30 Desember 2008

Jangan Pornografi dan Pornoaksi di Depan Kamera

Foto Rahma dan Sarah Azhari menyeruak di rana publik kembali. Bukan pertama, dulu Rahma dan Sarah sudah beberapa kali foto minim nya masuk ke ruang publik. Sebenarnya bukan cuma Rahma dan Sarah, banyak artis juga, asli atau dengan rekayasa foto minimnya tersebar luas ke masyarakat. Sebut saja Almarhumah Sukma Ayu, Syaharani, Sandra Dewi, bahkan Olga Lidya, Luna Maya pun tidak luput dari penyebaran luasan foto-foto minim.

bukan cuma artis. Dalam catatan Inilah.com, Polda Jatim kini punya tugas ekstra: merazia ponsel pelajar. Sasarannya jelas: video mesum. Pekerjaan ekstra ini harus dilakoni menyusul maraknya beredar film esek-esek amatiran itu.

“Kami sudah mengumpulkan data file dari beberapa film porno buatan lokal Jawa Timur. Ini sudah mengkhawatirkan,” ujar Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Puji Astuti.

Jatim kini seperti ladang produksi film biru amatiran itu. Terakhir, kasus ini terungkap di Gresik. Seorang mahasiswa perguruan tinggi terkenal di Surabaya, direkam dalam video ponsel berdurasi 7 menit 9 detik. Gadis bertinggi badan 165 cm itu direkam dari mulai mengenakan baju cokelat transparan, lalu bra hitam kombinasi pink, hingga akhirnya bugil tanpa selembar benang pun.

Video itu direkam seorang pria dengan kamera ponsel. “Mantap...mantap,” kata pria itu sambil mengarahkan kameranya hingga ke bagian paling sensitif sekalipun.

Video itu ternyata tak hanya satu. Ada tiga episode. Pada dua episode pertama, videonya tak terlalu panas. Tapi, pada episode ketiga, dengan durasi cukup panjang, 14 menit 26 detik, adegannya mirip di film-film porno luar negeri. Bahkan, sedikit dibumbui adegan dan kata-kata kasar.

Belakangan diketahui, wanita yang juga terungkap beradegan layaknya suami istri dalam video itu, berinisial PT. Dia melakukannya bersama FR, kekasihnya. PT berdiam di Perum Griya Kembangan Asri.

PT, di mata tetangganya, anak yang baik dan cerdas. Kabarnya, mahasiswa teknik fisika semester II itu punya indeks prestasi tinggi. Nilainya melorot setelah pacaran dengan FR. “Sekarang (PT) kabarnya sudah bertunangan dengan salah satu karyawan BUMN terkenal di Gresik,” kata tetangganya.

PT dan FR sendiri kini sudah ditangani pihak kepolisian. Kepada penyidik, pemeran pria video mesum itu mengakui tidak sadar saat melakukan adegan suami istri itu. Ia bahkan mengaku seperti orang yang kerasukan sehingga dapat melakukan adegan hubungan seks yang cenderung kasar kepada PT, kekasihnya.

“Dia mengakui kalau berhubungan dengan lawan jenisnya kasar seperti itu. Tapi kalau saya nilai, dia punya kelainan seks, atau terlalu banyak menonton film-film panas barat," jelas Kasat Reskrim Polres Gresik, AKP Fadil Widiyanto.

Sebenarnya, bukan kali ini saja Jatim dihebohkan video mesum. Sepekan sebelumnya, seorang pelajar SMA asal Jombang, juga melakukan hal yang sama. Rekaman mesumnya itu bahkan diperjualbelikan di sejumlah konter ponsel. Filmnya pun punya tajuk: Intan Alangkabut.

Bulan lalu, kejadian menghebohkan ini juga melanda Bangkalan, Madura. Seorang siswi SMA Bangkalan, NA (19 tahun), warga desa Arosbaja, berperan di film tersebut. Sebelumnya, sebuah video mesum berdurasi 36 detik juga membuat ramai Probolinggo.

Menurut pakar telematika, Heru Sutadi, perkembangan pornografi sejalan dengan perkembangan teknologi. Semakin maju teknologi, semakin cepat dan semakin mudah dalam mengakses materi teknologi.

Awalnya pornografi hanya didistribusikan lewat kaset video, dan berubah ke keping VCD dan DVD. Saat ini, distribusi pornografi lebih mudah dan lebih cepat dengan berkembangnya teknologi yang makin maju.

Secara konvensional, materi pornografi biasa didistribusikan lewat keping VCD dan DVD, serta umum dijual, misalnya di Pasar Glodok. Sedangkan distribusi non konvensional lewat internet maupun ponsel.

Distribusi lewat internet lebih membahayakan. Selain lebih cepat, juga bisa diakses hingga daerah, asalkan ada akses internet. Selain itu, semua golongan hingga anak-anak kecil juga bisa mengakses tanpa ada yang bisa mengontrol.

Pencegahan distribusi pornografi di internet sulit dilakukan. Meskipun bisa difilter, tapi masih ada lubang agar orang bisa menembus penghalang yang diterapkan.

“Yang terbaik adalah menyadarkan masyarakat agar tidak merekam adegan yang tidak senonoh menggunakan perangkat perekam elektronik apapun,” katanya.

Namun kamera konvensional pun bisa berbahaya. Karena hasil rekaman harus disimpan dalam komputer, dan bisa dicopi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Rekaman lewat ponsel kamera lebih berbahaya. Hasil rekaman mudah distribusikan, cukup dengan fasilitas bluetooth bisa menyebar dari satu HP ke HP lain.

Selain itu, video mesum juga bisa dikirim lewat fasilitas MMS.

21 Desember 2008

Giliran Warta Egov Bikinin Tulisan

Warta eGov, media yang aktif memberikan informasi mengenai perkembangan pemanfaatan layanan secara elektronik, membuat tulisan tentang saya. Terima kasih Mas Yunus.



Heru Sutadi: Daftar BRTI dan KIP

Selasa, 16 Desember 2008 18:00

Heru Sutadi lebih dikenal sebagai anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Kiprahnya di BRTI ternyata tidak membuatnya kapok untuk menjadi bagian dari sebuah badan yang menentukan kebijakan seputar regulasi ini, meskipun masa jabatannya akan segera berakhir. Namun, tidak hanya melamar kembali posisi anggota BRTI, Heru juga mengikuti seleksi Komisi Informasi Pusat (KIP).


Saat ini seleksi calon anggota BRTI telah memasuki babak akhir, di mana masing-masing calon sudah harus berhadapan dengan panitia seleksi untuk memaparkan visi dan misinya. Di antara semua calon anggota, terdapat nama anggota BRTI Heru Sutadi. Heru sebelumnya duduk sebagai anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Indonesia BRTI.


“Di BRTI jika masa tugas berakhir dan akan kembali menjadi anggota, harus melalui proses yang sama dengan calon anggota BRTI yang baru, baik tes administrasi maupun tes-tes lainnya,” ungkap Heru yang baru menjalani satu periode keanggotaan, sehingga memiliki kesempatan di periode kedua.


Ternyata, selain “daftar ulang” di BRTI, Heru juga mengikuti seleksi anggota Komisi Informasi Pusat (KIP). Proses seleksi anggota KIP saat ini memasuki tahap ke-2, di mana calon anggota diminta untuk membuat makalah yang menggambarkan visi dan misi mereka tentang permasalahan yang berkaitan dengan informasi dan solusi mengatasinya.


“Visi dan misi saya jelas, menjalankan amanat UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Nanti saya sampaikan jika saya menjalani proses wawancara di depan panitia seleksi, sebab jika sekarang tentu sangat prematur,” tutur Heru.Menurut Heru, permasalahan informasi di Indonesia sesungguhnya memasuki babakan baru, di mana informasi yang tadinya semua bersifat rahasia dan hanya sedikit yang terbuka, kini semua menjadi terbuka dan hanya sedikit yang rahasia.


“Dalam good corporate governance, publik harus diberi hak untuk ikut serta mendapatkan informasi dan ikut dalam proses pemerintahan yang transparan, penyelenggaraannya yang baik, guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan masyarakat informasi,” jelasnya.Mengenai peluangnya untuk kembali menjadi anggota BRTI maupun terpilih sebagai anggota KIP, Heru mengaku pasrah.


“Apapun hasilnya, saya yakin Allah akan memberikan jalan dan pilihan yang terbaik bagi saya,” ujarnya. Namun, dengan pengalamannya di BRTI, Heru optimis bisa lolos seleksi di kedua “kontes” yang diikutinya tersebut. “Apalagi sering juga kita menangani dispute, meminta informasi dan memberikan informasi pada masyarakat,” imbuh Heru. (Yunus)

14 Desember 2008

IPTV: Potensi dan Regulasi

Televisi berbasis protokol internet dipercaya akan menjadi salah satu killer applications layanan yang mengonvergensikan telekomunikasi, penyiaran, dan informatika pada masa depan. Mengacu pada analisis Gartner, saat ini pelanggan IPTV dunia naik 64 persen dibandingkan tahun sebelumnya sehingga mencapai 19,6 juta. Selain pengguna, pendapatan pun naik 93,5 persen hingga menjadi 4,5 miliar dollar AS.

Televisi berbasis protokol internet (IPTV) yang menawarkan layanan lebih daripada sekadar internet TV makin berkembang sejak tahun 2007. Hal itu didorong dengan hadirnya para pemain baru, misalnya YouTube, situs jejaring sosial seperti MySpace dan Facebook, serta munculnya beberapa layanan baru oleh broadcaster, seperti Hulu dari NBC dan News Corp. Dengan demikian, tidak mengherankan jika Multimedia Research Group memprediksi bahwa pelanggan IPTV tahun 2009 akan meningkat menjadi 36,9 juta.

Di Indonesia, yang serius akan segera memasuki bisnis ini adalah PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom). Dari berita media massa, dikatakan bahwa PT Telkom, PT Indonusa Telemedia (TelkomVision), dan PCCW International Limited telah menandatangani kerja sama untuk penyediaan layanan IPTV di sini. Adapun mengapa PCCW yang digandeng disebut-sebut bahwa PCCW dianggap sukses mengoperasikan salah satu IPTV komersial terbesar di dunia dan pertama kali memperkenalkan teknologi quadruple play di Hongkong, yang memungkinkan media konten dan layanan interaktif disalurkan melalui platform fixed line, broadband internet, TV, dan seluler.

Di Asia, IPTV telah menjadi primadona penyumbang pendapatan, seperti dialami PCCW di Hongkong, Telekom Malaysia, dan SingTel. Potensi IPTV di Indonesia cukup besar. Berdasarkan Roadmap Infrastruktur Telekomunikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi tahun lalu, diperkirakan akan ada 4,8 juta pengguna IPTV tahun 2011. Angka tersebut memang merupakan angka realistis mengingat bahwa saat ini saja sudah begitu marak hadir layanan video streaming (broadcasting) melalui melalui situs-situs, seperti Kompas.com, Detik.com, OkeZone.com, serta TV streaming dari TV One dan SCTV.

IPTV merupakan sistem di mana layanan televisi digital dikirimkan dengan menggunakan internet protokol melalui infrastuktur jaringan. IPTV menawarkan kualitas layanan end-to-end berbeda dengan internet TV yang berbasis best effort untuk inovasi yang tak terbatas, seperti siaran televisi, video on demand, personal video recorder, pay per view dari siaran langsung, high definition TV, serta personalisasi tayangan.

Arsitektur IPTV memang beragam, tetapi kecenderungannya adalah berbasis Next Generation Networks (NGN) sebagaimana telah didefinisikan dalam ITU-T Y.2012 mengenai NGN Framework Reference Architecture. IPTV berbasis NGN menggunakan Network Attachment Control Functions (NACF) untuk fungsi otentifikasi dan konfigurasi IP, Resource and Admission Control Functions (RACF) untuk fungsi kontrol sumber daya dan izin masuk, serta Service Control Functions (SCF) untuk fungsi kontrol layanan.

Karena berbasis NGN dan protokol internet, isu teknis IPTV tidak bisa diabaikan begitu saja, Seperti dalam hal interkoneksi dan routing. Paradigma interkoneksi dan routing yang selama ini lebih bersifat ”best effort” harus diubah ke arah berbasis kualitas layanan (quality of service, QoS) sebab kebutuhan lebar pita untuk format video MPEG-4 berkisar dari 5 kbps hingga 4 Mbps. Tanpa mengubah rezim interkoneksi dan pemikiran mengenai routing, layanan berkualitas end-to-end tentu sulit didapatkan.

Yang menarik, selain QoS, IPTV juga harus memerhatikan kualitas pengalaman dari pengguna (quality of experience, QoE). Hal itu karena sifat kualitas layanan yang diberikan haruslah end-to-end sebab belum tentu layanan yang keluar dari jaringan penyedia layanan IPTV sama kualitasnya dengan yang dinikmati pengguna. Dengan demikian, ada rekomendasi standar minimal untuk QoE yang menyangkut hal-hal teknis, seperti jitter, durasi maksimum atas error tunggal, error tiap empat jam maupun banyaknya paket yang hilang, periode kehilangan, dan rata-rata kehilangan dalam pengiriman video streaming berbasis IP.

Selain isu teknis, isu lain yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan regulasi. Pertama adalah bagaimana menghitung dan mengatur perubahan rezim interkoneksi dari berbasis biaya (cost based) ke QoS based dengan pengembangan layanan berbasis internet protokol. QoS based merupakan alternatif biaya interkoneksi pada jaringan berbasis IP, selain berdasar volume based. Interkoneksi ini punya korelasi kuat dengan tarif ritel yang ditawarkan kepada pengguna.

Kedua, mengatur standar minimal kualitas pelayanan. Seperti dijelaskan sebelumnya, ada kualitas pelayanan (QoS) dan kualitas pengalaman dari pengguna (QoE). Jika melihat rekomendasi yang dikeluarkan ITU, sedikitnya ada 13 rekomendasi yang terkait dengan QoS.
Sementara untuk QoE, rekomendasi dibedakan pada transport bit stream-nya 8 Mbps, 10 Mbps, atau 12 Mbps, di mana masing-masing mempunyai tolok ukur minimum yang berbeda.

Ketiga, bagaimana mengatur, siapa yang akan mengatur dan mengawasi serta perizinan apa saja yang diperlukan untuk memberikan layanan IPTV. Persoalan ini menjadi krusial sebab ketika kita bicara teknologi berbasis IP, itu artinya sudah mengarah ke konvergensi. Kendalanya, sektor telekomunikasi, penyiaran, dan informatika punya undang-undang (UU) yang berbeda dengan persoalan yang berbeda.

Seperti UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang dibangun dalam nuansa teknologi berbasis TDM, belum berbasis IP. Adapun UU No 32/2002 tentang Penyiaran lebih bernuansa analog, belum digital, dan bersifat broadcast, belum interaktif. Dengan kendala tersebut, termasuk siapa yang ”berhak” mengeluarkan izin, idealnya layanan IPTV dibolehkan setelah tatanan regulasi diperbaiki.

Alternatif lain, apa yang diberikan operator telekomunikasi dalam layanan mobile TV bisa dijadikan preseden. Operator dapat memberikan layanan mobile TV, tetapi tayangan TV yang lewat telepon seluler haruslah berasal dari lembaga penyiaran, termasuk lembaga penyiaran berlangganan. Cara ini dipakai India dalam mengatur layanan IPTV. Pemberi layanan IPTV dapat dilakukan jika memiliki izin terkait dengan UU Telekomunikasi dan lembaga penyiaran juga telah memiliki izin sesuai UU Penyiaran.

Namun, hal itu tetap bukan berarti penyatuan ataupun harmonisasi antara regulasi yang mengatur telekomunikasi, penyiaran, dan informatika dapat dikesampingkan sebab perkembangan teknologi tidak bisa dicegah. (Kompas, Rabu, 10 Desember 2008)

02 Desember 2008

Marketing Politik, Citra dan Media Baru

Lazimnya sebuah perusahaan yang memiliki divisi pemasaran, sistem politik juga memiliki strategi pemasaran. Umumnya, pemasaran digunakan perusahaan untuk menyeleksi pelanggan, menganalisa kebutuhan mereka, sebelum menetapkan produk inovasi, iklan, harga, dan strategi distribusi yang berbasis pada riset informasi. Dalam politik, aplikasi pemasaran berpusat pada proses yang sama, namun analisa dari keputuhan bermula dari pemilih dan penduduk. Sedangkan produk pemasaran politik merupakan kombinasi dari mulai pelaku politik, pencitraannya, dan platform pendukung yang dipromosikan dan disampaikan kepada khalayak yang tepat.

Sesungguhnya, memasarkan seorang politisi untuk menjadi anggota DPR, DPRD, DPD Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, atau Bupati, tidak beda dengan menjual McDonald’s atau sebuah BMW. Ia harus bisa mengantisipasi kebutuhan dan keinginan dari pasar, agar sukses 'terjual'. Hanya saja, dalam politik, proses tersebut lebih dinamis, dan sulit diprediksi karena kekuatan dan kompetitor yang juga dinamis. Sikap pelanggan atau pemilih, dalam hal ini juga berubah secara konstan akibat pengaruh media yang secara konstan memberitakan para kandidat.
Maka, ada dua perbedaan mencolok dalam hal pemasaran bisnis dengan pemasaran politik.

Pertama, perbedaan filosofi. Bisnis selalu bertujuan menghasilkan keuntungan, sedangkan politik adalah operasi kesuksesan demokrasi. Kemenangan politik terkadang ditentukan oleh selisih (persentase suara) yang kecil. Namun dalam bisnis, perbedaan kemenangan dan kekalahan biasanya ditentukan oleh variasi investasi yang besar. Kedua, dalam hal strategi pemasaran. Dalam bisnis, implementasi strategi pemasaran dirumuskan berdasarkan hasil penelitian. Namun dalam politik, filosofi pribadi politisi biasanya mempengaruhi strategi apa yang akan dipakai.

Perbedaan antara bisnis dan politik tidak berarti praktisi dari dua area ini memunculkan dua pasar secara bersama. Hal itu karena, pertama, keduanya mengandalkan penggunaan standar dan strategi pemasaran seperti penelitian pemasaran, segmentasi pasar, target, posisi, strategi pengembangan dan implementasi. Kedua, pemilih dapat dianalisa sebagai pelanggan dalam pasar politik, menggunakan model dan teori yang sama dalam pemasaran yang biasa dipakai studi pelanggan pada pasar komersial. Ketiga, keduanya berhubungan dengan kompetisi pasar dan membutuhkan pendekatan yang sama untuk meraih kemenangan.

Seni Menciptakan dan Menjual Citra

Satu dari yang terpenting dalam pemasaran politik yang dapat dipakai politisi untuk mengendalikan opini publik adalah citra mengenai dirinya. Di era televisi, di mana kesempatan menyampaikan pendapat hanya dalam hitungan detik, masyarakat menilai politisi dalam waktu yang singkat, sehingga kesan yang tertinggal dalam benak pemirsa lebih penting daripada pesan yang disampaikan.

Citra merek sebuah produk mewakili persepsi orang terhadap merek itu, yang dibentuk berdasar informasi yang dimiliki konsumen tentang merek tersebut. Misalnya pengalaman pribadi orang terkait merek tersebut. Citra merek juga diasosiasikan dengan perusahaan penjualnya.

Dalam politik, citra diciptakan melalui impresi visual yang dikomunikasikan dengan tampilan fisik politisi, kemunculannya di media, pengalaman, serta riwayatnya sebagai pemimpin politik. Semua informasi tadi terintegrasikan ke dalam pemikiran rakyat. Citra dari kandidat juga dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan rakyat kepadanya.

Agar sukses memasarkan produk atau politisi, citra yang jelas harus disampaikan dalam pesan tunggal yang menggambarkan produk atau sifat utama dari politisi. Pesan juga harus disampaikan secara berbeda sehingga tidak mirip dengan pesan yang sama dari kompetitor lain. Agar efektif, citra harus dikomunikasikan secara konsisten pada setiap pesan.

Inti dari penciptaan citra kandidat adalah melakukan manipulasi dan mengontrol liputan media agar memungkinkan wajahnya hadir di televisi dan media lain. Dan pada saat bersamaan, membentuk citra secara konsisten dengan daya tarik yang dapat digunakan kandidat untuk membujuk pemilih. Akibatnya, media menciptakan konstruksi realitas bagi pemilih berdasar substansi dan citra yang mereka sampaikan.

Perubahan Strategi Kampanye

Menurut Dan Nimmo (2000), ada tiga jenis kampanye. Yaitu kampanye massa, kampanye antarpribadi dan kampanye organisasi. Kampanye massa meliputi kampanye tatap muka, menggunakan media elektronik dan media cetak sebagai perantara. Contohnya seperti radio, televisi, telepon dan surat kabar. Kampanye antarpribadi menggunakan kedekatan pribadi atau menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh lokal dalam setting yang relatif informal. Sedang kampanye organisasional, dilakukan oleh organisasi yang mendukung kandidat, organisasi yang mempunyai kepentingan khusus, kelompok penyokong dan partai politik.

Melihat perkembangan terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, terlihat bahwa kampanye telah menjadi lebih langsung dan lebih menampilkan kelicikannya. Ada tiga indikasi yang menjelaskan perubahan tersebut. Pertama, bukan seperti politik biasanya, kini kampanye mengandalkan iklan negatif. Kedua, politik berubah mengandalkan polling. Ketiga, bersandarnya kandidat pada konsultan yang mengarahkan hal-hal apa saja yang bisa dikatakan, bagaimana, kapan dan di mana mengatakannya. Dan keempat, penggunaan telemarketing dalam berkampanye. Di sini, kampanye mengandalkan iklan televisi, kaset video yang dikirim langsung ke pemilih, serta juga penggunaan teknologi informasi.

Faktanya, bagi politisi, penggunaan layanan berbasis teknologi informasi semisal internet maupun SMS, menawarkan cara yang efektif bagi kandidat untuk mengungkapkan gagasannya secara langsung dengan pemilih. Penggunaan internet dan telepon seluler untuk pemasaran langsung merupakan kombinasi teknologi yang unik yang membantu mengintegrasikan strategi pemasaran politisi. Dengan internet, kandidat mempunyai kesempatan untuk membangun kontak langsung dengan pemilih melalui debat online yang dapat dilihat secara real time (langsung).

Karenanya, mereka yang akan bertarung di Pemilu 2009, terutama capres atau cawapres, harus memiliki situs di web, juga situs jejaring sosial seperti facebook. Saya sendiri telah menyediakan wadah bagi publik untuk berdiskusi mengenai "Mencari Presiden RI 2009 (Hunting for the President)" yang dapat digunakan capres/cawapres untuk berdiskusi dengan anggota milis (mailing list) sekaligus menyampaikan visi dan misinya.

Ada dua dampak penggunaan teknologi informasi sebagai alat pemasaran langsung dalam politik secara umum. Pada sisi positif, situs yang dibuat kandidat dapat memfasilitasi diskusi ekstensif terhadap isu-isu yang berkembang. Internet menawarkan kesempatan bagi kandidat untuk menghabiskan lebih banyak waktu menyampaikan ide-ide mereka kepada pemilih karena penggunaan pemasaran langsung ini relatif tidak mahal. Internet juga memberi kesempatan bagi kandidat untuk mempresentasikan informasi yang sulit dihadirkan pada media lain.

Pada sisi negatif, potensi bahaya penggunaan internet adalah kampanye negatif. Sebab dengan sifat anonim-nya, politisi dapat saja mengirimkan informasi tentang skandal-skandal lawan politiknya tanpa diketahui identitasnya dan tanpa perlu mempertanggungjawabkannya.
Siapapun yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 perlu mencermati adanya perubahan soal siapa yang menggerakkan opini publik dan mengantisipasi kebutuhan pasar. Wilayah Indonesia yang beragam dan tersebar memiliki pemilih yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, serta ekspektasi yang berbeda atas karakter kandidat yang akan memimpinnya hingga lima tahun ke depan.

Di AS, untuk menjalin hubungan langsung dengan konsituennya, kandidat Partai Demokrat, Barack Obama, juga menggunakan layanan SMS. Di Indonesia, pemanfaatan layanan telekomunikasi ini sangat signifikan. Lebih dari 100 juta orang menggunakan ponsel. Sehingga SMS maupun dan multimedia messaging service (MMS), layak dipertimbangkan juga sebagai media untuk meraih hati pemilih.

29 November 2008

Tantangan Masa Depan Itu Bernama Digital dan Konvergensi

Pakar teknologi informasi dari Amerika Serikat, Don Tapscott, dalam bukunya “The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence” mengemukakan, perkembangan ekonomi dunia sedang berubah dari industri yang berbasis pada baja, kendaraan dan jalan raya ke arah ekonomi baru yang dibentuk oleh silikon, komputer dan jaringan. Karenanya, untuk sukses diperlukan dinamika dan kebutuhan penggerak baru: konvergensi.

Fokus perhatian banyak pemerhati konvergensi lebih kepada industri telekomunikasi dan komputer. Yaitu, bagaimana mempermurah harga PC, modem dan penemuan protokol standar sehingga komputer dapat terhubung dengan komputer lain yang memungkinkan hadirnya internet serta bagaimana mentransformasikan jaringan menjadi interaktif penuh melalui jaringan komunikasi broadband. Hanya saja, semua itu lebih cenderung merupakan akhir dari proses konvergensi.

Digitalisasi
Kunci dari konvergensi pada tingkat teknologi adalah digitalisasi, dimana semua bentuk informasi (angka, kata, gambar, suara, data dan gerak) dikodekan ke dalam bentuk bit (binary digit) yang memungkinkan manipulasi dan transformasi data (bitstreaming). Apapun isi yang ditampilkan, bit dapat dimanipulasi, termasuk penggandaan informasi asli, pengurangan maupun penambahan.


Digitalisasi telah mentransformasikan teknologi media dan komunikasi. Seperti sentral telepon yang sebelumnya dioperasikan secara manual kini dilakukan oleh komputer dengan perangkat lunak yang membuat jaringan cerdas (intelligent network) karena menghasilkan fitur-fitur yang tidak bisa dilakukan teknologi analog. Dalam industri film, meski hasil akhirnya berupa selluloid, sebagian besar editing dikerjakan secara digital, sementara suara dan efek khusus seluruhnya dilakukan secara digital.

Karena digitalisasi, konvergensi mengarah pada hadirnya produk information appliance yang dapat melakukan berbagai fungsi pandang dengar dan komputasi. Penyatuan produk tersebut, misalnya televisi dan komputer menjadi satu produk sehingga akses ke internet dapat dilakukan dari pesawat televisi. Atau bisa juga sebaliknya, dimana siaran televisi dapat dinikmati lewat internet secara real time.

Produk kombinasi lainnya bisa dilihat dengan hadirnya perangkat telepon genggam dengan beberapa fasilitas. Selain bisa untuk melakukan pembicaraan telepon, juga bisa mengirim SMS atau MMS dengan kemampuannya untuk menerima atau mengirim gambar, suara, data maupun berinternet. Begitu juga dengan teknologi mencetak yang menggabungkan pencetak, pemindai, fotokopi, mesin faksimil dan telepon menjadi satu.

Konvergensi memungkinkan terjadinya penggabungan (merger) perusahaan yang terkait dengan industri komputer, telekomunikasi dan media. Seperti Microsoft yang juga berinvestasi dalam bidang penyiaran, televisi kabel, satelit, penerbitan dan industri internet, AT&T yang membeli televisi kabel Tele-Communication, Inc (TCI), Singapore Technologies Telemedia membeli saham mayoritas PT Indosat Tbk. dimana Indosat selain mempunyai usaha SLI, telepon lokal juga memiliki IM2 yang berbisnis di bidang internet, IM3 dengan bisnis telekomunikasi seluler, juga memiliki PT Satelindo.

Jika pada industri lama perusahaan komputer didefinisikan sebagai produsen perangkat lunak dan keras, penerbit bergerak dalam teknologi cetak serta perusahaan telekomunikasi didefinisikan sebagai penjual jasa telekomunikasi, mengoperasikan jaringan atau membuat perangkat, dalam terminologi konvergensi industri, batas-batas tersebut menjadi kabur. Dalam industri media dan komunikasi, yang ada adalah peralatan informasi. Sehingga, produksi dan konsumsi media baru dibedakan pada tingkatan-tingkatan dari kreasi isi hingga konsumsi akhir.

Perusahaan penerbit, studio film maupun stasiun televisi, sekarang ini dapat dimasukkan dalam industri isi. Hal itu karena teknologi digital memungkinkan konversi yang murah dan efisien dari satu media ke tipe media lainnya. Ini bisa dilihat dengan dijadikannya film menjadi permainan (game), misalnya. Seperti, film terakhir James Bond “Die Another Day” atau “Harry Potter: The Chamber of Secret” yang tersedia versi game-nya untuk bisa dimainkan di komputer atau playstation.

Atau sebaliknya, permainan “Tomb Raider” produksi Eidos Interactive yang bisa dimainkan lewat perangkat seperti Playstation, komputer kemudian dibuat filmnya. Penerbit buku kini dapat juga memasarkan bukunya dalam bentuk CD-ROM.

Pengaruh dan Dampak
Konvergensi menyebabkan hadirnya industri dan ekonomi digital serta jaringan yang memungkinkan interaktivitas dan bersifat global. Beberapa isu penting yang terkait dengan hal tersebut adalah persoalan kejahatan dan keamanan, permasalahan sosial serta bagaimana kebijakan diambil untuk mendorong perkembangan ekonomi jaringan tersebut, mengatasi kejahatan dan permasalahan sosial lainnya.

Persoalan kejahatan yang mungkin timbul akibat konvergensi dan digitaliasi dapat dibagi menjadi empat bagian besar: pencurian perangkat keras, data atau informasi; penipuan (fraud); pelanggaran hak cipta; serta serangan terhadap individu atau organisasi.

Di Indonesia, kejahatan yang terkait dengan penipuan, terutama kartu kredit, cukup marak. Bahkan karena begitu banyaknya, penjahat yang menggunakan modus ini, mengakibatkan banyak alamat IP address Indonesia yang sempat diblokir sehingga orang Indonesia yang ingin berbelanja lewat internet tidak dipercaya lagi oleh pemilik-pemilik situs belanja online di luar negeri.

Dalam hal pelanggaran hak cipta, hal ini merupakan ancaman bagi industri yang bergerak dalam bidang musik, film maupun komputer. Dalam pembajakan CD musik misalnya, menurut Asiri, pembajakan itu mencapai hingga 500%. Pembajakan diperparah dengan hadirnya teknologi MP3, yang dapat membuat satu CD dapat menampung lebih banyak lagi lagu. Bayangkan, hanya dengan harga di bawah Rp 10 ribu, ratusan lagu telah dapat dinikmati dari CD bajakan ini.

Yang terkait dengan masalah sosial seperti isi dari situs-situs web, film atau SMS yang diorientasikan untuk orang dewasa (pornografi); hadirnya situs judi online; kemudian juga terorisme yang melakukan pengerusakan komputer yang terkait sarana umum. Persoalan ini menarik, karena hal itu akan terkait dengan persoalan kebebasan memperoleh informasi, kebebasan menyampaikan pendapat, atau dengan isu terorisme.

Kebijakan
Berbicara soal kebijakan, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Pertama, perkembangan teknologi ini mengglobal, sehingga regulasi yang dibuat tidak cukup hanya bersifat lokal saja, namun harus mengacu atau selaras dengan kebijakan global. Kedua, konvergensi yang melibatkan industri komputer, komunikasi dan media massa, memerlukan kebijakan yang integral, tidak berdiri sendiri-sendiri. Dan ketiga, kebijakan yang diambil harus bisa menjawab tantangan jaman dengan.

Saat ini kita sudah memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Sekarang saatnya UU ITE dicoba apakah mampu untuk menjawab tantangan yang ada. Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik.

Agar tidak menjadi ajang perebutan kekuasaan, antara pemerintah, publik dan pasar, perlu dibentuk semacam komisi independen yang membuat aturan main, menjadi pengawas serta pendorong keterlibatan semua elemen untuk bersama menjawab persaingan industri informasi di masa depan. Hal itu agar tidak ada regulator yang juga sekaligus ikut dalam persaingan dan pihak tertentu terlalu dibebani misi yang berat ini.

19 November 2008

Dibikinin Tulisan Satu Halaman oleh Jurnal Nasional


Hari ini (Rabu, 19 Nov 2008), saya baca, ada satu tulisan sehalaman di Harian Jurnal Nasional. Terima kasih JurNas.


Adapun isinya:


Heru Sutadi, Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Indonesia BRTI

Jatuh Cinta pada Teknologi Informatika

by : Irfan Fikri

BERAWAL suka mengutak-atik alat elekronik saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai dari remote televisi sampai membuat handy talky, membuatnya jatuh cinta pada dunia teknologi informatika. Karena ketertarikan itu, dia memilih kuliah di Tehnik Elektro Fakultas Tehnik Universitas Indonesia.


“Sejak SMP saya sudah bisa buat obat nyamuk elektrik dan buat alarm sendiri,” katanya ketika saya temui di ruang kerjanya, baru-baru ini.
Seiring pesatnya perkembangan tehnologi dunia, tak sulit bagi Heru mencari kerja selepas kuliah. Dia langsung diterima di salah satu perusahaan jaringan telepon di Indonesia. Dia bertugas memasang jaringan fiber optik di beberapa tempat penting seperti di Istana Negara dan kediaman wakil presiden.

Tak puas bekerja di tanah air, dia pergi ke Arab Saudi menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Bukan sebagai pembantu rumah tangga, namun senior engeenering yang bertugas memasang tower (koreksi. harusnya "membangun jaringan") telekomunikasi di Arab. “Targetnya di Arab, satu tahun memasang seribu tower (koreksi. harusnya "satu juta line pelanggan"),” ujar dia.

Heru bangga. Pilihan hidupnya ingin total menyelami dunia tehnologi informatika tidak sia-sia. Seiring kemajuan dunia telekomunikasi, dia berkesempatan kerja pergi ke beberapa negara, antara lain Hongkong, Malaysia dan Singapura. “Sejak kuliah, saya optimistis dunia telekomunikasi memang cerah. Ternyata pilihan saya tepat,” ucap suami dari Era Rakhmawati ini.

Kecintaan pada bangsa ini, terutama rindu masakan Indonesia membawanya kembali pulang. “Tidak puas kalau tidak makan nasi. No rice no power.”
Dia berniat mengembangkan telekomunikasi di Indonesia dengan ilmu yang dimiliki. “Padahal waktu di luar negeri gaji saya sudah menyentuh angka US$12.000,” kata ayah Katari Fitriani dan Fajar Aiman Rozan ini.

Sejak pulang ke tanah air, dia aktif melakukan sosialisasi penggunaan internet. Terutama bahaya cyber crime yang awal tahun 2000 begitu marak.
Banyak masyarakat tertipu tawaran sumbangan fiktif dari luar negeri. Sang korban diminta mentransfer sejumlah uang pajak sebelum sumbangan dicairkan. Heru pun mendirikan organisasi Masyarakat Internet (Master) untuk menyosialisasikan penggunaan internet.


Selain itu, Heru melihat mayoritas masyarakat belum mengerti manfaat dan kegunaan mendasar ponsel sebagai alat komunikasi. “Ponsel dianggap mainan layaknya mainan anak-anak. Fungsi dasar sebagai alat telekomunikasi luntur,” ujar Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Indonesia di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini.

Fenomena ini memang tidak bisa menyalahkan anak. Para orangtua minim memberikan pengertian manfaat ponsel bagi anak-anaknya. Alhasil, ponsel masuk ke dalam ranah model. Setiap ada model baru, harus ganti. “Orang sudah tidak berpikir lagi tentang manfaat yang didapat dari ponsel yang dimilikinya. Yang penting bergaya.”

Heru mencontohkan, orang harus sadar kalau uang Rp1.000 yang dikeluarkan untuk menelpon harus bermanfaat sebanding dari yang dikeluarkan. Hingga, fungsi ponsel sebagai alat efisien, bukan tujuan. “Bukan untuk gaya-gayaan.”
Menurut dia, Undang-undang (UU) Telekomunikasi saat ini sangat Ketinggalan zaman alias usang. UU yang ada tidak ada korelasi dalam UU yang mengatur menyeluruh antara UU Penyiaran dan Telekomunikasi.

Padahal seiring perkembangan, dalam satu alat elektronik, seperti ponsel, selain alat komunikasi dapat sebagai televisi maupun radio.
Akibatnya, ada pemborosan lembaga, seperti ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), BRTI dan lembaga lainnya. “Ini pemborosan. Seharusnya ada yang mengatur satu atap,” ucap Heru. Irfan Fikri

13 November 2008

Pilih Quick Count, TI atau Penghitungan Manual?

Pasangan Calon Gubernur Jawa Timur KaJi, menurut Quick Count, beberapa lembaga survei dinyatakan menjadi menang mengalahkan KarSa. Memang ada beberapa yang tidak berani menyebutkan siapa menang mengingat selisih yang tipis antara kedua pasangan. Sebelum Jatim, pemilihan Gubernur Sumatera Selatan juga 'ramai' karena, lagi-lagi, quick count, yang menyatakan pasangan Syahrial Oesman - Helmy Yahya menang mengalahkan Alex nurdin - Eddy Yusuf.
* * *
Empat tahun lalu, hanya beberapa jam setelah penghitungan suara pemilihan presiden putara kedua dimulai pada tanggal 20 September 2004, hasil penghitungan cepat (quick count) LP3ES yang bekerja sama dengan Metro TV, Yayasan Tifa dan NDI, telah berani mengumumkan bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla berhasil mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi secara nasional dengan 61,2% suara : 38,8% suara. Ini artinya, dengan sistem quick count, telah dapat ditentukan siapa yang berhak menjadi presiden dan wakil presiden untuk lima tahun mendatang, meski belum semua TPS datanya masuk ke pusat tabulasi nasional pemilu (TNP).

Melihat hal tersebut, satu pertanyaan menggelitik yang sempat mencuat dan menjadi wacana adalah jika ada quick count, maka untuk apa agi pemanfaatan TI yang konon menghabiskan dana ratusan miliar rupiah dengan hasil kerja yang tidak memuaskan. Sementara quick count, yang tidak menjadi beban negara, hasilnya begitu menakjubkan karena hanya berselisih sedikit saja dengan hasil akhir perhitungan manual.

Ketepatan sistem quick count, sudah teruji sejak pemilu legislatif pada 5 April 2004 lalu dan pemilihan presiden putara pertama, 5 Juli lalu. Pada pemilu legislatif, quick count LP3ES hanya memiliki selisih rata-rata di bawah satu persen dari hasil resmi yang disampaikan KPU. Kemudian pada pilpres putara pertama, quick count makin mantap dengan selisih hanya sekitar 0,5 persen saja.

Mengulangi suksesnya, LP3ES-NDI juga melakukan penghitungan cepat dari hasil penghitungan suara di 1.362 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia, atau 68% dari rencana 2.000 TPS yang digunakan sebagai sampel. TPS dipilih secara acak dan ketat untuk dapat mewakili “miniatur” Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Hasilnya, SBY-Kala menang. Dengan margin error tambah-kurang 1,1% pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil hampir serupa juga terjadi pada penghitungan cepat yang diadakan IMT, Pooling Center, Fortuga, Astaga.com dan SCTV. Dari 32 propinsi yang dihitung, SBY-Kalla memperoleh 60,21% dan Mega-Hasyim mendapat 39,79%. Adapun margin error adalah 2,5%.

Hanya saja, karena berdasar teori sampling, hasil quick count bisa saja berbeda yang disebabkan salah dalam mengambil sampel dari populasi, sehingga sampel tidak bisa mewakili populasi. Ini seperti yang didapat oleh Institute for Social Empowerment and Democracy yang bekerja sama dengan TVRI, yang menunjukkan hasil berbeda dimana Mega-Hasyim menang tipis atas SBY-Kalla.

Pemanfaatan TI dalam Pemil/Pilkada jelas berbeda dengan hitung cepat. Jika digunakan, yang dilakukan adalah progressive result per TPS, bukan sampling seperti quick count. Sehingga, keluarannya bukanlah sekadar persentase, tapi dapat dilihat angka-angka perolehan suara bahkan untuk tiap TPS. Secara normatif, hasil penghitungan berbasis TI dapat dijadikan pengontrol proses perolehan suara per TPS apakah terjadi manipulasi atau tidak. Bahkan dengan hasil yang optimal, sistem ini bisa lebih valid dan reliable daripada quick count.

Hanya persoalannya, sistem penghitungan elektronik telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena tidak bisa mengantarkan data yang valid, cepat dan akurat. Dalam pemilu legislatif, dengan diserangnya situs Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) di alamat
http://tnp.kpu.go.id/ oleh cracker, sudah menandakan bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dalam pemilu gagal. Hal itu menyusul ingkarnya janji KPU yang menjamin, ‘hanya’ dalam waktu sembilan jam setelah pemungutan suara selesai dilakukan, maka 80 persen suara pemilih Pemilu 2004 sudah dapat diketahui hasilnya.

Keraguan dengan sistem TI juga mencuat ketika pilpres putaran pertama. Sebab melihat Keputusan KPU No. 79 Tahun 2004 Tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 Putaran I, yang mencatat total keseluruhan suara yang sah adalah 118.656.868, terjadi perbedaan yang cukup signifikan mencapai lebih dari 11 juta suara antara perhitungan manual dan elektronik. Posisi terakhir perolehan suara berbasis TI yang ditayangkan melalui situs
http://tnp.go.id/ adalah 107.306.368.

Apapun hasil yang diperlihatkan dalam pilpres II, yang pada hari pertama telah mencapai angka lebih dari 37 juta suara atau 130 kali dari jumlah pemilih yang dijadikan sampel quick count, nampaknya tidak mengubah citra pemanfaatan TI. Hal itu karena sistem ini sejak awal memang tidak menjalani proses audit menyeluruh dan dikelola oleh tim independen seperti diminta Majelis hakim Mahkamah Konstitusi agar tidak menimbulkan kerancuan antara hasil penghitungan suara berbasis TI dan data manual.

Karena itu, jika ada daerah yang berkeinginan memanfaatkan TI dalam penghitungan suara, termasuk memanfaatkan TI ‘warisan’ KPU, untuk memberikan kepercayaan pada masyarakat, audit sebelum sistem dipakai mutlak dilakukan. Tanpa audit, sistem tetap tidak dapat diandalkan untuk dapat membantu hajat daerah. Selain itu, TI Pilkada hendaknya tidak berada di bawah KPUD dikarenakan akan terjadi kebingungan di masyarakat, data mana yang akan dipakai sebagai acuan penghitungan yang sah.

* * *
Walaupun quick count sudah membuktikan diri bahwa apa yang disampaikan hanya berselisih sedikit dengan penghitungan manual yang dilakukan, namun sesungguhnya, pemanfaatan quick count dan juga penggunaan teknologi informasi oleh KPUD dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Perubahan posisi perolehan suara akibat perbedaan hasil penghitungan antara quick count, berbasis TI dan manual, akan sangat kritis dalam Pilkada kali ini karena akan bersentuhan secara langsung dengan masyarakat di tingkat bawah.

Belajar dari kasus Jatim, dan Sumatera Selatan, karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis”, siapa yang menang dan akan menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, melihat hasil quick count yang hanya perkiraan dan penghitungan suara berbasis TI, boleh-boleh saja. Namun begitu, hendaknya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak mengklaim hitungannya yang paling benar. Sebab yang diakui UU sesungguhnya hanya penghitungan suara secara manual.

31 Oktober 2008

Sejarah Perkembangan dan Pemanfaatan Teknologi Informasi


Sejarah pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia telah dimulai sejak saluran telegrap pertama dibuka pada tanggal 23 Oktober 1855 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak hadirnya telegrap elektromagnetik yang menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor), jasa telegrap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di 28 kantor telegrap. Selain itu, kabel laut juga telah terpasang antara Jakarta dan Singapura, kemudian juga dari Jawa (Banyuwangi) ke Australia (Darwin).

Menurut catatan buku “Dari Monopoli ke Kompetisi: 50 Tahun Telekomunikasi Indonesia Sejarah dan Kita Manajemen PT Telkom” (Ramadhan KH dkk., 1994), hubungan telepon lokal pertama kali digunakan pada 16 Oktober 1882 dan diselenggarakan oleh swasta. Jaringan telepon tersebut menghubungkan Gambir dan Tanjung Priok (Batavia). Menyusul dua tahun kemudian terhubung sambungan telepon di Semarang dan Surabaya.

Dalam pengembangan jaringan telepon tersebut yang diselenggarakan swasta tersebut, ijin konsesi yang didapat adalah sampai 25 tahun. Namun karena perusahaan telepon hanya membuka hubungan telepon di kota-kota besar saja, pada tahun 1906 ketika jangka waktu konsesi berakhir, Pemerintah Hindia Belanda melalui pembentukan Post, Telegraaf en Telefoon Dienst (PTT) mengambil alih semua pengusahaan jaringan telepon yang ada.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, PTT tetap dipertahankan. Orang-orang Belanda yang ada di PTT tergusur diganti orang Jepang. Begitu pula mulai banyak posisi pimpinan yang ditempati pegawai Indonesia. Perbedaan fungsi utama PTT pada jaman Hindia Belanda dengan Jepang adalah PTT jaman Hindia Belanda tidak bertujuan komersial saja namun juga diperuntukkan bagi pelayanan masyarakat, sedang pada jaman Jepang PTT digunakan untuk mendukung “Perang Asia Timur Raya”.

Kekalahan Jepang atas sekutu setelah bom atom sekutu jatuh di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, meski berusaha ditutupi oleh Jepang dan diperlambat penyebarannya ke Asia, namun telegram resmi dari Tokyo mengenai kekalahan diterima di PTT Bandung. Berita tersebut segera disebarkan kepada pemuda-pemuda di Jakarta untuk mendesak pemimpin-pemimpin bangsa mengumumkan kemerdekaan Indonesia.

Karena tidak mendapat jawaban, tanggal 15 Agustus 1945, dikirim lagi telegram ke Jakarta namun dengan desakan yang lebih keras. Sebab jika Jakarta tidak mau memanfaatkan momentum untuk mengambil keputusan penting, maka pemuda-pemuda Bandung akan bertindak. Akhirnya, Kemerdekaan Indonesia pun diproklamirkan oleh Soekarno – Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Berita proklamasi diteruskan melalui telepon, telegrap, radio dan pos ke semua kantor PTT secara beranting. Tidak hanya itu, lewat Stasiun Radio Pemancar PTT di Dayeuhkolot, berita proklamasi kemerdekaan juga disiarkan ke luar negeri pada hari itu juga.

Kemerdekaan Indonesia, tidak begitu saja membuat Jepang menyerahkan Kantor Pusat PTT dan jawatan-jawatan lainnya. Inilah yang mendorong Angkatan Muda PTT (AM PTT), yang sebelumnya bernama Tsusintai, untuk mengambilalih PTT. Perundingan dilakukan dengan pihak Jepang, namun Jepang menolak untuk menyerahkan pada Indonesia melainkan pada sekutu yang menang perang. Perundingan selama tiga hari sejak 24 September 1945 itu pun mengalami jalan buntu.

Sampai akhirnya, tanggal 27 September 1945 kantor pusat PTT diambilalih secara paksa oleh AM PTT. Pembebasan Jawatan PTT dari tangan penjajah tersebut yang kemudian dijadikan Hari Bakti Pos dan Telekomunikasi. Apa yang terjadi di Bandung, kemudian diikuti rekan-rekannya di berbagai kota kantor PTT seperti Jakarta, Surabaya, Bukittinggi, Medan Palembang, Yogyakarta dan lain-lain.

Ketika pasukan sekutu datang, Kantor Pusat PTT menjadi salah satu sasaran. Akibatnya, Kantor Pusat PTT tidak dapat dipertahankan. Tentara sekutu yang pada 23 Maret 1946 telah menguasai Bandung Utara mengultimatum agar daerah Bandung Selatan dikosongkan. Pimpinan AM PTT menugaskan agar Gedung Pusat PTT dibumihanguskan, namun gagal karena bahan peledak yang digunakan tidak sebanding dengan konstruksi gedung yang sangat kokoh.

Dengan hijrahnya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta, maka Kantor Pusat PTT juga hijrah ke Yogyakarta. Peran perjuangan pun diemban PTT untuk memancarkan dan menerima komando presiden sehingga dapat diterima dengan baik di seluruh pelosok Jawa dan Sumatera.Hal tersebut terjadi hingga pengakuan kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda kepada Indonesia, 27 Desember 1949.

Seusai pengakuan kedaulatan, keadaan pertelekomunikasi Indonesia dalam keadaan teramat sulit. Banyak gedung PTT dan kantor telepon rusak dibom pesawat sekutu maupun dibumihanguskan AM PTT. Namun dalam waktu tiga tahun, banyak kemajuan berarti didapat. Pada tahun 1953, sentral telepon Bandung Centrum diotomatkan dengan kapasitas 4 ribu nomor dan Hegarmanah dengan 500 nomor. Setahun berikutnya, otomatisasi kantor telepon Makassar dengan 3 ribu nomor dan Kebayoran dengan 400 nomor.

Hingga tahun 1958, satuan sambungan telepon (SST) telah mencapai 84.789. Sementara jumlah kantor telepon bertambah menjadi 415 buah, terdiri dari 190 kantor telepon induk, 15 sentral tambahan dan 210 kantor telepon cabang. PTT juga menunjukkan perannya ketika penyelenggaraan Pemilihan Umum I dan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955.

Mengikuti perkembangan jaman, Jawatan PTT berubah statusnya menjadi PN Pos dan Telekomunikasi atau PN Postel sejak 1 Januari 1962. Pada 6 Juli 1965, PN Postel dipecah dan bidang telekomunikasi berada di bawah PN Telekomunikasi. Guna memungkinkan perluasan gerak PN Telekomunikasi dan tebritnya PP No 44 Tahun 1969 dan PP No 45 tahun 1969 tentang bentuk-bentuk Perusahaan Negara, awal 1972 pemerintah memutuskan untuk mengubah kelembagaan PN Telekomunikasi menjadi Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel).

Keberadaan Perumtel dikukuhkan melalui Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 1974 yang menetapkannya sebagai pengelola telekomunikasi untuk umum dalam dan luar negeri. Dalam PP tersebut dinyatakan juga bahwa Perumtel merupakan satu-satunya penyelenggara jasa telekomunikasi untuk umum di Indonesia. Hak monopoli diberikan karena Perumtel diberi beban menjalankan misi pemerintah dalam bidang telekomunikasi, yaitu sebagai “agent of development”.

Dengan selesainya pembangunan jaringan telekomunikasi Nusantara yang meliputi proyek gelombang mikro lintas Sumatera, gelombang mikro Indonesia Timur yang menghubungkan Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan pada 1967, pemerintah menyatakan perlunya penggunaan sistem satelit untuk hubungan dengan luar negeri. Untuk itu melayani jasa telekomunikasi ke luar negeri, kemudian didirikan PT Indonesian Satellite (Indosat) pada 9 Juni 1967. Sejak itu lalu lintas komunikasi Indonesia dan dunia internasional semakin terbuka.

Satu babakan baru pemanfaatan teknologi satelit terjadi pada 9 Juli 1976 ketika satelit Palapa A-1 berjenis HS-333 diluncurkan dari Cape Canaveral. Satelit pertama milik Indonesia itu diresmikan pemanfaatannya pada tanggal 16 Agustus 1976 oleh Presiden Soeharto dan dinamai Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa. Indonesia merupakan negara pertama di Asia Pasifik dan ketiga di dunia yang menggunakan teknologi satelit untuk keperluan komersial.

Setahun kemudian, 11 Maret 1977 diluncurkan Satelit Palapa A-2. Selain mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, satelit ini juga dimanfaatkan beberapa negara ASEAN. Setelah generasi pertama, Palapa generasi kedua yang diberi nama B-1 diluncurkan 16 Juni 1983 dan B-2 pada 8 Februari 1984. Hanya saja, Palapa B-2 yang dipersiapkan untuk menunjang Pemilu 1987 kemudian menghilang di orbit rendah. Hingga kemudian diluncurkan kembali Satelit Palapa B-2P (pengganti) 2 Maret 1987 sebelum Pemilu digelar.

Selain Indosat, pada tahun 1983 berdiri PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo). Satelindo yang dimiliki Bambang Triatmodjo, putra Presiden Soeharto, diberikan peran besar untuk mengelola dan mengoperasikan Palapa generasi ketiga C. Hingga saat ini, satelit Palapa C1 dan C2 masih dalam pengelolaan Satelindo. Sementara PT Telekomunikasi Indonesia, yang sebelumnya menjadi Badan Usaha Milik Negara dan kemudian menjadi perusahaan publik, mengelola Telkom 1. Satelit lainnya dimiliki Indostar bernama Cakrawarta-1 yang merupakan satelit berorbit rendah (low earth orbit).

Dalam catatan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) pengguna telepon seluler hingga Juli 2008 lalu mencapai 106 juta pelanggan (http://www.postel.go.id/).

Mengenai perkembangan internet di Indonesia, internet diperkenalkan di Indonesia pertama kali pada awal 1980-an, dimana koneksi internet pertama dibuat oleh Universitas Indonesia (Lim, 2001). Institusi ini kemudian bergabung dengan UUNet pada 1984, dan membuat Indonesia sebagai negara pertama di Asia yang memasuki dunia internet saat itu (Dunia Cyber, 1999). Di awal 1990-an, jaringan internet Indonesia lebih dikenal sebagai paguyuban network. Hal itu maksudnya, semangat kerjasama, kekeluargaan dan gotong royong lebih kental terasa dibanding dengan komersialisasi yang kini lebih terasa terutama dalam aktivitas yang melibatkan perdagangan internet (Purbo, 2000).

Di tahun 1989, beberapa mahasiswa Indonesia di luar negeri memanfaatkan dan membangun tempat diskusi di Internet. Salah satu tempat diskusi Indonesia di Internet yang pertama berada di indonesians@janus.berkeley.edu. Berawal dari mailing list ini, kemudian berkembang menjadi salah satu sarana yang sangat strategis dalam pembangunan komunitas di Internet.

Di tahun 1994, jaringan internet permanen pertama dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan nama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Networks atau dikenal dengan nama Iptek-Net. Sedangkan internet service provider (ISP) komersial pertama Indonesia adalah IndoNet.

Sampai kemudian, ISP berkembang makin marak denghan sekitar 60 ISP memperoleh ijin dari pemerintah. Dari pengelola jasa internet tersebut, kemudian berdirilah Asosiasi Pengelola Jasa Internet Indonesia (APJII). Effisiensi sambungan antar-ISP dilakukan dengan membangun beberapa Internet exchange (IX) di Indosat, Telkom, APJII (IIX) serta beberapa ISP lainnya. Untuk meningkatkan pengguna, APJII melakukan program SMU2000 yang kemudian berkembang menjadi Sekolah2000.

Dalam hal pemanfaatan, banyak kalangan telah memanfaatkan internet untuk berkomunikasi, bertukar hasil penelitian, bertransaksi bahkan untuk sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, dimana berdasar data ClearCommerce Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal carder terbesar di dunia (Sinar Harapan, 5 April 2003). Pelengseran rejim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto ke Orde Reformasi tahun 1998 sedikit banyak dipengaruhi juga gelombang informasi lewat internet (Marcus, 1998). Internet menjadi media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Beberapa situs seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi yang hangat saat itu (lihat Jeffrey A. Winters, 2000)

Perusahaan, sekolah, perguruan tinggi termasuk media konvensional yang berupa cetak, majalah, radio maupun televisi, kini pun memanfaatkan internet agar dapat diakses secara online, yang sesuai dengan karakternya, di seluruh penjuru dunia. Pemerintahan baik pusat maupun daerah otonom telah pula memanfaatkan internet untuk layanan pemerintahan secara elektronik (e-government). Seperti Direktorat Perpajakan, yang melayani persoalan pajak secara online. Situs pemerintah daerah seperti Pemda Berau, Sragen, Takalar, Sidoarjo maupun Kutai Timur, telah pula menawarkan layanan mengurus Kartu Tanda Penduduk, Surat Ijin Usaha, Ijin Mendirikan Bangunan serta urusan kependudukan dan ijin lainnya secara elektronik.

21 Oktober 2008

Teknologi Informasi Indonesia dalam Perspektif One-Dimensional Man Marcuse

Berdasar kenyataan, dalam beberapa dekade terakhir diperlihatkan bahwa teknologi diakui sebagai penggerak utama bagi kemajuan industri, perubahan struktur perekonomian serta peningkatan daya saing suatu negara maupun wilayah dalam pasar global. Singkatnya, teknologi telah telah menjadi faktor produksi yang signifikan dalam proses pembangunan segala bidang.

Dalam pengamatan Hall Hill (1998), sebelum masa krisis, Indonesia selama 20 tahun berhasil muncul sebagai salah satu negara yang berkembang sangat pesat di wilayah Asia Pasifik. Hal itu bisa dilihat dari pesatnya tingkat industrialisasi dan meluasnya aplikasi teknologi tinggi untuk industri-industri tradisional. Meski fokus pembangunan utama adalah pada modernisasi pertanian dan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, termasuk penggunaan teknologi informasi, menjadi komponen penting pertumbuhan Indonesia.

Teknologi informasi telah dimulai ketika pada tahun 1976, Indonesia meluncurkan salah satu satelit komunikasi pertama di dunia. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan teknologi komputer, yang diawali dengan penggunaan mainframe di berbagai pusat pengolahan data.

Perkembangan teknologi informasi yang meski terbilang lambat, dengan tingkat pertumbuhan pembangunan infrastuktur informasi yang masih tertinggal dibandingkan negara lain yang setara di wiayah Asia Pasifik, tekanan global untuk memanfaatkan kemajuan teknologi ini telah mendorong Pemerintah menyempurnakan infrastruktur informasi dengan membangun sarana komunikasi modern.

Dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa ini, pemerintah selalu, memainkan peranan penting dalam menentukan hitam putihnya teknologi informasi di Indonesia. Rujukan pertama mengenai sistem informasi muncul dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993. Istilah “informatika” juga pertama kali dipakai di GBHN ini.

Selain soal teknologi, GBHN 1993 juga memperlihatkan budaya politik saat itu yang menyatakan bahwa walaupun penggunaan teknologi informasi modernisasi infrastruktur juga harus sesuai dengan tujuan umum menciptakan landasan politik yang konstitusional berdasarkan demokrasi Pancasila dan mendorong mobilisasi masyarakat dalam pembangunan.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi, membawa pengaruh dalam dinamika masyarakat. Kondisi demikian, di satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat karena memberi kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktivitas terutama yang terkait dengan pemanfaatan informasi, namun di sisi lain juga melahirkan persoalan di masyarakat sebagai akibat penggunaan sistem ini.

Akses terhadap saluran informasi melalui internet, yang jelas, dirasakan dampaknya dalam perpolitikan di Indonesia, khususnya di kalangan LSM dan aktivis mahasiswa, dan di kalangan elite sipil dan militer (Winters, 2000). Ketika tabloid Detik, majalah Editor dan Tempo ditutup pemerintah rezim Soeharto pada tahun 1994 sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan media cetak dan elektronik Indonesia, internet membebaskan ketertutupan informasi. Lewat situs Apakabar yang dimoderatori Dr John A MacDougall, Indonews kemudian juga Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif informasi yang tidak bisa didapatkan lewat media cetak dan elektronik, bisa tersebar luas di kalangan
masyarakat.

Teknologi informasi dimanfaatkan secara maksimal untuk melakukan analisis, networking dan koordinasi. Ledakan aktivisme politik yang dibahanbakari internet ini kemudian berhasil mengejutkan rezim Soeharto. Ia dan pembantu-pembantunya seakan-akan terperangkap di masa lalu, dimana kekuasaan dapat dipertahankan semata-mata dengan mengintimidasi majalah, koran dan televisi.

Media internet dapat menggabungkan kelebihan media cetak (ketahanan informasi) dan elektronik (kecepatan menyampaikan isi berita dan penyajian yang terinci) sekaligus walau dalam skala yang sangat kecil dibanding media aslinya. Mengikuti tantangan zaman itulah, kemudian hadir pula versi online beberapa suratkabar seperti Media Indonesia, Kompas, Republika, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan dan sebagainya; majalah Tempo, Gatra, Gamma, Femina, Kosmopolitan dan lain-lain untuk majalah online.

Mailing list, dengan email mutakhir yang berisi pesan suara, teks maupun grafis ke banyak pemakai, membuat banyak kalangan berminat bergabung dalam jaringan. Topik diskusi atau percakapan yang semula berkisar soal ilmu pengetahuan, kini meluas. Informasi dari politik, teknik sampai erotik hadir di sini. Public domain ini menggantikan matriks demokrasi politik seperti di kafe, taman, sudut jalan, yang diistilahkan Jurgen Habermas sebagai public sphere (ruang publik).

Diakui atau tidak, teknologi informasi banyak berperan memungkinkan terciptanya pemerintahan yang transparan, anti KKN dan lebih dekat dengan rakyatnya. Secara gamblang, Julianne Schultz (1994) mengatakan, teknologi informasi mempengaruhi kemampuan masyarakat berfungsi dalam masyarakat demokrasi dan teknologi itu juga mempengaruhi hakikat demokrasi itu sendiri.

Selain ancaman komersialisasi, persoalan yang menghambat teknologi informasi bisa berperan lebih luas dan signifikan adalah masalah akses, kultur penyelenggara negara dan kesadaran masyarakat serta aturan macam apa yang dibuat pemerintah dalam mengatur teknologi ini. Dalam mengakses teknologi informasi, antaranegara tidak sama. Apalagi jika dibandingkan antara negara maju dan negara dunia ketiga, terjadi digital divide (kesenjangan digital).

Untuk ukuran Asia saja, Indonesia tergolong sebagai negara dengan jumlah pengakses internet sangat kecil. Sehingga, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan wilayah yang begitu luas, isu akses ini menjadi persoalan yang signifikan.


Teknologi Informasi dalam Perspektif Marcuse
Jika dikaitkan dengan pembebasan dari irasionalitas masyarakat modern Herbert Marcuse, perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dapat dikategorikan dalam kecenderungan kedua yang bakal terjadi pada masyarakat modern. Yaitu, akan terjadinya perubahan sosial yang bisa membawa perubahan sejati. Masyarakat modern dengan kebebasan yang tidak terkunci rapat.

Perkembangan teknologi informasi di Indonesia memungkinkan kemudahan mendapatkan informasi. Seperti dijelaskan sebelumnya, teknologi informasi, lewat internet, berdampak pada perubahan politik di Indonesia dengan hadirnya kelas revolusioner, intelektual ‘sehat’ yang belum dibekukan sistem yang ada, dalam hal ini mahasiswa dan aktivis LSM. Seperti diakhir kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharo. Ledakan aktivisme politik ini kemudian berhasil mengejutkan rezim Soeharto dan menumbangkannya.

Hal itu terjadi karena Soeharto dan pembantu-pembantunya seakan-akan terbuai dengan dengan kecenderungan fase pertama masyarakat modern seperti dikatakan Marcuse, bahwa pada masa mendatang tidak mungkin terjadi perubahan sosial kualitatif karena masyarakat industri modern mampu mencegahnya. Penindasan yang dilakukan dengan membungkam majalah, koran dan televisi—dimensi-dimensi yang tidak setuju atau sesuai dengan sistem yang diberlakukan—dibebaskan ketertutupan informasi tersebut dengan hadirnya media perlawanan lewat internet seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online maupun Tempo Interaktif

Selain munculnya kepekaan dan kesadaran baru yang datang dari kelompok pembaharu dalam masyarakat, seperti disebutkan sebelumnya yaitu mahasiswa dan para aktivis LSM, teknologi informasi telah menjadi sumber kekuatan pembebasan. Kekuatan baru ini, seperti yang diambil Marcuse dari ajaran Karl Marx bahwa kekuatan baru bukan sesuatu yang harus dibuang atau dihentikan tetapi hanya dihilangkan sifatnya yang represif.

Hanya saja, analisis lebih jauh pemanfaatan teknologi informasi ini di Indonesia secara lebih luas dalam kehidupan masyarakat menurut pandangan Marcuse, perlu diuji mengikuti tesis pokok Marcuse ke dalam tiga segi kehidupan: sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Jika dilihat berdasar segi sosial-ekonomi, adalah benar yang dikatakan Marcuse bahwa secara ekonomis kemajuan yang pesat dari teknologi makin membebaskan manusia dari cucuran keringat dan kerja kasar mencari nafkah.

Namun, kata Marcuse, hal tersebut baru nampak luar saja yang bisa mengelabui mata. Untuk itu, pemanfaatan teknologi informasi ini perlu dilihat apakah hal itu juga membawa perbaikan di lain bidang seperti moral, kebudayaan dan kehidupan keagamaan misalnya. Kemudian juga, pelru dilihat apakah teknologi informasi ini telah menjadi ungkapan kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan pada massa. Sehingga potensi pembebasan hanya menjadi alat perbudakan baru.

Bila dikaji, memang pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia telah mengubah kehidupan dengan adanya kemudahan dalam mengakses informasi, membuat hidup enak dimana mereka yang memanfaatkan teknologi ini terbebas dari cucuran keringat dan kerja kasar untuk mencari nafkah. Namun, tidak dapat dihindari dengan adanya dampak-dampak negatif yang muncul dalam moral, kebudayaan maupun agama.

Seperti, cenderung meningkatnya kejahatan yang terkait dengan teknologi informasi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dan uniknya, meski penetrasi teknologi ini masih rendah (sekitar satu persen dari jumlah penduduk), nama Indonesia ternyata mendominasi kejahatan berbasis teknologi informasi di dunia. Menurut catatan Markas Besar Kepolisian RI, pelaku kejahatan jenis baru ini, 98 persen orang Indonesia.

Dalam catatan The John Marshall Law School Chicago, Amerika Serikat, setidaknya ada 30 jenis kejahatan yang berkaitan dengan dunia cyber. Termasuk di dalamnya, hacking, cracking, carding, perjudian online, hak atas kekayaan intelektual, perlindungan anak-anak dan sebagainya. Dengan ramainya terorisme, diwaspadai pula lalu lintas informasi para teroris lewat jaringan superhighway ini.

Hal lain yang terkait dengan isu ini adalah soal pornografi. Saat ini, banyak banyak situs yang khusus menampilkan gambar-gambar perempuan Indonesia tanpa busana. Bahkan, tidak segan-segan situs-situs tersebut menarik bayaran dari para penikmat ‘keindahan virtual’ tersebut. Seperti, situs Exotic Azza, JavaSweet ataupun Pramuria. Gambar-gambar dan cerita-cerita berbau pornografi pun dapat dibaca lewat mailing list maupun situs. Mailing list yang cukup ramai peminatnya adalah Indonesia Naked Girls dan Cewek Bugil. Sedang yang cukup kesohor dengan cerita-cerita seks adalah situs Ceritaseru dan situs 17tahun.com.

Sedang dalam kaitannya apakah teknologi informasi hanya menjadi ungkapan prbadi atau golongan yang dipaksakan pada massa, jawabannya adalah pada satu sisi teknologi ini mempunyai potensi pembebasan, namun di sisi lain bisa juga sebagai alat perbudakan baru. Seperti dipaksakannya pengakses ketika membuka situs semacam yahoo.com dengan iklan-iklan yang tidak dikehendaki. Sistem kapitalisme juga dikembangkan dengan keharusan membayar untuk akses situs-situs tertentu.

Berdasar segi sosial-politik, apa yang dikatakan Marcuse bahwa tidak bisa diterima lagi pendapat yang mengatakan teknologi bersifat netral, dapat dibenarkan. Teknologi informasi pun tergantung penggunaannya. Hanya saja, kekuatannya menjadi alat politik penindasan yang ampuh yang menyebabkan masyarakt kehilangan fungsi kritisnya, dengan berbagai fenomena yang telah dipaparkan justru teknologi ini pada beberapa hal justru melahirkan fungsi kritis dalam masyarakat. Teknologi ini mampu menjadi alat pengendali sosial untuk menghadirkan perubahan sosial kualitatif.

Dalam segi sosial-budaya, apa yang dikatakan Marcuse bahwa media menjadi alat efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan prilaku satu dimensi, teknologi informasi pun berpotensi ke arah tersebut. Termasuk mendukung pemikiran kemapanan dan menentang pemikiran-pemikiran kritis. Namun, banyak terjadi juga sebaliknya. Dengan internet, kemudian hadir pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.

Jika membaca Human Development Report (HDR) UNDP dalam dua tahun terakhir. HDR 2001 yang bertemakan teknologi (“Making New Technology for Human Development”) dan HDR 2002 tentang demokrasi (“Deepening Democracy in a Fragmented World”), jelas bahwa teknologi informasi membuka ruang baru, yang seperti dikatakan Habermas dengan public sphere, menjadikan kehidupan yang lebih demokratis. Dan keduanya, mempunyai peran yang signifikan dalam pembangunan yang berpusat pada manusia (human development).

Namun perlu diakui, dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa ini, selain pemerintah selalu memainkan peranan penting dalam menentukan pemanfaatan dan perkembangan teknologi informasi di Indonesia, juga diperlihatkan bahwa penggunaan teknologi informasi dijadikan alat untuk menciptakan landasan politik yang konstitusional berdasarkan demokrasi Pancasila dan mendorong mobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Ini merupakan arah ‘satu-dimensionalita’ dimana kritik dan kebebasan berpikir hanya dalam rangka status quo, tidak pernah boleh keluar daripadanya.

Perlu ditegaskan, tentunya peran dan pemanfaatan teknologi informasi dalam masyarakat Indonesia, akan sulit menjangkau bentuk masyarakat bebas seperti dicita-citakan Marcuse yang ditandai adanya kepemilikan, perencanaan dan pengaturan bersama alat-alat produksi dan distribusi seperti pada masyarakat sosial, meski belum mencukupi. Namun begitu, apa yang dicita-citakan Marcuse sesungguhnya, dalam pandangan Sudarminta (1982:165) terlalu utopis, jauh dari realitas yang dapat diwujudkan.

Dan terakhir, perlu diingat bahwa kritik Marcuse mengenai manusia satu dimensi ini dialamatkan pada negara-negara industri maju dengan tingkat ekonomi yang sudah cukup tinggi. Sehingga, meski perkembangan teknologi informasi telah mempu menjangkau banyak orang di Indonesia dan berperan dalam perubahan sosial politik, ‘satu-dimensionalita’ yang dimaksud Marcuse belum menjadi berarti. Apalagi dengan angka teledensitas (penetrasi telepon untuk 1000 penduduk) yang masih pada angka 30-an untuk 220 juta penduduk serta masih ada ribuan desa yang belum telepon tersentuh telepon dasar.

Walau belum merupakan masalah, dengan globalisasi seperti sekarang ini, perubahan konstelasi kehidupan dunia perlu dicermati. Pengalaman pahit yang dihadapi negara-negara maju dengan orientasi industrialisasi ternyata menimbulkan masalah yang tidak mudah diselesaikan. Ini artinya, dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi, kebijakan yang ditempuh jangan sekadar meniru negara yang sudah maju, namun perlu diingat situasi, kondisi, masalah-masalah dan cara-cara menghadapinya. Kenyataan-kenyataan yang ada tersebut diharapkan dapat memunculkan arti dan tujuan sebenarnya pemanfaatan teknologi ini, yang dalam lebih luas terkait dengan pembangunan bangsa.

14 Oktober 2008

Pandangan Marcuse Tentang Masyarakat Modern


Herbert Marcuse merupakan seorang anggota Institut Sosial di Frankfurt, Jerman, lembaga yang mengadakan riset-riset di bidang sosial. Lahir di Berlin pada 1898 dan memperoleh pendidikan tinggi di Berlin serta Freiburg. Menjelang Hitler berkuasa (1932), Marcuse melarikan diri dari Jerman ke California, Amerika Serikat. Di California, Marcuse merupakan guru besar filsafat politik di Kampus San Diego, Universitas California.

Ketika dunia sedang ramai memperbincangkan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat dan bahaya yang mengancam akibat pesatnya kemajuan teknologi, Marcuse hadir dengan kritik yang menyebutkan bahwa masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Dalam bukunya “One-Dimensional Man”, Marcuse melihat masyarakat modern sebagai masyarakat berdimensi satu. Maksudnya, segala segi kehidupan diarahkannya pada satu tujuan saja, yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme. Karena satu tujuan, itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi yang lain yang tidak setuju atau sesuai dengan sistem tersebut.

Hal tersebut bisa lancar dan efektif dilaksanakan karena teknologi modern dengan kemampuannya menciptakan kemakmuran bagi warganya dan pengaturan masyarakat yang serba rasional dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup yang pada tahap-tahap masyarakat sebelumnya menimbulkan protes dan konfik sosial. Sehingga, masyarakat yang tinggal dalam masyarakat tersebut dibuat menjadi pasif dan reseptif, serta tidak lagi menghendaki perubahan.

J. Sudarminta (1982) memetakan tesis pokok Marcuse ke dalam tiga segi kehidupan masyarakat: sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Dalam segi sosial-ekonomi, Marcuse mengakui bahwa secara eknomis masyarakat industri dewasa ini bertambah kaya, hidup manusia makin enak, lancar dan teratur. Kemajuan yang pesat dari teknologi dan ilmu pengetahuan makin membebaskan manusia dari cucuran keringat dan kerja kasar untuk mencari nafkah.

Tapi menurut Marcuse, semua itu baru luarnya saja yang bisa mengelabui mata, namun belum menyangkut hakekat manusia seutuhnya. Kemajuan di bidang material perlu ditinjau apakah hal itu juga membawa perbaikan di lain bidang seperti moral, kebudayaan dan kehidupan keagamaan, misalnya. Untuk itu perlu diselidiki dan ditanyakan apakah motivasi perkembangan yang terjadi sekaran ini, bagaimana proses terjadi dan akibat-akibat negatif yang mungkin ditimbulkan.

Teknologi yang dalam masyarakat industri modern sangat menentukan, menurut Marcuse, telah menjadi ungkapan kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan pada massa. Hal itu menyebabkan potensi pembebasan yang ada dalam teknologi tenggelam dan muncul sebagai alat perbudakan baru. Masyarakat industri modern tetap menjadi masyarakat teralienasi karena mengasingkan manusia-manusia yang menjadi warganya dari kemanusiaannya.

Dalam segi sosial-politik, Marcuse beranggapan bahwa masyarakat industri modern, berkat penguasaan dan pengaturannya atas teknologi, cenderung ke arah totaliterisme. Daya kekuatan mesin yang melampaui tenaga manusia menjadi alat politik yang paling ampuh. “Rasionalitas teknologis” menampakkan sifat politisnya dengan menjadi alat penindasan yang lebih ampuh. Sehingga, masyarakat kehilangan fungsi kritisnya. Teknologi juga menjadi alat pengendali sosial dengan kemampuannya mencegah timbulnya perubahan sosial kualitatif.

Dihadapkan pada sifat totaliter masyarakat industri maju, pengertian tradisional bahwa teknologi bersifat netral, tidak lagi dapat diterima. Teknologi tak dapat dipisahkan dari penggunaannya. Masyarakat teknologis merupakan suatu sistem dominasi yang sudah bekerja dalam konsep dan konstruksi teknik sendiri yang secara apriori menemukan tuntutan-tuntutannya.

Dalam segi sosial-budaya, Marcuse melontarkan kritiknya atas pola budaya masyarakat yang terlibas sistem yang ada. Seperti dalam seni dan sastra, karya-karya seni atau sastra yang sungguh-sungguh memenuhi fungsinya ada pada masa sebelum rasionalitas teknologis seperti sekarang ini. Saat ini, kebudayaan telah dicangkokkan pada kenyataan yang ada, kehilangan hakekat dan kebenarannya.

Bukan hanya seni atau sastra saja yang diperalat rasionalitas teknologis, namun juga penggunaan bahasa pada umumnya. Media massa menjadi alat yang paling efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan prilaku satu dimensi. Bahasa yang dipakai sehari-hari mendukung pemikiran kemapanan dan menentang pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.

Marcuse juga mengkritik filsafat ilmu pengetahuan dewasa ini yang bersifat positivistik dan menekankan operasionalisme. Ilmu pengetahuan modern menurutnya bukan hanya secara empiris saja berhubungan dengan teknologi, namun juga secara konseptual. Arah perkembangan ilmu pengetahuan modern juga ikut melanggengkan kelangsungan dominasi dalam masyarakat.

Pembebasan dari Irasionalitas Masyarakat Modern
Untuk membebaskan manusia dari irasionalitas masyarakat modern, Marcuse menyampaikan gagasannya melalui dua fase (Sudarminta, 1982). Fase pertama ada dalam One-Dimensional Man (1964) dan fase kedua lewat buku An Essay on Liberation (1969). Pada fase pertama, nampak Marcuse pesimis akan kemungkinan adanya jalan keluar.

Menurut hipotesisnya, ada dua kecenderungan yang bakal terjadi pada masyarakat modern. Pertama, pada masa yang akan datang tidak mungkin terjadi perubahan sosial kualitatif karena masyarakat industri modern mampu mencegahnya. Kedua, munculnya kekuatan-kekuatan dan kepekaan baru yang akan mematahkan dan menggerakkan masyarakat. Namun menurut Marcuse, kecenderungan pertamalah yang dominan. Karena itu, dalam fase pertama Marcuse merasa menemui jalan buntu.

Dalam fase kedua, Marcuse lebih optimis akan terjadinya perubahan sosial kualitatif yang bisa membawa perubahan sejati. Adapun masyarakat yang dicita-citakan Marcuse adalah tidak seperti masyarakat modern yang ruang kebebasannya terkunci rapat-rapat. Bentuk masyarakat bebas ditandai, mula-mula, adanya pemilikan, perencanaan dan pengaturan bersama alat-alat produksi dan distribusi. Keadaan tersebut akan menciptakan sendiri dorongan untuk bekerja, bukan sebagai keharusan atau dipaksakan dari luar untuk dapat hidup.

Untuk dapat mencapai masyarakat yang dicita-citakan tersebut, Marcuse menekankan perlunya kelas revolusioner untuk timbulnya perubahan sosial. Kelas revolusioner yang dibayangkan Marcuse menjelang tahun 1970-an adalah segolongan kecil dalam masyarakat, kelompok intelektual yang ‘sehat’ dan belum dibekukan dalam sistem yang ada. Marcuse sendiri lebih menaruh perhtian pada kekuatan pembebasan dari kaum muda khususnya mahasiswa. Kekuatan pembebasan mereka murni karena merupakan ungkapan dorongan naluriah akan kebebasan, tidak menggunakan kekerasan baik fisik maupun senjata serta penggunaan
bahasa yang melawan bahasa yang sudah mapan.

Untuk melakukan perombakan sosial, Marcuse merasa perlunya menanamkan suatu dasar ‘biologis’ untuk pembebasan. Perombakan sosial yang mencapai dasar terdalam ini menuntut adanya perombakan dalam pola kebutuhan manusia, arah dan lembaga baru serta hubungan produksi yang sama sekali berbeda bahkan bertentangan dengan apa yang ada dalam masyarakat sebelumnya.

Adapun sumber kekuatan pembebasan, selain munculnya kepekaan dan kesadaran baru yang datang dari beberapa kelompok radikal dalam masyarakat, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membawa suatu kekuatan baru dalam bidang produksi yang sekaligus merupakan sumber kekuatan pembebasan. Sehingga, sesuai ajaran revolusi Karl Marx, kekuatan baru itu bukan sesuatu yang harus dibuang atau dihentikan perkembangannya melainkan hanya dihilangkan sifatnya yang represif, yang memperbudak manusia.

“…technological rationality, stripped of its exploitative feature, is the sole standard and guide in planning and developing the available resources for all”. (Marcuse, 1964)

07 Oktober 2008

ICT, Negara Dunia Ketiga dan Teori Kritis

Tranformasi teknologi saat ini terjalin transformasi lain, globalisasi, menciptakan paradigma baru yaitu era jaringan. Tak ada individu, lembaga kemasyarakatan, bisnis maupun pemerintah yang dapat mengabaikan perubahan ini. Kombinasi transformasi teknologi dan globalisasi yang menciptakan era jaringan, membuat teknologi tingkat lanjut menjadi semakin cepat dan fundamental. Ada tiga bidang yang memimpin transformasi ini, yaitu teknologi komunikasi dan informasi, bioteknologi dan, yang baru muncul, nanoteknologi.


Teknologi komunikasi dan informasi melibatkan inovasi dalam dunia mikroelektronik, komputer (hardware dan software), telekomunikasi dan opto-elektronika. Perkembangan dalam dunia teknologi informasi di berbagai sektor bisa disebut sebagai revolusi komunikasi. Dunia menjadi begitu sempit dan manusia bisa berkomunikasi dengan amat sangat cepat di manapun berada dengan kehadiran internet, telepon selular (Ponsel) maupun satelit.



Salah satu fokus diskusi dampak politik teknologi informasi saat ini adalah demokratisasi. Teknologi informasi diharapkan berperan besar dalam pembangunan demokrasi bangsa disebabkan karena biaya implementasi yang murah, penyajian informasi yang cepat, jangkauan yang luas serta bebas sensor yang memungkinkan informasi yang diterima bersifat transparan.
Dalam tulisannya berjudul “Universal Suffrage? Technology and Democracy” Julianne Schultz (1994) mengatakan bahwa teknologi memiliki kapasitas mengubah apa yang kita ketahui, apa yang kita percayai, apa yang kita lakukan, bagaimana kita melakukannya dan bahwa siapa diri kita sebenarnya. Kemampuan adaptif teknologi, terutama jika diterapkan dalam lingkungan yang dideregulasi, memiliki kapasitas untuk mempengaruhi kemampuan warga masyarakat berfungsi di sebuah masyarakat demorkasi. Sebab itulah, teknologi berpotensi mempengaruhi hakekat demokrasi itu sendiri.


Dalam pandangan David F. Andersen (1991), teknologi informasi modern mempengaruhi pemerintahan dan dengan juga politik dengan empat cara. Pertama, teknologi baru dapat mengubah rincian tahap-tahap operasi pemerintahan. Kedua, teknologi secara halus mengubah hubungan antar pemimpin pilihan masyarakat denga para pakar teknologi di pemerintahan. Ketiga, akan terjadi perubahan karakter pemerintahan sebagai sumber informasi bagi masyarakat. Dan keempat, perkembangan teknologi akan mengubah tanggung jawab pemerintah sebagai pemilik informasi publik.


Berdasar pendapat Andersen tersebut, maka akan timbul tuntutan-tuntutan baru terhadap pemerintahan, seperti transparansi, kebebasan berbicara serta kebebasan memperoleh informasi, yang merupakan pilar demokrasi. Transparansi dalam perencanaan membuat institusi bekerja lebih baik. Penggunaan teknologi informasi membuat anggaran pendapatan dan pengeluaran terefleksikan secara benar dan akurat (HDR, 2001).


Kebebasan berbicara dan kebebasan memperoleh informasi dapat tergambarkan dengan kehadiran situs-situs maupun berhimpunnya pengguna internet dalam mailing list. Lewat berbagai situs berita, yang menurut penelitian Online News Association (ONA) situs-situs berita layak dipercaya, peristiwa yang terjadi begitu cepat menyebar ke masyarakat dalam hitungan detik. Bahkan dengan streaming media, internet dapat menyajikannya secara langsung dari lapangan.


Mailing list, dengan email mutakhir yang berisi pesan suara, teks maupun grafis ke banyak pemakai, membuat banyak kalangan berminat bergabung dalam jaringan. Topik diskusi atau percakapan yang semula berkisar soal ilmu pengetahuan, kini meluas. Informasi dari politik, teknik sampai erotik hadir di sini. Public domain ini menggantikan matriks demokrasi politik seperti di kafe, taman, sudut jalan, yang diistilahkan Juergen Habermas (1989) sebagai public sphere (ruang publik).


Dalam hal penerapan teknologi informasi di negara berkembang, dua karakter dominan segera muncul, yaitu, pertama, dominasi pemerintah atas komponen lainnya di dalam masyarakat serta, kedua, ketergantungan total pada transfer teknologi dari negara maju. Sebagaimana halnya di negara maju, pemerintah negara berkembang mempelopori penggunaan komputer untuk administrasi dan riset ilmu pengetahuan dan teknologi. Perbedaannya adalah jika di negara maju kemudian pihak swasta menyusul bahkan mengambilalih peran pemerintah dalam pengembangan teknologi informasi, di banyak negara berkembang pemerintah sering menjadi satu-satunya tumpuan pengembangan.


Dalam hal ketergantungan teknologi pada negara maju, hal itu sudah merupakan ciri sejak awal difusi teknologi ini, baik sebagai bagian dari upaya untuk memodernisasi diri maupun pinjaman yang bersifat pemerintah ke pemerintah maupun government to government maupun berasal perusahaan multinational, yang meyakinkan bahwa teknologi informasi bisa membantu negara berkembang dalam berbagai bidang.


Persoalan tranfer teknologi dan penerapan TI di negara berkembang ini, seperti dikatakan Arnold Pacey (1983) sebagai ”sebuah pandangan tentang teknologi yang berawal dan berakhir dengan mesin”. Hal itu terjadi karena cara orang mendekati masalah dimulai dengan adanya sesuatu yang harus diperbaiki secara teknis sambil berbicara tentang terobosan teknologi. Padahal persoalannya tak sesederhana itu karena di dalamnya terkait dengan perangkat hukum yang mengatur penggunaan teknologi ini, budaya termasuk juga sumber daya manusia.


Namun di sisi lain, seperti negara maju, pemerintah negara berkembang juga menghadapi tekanan dari tumbuhnya aspirasi menuju masyarakat yang lebih demokratis. Publik kian sadar untuk memanfaatkan sebesar-besarnya penerapan teknologi informasi dan menjadikan seluruh proses tersebut sebagai proses pembelajaran daripada sekadar mengadaptasi sistem secara terus-menerus sesuai perkembangannya.

Kebijakan Teknologi Informasi
Menyikapi “ledakan” teknologi baru, Douglas Kellner (1997) mengatakan, di satu sisi, hiburan dan informasi dalam teknologi dan revolusi informasi merupakan bagian dari penciptaan masyarakat infotainment yang merupakan bagian dari restrukturisasi kapitalisme global. Namun di sisi lain, Kellner juga melihat potensi demokrasi, kemandirian dan pemberdayaan serta transformasi sosial yang progresif, dalam membangun sosial dan budaya baru dan mungkin ruang publik baru, yang bukan sekadar komunitas maya belaka.


Sementara itu, Robert W. McChesney (1996) melihat bahwa saat ini ada dua kecenderungan yang menandakan revolusi teknologi komunikasi dan informasi. Pertama, adanya konsentrasi korporasi yang cepat dalam industri media, sejalan dengan arah globalisasi. Televisi, radio, koran, majalah, buku, perusahaan rekaman telah menjadi industri global yang didominasi oleh sejumlah korporasi sehingga terbentuklah pasar oligopolistik global.


Dalam pandangan Chesney, pasar media global hanya akan didominasi kurang dari 24 perusahaan besar. Dengan tiga konglomerat media paling dominan adalah Time-Warner, Walt Disney Company dan New Corporation (Fox). Tak pelak, perusahaan media global sekarang dan masa depan, dibentuk oleh penyebaran komersialisasi, deregulasi dan privatisasi.
Kedua, perkembangan komunikasi digital dan teknologi yang berhubungan. Di satu pihak, digitalisasi mendorong komunikasi global menjadi instan dan murah yang berimplikasi mendorong terjadinya konglomerasi dan integrasi vertikal karena semua bentuk komunikasi berubah menjadi format digital dan produk media menjadi mudah ditransfer antargender. Di pihak lain, komunikasi digital dapat melemahkan kemampuan komunikasi yang diatur dalam aturan hierarki tradisional.


Komunikasi digital juga mencakup konvergensi media, telekomunikasi dan industri komputer. Konsekuansinya, pertama, kombinasi industri media, telekomunikasi dan komputer membuat sektor ini sebagai penghasil terbesar dan tercepat dari ekonomi global. Berdasarkan kapitalisme pasar, 3 dari 4 badan terbesar dan 13 dari 50 besar badan di dunia terjun dalam sektor ini. Karenanya dapat dikatakan, sektor ini berada pada jantung kapitalisme global yang membuat pekerjaan menjadi lebih sulit di satu sisi dan kian penting di sisi lain.


Konsekuensi kedua, lingkungan baru dan ketidakpastian mengenai masa depan industri media, telekomunikasi dan komputer. Sebab jika internet atau beberapa jaringan komputer digital seperti ini mendominiasi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana nasib perusahaan media tradisional?


Sebab seperti dikatakan Jeffrey Layne Blevins (1999), meski internet hadir sebagai ruang komunikasi tanpa dominasi dan lebih desentralisasi, namun ada kecenderungan oligarki media untuk mengkolonisasi ruang cyber. Sehingga artinya, walau internet dengan jelas telah membuka ruang penting bagi komunikasi lebih maju dan bebas, memperbolehkan nilai-nilai kemanusiaan melompati kapitalisme dan perusahaan komunikasi, dirasa meragukan. Kecuali, jika kebijakan publik itu sendiri secara keras membatasi kehadiran kolonisasi kapitalis dalam ruang cyber ini.


Dalam pandangan Jean-Benoit Zimmermann (1990), yang penting dicatat dalam perkembangan industri teknologi informasi di dunia adalah indutri ini ditemukan oleh korporasi besar, mapan dan bersifat multinasional serta mengarah pada oligopoli. Sehingga, peran dunia ketiga cukup lemah dalam pasar komputasi global.


Karena itu, kehadiran internet sebagai bentuk revolusi komunikasi tetap mengundang pertanyaan apakah media ini bisa berfungsi sebagai ruang publik? Kalau dapat, tentunya selain ancaman kapitalisme global, adalah bagaimana perannya untuk ikut mendorong terciptanya demokrasi mengingat, pertama, internet hanya dapat dimiliki oleh lapisan tertentu dalam masyarakat, umumnya kalangan elit, dan penyebarannya yang belum menjangkau hingga pelosok. Dan kedua, komunikasi antarindividu dalam internet bukanlah interaksi face to face melainkan hanyalah berupakan “kedipan piksel” di layar monitor.


Fokus diskusi dampak politik internet dalam kaitan dengan demokratisasi adalah public sphere. Isu ruang publik merupakan jantung rekonseptualisasi demokrasi. Menariknya, matriks demokrasi politik seperti coffee house, public square, town hall, taman sudut jalan dan banyak tempat yang dibanggakan Juergen Habermas, pengonsep public sphere, tidak lagi menjadi tempat untuk diskusi dan aksi politik. Perannya digantikan televisi, koran, majalah, fotografi, yang merupakan public domain. Tempat dimana dan berarti publik diciptakan dan sedang terjadi (John Hartley, 1992).


Memang dalam melihat emansipasi politik dalam penggunaan kata “publik”, “berbicara” dan pertemuan “tatap muka” cukup membingungan dan kompleks. Selain hanya hal itu hanya berupa “kedipan elektronik”, juga karena piksel-piksel itu dikirim oleh individu dari lokasi-lokasi yang berbeda, jauh dan mungkin juga belum pernah bertemu.
Namun oleh Paul Virilio dikatakan, sejak saat ini ruang publik juga bisa diciptakan dan berlangsung melalui tampilan elektronik di layar monitor. Kata “publik” yang cenderung lebih mengarah ke “publisitas” sebagai “ karakter” digantikan dengan “gambar”.


Sementara itu, Nancy Fraser (1990) dalam “Rethinking the Public Sphere” mengatakan, ruang publik merupakan lawan dari ruang pribadi (private sphere), dalam hal “berbicara”. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan Mark Poster (1995), bagaimana internet dengan komunitas virtual, kafe elektronik, bulletin board, email, konferensi komputer atau video, dapat dibedakan antara yang publik dan pribadi.


Apa yang ditanyakan Poster, secara jelas dijawab Judit Perrole (1991). Menurutnya, kondisi ideal berbicara lewat internet tidak tercapai. Hal itu karena pembicaraan terdistorsi oleh kontrol mesin. Apa yang jadi pembicaraan lebih sebagai karateristik logika mesin daripada sebuah hasil interaksi manusia.


Di tengah perdebatan, yang jelas, setiap media massa, dari cetak hingga elektronik, memiliki karakteristik yang berbeda-beda dengan keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Jika lewat media seperti novel dan televisi, meski interpretasi individu dilakukan oleh mereka sendiri, namun para pembaca atau penonton bukanlah menjadi sasaran langsung tapi sebagai khalayak umum. Sedang lewat internet, individu membaca dan menginterpretasikan komunikasi menurut dirinya sendiri pada orang lain, merespons dan mentransmisikannya.


Dan yang patut menjadi perhatian, internet mendobrak eksistensi media mainstream. Internet juga merupakan sebuah teknologi yang meletakkan kegiatan budaya, simbolisasi dalam semua bentuk, dapat dipakai semua orang, dan secara desentralisasi merupakan posisi dari percakapan, publikasi, pembuatan film, radio dan pertelevisian.


Dalam perspektif ekonomi politik liberal, pasar mempunyai “kebebasan” yang paling seluas-luasnya dalam beroperasi (Golding dan Murdock, 1996). Sebab dalam pemikiran pandangan ini, fokus perhatian adalah pertukaran pasar antara konsumen dan komoditas kompetitif. Lebih jauh, ekonomi politik liberal bercaya bahwa privatisasi layanan publik dan komunikasi adalah lebih baik karena menambah pilihan konsumen.


Ancaman yang mungkin muncul dari perspektif tersebut adalah konglomerasi media. Dengan media konglomerasi, dimana korporasi memiliki beberapa macam produksi dan distribusi media, dari hilir sampai hulu (vertical integration), para konglomerat dapat mensirkulasikan produksinya melalui media berbeda dalam satu korporasi. Yang dikhawatirkan Blevins (1999), kreativitas produksi akan menurun dan lebih terfokus pada persoalan mendapatkan keuntungan.


Senada dengan Blevin, EM Lenert (1998) dengan gamblang mengatakan bahwa teknologi informasi dan world wide web merupakan penerus tradisi demokrasi yang hebat. Karenanya penting untuk menentukan bagaimana teknologi ini diatur dengan konsekuensi sosialnya harus melawan asumsi yang mengatakan liberalisasi sama dengan demokratisasi. Privatisasi, katanya, berati komersialisasi, bukan demokrasi.