Lazimnya sebuah perusahaan yang memiliki divisi pemasaran, sistem politik juga memiliki strategi pemasaran. Umumnya, pemasaran digunakan perusahaan untuk menyeleksi pelanggan, menganalisa kebutuhan mereka, sebelum menetapkan produk inovasi, iklan, harga, dan strategi distribusi yang berbasis pada riset informasi. Dalam politik, aplikasi pemasaran berpusat pada proses yang sama, namun analisa dari keputuhan bermula dari pemilih dan penduduk. Sedangkan produk pemasaran politik merupakan kombinasi dari mulai pelaku politik, pencitraannya, dan platform pendukung yang dipromosikan dan disampaikan kepada khalayak yang tepat.
Sesungguhnya, memasarkan seorang politisi untuk menjadi anggota DPR, DPRD, DPD Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, atau Bupati, tidak beda dengan menjual McDonald’s atau sebuah BMW. Ia harus bisa mengantisipasi kebutuhan dan keinginan dari pasar, agar sukses 'terjual'. Hanya saja, dalam politik, proses tersebut lebih dinamis, dan sulit diprediksi karena kekuatan dan kompetitor yang juga dinamis. Sikap pelanggan atau pemilih, dalam hal ini juga berubah secara konstan akibat pengaruh media yang secara konstan memberitakan para kandidat.
Maka, ada dua perbedaan mencolok dalam hal pemasaran bisnis dengan pemasaran politik.
Pertama, perbedaan filosofi. Bisnis selalu bertujuan menghasilkan keuntungan, sedangkan politik adalah operasi kesuksesan demokrasi. Kemenangan politik terkadang ditentukan oleh selisih (persentase suara) yang kecil. Namun dalam bisnis, perbedaan kemenangan dan kekalahan biasanya ditentukan oleh variasi investasi yang besar. Kedua, dalam hal strategi pemasaran. Dalam bisnis, implementasi strategi pemasaran dirumuskan berdasarkan hasil penelitian. Namun dalam politik, filosofi pribadi politisi biasanya mempengaruhi strategi apa yang akan dipakai.
Perbedaan antara bisnis dan politik tidak berarti praktisi dari dua area ini memunculkan dua pasar secara bersama. Hal itu karena, pertama, keduanya mengandalkan penggunaan standar dan strategi pemasaran seperti penelitian pemasaran, segmentasi pasar, target, posisi, strategi pengembangan dan implementasi. Kedua, pemilih dapat dianalisa sebagai pelanggan dalam pasar politik, menggunakan model dan teori yang sama dalam pemasaran yang biasa dipakai studi pelanggan pada pasar komersial. Ketiga, keduanya berhubungan dengan kompetisi pasar dan membutuhkan pendekatan yang sama untuk meraih kemenangan.
Seni Menciptakan dan Menjual Citra
Satu dari yang terpenting dalam pemasaran politik yang dapat dipakai politisi untuk mengendalikan opini publik adalah citra mengenai dirinya. Di era televisi, di mana kesempatan menyampaikan pendapat hanya dalam hitungan detik, masyarakat menilai politisi dalam waktu yang singkat, sehingga kesan yang tertinggal dalam benak pemirsa lebih penting daripada pesan yang disampaikan.
Citra merek sebuah produk mewakili persepsi orang terhadap merek itu, yang dibentuk berdasar informasi yang dimiliki konsumen tentang merek tersebut. Misalnya pengalaman pribadi orang terkait merek tersebut. Citra merek juga diasosiasikan dengan perusahaan penjualnya.
Dalam politik, citra diciptakan melalui impresi visual yang dikomunikasikan dengan tampilan fisik politisi, kemunculannya di media, pengalaman, serta riwayatnya sebagai pemimpin politik. Semua informasi tadi terintegrasikan ke dalam pemikiran rakyat. Citra dari kandidat juga dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan rakyat kepadanya.
Agar sukses memasarkan produk atau politisi, citra yang jelas harus disampaikan dalam pesan tunggal yang menggambarkan produk atau sifat utama dari politisi. Pesan juga harus disampaikan secara berbeda sehingga tidak mirip dengan pesan yang sama dari kompetitor lain. Agar efektif, citra harus dikomunikasikan secara konsisten pada setiap pesan.
Inti dari penciptaan citra kandidat adalah melakukan manipulasi dan mengontrol liputan media agar memungkinkan wajahnya hadir di televisi dan media lain. Dan pada saat bersamaan, membentuk citra secara konsisten dengan daya tarik yang dapat digunakan kandidat untuk membujuk pemilih. Akibatnya, media menciptakan konstruksi realitas bagi pemilih berdasar substansi dan citra yang mereka sampaikan.
Perubahan Strategi Kampanye
Menurut Dan Nimmo (2000), ada tiga jenis kampanye. Yaitu kampanye massa, kampanye antarpribadi dan kampanye organisasi. Kampanye massa meliputi kampanye tatap muka, menggunakan media elektronik dan media cetak sebagai perantara. Contohnya seperti radio, televisi, telepon dan surat kabar. Kampanye antarpribadi menggunakan kedekatan pribadi atau menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh lokal dalam setting yang relatif informal. Sedang kampanye organisasional, dilakukan oleh organisasi yang mendukung kandidat, organisasi yang mempunyai kepentingan khusus, kelompok penyokong dan partai politik.
Melihat perkembangan terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, terlihat bahwa kampanye telah menjadi lebih langsung dan lebih menampilkan kelicikannya. Ada tiga indikasi yang menjelaskan perubahan tersebut. Pertama, bukan seperti politik biasanya, kini kampanye mengandalkan iklan negatif. Kedua, politik berubah mengandalkan polling. Ketiga, bersandarnya kandidat pada konsultan yang mengarahkan hal-hal apa saja yang bisa dikatakan, bagaimana, kapan dan di mana mengatakannya. Dan keempat, penggunaan telemarketing dalam berkampanye. Di sini, kampanye mengandalkan iklan televisi, kaset video yang dikirim langsung ke pemilih, serta juga penggunaan teknologi informasi.
Faktanya, bagi politisi, penggunaan layanan berbasis teknologi informasi semisal internet maupun SMS, menawarkan cara yang efektif bagi kandidat untuk mengungkapkan gagasannya secara langsung dengan pemilih. Penggunaan internet dan telepon seluler untuk pemasaran langsung merupakan kombinasi teknologi yang unik yang membantu mengintegrasikan strategi pemasaran politisi. Dengan internet, kandidat mempunyai kesempatan untuk membangun kontak langsung dengan pemilih melalui debat online yang dapat dilihat secara real time (langsung).
Karenanya, mereka yang akan bertarung di Pemilu 2009, terutama capres atau cawapres, harus memiliki situs di web, juga situs jejaring sosial seperti facebook. Saya sendiri telah menyediakan wadah bagi publik untuk berdiskusi mengenai "Mencari Presiden RI 2009 (Hunting for the President)" yang dapat digunakan capres/cawapres untuk berdiskusi dengan anggota milis (mailing list) sekaligus menyampaikan visi dan misinya.
Ada dua dampak penggunaan teknologi informasi sebagai alat pemasaran langsung dalam politik secara umum. Pada sisi positif, situs yang dibuat kandidat dapat memfasilitasi diskusi ekstensif terhadap isu-isu yang berkembang. Internet menawarkan kesempatan bagi kandidat untuk menghabiskan lebih banyak waktu menyampaikan ide-ide mereka kepada pemilih karena penggunaan pemasaran langsung ini relatif tidak mahal. Internet juga memberi kesempatan bagi kandidat untuk mempresentasikan informasi yang sulit dihadirkan pada media lain.
Pada sisi negatif, potensi bahaya penggunaan internet adalah kampanye negatif. Sebab dengan sifat anonim-nya, politisi dapat saja mengirimkan informasi tentang skandal-skandal lawan politiknya tanpa diketahui identitasnya dan tanpa perlu mempertanggungjawabkannya.
Siapapun yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 perlu mencermati adanya perubahan soal siapa yang menggerakkan opini publik dan mengantisipasi kebutuhan pasar. Wilayah Indonesia yang beragam dan tersebar memiliki pemilih yang berbeda, kebutuhan yang berbeda, serta ekspektasi yang berbeda atas karakter kandidat yang akan memimpinnya hingga lima tahun ke depan.
Di AS, untuk menjalin hubungan langsung dengan konsituennya, kandidat Partai Demokrat, Barack Obama, juga menggunakan layanan SMS. Di Indonesia, pemanfaatan layanan telekomunikasi ini sangat signifikan. Lebih dari 100 juta orang menggunakan ponsel. Sehingga SMS maupun dan multimedia messaging service (MMS), layak dipertimbangkan juga sebagai media untuk meraih hati pemilih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar