Jakarta - Sidang perkara uji materiil UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berlanjut. Kali ini, saksi ahli yang dihadirkan pemohon meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar membatalkan UU tersebut."UU ITE memberi ketidakpastian hukum karena dibahas terlalu singkat. Bagaimana bisa menjadi payung hukum?" kata Rudi Rusdiah di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (12/2/2009). http://www.detikinet.com/read/2009/02/12/144444/1083936/399/saksi-ahli-batalkan-uu-ite
Baca berita Detikcom hari ini (12/2/2009), ada hal yang aneh. Pasalnya, UU ITE tidak dibahas secara singkat. Setelah menanti bertahun- tahun, DPR baru di 2008 mensahkan Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE menjadi undang-undang.Walaupun bagi sebagian kalangan kebutuhan akan UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik dirasa terlalu mewah dan tidak mempunyai dampak besar terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun sesungguhnya bangsa ini memerlukan kepastian hukum menyangkut hal-hal yang berbau elektronik, apalagi dengan berubahnya modus kejahatan yang tadinya bersifat offline (tradisional) menjadi online sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Penting untuk dicatat, meski penetrasi semisal internet di Indonesia masih cukup rendah, namun posisi Indonesia di dunia hitam kejahatan cyber cukup disegani. Nama Indonesia naik turun dalam posisi dominan kejahatan internet, seperti dicatat AC Nielsen tahun 2001 Indonesia berada pada posisi keenam terbesar di dunia atau keempat di Asia dalam tindak kejahatan cyber. Kemudian data ClearCommerce yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat, mencatatkan, pada 2002 Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal carder terbesar di dunia.
VeriSign, perusahaan keamanan teknologi informasi dunia, mencatat bahwa Indonesia berada pada peringkat paling atas di dunia dalam hal persentase kejahatan penipuan perbankan di dunia. Sementara dalam hal kuantitas, posisi Indonesia berada di urutan ketiga. Karena dicap sebagai sarang teroris dunia maya, orang Indonesia yang ingin berbelanja lewat internet sering tidak dipercaya lagi oleh merchant luar negeri.
Kompleks
Satu kata yang dapat menggambarkan apa yang disebut dengan cybercrime adalah kompleks. Hal itu dikarenakan hampir semua kejahatan yang bersifat kejahatan tradisional dengan bantuan teknologi informasi dapat berubah menjadi kejahatan baru yang kemudian dapat disebut sebagai cybercrime. Ada beberapa terminologi yang dipakai mengenai cybercrime.Krone (2005) mengatakan, cybercrime adalah kriminalitas terhadap data dan hak cipta. Ini kemudian ditambahkan termasuk fraud, unauthorized access, pornografi anak, dan cyberstalking (Zeviar-Geese, 1997).
Terminologi lain yang mungkin dapat mewakili pengertian cybercrime adalah kejahatan yang melibatkan komputer atau jaringan sebagai alat, target, ataupun tempat melakukan kriminalitas (Wikipedia).Dalam catatan beberapa literatur dan situs-situs yang mengetengahkan cybercrime, berpuluh jenis kejahatan yang berkaitan dengan dunia cyber. Yang masuk dalam kategori kejahatan umum yang difasilitasi teknologi informasi, antara lain penipuan kartu kredit, penipuan bursa efek, penipuan perbankan, pornografi anak, perdagangan narkoba, serta terorisme.
Sementara itu, kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran, di antaranya denial-of-service attack, defacing, cracking, ataupun phreaking.Kejahatan internet yang marak di Indonesia meliputi penipuan kartu kredit, penipuan perbankan, defacing, cracking, transaksi seks, judi online, dan terorisme dengan korban berasal selain dari negara-negara luar—seperti AS, Inggris, Australia, Jerman, Korea, dan Singapura—juga beberapa daerah di Tanah Air.Yang cukup menarik adalah judi lewat media internet. Walaupun pihak kepolisian begitu gencar dan menyatakan perang terhadap judi, namun ternyata hanya beberapa ratus meter dari Istana Negara kemudian diketahui menjalankan bisnis judi lewat internet dengan alamat www.indobetonline.com.
Untuk memerangi kejahatan cyber yang telah, sedang, dan akan muncul, mendesak diperlukannya kepastian hukum. Idealnya kita memiliki cyberlaw yang menjadi payung bagi aturan-aturan yang terkait dengan dunia cyber, namun karena RUU ITE telah menempuh waktu yang lama untuk dibawa ke parlemen dan dibahas, UU ITE sesungguhnya dapat pula dijadikan payung karena beberapa hal yang terkait dengan kepastian hukum mengenai informasi elektronik telah diadopsi UU ITE semisal perebutan nama domain, HAKI, perlindungan informasi pribadi, hacking, cracking, carding, serta perdagangan password.
Tak ketinggalan adalah UU ini juga mengikuti tren kejahatan cyber yang mengglobal, seperti kasus penipuan lewat e-mail yang dilakukan penjahat cyber dari negara-negara seperti Nigeria, Afrika Selatan, yang banyak menelan korban orang Indonesia. Itu artinya, yurisdiksi UU nantinya berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk setiap orang di luar Indonesia yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU tersebut yang akibatnya dirasakan di Indonesia.
Begitu juga pengadilan di Indonesia berwenang mengadili setiap tindak pidana di bidang teknologi informasi yang dilakukan oleh setiap orang, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, yang akibatnya dirasakan di Indonesia.Namun begitu, pengesahan UU ITE bukanlah akhir cerita dan jadi jaminan bahwa kejahatan cyber akan berkurang. Hanya berselang dua hari setelah UU ini disahkan, situs www.depkominfo.go.id di-deface hacker. Selain kasus ini menjadi tantangan dan pekerjaan rumah (PR) pertama sejak UU ITE disahkan, PR lainnya adalah dibutuhkannya segera peraturan pemerintah sebagai penjabaran apa yang menjadi semangat UU ITE.
Selain itu, agar efektif, perlu juga dijalin kerja sama antardepartemen dan instansi dalam lingkup nasional, regional, maupun global. Pengetahuan masyarakat untuk dapat menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab dan aman juga perlu ditingkatkan. Begitu juga dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) mengenai seluk-beluk cybercrime. Tak ketinggalan adalah perlunya segera lembaga yang bertanggung jawab terhadap ”keamanan” cyber guna memantau lalu lintas traffic data walau bukan untuk menyadap. Muaranya jelas agar Indonesia tidak akan terisolasi dari ekonomi digital yang mengglobal.
Satu hal yang patut dikedepankan, membatalkan UU ITE adalah langkah mundur. Jika ada harus yang diluruskan, mungkin itu menjadi wewenang MK untuk memutuskannya. Hanya saja, internet memang berpotensi menjadi media agitasi, provokasi, dan tersebarnya isu/fitnah yang tak bertanggung jawab. Jika pers, jelas siapa penulisnya, redaksinya, tapi di blog--misalnya, dengan anonimous, semua bisa dilakukan. Tentu perlu ada koridor hukum juga yang mengatur hal itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
brur heru,...1 singkat bukan refer pada waktu membuat UU ITE yang terkesan lama sekali.... 8 tahun , namun refer pada hanya satu ayat mencoba menampung dan menjelaskan hal yang sangat kompleks seperti pencemaran nama baik ? apa iya cukup... padahal kita bandingkan saja dengan di KUHP maka butuh 11 pasal dan puluhan ayat untuk pasal yang sama secara lebih detail ?
2. memang usulan itu ke pada Mahkamah Agung yang akan memutuskan sesuai prosedur dan aturan hukumnya.
salam kompak rudi rusdiah.
Pak Rudi,
salam kompak juga.
Yang saya tangkap begitu, singkat berbeda dengan kurang rinci. Tapi, bukan berarti tka ada korelasi antara UU ITE dengan KUHP kan?
Hanya saja, membatalkan UU ITE adalah seperti mencari tikus dengan membakar lumbung padi, dan lagi pula saya pikir perlu aturan hukum mengenai hal itu.
Ya, biarkan MK yang akan memutuskan, wong saya juga tidak ada kepentingannya kok..hehe
Posting Komentar