29 Mei 2010

Menimbang Adopsi LTE

Tulisan saya muncul lagi di Koran Jakarta, 27 Mei ini. Judulnya "Menimbang Adopsi LTE". Semoga bermanfaat bagi para pembaca. Berikut isi lengkapnya:



Perbincangan mengenai Long Term Evolution (LTE), generasi selanjutnya dari generasi ketiga (3G) dalam teknologi telekomunikasi bergerak, menyeruak menyusul kabar adanya beberapa operator telekomunikasi bergerak yang telah bersiap mengadopsi teknologi ini dengan meminta kepada pemerintah untuk dapat melakukan uji coba. Bukan hanya operator, para penyedia perangkat (vendor) pun gencar mempromosikan produk terbarunya utnuk dapat dipakai di operator.
Ketika diundang berbicara dalam Forum LTE Asia di Hong Kong tahun lalu, mengingat posisi Indonesia sebagai dynamic follower alias pasar, dan bukan produsen perangkat, pertanyaan yang banyak diajukan adalah kapan Indonesia akan mengadopsi LTE? Pertanyaan tersebut sama seperti ketika pemerintah belum mengeluarkan kebijakan mengenai WiMAX atau bahkan 3G. Harap maklum, selain pasar, negara ini dikenal haus akan teknologi baru, sehingga hampir semua teknologi telekomunikasi di adopsi dan ada di sini. Sebut saja AMPS, CDMA, GSM, GPRS/EDGE, 3G maupun WiMAX. Sehingga, kebijakan kapan Indonesia akan mengadopsi LTE, amat sangat ditunggu.
Sebenarnya, sebelum menjawab pertanyaan kapan Indonesia akan mengadopsi LTE, pertanyaan dasar yang perlu dijawab lebih dahulu adalah apakah kita perlu mengadopsi LTE? Hal itu mengingat jaringan 3G saja belum tersebar merata, dan baru saja operator Telkomsel dan Indosat ’menebus’ tambahan 5 MHz kedua di akhir tahun lalu.  Selain itu, tentunya, adalah manfaat apa yang akan didapat jika LTE diadopsi. Jika hanya menjadikan negara sebesar Indonesia sebagai pasar, dan tidak ada nilai tambah lain, LTE bisa jadi tidak diperlukan.
Agar bisa diadopsi, LTE kemungkinan harus mengikuti kewajiban yang sama seperti dibebankan saat akan menentukan adopsi WiMAX dimana untuksubscriber station wajib memenuhi sekurang-kurangnya 30% tingkat kandungan dalam negeri dan 50% untuk base station. LTE bisa saja diadopsi jika memang memberikan kesempatan bagi lokal untuk berkontribusi berupashare teknologi, membuka lapangan kerja dan lebih bagus lagi jika dapat membangun pabrik di sini. Selain itu, tentunya adopsi LTE juga akan tergantung pada para operator apakah memang LTE diperlukan untuk menjawab kebutuhan pita lebar (broadband) masyarakat.
Soal kapan akan diadopsi, jika melihat negara tetangga Singapura, Infocomm Development Authority (IDA) sebagai regulator juga baru melakukan konsultan publik terkait spektrum yang digunakan untuk 4G, yaitu 2,3 GHz dan 2,5 GHz (yang di Eropa dikenal dengan 2,6 GHZ). Walaupun konsultasi dilakukan hingga 7 Juni mendatang, namun nampaknya peluncuran komersial LTE akan tertunda karena pita frekuensi 2,3/2,6 GHz tidak lowong setidaknya hingga 2015.
Sementara itu, pemerintah Malaysia berencana akan melakukan lelang di frekuensi 2,6 GHz untuk LTE tahun depan. Adapun besar pita yang akan dilelang adalah dua blok 70 (2 x 70) MHz dan satu blok 50 (1 x 50) MHz. Namu begitu, akan ada konsultasi publik lebih dulu terkait dengan rencana melelang frekuensi di 2,6 GHz tersebut. Selain itu, regulator MCMC juga melakukan konsultasi tertutup dengan empat operator di sana—Maxis, Celcom, Digi dan U Mobile, terkait dengan refarming spektrum 2G di 850 MHz, 900 MHz and 1800 MHz untuk 3G.
Di Eropa, beberapa negara seperti Norwegia, Swedia dan Finlandia sudah melelang frekuensi 2,6 GHz untuk layanan telekomunikasi bergerak. Di Jerman, lelang dalam proses. Sementara di Belanda, Austria dan mungkin juga Inggris, lelang direncanakan dua tahun mendatang. Dan nampaknya, di berbagai dunia, ada kebutuhan yang besar terhadap frekuensi di 2,6 GHz. Selain itu, tentunya adalah penggunaan spektrum frekuensi yang ditinggalkan televisi analog ke digital di rentang 790-862 MHz, yang disebut juga dengan digital dividend, untuk LTE. Seperti Australia yang akan menggunakan digital dividend untuk layanan data broadband pada 2011 atau 2012, sebesar 2 x 20 MHz.
Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia untuk adopsi LTE? Yang jelas, saat ini yang kendala utama adalah frekuensi. Untuk frekuensi 2,6 GHz, walau pada pita frekuensi 2500 – 2520 MHz dan 2670 – 2690 MHz, tidak diberikan lagi izin baru untuk aplikasi non BWA, pita frekuensi 2520 – 2670 MHz digunakan untuk penyelenggaraan infrastruktur telekomunikasi bagi layanan penyiaran berbayar melalui satelit yang dilaksanakan oleh Media Citra Indostar. Meski disebut banyak pihak penguasaan frekuensi 150 MHz dinilai teralu besar, proses evaluasi optimalisasi frekuensi, juga akan butuh waktu. Sementara itu, untuk dapat memanfaatkan digital dividend, juga nampaknya masih butuh waktu panjang. Dari rencana digitalisasi radio dan televisi yang dikeluarkan pemerintah, paling cepat 2015 dan paling lambat 2018, tidak ada lagi siaran analog karena sudah pindah ke digital.
Yang juga menarik dari kondisi di sini adalah Indonesia belum setahun  menyelesaikan lelang WiMAX, yang hingga kini belum ada satupun pemenang lelang secara resmi memberikan layanan komersialnya. Ini perlu juga diperhatikan, mengingat belum jelas apakah antara LTE dan WiMAX akan saling berkompetisi atau komplemen, sebab keduanya akan fokus di layanan data berpita lebar (broadband) dengan alokasi frekuensi LTE yang lebih besar per bloknya sekitar 20 MHz, sementara WiMAX ‘hanya’ 15 MHz.
Idealnya, adopsi LTE dilakukan setelah melihat pengalaman keberhasilan  adopsi LTE di beberapa negara lain, minimal se-kawasan, namun tetap dengan memperhatikan keunikan negeri ini. Sehingga, proses komunikasi dan diskusi dengan negara se-ASEAN maupun Asia Pasifik, perlu diintensifkan. Sebab selain harmonisasi frekuensi untuk interoperabilitas, teknologi yang dipakai bersama di banyak negara tentunya juga akan lebih murah. Apalagi kalau kita dapat memproduksi perangkat LTE sendiri, maka potensi eksport juga besar. (herusutadi@hotmail.com)

21 Mei 2010

E-Voting dalam Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat

Munas Partai Demokrat yang dibuka hari ini (21 Mei) hingga tanggal 23 Mei akan mencatatkan sebagai Munas yang menggunakan teknologi terbaru pada proses pemilihan ketua umum partai berupa elektronik voting (E-voting). Konsep e-voting sama dengan model konvensional yang menggunakan hak, tetapi melewati proses verifikasi. Bedanya, seperti dipaparkan dalam situs resmi Partai Demokrat, proses klarifikasi peserta akan dimodali ID Card. ID card akan di barcode oleh panitia. Saat pemilihan ketua umum, ID diverifikasi dan akan dibaca oleh mesin.

Setelah terbaca maka identitas pemilih akan muncul dalam layar besar dan bisa diakses seluruh peserta. Setelah itu, kemudian menuju bilik suara untuk memilih. Setelah masuk di bilik suara, peserta akan menghadapi layar komputer untuk melakukan verifikasi kedua. Kemudian layar monitor touch screen akan memunculkan foto kandidat untuk dipilih. Kemudian, hasil pemilihan akan diumumkan secara elektronik. Dan jika ada kandidat yang merasa dirugikan, maka alat bukti pemilihan berupa struk pemilihan bisa diminta lagi oleh pihak yang protes sebagai bukti. Menurut panitia, teknologi yang dipakai dapat diaudit kebenarannya.
* * *
Secara pemanfaatan teknologi informasi, apa yang dilakukan Partai Demokrat merupakan sebuah langkah maju. Bahkan bukan cuma dalam hal pemanfaatan teknologi informasi, namun kemajuan dalam berdemokrasi. Di banyak negara, konsep e-voting sudah mulai diterapkan.

Sebagaimana diketahui, teknologi informasi berperan besar dalam mengubah gaya hidup, kehidupan ekonomi, sosial budaya, termasuk juga hubungan rakyat dan pemerintah, serta demokratisasi. Teknologi informasi dikembangkan pemanfaatannya dalam  berdemokrasi karena biaya yang murah, cepat, transparan dan memangkas birokrasi. Sehingga, mungkin sudah saatnya, jika beberapa waktu lalu, teknologi informasi telah meramaikan demokrasi dalam Pemilu di tanah air, termasuk diikuti dalam Pilkada,  penggunaan teknologi informasi dalam e-voting nampaknya hanya soal waktu saja.
E-voting disebut murah, karena memang jika dibandingkan dengan perhitungan manual, akan memakan waktu dan biaya, baik dari pencetakan misalnya kertas suara, petugas penghitung dan sebagainya. Dengan memangkas itu semua, maka penghitungan juga akan lebih cepat. Tidak ada aturan, berapa minimal peserta untuk dapat e-voting digunakan, tapi tentunya, ada semangat lain yang juga perlu dicermati adalah adanya transparansi jika e-voting dipakai. Masalah kertas suara yang salah, sudah dicoblos, ditandai maupun duplikasi kertas suara, tidak akan terjadi dengan penggunaan e-voting.

Mengapa? Sebab, mekanisme e-voting adalah pemilih anonimous, alias tidak dapat dijejaki siapa memilih siapa, dan tentunya tidak bakal ada pilihan yang sudah dipilih lebih dahulu, tidak seperti kertas suara manual yang bisa dicoblos lebih dulu. Hanya saja, yang perlu dicatat, sistem yang dipakai sudah harus lulus pengetesan dan audit. Tidak bisa alat berbasis teknologi informasi yang sekonyong-konyong baru, kemudian dipakai, sebab serangkaian pengujian perlu dilakukan agar alat dapat dijamin bekerja dengan baik, dan tidak akan ada masalah seperti penggelembungan angka untuk kandidat tertentu, ataupun dapat dijejakinya siapa memilih siapa. Sebab jika itu terjadi, maka tujuan partai yang lebih demokratis  bisa jadi tidak tercapai.

Lalu bagaimana dengan sistem yang akan Partai Demokrat? Yang jelas, sistem ini harus dites dan diaudit lebih dulu. Jika itu sudah, prinsip jaminan privasi harus dikedepankan. Artinya, jangan sampai ketika barcode ID card di-scan dan kemudian terpampang di layar, yang kemudian masuk memilih, urutan-urutan pemilih terekam dalam komputer, dan akan ketahuan siapa memilih siapa.

Hal lainnya, adalah, sebagaimana kelemahan e-voting, adalah mewaspadai setting dari sistem dimana walaupun jumlah pemilih akan sama antara yang benar-benar memilih dengan yang ada di komputer, namun sesungguhnya hal itu tidak bisa dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena memang sistem e-voting didesain bersifat anonimous, tak bisa diketahui siapa memilih siapa, yang justru juga memberi celah bahwa pemilih tidak bisa memastikan, apalah pilihannya terhadap kandidat tertentu memang benar kandidat itulah yang dipilih, bukan sebaliknya.  

Karena itu, sebaiknya, penggunaan e-voting, dilakukan hanya setelah memang benar sistem telah diuji dan dapat dpertanggungjawabkan hasilnya. Jika tidak, ya itu dapat dianggap hanya untuk gagah-gagahan saja, seolah-olah telah maju selangkah dalam berdemokrasi. (herusutadi@hotmail.com)

09 Mei 2010

Menghadapi CAFTA dengan Daya Tahan dan Daya Saing


Tulisan saya Maret lalu dimuat di Majalah Seluler. Terima kasih Seluler. Berikut ini isi lengkapnya:

Tahun 2010 merupakan awal baru dari era perdagangan bebas di kawasan ASEAN. Negara-negara ASEAN telah berkomitmen untuk mengimplementasikan perdagangan bebas dengan China. Perdagangan bebas China-ASEAN atau CAFTA  ini tentu ditanggapi beragam pendapat. Tentu ada pro, dan tidak sedikit yang kontra. Tulisan ini mencoba melihat secara singkat bagaimana dampak dari perkembangan CAFTA terhadap sektor teknologi informasi dan komunikasi Indonesia, dan bagaimana kita harus menyikapinya.

* * *

Satu hal yang perlu dikedepankan dalam pembahasan CAFTA adalah tidak ada sektor yang tidak terpengaruh oleh pasar yang menjadi lebih terbuka lagi dari sebelumnya, kecuali sektor yang memang belum dibuka, namun itupun hanya soal waktu saja. Sehingga, sektor telekomunikasi pun akan sedikit banyak terpengaruh dengan pasar yang kian bebas, fokusnya terutama adalah serbuan produk-produk China yang bisa dinilai merugikan, namun dapat dianggap juga “menguntungkan”.

Dikatakan menguntungkan karena memang, diakui atau tidak, produk-produk China sangat kompetitif, kalau tak mau dibilang murah. Misalnya saja telepon seluler (ponsel). Bila dibandingkan dengan produk-produk ber-merk global, maka produk China dengan tampilan yang nyaris sama lebih bisa terjangkau harganya bagi masyarakat. Dengan perluasan pengguna telekomunikasi dari kelas atas, kemudian menengah, dan kini ke kalangan bawah, serta dari orang-orang kota menuju desa-desa, maka yang dibutuhkan masyarakat adalah harga produk yang terjangkau. Tentu saja produk-produk China yang sudah menjadi “home industry” menjadi pilihan dibanding produk ber-merk buatan non-China.

Dengan dibukanya pasar bebas China-ASEAN, maka diperkirakan produk-produk seperti ponsel akan makin membanjiri pasar Indonesia. Ini dapat dilihat dengan sertifikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, yang mana terlihat akan kecenderungan naiknya produk-produk yang berasal dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Sebenanrya bukan Cuma ponsel. Perangkat telekomunikasi seperti perangkat BTS, switching, antena, jaringan serat optik sampai data card (dongle) kecenderungan penggunaan produk China meningkat, bahkan menggusur vendor-vendor Eropa. Selain harga murah, China juga berani berinvestasi dan memberikan kemudahan pembayaran bagi operator.

Jika vendor-vendor Eropa saja tergusur, apalagi dengan produk telekomunikasi lokal. Stigma harga yang tidak bersaing dan kualitas yang dipertanyakan, kesulitan mendapatkan pendanaan membuat para operator telekomunikasi berpikir seribu kali menggunakan produk dalam negeri. Inilah yang bisa dikatakan merugikan. Upaya mencoba membangkitkan industri perangkat telekomunikasi  dari “kuburnya”, bisa jadi terhambat bahkan menjadi sia-sia karena rintisan yang baru dimulai langsung dihadapkan dengan raksasa yang skala ekonomisnya sudah tinggi.

* * *

Dua kunci utama menghadapi CAFTA adalah soal daya tahan dan daya saing. Daya tahan di sini maksudnya adalah agar kita tidak sekadar menjadi pasar saja. Sebab, adopsi masyarakat yang cepat akan hadirnya teknologi baru dan demam pemanfaatan layanan teknologi informasi dan komunikasi, menjadi peluang sendiri dan daya tarik investor maupun produsen perangkat dari luar untuk masuk ke Indonesia. Jika memang tidak bisa “melawan”, perlu adanya saringan jaminan kualitas misalnya, agar tidak sembarang produk masuk. Apalagi harga yang murah tidak seiring dengan kualitasnya yang bagus. 

Selain sertifikasi yang ketat, karena ekonomi dunia bergerak jika ada kerja sama yang saling menguntungkan, perlu dibuat kebijakan nasional mengenai kewajiban pemasok perangkat telekomunikasi bekerja  sama dengan vendor dalam negeri ‘asli’ dan adanya Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tertentu sebelum produk itu bisa dipasarkan di sini. Tenaga kerja asing yang turut dibawa ke sini ketika perangkat telekomunikasi dipasarkan juga perlu dibatasi mengingat tenaga kerja Indonesia cukup melimpah dan punya kemampuan yang tidak kalah dengan tenaga kerja asing.  

Dalam hal daya saing, produsen perangkat telekomunikasi dalam negeri harus pandai berinovasi, melihat ceruk pasar serta menjaga kualitas produk sesuai standar internasional. Pemerintah harus membuka sumbatan-sumbatan yang terkait dengan upaya pengembangan produk lokal telekomunikasi. Biaya riset dan pengembangan yang mahal perlu dibantu, kesulitan perizinan perlu dipangkas, dan tentunya perlu keberpihakan dan komitmen bahwa industri telekomunikasi dalam negeri memang perlu dikembangkan, dan Indonesia bukan sekadar menjadi pasar saja.

Soal visi, misi dan strategi ke depan dalam hal teknologi informasi dan komunikasi ini jangan dianggap remeh. Ketika akhir November lalu berkunjung ke China dan menjadi pembicara dalam Seminar “Convergence of Industrialization and ICT: Challenges and Opportunities” yang diselenggarakan oleh ITU dengan pemerintah RRC, nampak jelas visi, misi dan strategi China dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk menghadapi konvergensi. Yaitu, dengan menggabungkan Kementerian Industri dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Ini artinya, ke depan, China akan memfokuskan industrinya ke arah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Industri yang akan menjadi sentral dari segala industri ke depan.