berpengaruh terhadap suksesnya demokrasi, dan bahwa segala proses perkembangan dapat ditindaklanjuti melalui penciptaan ilmu social dalam menumbuhkan kesadaran “public”.


FILSAFAT MEAD DEWASA INI

Filsafat Mead dewasa ini termasuk yang lebih sulit untuk dijelaskna. Barangkali hal ini merupakan usaha utama dalam kosmologi pragmatis. Masa lalu terlah terjadi dan masa depan akan terjadi, namun realita orang-orang hanya ada pada bagaimana orang-orang tersebut “mempertunjukkan” dirinya sendiri di masa sekarang ini. Dari perspektif sekarang, masa lalu dan masa depan memiliki kehidupan yang berarti, tidak hanya merupakan konsep apa yang sebenarnya atau yang mungkin terjadi, tetapi lebih pada konsep keberlakuan masa lalu dan masa yang akan datang.

Gagasan tersebut dicetuskan untuk memperoleh pengaruh dari aliran Chicago yang terkenal tapi tidak tertanam luas pada ilmu-ilmu social. Meski demikian, gagasan tentang proses tersebut bertahan dalam ilmu social dan akan terhubungkan dengan gagasan komunikasi yang didengungkan oleh sekelompok kecil para ilmuwan, yang sering bekerja secara bebas dan tanpa menyebarkan pengaruh.

Dengan warisan filosofi dalam pikiran kita, mari kita mendiskusikan empat aliran yang mudah dikenali secara kasar dan juga memberi kontribusi pada literatur dimana mahasiswa yang mempelajari proses politik sebagai komunikasi mengenalinya. Kita dapat menamai aliran-aliran ini sebagai pandangan-pandangan ‘tradisional’ dari proses politik, aliran interaksionis simbolik, anals transaksional dan dramatisme. Setelah kita mendiskusikannya, kita akan memberi evaluasi dan pendapat untuk integrasi teoritikal.

04 Februari 2009

Terima Kasih Atas Doa dan Dukungannya


Pagi ini (4/2/2009), Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh dalam di Departemen Kominfo mengumumkan daftar 5 calon anggota KRT (Komite Regulasi Telekomunikasi) - BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) dari unsur masyarakat. Alhamdulilah, selain nama-nama Danrivanto Budhyanto, Iwan Krisnadi, Nonot Harsono, Ridwan Effendi, "terselip" pula nama saya, Heru Sutadi, di sana untuk menjalankan tugas sebagai Anggota KRT/BRTI periode kedua.

Dengan bergabungnya kembali ke "squad" BRTI, saya mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah memberikan doa dan dukungannya agar industri telekomunikasi di tanah air makin maju dan mensejahterakan masyarakat.

Satu hal pasti, tantangan ke depan akan kian berat. Sehingga, perjalanan belumlah selesai, bahkan kalau boleh dibilang baru akan dimulai. Sekali lagi, terima kasih.
Berikut berita sebagaimana dikutip dari Antara:
04/02/09 13:55

Menkominfo Tetapkan Lima Anggota Baru BRTI
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Muhammad Nuh mengatakan, keanggotaan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sudah ditetapkan tinggal menunggu pelantikan."Tadi malam (Senin) sudah dipilih lima anggota meski serah terima belum sekarang," kata Menkominfo, penandatangan kontrak kewajiban pelaksanaan universal (USO) telekomunikasi di Gedung Depkominfo, Jakarta, Rabu.
Lima anggota baru BRTI untuk masa tugas 2009-2011 yaitu yaitu, Iwan Krishadi, Danrivanto Budhijanto, Nonot Harsono, Heru Sutadi, dan M. Ridwan Effendi.Heru Sutadi yang merupakan peserta dari unsur masyarakat, sebelumnya juga merupakan anggota BRTI periode 2006-2008.Lulusan Teknik Elektro UI ini dinilai sejumlah kalangan memiliki kapasitas untuk dipertahankan sebagai anggota BRTI.
Sementara anggota lainnya, Iwan Krisnadi adalah Dosen Pasca Sarjana Ui Bidang Manajemen Telekomunikasi adalah lulusan doktor dari California Coast University, Amerika Serikat.Menurut Muhammad Nuh, ke lima anggota BRTI merupakan hasil seleksi dari 88 calon yang mendaftar.Dipilih lima orang setelah melalui proses uji administrasi yang dilanjutkan uji kompetensi seleksi tertulis dan wawancara meliputi Bahasa Inggris, test bakat, visi misi."Test juga dilakukan juga untuk mengetahui integritas masing-masing peserta agar dedikasi lembaga ini bisa dijaga," kata Muhammad Nuh.
BRTI ditetapkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 31 Tahun 2003, dengan tugas utama menjamin transparansi, independensi, dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi baik fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi.Adapun Ketua BRTI tetap dijabat Dirjen Postel Depkominfo, yaitu Basuki Yusuf Iskandar.
Menurut Basuki, pelantikan anggota BRTI diperkirakan baru bisa dilakukan pada Maret 2009 karena anggota BRTI yang lama harus menyelesaikan terlebih dahulu tugas-tugasnya."Penundaan pelantikan terkait akuntabilitas anggota lama BRTI yang belum rampung yaitu penetapan SKTT (Sistem Kliring Trafik Telekomunikasi--red)," kata Basuki.Terkait formasi anggotanya, Basuki mengutarakan, BRTI akan bekerja lebih profesional.Ia mengklaim sejumlah pekerjaan yang telah dirampungkan BRTI sebelumnya antara lain masalah tarif telekomunikasi, kode akses, menara bersama, dan satelit.Basuki juga menambahkan, tahun ini sebagai periode awal tugas anggota BRTI dengan menunjukkan kualitas membenahi berbagai masalah sehingga sehingga industri telekomunikasi berjalan mulus. (*)