31 Desember 2009

detikcom : Prita Mulyasari dan UU Konvergensi

title : Prita Mulyasari dan UU Konvergensi
summary : Implementasi kebijakan telekomunikasi dan informatika terkadang carut marut. Salah satunya adalah UU ITE yang digunakan untuk menjerat Prita Mulyasari. Demi harmonisasi, diperlukan UU Konvergensi untuk menyatukannya. (read more)

16 Desember 2009

Prita, Koin Keadilan dan Perlawanan Rakyat

Prita Mulyasari adalah Fenomena. Lambang yang terang akan ketidakadilan dan perlawanan terhadap hukum di bumi Indonesia ini. Seorang Ibu yang digugat oleh sebuah rumah sakit akibat email yang dikirim ke teman-temannya sebagai rasa ketidakpuasan akan layanan RS tersebut. Di awal kasusnya, ketika saat itu sedang ramai-ramainya kampanye politik, terutama pemilihan presiden, semua calon pemimpin seolah-olah peduli turun tangan terhadap nasib Prita. Namun dalam perjalanannya, Prita dikesampingkan. Semua perhatian tertuju pada proses hukum yang terjadi pada pejabat-pejabat.


Memang, Prita bukanlah pejabat, dan tidak punya kepentingan politik mewakili partai politik dalam kasusnya. Sehingga, pembedaan perlakuan terjadi. Bibit-Chandra, petinggi KPK, bisa dibebaskan dengan intervensi dari Presiden. Namun tidak dengan Prita, bahkan ada kasus ketidakadilan lain yang juga sama seperti kasus Nenek Minah. Presiden sama sekali tidak bergeming untuk ikut ”mengingatkan” pengadilan agar proses ketidakadilan diselesaikan di luar pengadilan, seperti dilakukan terhadap Bibit-Chandra. Bahkan yang terjadi, Prita dijatuhi hukuman membayar Rp. 204 juta. Uang yang bukan sedikit tentunya.


Di sinilah, perlawanan rakyat terjadi. Uang yang Rp. 204 juta tentu sangat besar bagi keluarga Prita, dengan donasi berupa koin receh dari rakyat, menurut informasi terakhir sudah mencapai setengah milyar. Koin untuk Prita pun berubah menjadi Koin Keadilan, yang artinya jangan sekadar melihat koin recehnya, tapi keadilan yang ingin dicari rakyat melihat sepak terjang penegak hukum maupun pemimpin negeri yang tidak tegas, pilih kasih dan berkutat di wilayah politik melulu.


Ya, koin keadilan merupakan perlawanan rakyat. Yang tentunya, perlahan tapi pasti, bahwa rakyat akan bisa menjadi rakyat dengan ”R” besar dari dan akibat kasus-kasus yang dirasa memuakkan. Ini merupakan peringatan, meski mendapat mandat yang cukup besar dari rakyat dalam Pemilu, tentunya jangan meninggalkan rakyat dalam sepak terjang menjadi wakil rakyat maupun memimpin rakyat. Sebab inilah yang terjadi sekarang. Presiden misalnya, lebih mendengar dan memperhatikan aspirasi partai politik. Lihat saja dalam komposisi kabinet. Para menteri yang diharapkan profesional dan bekerja untuk rakyat, menjadi kapling-kapling jatah partai politik. Ini tentunya begitu menyakitkan rakyat yang mengharapkan kabinet yang dihasilkan adalah Kabinet kerja dengan orang-orang yang berintegritas, profesional—orang yang tepat untuk posisi yang tepat. Sehingga tak heran jika rakyat kemudian melawan.


Bagi para pemimpin dan Wakil rakyat, inilah saat yang tepat untuk introspeksi, mau dibawa ke mana negeri ini. Sebagai pemimpin misalnya, ketegasan seorang presiden dibutuhkan, dengan kearifan sebagai seorang Bapak Bangsa. Manajemen menakut-nakuti, emosional, tentunya harus diubah. Pencitraan juga jangan lagi dikedepankan, dengan nama National Summit, Program 100 Hari, yang didalamnya, tidak ada sesuatu yang baru dan langsung berdampak bagi rakyat. Yang penting adalah kerja..kerja.. dan kerja secara ikhlas, fokus dan punya target yang harus dicapai dengan rakyat sebagai pengawas dan pengawal target-tagret tersebut.


Dalam ilmu komunikasi politik, ada satu hal yang sering dilupakan dan tidak dilaksanakan ketika seseorang telah sukses menggapai kekuasaan dengan politik pencitraan, yaitu bahwa kekuasaan bukanlah akhir dari perjuangan mendapat kepercayaan rakyat, tapi adalah awal, sebab yang tidak kalah penting adalah apa yang dilakukan setelah kekuasaan itu didapatkan.

14 Desember 2009

Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?

Tulisan saya berjudul "Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?" muncul menjadi centerfold di Majalah Gatra edisi minggu ini No. 05 Tahun XVI. Bagi yang belum baca majalahnya, berikut tulisannya:

Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?


Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah—tanpa mengecilkan peran pihak lainnya, sesungguhnya menegaskan bahwa peran jejaring sosial saat ini tidak bisa dianggap remeh. Berkat dukungan pengguna jejaring sosial Facebook dalam “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto” yang hingga mencapai lebih dari 1,3 juta orang, membuat kasus ini mendapat perhatian tersendiri. Chandra dan Bibit yang sempat ditahan oleh Polisi kemudian dibebaskan.



Sebelum Chandra-Bibit, publik—pengguna Facebook (facebooker) juga bereaksi keras terhadap penahanan seorang Ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari yang berseteru dengan pihak RS Omni International karena pengiriman surat elektronik ke beberapa teman mengenai buruknya layanan di RS tersebut. Berkat dukungan jejaring sosial, beberapa pejabat dan tokoh yang menjadi calon presiden saat jelang Pemilu dan Pilpres ikut berkomentar dan bereaksi terhadap kasus ini, yang kemudian Prita pun dibebaskan. Walaupun, berbeda dengan Chandra-Bibit, kini Prita terkena vonis perdata dengan diwajibkan membayar denda Rp. 204 juta di tengah perkara pidana yang bergulir di Pengadilan Negeri Tangerang.


Fenomena tersebut perlu dicermati, sebab bukan tidak mungkin ini merupakan bentuk baru demokrasi yang ada di tengah masyarakat. Demokrasi yang berbasis jejaring sosial web 2.0 berpotensi menjadi ruang publik baru dan menajdi pilar demokrasi kelima setelah eksekutif, yudikatif, legislatif (trias politica) serta media. Meskipun, ada kelebihan dan kekurangan yang ditawarkan struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul individu atau organisasi yang diikat dengan satu atau lebih relasi seperti teman, keluarga, nilai, visi maupun ide.


Jejaring Sosial
Ramainya jejaring sosial dapat dikatakan dimulai ketika dengan layanan BBS (bulletin board system) yang memungkinkan pengguna dapat berkomunikasi dengan pusat sistem dimana dapat mengirimkan pesan, mengunduh dokumen maupun permainan. Sampai kemudian hadir situs yang berfokus menghubungkan antarteman sekolah seperti Classmates.com (1995) maupun SixDegrees.com (1997).


Pada 2002, jejaring sosial benar-benar naik daun dengan hadirnya Friendster. Jejaring sosial satu ini menggunakan konsep yang hampir sama dengan SixDegrees.com dengan melihat hubungan antara pengguna dengan derajat pembeda. Hanya saja, Friendster dirasa kurang interaktif, yang kemudian diperbaiki oleh layanan Facebook. Facebook begitu cepat berkembang. Sejak diluncurkan Mark Zukerberg 4 Februari 2004, di Indonesia sudah saja sudah ada sekitar 12 juta orang pengakses dan penggemar setia Facebook.


Angka tersebut mungkin akan terus bertambah, dan menjadi pandemi mengingat beberapa layanan yang memikat pengguna, seperti pengguna dapat mengunggah foto dirinya, pembuatan grup untuk dapat saling berbagi, chatting serta kirim-kirim pesan. Yang paling utama, menghubungkan jalinan silaturahmi yang telah sekian tahun terputus—menghubungkan kita kembali dengan teman-teman masa kecil, remaja, kuliah, bahkan saudara yang sudah lama tidak ada kabar beritanya. Sungguh menakjubkan.


Tidak heran, resto di mall, kafe, maupun tempat makan favorit, kerap ramai oleh kumpul-kumpulnya reuni apakah SD, SMP, SMA, kuliah. Ya, semua itu karena FB, yang sedikit banyak begitu mempengaruhi kehidupan kita. Tokoh-tokoh publik maupun selebritas, yang secara ”normal” susah didekati, bisa tiba-tiba saja menjadi teman virtual kita. Semua begitu mudah dilakukan. Tidak mengherankan, menurut catatan Alexa.com, Facebook merupakan situs yang paling kerap dikunjungi masyarakat pengguna internet di Indonesia lebih daripada Google maupun Yahoo!


Dalam Pemilu dan Pilpres, Facebook juga marak dengan para caleg dan capres/cawapres yang mencari pendukung lewat dunia maya. Facebook dimanfaatkan untuk pencitraan politik dan mencari pemilih, namun ada juga yang memanfaatkannya sebagai black campaign anti terhadap calon tertentu ”say no to....”. Peranan ini tentu tak lepas dari fenomena penggunaan Facebook dalam kampanye Pilpres yang dilakukan Barack Obama, yang membuatnya menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat.


Yang menarik, saat ini banyak orang lebih mudah digapai melalui pesan ke Facebook atau comment status dibanding email atau telepon langsung karena perkembangan smartphone yang menawarkan Facebook inside. Wartawan-wartawan sekarang misalnya, juga menanyakan nara sumber nya—termasuk juga menghubungi narasumber, melalui Facebook. Dengan jawaban yang tertulis, tentunya proses editing lebih mudah dan tak perlu salah tulis dibanding translasi wawancara verbal.


Pilar Demokrasi?
Internet telah memainkan peran signifikan dalam perubahan dari Orde Baru ke era reformasi. Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pascapembredelan DeTIK, Editor dan Tempo, dengan kehadiran beberapa situs maupun maling list seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi politik yang kontroversial dan kritis saat itu.


Situs-situs tersebut lebih cepat dalam menebar berita dibandingkan media massa lain serta menjadi sumber utama berita dan diskusi yang bebas sensor (lihat Winters, 2000). Bukan hanya itu, karena ‘perlawanannnya’ terhadap tentara dan Departemen Penerangan, media-media tersebut memperkukuh reputasi internet sebagai media bebas yang radikal (Hill dan Sen, 1997). Dari hal tersebut nampak bahwa teknologi informasi terlibat dalam proses perjuangan identitas dan formasi komunitas politik baru di luar negara dan korporasi ekonomi.


Memang dalam melihat politik dan demokrasi, peran jejaring sosial cukup membingungan dan kompleks. Selain karena hanya berupa “kedipan elektronik” di layar monitor komputer atau telepon seluler, juga partisipasi dikirim oleh individu dari lokasi-lokasi yang berbeda, jauh dan mungkin juga belum pernah bertemu. Namun oleh Paul Virilio (dalam Poster, 1995) dikatakan, ruang publik dan demokrasi juga bisa diciptakan dan berlangsung melalui tampilan elektronik di layar monitor. Sehingga, galangan opini maupun isu yang mengemuka melalui jejaring sosial tetap perlu jadi perhatian.


Tentu saja, jika lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif dapat berfungsi sebagaimana diharapkan, dampak jejaring sosial masih dapat ”dikendalikan”. Namun, sebaliknya, jika terjadi kebuntuan seperti terjadi dalam kasus Chandra-Bibit, jejaring sosial apalagi didukung media, bisa menjadi alternatif perjuangan. Walaupun tidak serta merta bisa menjadi gerakan people power, jejaring sosial dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat dalam menghadapi hegemoni politik dan tekanan ekonomi, serta pemicu berhimpunnya kekuatan rakyat. Sehingga, meski hanya melalui ”kedipan layar elektronik”, peran jejaring sosial jangan dianggap remeh.

08 Desember 2009

Finlandia: Dari Hutan Merambah ICT


Jika ada satu negara yang cukup mengesankan kesuksesannya dalam mengembangkan serta menjual teknologi informasi dan komunikasi, itu pastilah Finlandia. Bayangkan, jika sebelum tahun 1990-an negeri yang berada dekat Kutub Utara ini menggantungkan diri pada hasil hutan dan sumber daya alam terbatas, dengan antisipasi yang tepat dan melihat potensi yang dimiliki teknologi informasi dan komunikasi, Finlandia mampu merubah diri. Produksi Finlandia, seperti telepon genggam merk Nokia, kini menjadi HP begitu banyak digunakan atau yang di sini diistilahkan dengan HP “sejuta umat”.


Reputasi kesuksesan Finlandia dalam mereformasi ekonomi dan administrasi publik membuat seluruh dunia menengok ke sana dan menjadikan pengalaman Finlandia yang secara proaktif menyediakan layanan pemerintahan secara elektronik (e-government) sebagai pelajaran berharga agar dapat menuai sukses serupa. Kunci dari apa yang telah dicapai Finlandia memang tidak dapat dilepaskan dari bagaimana e-government dikembangkan di sana mengingat selain reformasi dalam administrasi publiknya, e-government juga mempertajam pembangunan masyarakat informasi.

Jalan Berliku
Visi nasional pengembangan ICT awalnya diformulasikan di tahun 1990-an, yang mengintegrasikan reformasi administrasi dan agenda menciptakan masyarakat informasi. Tentu saja, apa yang dicita-citakan tidak serta merta berbuah keberhasilan. Jalan berliku tetap juga harus dilalui negara yang banyak andil terhadap proses perdamaian dalam konflik antara GAM dan Pemerintah RI di Nanggroe Aceh Darussalam ini.


Memang pengembangan awal ICT berderak karena ditopang kolaborasi yang cantik antara petinggi pengambil kebijakan, baik itu pemerintahan, masyarakat sipil maupun dari sektor swasta. Namun begitu, pemerintah tidak begitu sukses mengefektifkan dan memobilisasi para pegawai negara ke dalam lingkaran visi yang ditetapkan.


Kegagalan memperlebar kepemilikan ICT tersebut kemudian menyebabkan terjadinya kebingungan pihak-pihak yang terlibat mengenai peran mereka dan langkah apa yang harus dilakukan dalam implementasi ICT. Apalagi, pemerintah sendiri belum dapat menetapkan target nasional yang terukur dari pengembangan ICT. Tak adanya target yang harus dicapai, membuat menurunnya akuntabilitas karena antara pihak-pihak yang terlibat dapat menilai kemajuan yang dicapai sesuka hati masing-masing.


Dari kendala yang mengemuka dan mengingat ICT merupakan alat untuk memperbaiki layanan terhadap publik dan mempromosikan manajemen yang efektif dalam administrasi publik, maka kemudian pemerintah secara lebih serius menetapkan tujuan pengembangan e-government dan pertanggungjawabannya, yaiut dengan mereformasi administrasi publik dengan menerapkan prinsip new public management (NPM). Fokus dari NPM adalah desentralisasi, privatisasi serta menciptakan public enterprise, dan disiplin anggaran.


Dengan NPM, maka maka kontrol terhadap pemerintah terhadap lembaga-lembaga terkait dikurangi. Dengan begitu, maka mereka dapat menentukan prioritasnya masing-masing, namun perangkat pengembangan e-government telah lebih dulu disamakan dan antarpihak tetap didorong untuk bekerja sama. Perubahan besar yang dihasilkan dalam administrasi pemerintah di Finlandia adalah akuntabilitas, tanggung jawab dan fleksibiltas yang meningkat, serta diikuti menurunnya koordinasi terpusat dan keterlibatan pemerintah dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang perannya tergantikan oleh masyarakat.

Guna memperkuat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai instrumen memperbaharui sektor publik, maka kemudian digagas proyek perdagangan secara elektronik (e-commerce). Selain memperkenalkan teknologi baru, e-commerce mengubah pola bisnis tradisional ke arah bisnis yang menggunakan jaringan komunikasi elektronik. Yang dijadikan indikator keberhasilan e-commerce di sini adalah pembangunan infrastruktur komunikasi dan peningkatan kepercayaan baik oleh “pedagang” maupun “pembeli”-nya. Oleh Kementerian Perdagangan dan Industri, e-commerce juga disosialisasikan kepada para pengusaha yang tergolong UKM.


Beberapa aktivitas lain yang kemudian muaranya memperkuat posisi Finlandia dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti diluncurkannya proyek untuk menjadikan Finlandia sebagai negara industri content. Yan dimaksud dengan content di sini termasuk produksi yang berisikan dokumenter, budaya, pendidikan, penelitian, hiburan serta pemasaran untuk media elektronik dan aktivitas bisnis yang berhubungan.


Pembangunan masyarakat informasi tidak hanya dibatasi untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi saja. Departemen Pendidikan juga mempromosikan pembangunan kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi serta akses internet melalui jaringan perpustakaan umum. Dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah juga memindahkan pusat administrasi pemerintahan keluar dari wilayah Helsinki, sehingga pembangunan daerah meningkat dan tentunya lapangan pekerjaan.


Cara seperti itu, setidaknya, kemudian berbuah dalam mempersempit kesenjangan digital (digital divide). Seperti diketahui, akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi serta akses internet merupakan halangan pengembangan e-government yang cukup besar. Memang konektivitas telekomunikasi dan internet di Finlandia berada tingkatan yang cukup tinggi, namun hal itu tidak sama di seluruh penjuru negeri.


Dengan kebijakan desentralisasi dalam mewujudkan masyarakat informasi, di tahun 2002 saja sudah 63% dari populasi mempunyai akses terhadap komputer di rumah. Sementara utnuk akses internet, 62% populasi telah dapat mengakses internet di manapun. Namun nampaknya pemerintah belumlah puas dengan angka-angka itu.


Pemerintah kemudian banyak menggelar proyek untuk bagaimana meningkatkan akses seperti dengan meningkatkan jumlah terminal akses internet bagi publik, membangun infrastruktur informasi dan jaringan regional untuk menghubungkan daerah-daerah pedesaan, serta mengembangkan pembelajaran jarak jauh (distance learning) maupun teleworking. Untuk mendukung itu semua, dikeluarkan juga kebijakan yang tujuannya adalah meningkatkan akses broadband di seluruh negeri yang cukup jarang dapat menikmati sinar matahari tersebut.

Rajin Survei
Sejak tahun 1999, Departemen Dalam Negeri Finlandia melakukan rangkaian survei tahunan untuk melihat bagaimana pandangan publik terhadap layanan elektronik dari administrasi publik. Hasil dari survei tersebut akan dijadikan masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan e-government. Salah satu hasil survei misalnya adalah diketahui bahwa masyarakat ternyata lebih banyak peduli terhadap layanan yang disediakan kota praja atau otoritas negara setempat dibanding layanan elektronik untuk sektor publik lainnya.

Sementara itu, hasil survei yang diadakan Departemen Keuangan terhadap masyarakat dan mereka yang memberikan layanan publik mengenai rencana membangun portal nasional, didapat informasi bahwa mereka menginginkan portal yang dapat menyediakan beberapa hal. Yaitu, informasi mengenai organisasi sektor publik, adanya layanan elektronik yang lebih maju dengan kemungkinan tersedianya fasilitas bertransaksi serta mekanisme umpanbalik terhadap pertanyaan yang khusus.

Dalam rangka memenuhi keinginan publik, maka kemudian pemerintah membuat model yang berisikan empat tahapan dalam mengantarkan layanan secara elektronik. Tahapan pertama adalah informasi. Pada tahap ini dibuat situs-situs yang menginformasikan layanan-layanan yang diberikan. Tahap kedua, informasi yang interaktif. Ini merupakan lanjutan tahap pertama yang ditambah dengan dibukanya fasilitas interaksi yang memungkinkan pengguna dapat mengakses database instansi yang dituju, mencari, mengeksplorasi serta berinteraksi dengan data yang dibutuhkan.

Tahap berikutnya adalah transaksi. Setelah interaktif, pada tahap selanjutnya perlunya disediakan fasilitas sehingga pengguna dapat memasuki informasi yang keamanannya terjamin sehingga transaksi dengan instansi tersebut dapat dilakukan dengan aman. Tahap keempat adalah penggunaan data secara bersama (sharing data). Setelah tahap pertama hingga ketiga tercapai, maka dengan terlebih dulu mendapat persetujuan dari pengguna, data-data yang didapat harus juga bisa dibagi dengan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.

Pemerintah Finlandia juga membangun portal resmi pemerintah, portal masyarakat, sebagai pintu masuk dengan administrasi pemerintahan. Portal masyarakat menyediakan akses ke semua otoritas publik, meski kemudian juga dapat digunakan kalangan bisnis. Jalan menuju layanan kepada masyarakat secara online sesungguhnya telah dimulai sejak 1997 ketika Departemen Keuangan meluncurkan “Citizen Guide” yang bertujuan membawa buku pegangan warga negara secara online. Buku pegangan itu sendiri telah tersedia dalam bentuk cetak sejak awal ahun 1990-an. Ketika “Citizen Guide” muncul pertama kali tahun 1997, itu merupakan versi online bentuk sederhana dari buku pegangan yang selama ini sudah beredar di masyarakat.

Pada april 2002, portal masyarakat (www.suomi.fi) diluncurkan dengan tujuan untuk menyediakan menyediakan informasi yang dibutuhkan publik untuk berbagai situasi. Sebagai tambahan dari kehadiran portal tersebut, pemerintah negara yang berbatasan dengan Norwegia dan Swedia ini juga meluncurkan sejumlah portal lain untuk pengguna maupun tema spesifik seperti portal promosi hiburan di www.yrityssuomi.fi yang tersedia versi dwibahasa: Finlandia dan Swedia.


Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri juga bekerja sama dengan daerah dan kota praja untuk membangun portal regional yang berfokus pada kebutuhan dan layanan lokal. Beberapa tematik dan portal daerah di antaranya adalah www.libraries.fi yang hadir pertama kali tahun 1995. Portal ini menyediakan akses untuk masuk ke layanan perpustakaan nasional dengan satu identitas saja. Kemudian www.edu.fi yang dilincurkan pada 2001. Portal ini dipublikasikan oleh Dewan Pendidikan Nasional untuk pendidikan nonakademik dan pelatihan-pelatihan yang ada di sana.


Sementara untuk portal kota, misalnya adalah untuk kota Helsinki (www.hel.fi). Portal ini menyediakan informasi yang mendalam mengenai isu-isu yang terkait dengan kota tersebut, acara kebudayaan maupun berita umum mengenai Kota Helsinki. Selain menyediakan fasilitas online shopping untuk pembelian tiket transportasi, peta maupun buku yang terkait Kota Helsinki. Hingga saat ini, telah lebih dari 700 formulir online tersedia dalam portal tersebut. Dan yang terpenting, Kota Helsinki bertanggung jawab terhadap otentitas dan reliabilitas informasi yang berhubungan dengan layanan kota tersebut.

Dana Litbang

Salah satu kunci lain dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah peran pemerintah dalam menumbuhkembangkan penelitian dan pengembangan. Jika melihat anggaran pemerintah untuk penelitian dan pembangunan tahun 2006 ini yang sebesar 1,680 miliar Euro atau sekitar Rp. 19,32 triliun—meningkat dibanding tahun sebelumnya yang “hanya“ 83 juta Euro, untuk penelitian dianggarkan 5,2% yang artinya sebesar sekitar Rp. 1 triliun. Sementara peran publik terhadap Litbang mencapai angka Rp. 200 miliar.

Dana penelitian itu kemudian disebar ke berbagai departemen. Misalnya Departemen Pendidikan yang menggunakan 44 juta euro, Departemen Perdagangan dan Perindustrian yang menyerap 41 juta Euro. Sementara Departemen Sosial dna Kesehatan mendapat jatah 7 juta Euro.

*Pernah dimuat di Majalah E-Indonesia

03 Desember 2009

Menuju Ekonomi Broadband


Hari ini (3/12) tulisan saya dimuat kembali di Bisnis Indonesia. judulnya "Menuju Ekonomi Broadband". Terima kasih Bisnis Indonesia. Bagi yang ingin membacanya, silakan klik http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A57&cdate=03-DEC-2009&inw_id=707508 atau dapat membacanya berikut ini:

MENUJU EKONOMI BROADBAND



Pertemuan para Menteri Telekomunikasi dan ICT (Information and Communication Technology) se-Asia-Pasifik yang tergabung dalam APT (Asia-Pacific Telecommunity) 11-12 November di Bali, penting dicermati.
Selain pertemuan ini menjadi milestone 30 tahun keberadaan APT dan Indonesia menjadi bagian penting dari perjalanan APT tersebut, para menteri yang hadir juga sepakat mengeluarkan pernyataan bersama berupa Bali Statement untuk memperkuat kolaborasi regional di Asia Pasifik menuju ekonomi berbasis infrastruktur dan jasa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pita lebar (broadband).


Kolaborasi tersebut menandakan adanya kesadaran bahwa tema ekonomi ke depan dibangun berbasis TIK dan potensi maksimal dari TIK hanya dapat direalisasikan melalui ekonomi broadband yang merangsang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan.
Dalam Bali Statement ada beberapa hal yang dianggap krusial dalam pengembangan ekonomi broadband, yaitu: perluasan konektivitas broadband, penyediaan layanan TIK yang aman dan memperhatikan lingkungan, memfasilitasi layanan konvergensi yang efektif, memberi dukungan terhadap pengembangan konten dan aplikasi, serta meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di industri TIK.

Selain Bali Statement, disepakati pula Rencana Aksi sebagai rincian dan jawaban terhadap isu-isu krusial yang dimaksud. Beberapa Rencana Aksi di antaranya adalah setiap negara anggota APT diharapkan dapat membuat kebijakan dan kerangka kerja regulator yang efektif yang dapat menstimulasi investasi dan kompetisi dalam pembangunan infrastruktur broadband.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mencatat ada hubungan signifikan antara ekonomi dan broadband serta perannya sebagai bagian integral dari ekonomi juga kian meningkat.

Dengan perkembangan teknologi dan lebar pita yang meningkat, peran broadband sebagai enabler perubahan struktur ekonomi kian meluas dan memberi dampak peningkatan sejumlah aktivitas dan sektor. Broadband memfasilitasi pengembangan temuan-temuan baru, bisnis model baru, produk dan jasa baru serta pengembangannya, dan meningkatkan kompetisi dan fleksibiltas ekonomi.
Broadband telah menjadi bagian penting bahkan hampir dalam tiap aspek ekonomi berbasis pengetahun (knowledge based economy), khususnya pada aktivitas yang menggantungkan pada provisi data dan informasi.

Banyak aspek dalam produksi, distribusi, konsumsi, koordinasi dan organisasi dilakukan melalui jaringan komunikasi broadband karena meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan yang lebih, serta berpotensi menciptakan lapangan kerja baru.
Secara umum, broadband juga mengubah peran individu dalam produksi, memfasilitasi inovasi dan pengembangan konten berbasis pengguna, yang saat ini juga sudah mewabah seperti ramainya pemanfaatan jejaring sosial seperti Facebook maupun maraknya blog-blog pribadi.

Uniknya, broadband juga memberi kesempatan pada usaha kecil dan menengah untuk bekerja sama dan bahkan berkompetisi dengan perusahaan besar dalam pasar yang luas, yang mungkin sebelumnya tidak dapat terakses.
Kompetisi tersebut memungkinkan komparasi harga jadi kian mudah, meningkatnya kualitas produk serta kustomisasi barang dan jasa. Mengenai dampak produktivitas dari implementasi broadband, berbagai penelitian mengindikasikan dampat positif dari pemanfaatan TIK pita lebar terhadap produktivitas.

Ekonomi broadband sesungguhnya merupakan tingkat lanjut dari pergeseran terjadi dari produksi yang berbasis 'tenaga' (brawn) ke basis 'otak' (brain) atau yang dapat juga disebut sebagai ICTnomic-pembangunan ekonomi berbasis TIK.
Sektor yang sudah menggerakkan ekonomi secara massal-dari sekadar menjual voucher pulsa di pinggir-pingir jalan, penyediaan perangkat sentral dan transmisi, hingga hadirnya begitu banyak operator dengan bermacam lisensi-akan lebih berperan lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan layanan data yang meningkat akibat hadirnya ponsel-ponsel cerdas, perubahan gaya hidup yang kian bergerak (mobile) maupun peran Internet, terutama dengan web 2.0-nya.

Posisi Indonesia
Letak Indonesia di Asia Pasifik sangat strategis. Berada antara Benua Asia dan Australia/Oceania, serta diapit antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sehingga, peran dan posisi Indonesia dalam pengembangan ekonomi broadband cukup signifikan di kawasan. Hanya saja, apa yang dihadapi Indonesia juga tidak mudah. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau, mempunyai lebih dari 70.000 desa, serta penduduk di atas 225 juta jiwa. Jika tidak dikelola dengan baik, semua itu justru akan menjadi batu ganjalan bagi Indonesia untuk melangkah lebih maju.

Kondisi nyata yang dihadapi Indonesia sekarang, di antaranya adalah kesenjangan infrastruktur TIK antara bagian barat dan timur. Jaringan tulang punggung (backbone) dari Indonesia ke luar negeri juga terbatas, baik jalur maupun kapasitasnya. Kesenjangan digital juga terjadi antara kota dan desa. Dari penduduk yang demikian besar, baru sekitar 40 jutaan yang terkoneksi ke Internet.

Sebenarnya, upaya yang dilakukan pemerintah dan regulator sudah pada jalur yang semestinya. Rencana membangun jaringan serat optik di wilayah timur, yang disebut dengan Palapa Ring, penyediaan teleponi dasar di desa-desa (Desa Berdering) serta rencana Desa Pinter berupa desa punya akses Internet.
Diharapkan Palapa Ring akan segera dimulai tahun ini, dan pada 2010 seluruh desa di Indonesia sudah akan memiliki akses teleponi dasar, dan sebagian siap digunakan untuk akses Internet.

Bali Statement diharapkan bukanlah akhir, melainkan sebagai langkah awal kerja sama regional membangun ekonomi broadband. Dan tentu saja banyak PR yang menjadi tugas untuk dikerjakan. Kebijakan dan kebijakan dan kerangka kerja regulator yang efektif yang dapat menstimulasi investasi dan kompetisi dalam pembangunan infrastruktur broadband, perlu segera dikeluarkan. Agar dapat dipastikan jaringan dan jasa broadband menjangkau seluruh wilayah RI.

Rakyat perlu diberdayakan dalam pemanfaatan layanan broadband serta meningkatkan pengetahuan penggunaan TIK untuk memperbaiki kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan. Jika tidak, maklum saja jika Indonesia akan tertinggal pada era ekonomi broadband yang mengglobal.

28 November 2009

Isu-Isu Mengenai Kehumasan (Public Relation)

Menurut Edward L. Bernays (Bapak Public Relation modern) ada 3 elemen utama dalam PR, yaitu:
- Informing people (memberitahukan orang)
- Persuading people (membujuk orang)
- Integrating people with people (memadukan orang dengan orang).

Tentu saja metode dan pemahaman terhadap PR selalu berubah sesuai dengan perubahan dalam masyarakat. Pada masyarakat tradisional sebenarnya PR sudah dipraktekkan meskipun digunakan dengan menakut-nakuti atau intimidasi. PR juga digunakan untuk mendapatkan impresi, image yang baik dari publik dengan menggunakan tulisan maupun kata-kata.

Praktek Public Relations
Beberapa praktek PR di beberapa negara:
- Roma kuno, vox populi, vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan)
- Julius Caesar, menggunakan acta diurna untuk melakukan propaganda untuk mencetak opini publik dalam mendapatkan dukungan perang
- Digunakan untuk menyebarluaskan ajaran Kristiani oleh Paus dengan kata-kata dan surat
- Istilah propaganda pertama kali digunakan oleh Gereja Katolik untuk menyebarluaskan agama Kitab Suci (Bible) yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan berbagai bentuk (buku, media mass, surat kabar,dll) untuk membentuk opini publik
- Bureau d’Esprit adalah departemen yang ada dalam kementrian Perancis yang bertugas untuk membantu editorial dan mengirimkan agen-agen ke seluruh bagian Perancis untuk memenangkan dukungan publik dalam Revolusi Perancis
- Dalam pemberontakan Amerika dalam Revolusi Amerika digunakan ahli-ahli PR yang menggunakan pidato, surat kabar, pertemuan-pertemuan, komite-komite, pamlet, korespondensi untuk memenangkan opini publik
- Dalam era industri di Amerika, PR banyak terkait dengan perkara buruh dan majikan publisitas untuk menarik konsumen
- Biro pers digunakan perusahaan-perusahaan di Amerika untuk menyebarluaskan berita-berita yang favourable tentang mereka dan yang unfavourable tentang kompetitornya
- Perusahaan KA Amerika adalah organisasi pertama yang memanfaatkan PR secara profesional.


PR di Era Millenium Baru
Isu-isu yang berkembang dalam era milenium baru adalah:
- Persamaan ras dan gender
- Lingkungan (polusi, penggundulan hutan, kerusakan habitat, dll)
- Peningkatan kualitas hidup
Maka PR harus menggunakan isu-isu tersebut sebagai bagian dari komunikasi kepada publiknya. Profesi PR semakin global, lintas negara, semakin makmur dan semakin banyak wanita yang berprofesi sebagai PR.

Etika Public Relations
- Barnum mengkritik bahwa PR seringkali memanipulasi kepentingan publik untuk keuntungan pribadi, menggunakan pers, special event dan aktivitas lainnya untuk menciptakan citra yang menjadi topeng untuk menutupi tujuan komersial
- Marvin Olasky, mengkritik pada level makro. PR pada abad 19 dan 20 lebih banyak bekerja untuk memenangkan persaingan ekonomi. Sedangkan pada level mikro, terkait dengan media, bahwa apa yang dilakukan oleh PR setiap hari dipandang tidak karuan, dibuat-buat , tidak akurat, tidak benar dan bahkan membahayakan kebebasan dan kemerdekaan.

Kritik tersebut tidak semua benar, tetapi memang ada praktek PR yang melakukan penipuan. Karena itu, banyak organisasi PR atau pendidikan PR di kampus-kampus selalu membekali pesertanya dengan rambu-rambu etika.

Teknologi dalam Public Relations
Teknologi digunakan dalam PR untuk membantu mendistribusika ide dan aktivitas PR, seperti:
- TV
- Video-conference
- Satelite Media Tours
- Video News Release
- B-Roll
- Webcasting
- Personal Computer
- Internet

Di samping hardware yang digunakan dalam membantu aktivitas PR, beberapa software juga dikembangkan seperti data base yang digunakan untuk melakukan identifikasi terhadap sasaran PR sekaligus mendistribusikan pesan-pesan kepada mereka. Penggunaan email juga digunakan untuk mendistribusikan pesan dengan cepat dari institusi maupun publik.

Genre dalam Public Relations
a. Definisi PR menurut pandangan industri:
- Public Relations adalah fungsi manajemen yang mengidentifikasi, membentuk dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dengan berbagai publiknya yang kepadanya organisasi menggantungkan kegagalan atau keberhasilannya (Cutlip, Center, dan Broom)
- Public Relations membantu masyarakat kita yang kompleks dan plural untuk mencapai keputusan dan berfungsi lebih efektif dengan membentuk pemahaman yang saling menguntungkan antara kelompok-kelompok dengan institusi. PR melayani swasta dan publik agar tercipta kebijakan yang harmonis

b. Tugas-Tugas PR
- Memberi saran dan konsultasi kepada organisasi terhadap masalah komunikasi yang mempengaruhi publiknya
- Menyediakan sistem peringatan awal untuk mengatasi isu-isu yang terkait dengan keberhasilan organisasi
- Menyediakan dukungan teknis pada fungsi-fungsi manajemen lainnya dengan penekanan pada publisitas, promosi dan hubungan media
- Bertindak sebgai “penjaga gerbang” antara perusahaan atau organisai dan publiknya yang paling tampak dengan mewakili pers, pembuat UU dan pegawai pemerintahan

c. Tugas PR dalam Media Relations
- Memutuskan strategi, merencanakan dan mengkoordinasikan media relations dan publisitas
- Menyiapkan dan menyebarluaskan news release, press kit dan press alerts
- Menelpon, menulis, mem-fax, email para editor dan wartawan
- Bekerjasama dengan jasa PR yang diperlukan untuk membantu mereka dalam aktivitas-aktivitas PR
- Mengevaluasi hasil-hasil Media Relations dan publisitas

d. Kategori PR:
- Publisitas (media Relations)
- Promosi dan penjualan
- Communications Relations
- Government Relations
- Public Information
- Special Event
- Employee Relations
- Issue Management
- Lobbying

e. Publik dalam PR
Publik adalah audiens yang dengan siapa PR berkomunikasi sebagai bagian dari pekerjaan rutinnya. Dalam mencapai publiknya PR sering menggabungkan teknik dan alat-alat PR seperti marketing, advertising dan Human Resources. Publiknya adalah:
-Customers
- Employee
- Shareholders
- Donor
- Pers, dll

Industri Public Relations

a. Public Relations akan menguntungkan, karena:
- Meningkatkan kredibilitas dan akuntabilitas
- Menguatkan identitas publik
- Liputan pers yang lebih favourable
- Memperbesar sensitivitas kebutuhan publik
- Meningkatkan moral karyawan
- Memperbesar pangsa pasar
- Meningkatkan penjualan
- Manajemen internal yang baik


b. Elemen-elemen Kesuksesan PR
- Praktek PR berdasarkan riset dan evaluasi
- PR adalah tindakan yang terencana, tidak asal-asalan
- PR memberikan dukungan terhadap tujuan publik
- Alat-alat dan teknik PR untuk membawa dan mendapatkan informasi
- PR perlu diperjelas keterkaitannya dengan advertising dan marketing, riset pendapat, media cetak dan elektronik


c. Profil Industri PR
- Pengertian PR digunakan secara berbeda, seperti:
o Perusahaan: public affairs, corporate communication, Corporate Relations
o Layanan Publik: Consumer Affairs, Communication Relations
o LSM dan pemerintah: Public Information, Marketing Communications
- Biasanya mereka dipecah-pecah berdasarkan tugasnya yang spesifik sperti investor relations, Financial Relations, Media Relations.
- Sekarang semakin banyak perusahaan yang memiliki departemen PR juga sekolah, rumah sakit dan lembaga sosial
- Ada ribuan perusahaan PR independen dengan beberapa atau ribuan pegawai dengan gaji PR juga tinggi, rata-rata $53,000. Di samping itu mereka ada yang memperoleh bonus, saham atau paket kompensasi lainnya
- Kerja praktisi PR diawali dari wilayah publisitas dan media relations, menulis dan mengedit news release, reporter, editor dan memunculkan liputan pers
- Praktisi musiman bekerja berdasarkan rencana dan manajemen seperti pembicaram pembuat proposal atau presenstasi.



Isu-Isu tentang Public Relations

- Perusahaan besar yang mampu membayar PR profesional mempunyai kekuatan yang besar untuk mempengaruhi opini publik melalui media yang seringkali merupakan bagian dari korporasi perusahaan itu sendiri. Sehingga sering terjadi ketegangan antara kepentingan publik dan swasta seperti masalah: korupsi, polusi lingkungan, mempengaruhi kebijakan yang tidak pantas, atau pengendalian perdagangan, dan juga kritik sosial
- Tenaga profesional PR yang mempunyai kemampuan dinilai masih kurang seperti kemampuan di bidang jurnalistik, teknologi komunikasi,bisnis dan manajemen. Untuk itu seringkali organisasi PR mengadakan pelatihan, seminar, konferensi maupun program fellowship dan akreditasi untuk para praktisi PR
- Riset dan evaluasi untuk menilai dampak dan efektivitas usaha-usaha yang dilakukan oleh PR masih belum memuaskan. Padahal riset adalah dasar dalam melakukan perencanaan dan pelaksanaan program PR. Hal itu terkait dengan masalah besarnya biaya yang diperlukan, sementara masih banyak top management dari pihak klien yang belum terbiasa dengan riset sebgai bagian dalam penentuan anggaran kegiatan PR.

- Teknik riset dalam PR antara lain:
o Environmental monitoring : untuk mengetahui iklim perusahaan
o Audit: untuk mengetahui pemahaman organisasi dengan publiknya
o Readability studies: untuk menganalisis efektivitas publikasi

07 November 2009

Tulisan tentang Potensi Jejaring Sosial dan "People Power"

Tulisan saya tentang "Jejaring Sosial dan "People Power" (Kekuatan Rakyat) dimuat di Harian Kompas (Kamis, 5 November 2009). Beriktu tulisannya. Selamat membaca:

Jejaring Sosial dan Kekuatan Rakyat


Hingga kini lebih dari setengah juta pengguna jejaring sosial Facebook bergabung dalam ”Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto”.

Dukungan itu sebagai respons atas penahanan dua unsur pimpinan (nonaktif) KPK terkait kasus yang dinyatakan kepolisian sebagai ”penyalahgunaan wewenang”.

Gerakan yang melibatkan pengguna Facebook—facebookers—ini merupakan kali kedua setelah beberapa waktu lalu bergerak cepat dalam mendukung Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang ditahan karena berseteru dengan rumah sakit. Prita ditahan karena mengirim e-mail keluhan ke beberapa teman.

Peran internet

Julianne Schultz dalam Universal Suffrage? Technology and Democracy mengatakan, kemampuan adaptif teknologi memiliki kapasitas untuk memengaruhi kemampuan masyarakat berfungsi di sebuah masyarakat demokrasi. Itu sebabnya teknologi berpotensi memengaruhi hakikat demokrasi itu sendiri.

Dengan hadirnya internet, misalnya melalui mailing list, topik diskusi atau percakapan yang semula berkisar soal ilmu pengetahuan meluas. Informasi dari politik, teknik, hingga erotik hadir di sini. Wilayah publik menggantikan matriks demokrasi politik seperti di kafe, taman, sudut jalan, yang diistilahkan Jurgen Habermas sebagai ruang publik.

Dalam melihat emansipasi politik, penggunaan kata ”publik”, ”berbicara”, dan pertemuan ”tatap muka” cukup membingungkan dan kompleks. Selain hal itu hanya berupa ”kedipan elektronik”, juga karena piksel-piksel itu dikirim individu dari lokasi-lokasi berbeda, jauh, dan mungkin belum pernah bertemu. Namun, ruang publik, apalagi dengan Web 2.0, juga bisa diciptakan dan berlangsung melalui tampilan elektronik di layar monitor.

Di Indonesia, setelah lebih dari tiga dekade rezim Soeharto menikmati kontrol yang hampir mutlak atas ruang media, komunikasi dan informasi, internet menjadi alat penting mengakhiri era ini. Pelengseran rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto ke Orde Reformasi sedikit banyak juga dipengaruhi gelombang informasi lewat internet.

Peran internet sebagai media alternatif saat media dalam negeri dihantui ketakutan pascapemberedelan Tempo, Editor, dan DeTIK cukup signifikan. Beberapa situs, Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi politik yang kontroversial dan kritis saat itu. Situs-situs itu lebih cepat menebar berita daripada media massa lain.

Jejaring sosial

Dalam setahun terakhir ini, peran jejaring sosial amat terasa. Banyak orang yang sudah lama tak bertemu dipertemukan melalui jejaring sosial seperti Facebook. Pertemuan yang semula bersifat online berlanjut ke ”kopi darat”. Beragam reuni digelar, dari teman kuliah hingga kawan sekolah. Di sini terlihat, pertemanan yang bersifat online bisa menjadi offline bilamana ada keterkaitan yang mengikat dalam pertemanan offline, misalnya teman sekolah, kawan di kampus, komunitas tertentu, maupun rekan kerja. Bentuk pertemanan tanpa latar belakang seperti itu tidak dapat dikategorikan pertemanan yang nyata.

Ketika banyak seruan melalui jejaring sosial mengenakan pita hitam sebagai ”kelanjutan” dukungan terhadap KPK, diakui atau tidak, seruan tidak banyak dilakukan. Sebab, bentuk persetujuan dukungan lewat jejaring sosial amat mudah. Terima notifikasi, lalu tinggal klik apakah kita setuju atau tidak gerakan itu. Berbeda dengan realitas. Pita harus dicari bahkan dibeli, untuk demo bersama tentu juga butuh dana, sehingga akhirnya hanya sebatas dukungan online saja.

Namun, bukan berarti jejaring sosial dapat diabaikan. Jika ada pihak yang pandai menggerakkan komunitas yang online menjadi offline, apalagi dengan mengusung isu satu ”musuh bersama”, bukan tidak mungkin jejaring sosial dapat menjadi kendaraan meraih simpati publik, yang meluas memicu kekuatan rakyat.

Karena itu, sebelum itu terjadi, galangan opini maupun isu yang mengemuka melalui jejaring sosial tetap perlu menjadi perhatian. Setidaknya, kalau tak menggerakkan rakyat ke jalan, demokrasi melalui ”kedipan layar elektronik” tetap lebih berbiaya murah dan potensi kerusakan yang dihasilkan tak semenakutkan jika ratusan ribu orang berkumpul untuk berdemo. Itu bisa dikatakan, kedewasaan demokrasi sebenarnya, berpendapat tanpa harus dengan kekerasan.

01 November 2009

Perkembangan Industri Musik dan Rekaman

*RBT Menyelamatkan

Industri musik rekaman pada awalnya bersifat analog. Yaitu, dengan ditemukannya phonograph oleh Thomas Edison, yang merekam gelombangan suara dapat bentuk lekukan di atas silinder yang berputar yang dilapisi kertas timah. Pada phonograph pertama, suara dikuatkan secara mekanik melalui terompet. Dalam perkembangannya, Emile Berliner kemudian menemukan gramophone. Kedua temuan tersebut dianggap sebagai awal industri rekaman.

Pengusaha Lippincott kemudian mulai mengoperasikan penny arcades, yang menggunakan koin untuk dapat memakai phonograph. Kemudian sebuah perusahaan,Victor Talking Machine, memperkenalkan Victrola untuk mendengarkan musik rekaman di rumah.

Perkembangan teknologi membawa industri rekaman dan musik membawa perubahan dalam hal media perekaman yang berimplikasi terhadap kualitas, kapasitas dan cara mendengarkan musik. Jika pada awalnya hanya satu atau dua lagu per sisi dengan kecepatan 78 rpm, kemudian dengan dengan kehadiran magnetik tape, lalu compact disc (CD), secara kualitas musik yang didengaran makin baik, kuantitas lagu yang dapat diperdengarkan juga meningkat, apalagi dengan kehadiran MP3, sehingga kini musik pun dapat didengarkan lewat internet.

Dalam industri rekaman, beberapa elemen yang mempunyai pengaruh signifikan adalah bakat, studio dan perusahaan perekaman serta distributor. Untuk talent, di dalamnya terdapat unsur penyanyi, pencipta lagu, manajer dan penata musik.
Beberapa dampak yang dibahas dalam bagian ini adalah kehadiran MTV yang dianggap sangat berpengaruh dalam industri musik dan rekaman. Video klip musik yang ditayangkan oleh MTV, menjadi barometer tangga lagu yang disiarkan radio dan televisi, sehingga membuat lagu tersebut makin populer dan orang diharapkan membeli kaset atau CD-nya.

Persoalan krusial yang menjadi ancaman terhadap industri musik dan rekaman adalah masalah pelanggaran hak atas kekayaan intelektual. Bukan saja dengan hadirnya kaset atau CD bajakan, namun dengan kehadiran internet penikmat musik dapat mendapatkan lagu yang dicari, mendengarkan atau menyimpannya secara mudah tanpa perlu mengeluarkan uang. Persoalan ini, secara hukum dan teknologi, hingga kini belum jelas bagaimana untuk mengontrol dan mendapatkan keuntungan royalti pendistribusiannya.

Industri Musik dan Rekaman Indonesia
Menurut catatan Bens Leo (Newsmusik, 04/2000), sejarah industri rekaman di Indonesia berawal dari dua tempat: Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng Jakarta. Lokananta adalah milik pemerintah, dan melahirkan lagu-lagu daerah. Sementara Irama, banyak melahirkan lagu-lagu hiburan. Nama-nama seperti Rachmat Kartolo, Nien Lesmana, sampai Patty Sisters pernah rekaman di sana, yang awalnya hanya sebuah studio kecil di sebuah garasi di Menteng, Jakarta Pusat. Peristiwa rekaman itu terjadi di ujung tahun 1950-an hingga memasuki tahun 1960-an.

Memasuki awal 1970-an, di daerah Bandengan Selatan Jakarta Kota, Dick Tamimi mendirikan studio rekaman Dimita. Studio rekaman ini juga menjadi pioner rekaman lagu-lagu pop, karena di tempat ini nama-nama tenar Koes Bersaudara, Panbers, Dara Puspita, Rasela, lahir. Keunikan Dimita, rekaman harus berhenti karena ada kereta api lewat. Pada saat itu, teknologi rekaman pun masih me- ngandalkan jumlah track yang kecil, 8 tracks. Karena terletak di pinggir rel kereta api, proses rekaman harus dilakukan begitu lama.

Setelah itu muncul raja studio rekaman Indonesia, dan kelak dianggap sebagai produser legendaris yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, yakni Yamin yang memiliki studio rekaman Metropolitan, kini Musica Studio dan Eugene Timothy yang memiliki Remaco. Remaco pernah menjadi perusahaan rekaman ter besar di Indonesia, dengan akses kuat ke pergaulan di dunia rekaman Internasional. Di Remaco, lahir nama-nama besar Bimbo, D'Lloyds, The Mercy's dan kelak Koes Bersaudara yang pada tahun 1967 berubah nama menjadi Koes Plus pun pindah ke tempat ini.

Tatkala Remaco ambruk pada awal tahun 80-an dan Eugene tinggal mengandalkan sejumlah master rekaman yang masih dimilikinya, baik sejak di era rekaman piringan hitam maupun kaset rekaman, Musica ganti menunjukkan dominasinya. Dengan caranya sendiri, banyak sekali artis musisi yang mampu bertahan lama, dikontrak jangka panjang oleh Musica. Sebagai contoh adalah Chrisye, yang dimulai dari jaman album solo Sabda Alam (1978) sampai album Badai Pasti Berlalu (1999), direkam sebagian besar di Musica.

Dekade terakhir, industri musik dan rekaman Indonesia diwarnai kehadiran cabang BMG, Universal, EMI, Warner Music Indonesia dan Sony Entertainment, lima industri musik kelas dunia. Lima raksasa ini kira-kira mendapatkan 40-50 persen dari omzet industri rekaman Indonesia. Total omzet industri musik di Indonesia sekitar Rp 850-900 miliar per tahun dimana 40 persen untuk musik asing, yang royaltinya dikuasai kelima perusahaan tersebut. Sedang sisanya, sekitar 60 persen untuk musik Indonesia.

Ancaman terhadap industri musik dan rekaman di tanah air adalah persoalan pembajakan kaset dan CD yang meningkat tajam. Bahkan menurut Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) beberapa waktu lalu, pembajakan itu mencapai hingga 500%. Sementara itu, dengan kehadiran internet dan teknologi MP3, kini lagu-lagu kesukaan kita dapat didapatkan dengan mudah dan murah. Bisa dibayangkan, dalam satu CD MP3 yang dapat dibeli dengan harga kurang dari Rp 10 ribu, ratusan lagu artis kesukaan dapat kita nikmati.

Ramainya pembajakan, menemukan solusinya dengan perkembangan industri telekomunikasi yang bergerak signifikan. Beberapa yang membuat industri musik dan rekaman tetap bergeliat di antaranya adalah ringtone dan, khususnya, ring back tone. Ini cukup menarik. Sebab RBT merupakan layanan yang diberikan pemakai ponsel untuk diberikan bagi lawan bicara yang ingin menghubunginya, dengan menggantikan bunyi yang sekadar " tut....tut...tut..." menjadi beragama lagu sesuai pilihan si empunya. Dengan harga berlangganan Rp. 5 ribu - Rp. 7 ribu per lagu per bulannya, bisa dibayangkan berapa duit yang berputar dari layanan ini. Beberapa waktu lalu, ketika lagu Mbah Surip " Tak Gendong" mewabah, disebut-sebut RBT dari lagu ini menghasilkan uang milyaran rupiah, meski yang didapat Alm. Mbah Surip 'cuma' sedikit. Tentu bukan cuma "Tak gendong" lagu-lagu yang masuk jajaran "Top 40", bahkan lagu religius yang dinyanyikan Oppick, seperti "Tombo Ati" atau yang berbau nasionalis seperti "Kebyar-Kebyar"-nya Gombloh, juga kebagian rejeki.

Ya, pengguna telepon seluler yang sekitar 160 juta orang tentu saja merupakan pasar yang 'manis'. Tak heran, jika disebut-sebut, industri musik dan rekaman cukup diuntungkan dari industri dan telekomunikasi--kalau tak mau dibilang berhutang budi. Apalagi, yang cukup menarik adalah, RBT tidak bisa dibajak, sehingga HAKI begitu dijunjung alam layanan ini. Meski, soal pembagian, mungkin masih belum ada keseimbangan, antara pihak-pihak yang terlibat.

22 Oktober 2009

Menuju Knowledge Based Society dengan TIK

Tulisan ini sudah dimuat di Okezone.com (21/10/2009)

Peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan menjadi signifikan ke depannya seiring perubahan paradigma ekonomi, dari ekonomi industri ke arah ekonomi digital yang kreatif. Masyarakat yang tadinya pra-agraris, kemudian berubah agraris, meningkat lagi menjadi masyarakat industri, lalu kemudian menjadi masyarakat informasi dengan TIK sebagai dasar untuk menggerakan ekonomi bangsa dan menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge based society).

Peran TIK akan menjadi demikian penting lagi dalam World Summit on Information Society (WSIS) telah disepakati bahwa di tahun 2015 separuh penduduk dunia diharapkan sudah terkoneksi ke internet. Di tingkat negara-negara APEC dan ASEAN bahkan disepakati dengan kewajiban broadband service obligation (BSO), sehingga seluruh desa yang diharapkan sudah mempunyai akses telepon di tahun 2010 ini, perlu ditingkatkan dengan terkoneksi ke internet berpita lebar (broadband).

Ada dua kunci utama dalam menghadapi information age. Pertama adalah visi dan misi pemerintah. Seperti Malaysia, di tahun 1991 Mahathir Mohamad mengemukakan visinya agar Malaysia menjadi satu negara maju dalam 29 tahun ke depan. Vision 2020, begitu disebutnya, merupakan agenda nasional pembangunan jangka panjang untuk memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Malaysia. Tantangan terbesar yang harus dihadapi Malaysia untuk dapat menggapai mimpi kesuksesan di 2020 adalah perubahan masyarakat yang secara dramatis dari masyarakat agraris ke masyarakat informasi.

Strategi baru yang dijalankan Malaysia adalah meletakkan landasan menghadapi era digital itu dengan mengkreasikan Multimedia Super Corridor. Visi MSC adalah mengkreasikan lingkungan multimedia yang ideal untuk berbisnis yang dapat mentransformasikan dan mengantarkan negara jiran tersebut menuju masyarakat berpengetahuan di tahun 2020.

Kedua, komitmen dari pemerintah. Seperti yang dicontohkan Australia. Pemerintah di sana, sejak sejak Desember 1997, berkomitmen untuk mengembangkan layanan pemerintahan secara elektronik. Targetnya, semua layanan pemerintahan yang penting akan online pada Desember 2001. Berkat komitmen pemerintah yang kuat, target tersebut tercapai. Sehingga, target dilanjutkan, yaitu meningkatkan jenis layanan online dengan berfokus pada transaksi yang interaktif antara pemerintah, publik dan sektor bisnis. Di tahun 2002, apa yang dilakukan Australia, mendapat pengakuan. Menurut laporan United Nations on E-Government, Australia dinilai berhasil memimpin di wilayah Asia Pasifik dalam transisi menuju layanan pemerintahan secara elektronik. Secara global, Australia mendapat posisi di nomor dua, di bawah Amerika Serikat.

Dan ketiga, strategi. Ini terkait dengan apa yang menjadi visi dan bagaimana mencapai visi tersebut dengan memperhatikan kondisi terakhir mengenai TIK di Indonesia. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan terkait dengan ICTnomic (ekonomi berbasis TIK). Yaitu, konektivitas dan infrastruktur, lingkungan bisnis, lingkungan sosial dan budaya serta visi dan kebijakan pemerintah.

Dalam hal konektivitas dan infrastuktur ada tiga tantangan, yaitu ketersediaan akses yang mengarah ke broadband, tarif yang terjangkau bagi masyarakat serta layanan yang berkualitas bagi semua. Dalam hal lingkungan bisnis, perlu dikedepankan pemanfaatan e-commerce, e-government, e-healt maupun e-education.

Terkait dengan sosial dan budaya, sumberdaya manusia Indonesia perlu mendapat literasi mengenai pemanfaatan TIK dan menggunakannya secara cerdas. Sulit rasanya bicara ICTnomic, jika edukasi masyarakat dan pengetahuan mengenai internet tidak cukup baik. Adopsi masyarakat dan sektor bisnis terhadap pemanfaatan TIK juga perlu dikedepankan sebab hal itu merupakan ukuran kesuksesan implementasi dari saluran digital untuk masyarakat dan kalangan bisnis. Yang saat ini belum tergarap secara maksimal adalah membuat dan mengembangkan konten lokal yang mencerdaskan, menarik dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Jika satu per satu tantangan tersebut dapat diselesaikan, termasuk menetapkan pentahapan dan prioritas-prioritasnya, yakinlah bahwa masyarakat berbasis pengetahuan akan terwujud, dan bukan tidak mungkin ekonomi akan kian membaik, yang muaranya adalah kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan TIK sebagai alatnya. Syukur-syukur jika Indonesia bisa menjadi satu kekuatan ekonomi baru, seperti yang diramalkan banyak analis-analis dunia. Semoga.

18 Oktober 2009

Trend Perkembangan Buku, Majalah dan Surat Kabar

Untuk melihat trend perkembangan industri pers buku, majalah dan suratkabar, ada perkembangan lain yang perlu diperhatikan. Yaitu: teknologi dan ekonomi politik. Dari segi teknologi, trend perkembangan industri komunikasi meliputi (Alwi Dahlan, 1999):

1. Konvergensi Teknologi
Konvergensi dari komputer, telekomunikasi dan media masa membawa perubahan dengan hadirnya hadirnya kerajaan media, gaya hidup baru, tantangan berkarir, perubahan regulasi, isu-isu sosial dan kekuatan baru yang dinamis dalam masyarakat. Konvergensi teknologi itu juga membawa perubahan dalam pengertian proses komunikasi yang terkait dengan trend media saat ini.

Seperti, khalayak yang kian punya kekuatan sehingga pesan dibuat berdasarkan kemauan dari audiens dan tidak lagi sama untuk semua orang. Kemudian juga interaktivitas antara pengirim dan penerima komunikasi. Komunikasi kini dapat juga dilakukan secara simultan dimana khalayak menerima pesan pada saat yang sama atau asinkron dimana pesan tidak harus diterima pada saat yang ditentukan tetapi dapat diterima di lain waktu.

2. Digitalisasi
Perubahan semua bentuk informasi (teks, gambar, suara, data dan gerak) dari analog ke dalam format konversi yang dapat dibaca komputer. Digitalisasi memungkinkan kualitas pesan yang baik, pemakaian saluran yang sedikit sehingga dapat memuat banyak pesan serta pemakai dapat mengontrol pesan yang diinginkan.

3. Teknologi SeratOptik dan Laser

Perkembangan teknologi ini memungkinkan tersedianya lebar pita yang dapat membawa ratusan sinyal audio, video dan multimedia dengan kecepatan sangat tinggi.

4. Teknologi Jaringan
Teknologi jaringan dalam tingkatan lokal, lebar, metropolitan, nasional maupun global memungkinkan terbangunnya jaringan komunikasi yang menghubungkan setiap sudut bumi. Dengan hadirnya teknologi Laser dan serat optik, dimungkinkan pula komunikasi yang lebih cepat karena jarak tidak lagi menjadi hambatan dan juga kualitas yang makin baik.

Implikasi perkembangan teknologi ini bagi industri media massa depan, dapat dilihat bahwa teknologi membuat beberapa perubahan penting mengenai watak dan bentuk indutri media massa depan, yang antara lain:
a. Munculnya media konvergen. Media konvergen menggabungkan beberapa teknologi yang mampu menampilkan informasi dalam bermacam bentuk. Teknologi tidak lagi spesifik ntuk satu media tapi dapat bergabung untuk semua media.

b. Demassifikasi media. Peranan media komunikasi massa makin berkurang. Proses komunikasi tidak lagi diprakarsai oleh sumber atau media tapi oleh penerima komunikasi yang berinteraksi sesamanya dan dengan media. Saat ini sudah banyak bermunculan dan dimanfaatkan banyak orang jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dll.

c. Divergensi media. Media menjadi pribadi, sesuai dengan kebutuhan informasi pribadi media melayani setiap pribadi dengan informasi yang bersifat spesialis.

d. Keterkaitan dan persaingan global. Sumber informasi dan media saling terkait dalam jaringan global, dengan interaksi tinggi. Persaingan antarmedia massa tradisional tidak hanya terbatas pada daerah atau negara tertentu, tapi bersifat global.

e. Kebutuhan informasi. Masyarakat pengguna multimedia membutuhkan keanekaragaman informasi yang sangat bervariasi dan kaya, yang hanya dapat dipenuhi oleh sumber atau penyedia yang juga beranekaragam dan sangat banyak jumlahnya.

f. Konglomerasi informasi. Pasar global yang luas dan terbuka, membukakan peluang bagi industri global yang juga berskala besar. Berkat modal besar dan teknologi yang tinggi, muncul konglomerasi industri global di bidang komunikasi, yang mengusai berbagai bidang, baik industri manufaktur (komputer, peralatan konsumen, sarana perkantoran, peralatan komunikasi) maupun industri pelayanan atau penyedia informasi. Konglomerasi ini dapat meliputi berbagai bidang yang luas antara lain industri penyedia isi, penyedia pelayanan (Dahlan, 1996)

Selain teknologi, yang mempengaruhi trend perkembangan industri media adalah ekonomi politik media. Hal-hal yang dilihat dalam ekonomi media adalah struktur industri, prilaku institusi media serta hubungan antara media dan khalayak. Beberapa hal yang menjadi perlu mendapat perhatian dalam melihat trend industri media di antaranya adalah produksi dan distribusi, monopoli media, hak atas kekayaan intelektual serta pasar yang berubah dari massa ke lebih segmentasi.

Hal lain yang tidak bisa diabaikan adalah segi politik. Dalam hal ini, yang lebih perlu mendapat perhatian adalah masalah kebebasan berpendapat dan penyensoran (sensorship).

Secara garis besar, trend perubahan teknologi, ekonomi dan politik, berimplikasi terhadap trend perkembangan industri majalah, buku dan suratkabar dalam hal produksi, distribusi, konsentrasi kepemilikan, pembajakan serta sensor.

Trend Perkembangan Buku
Ø Produksi: - komputerisasi
- meningkatnya jumlah buku yang diterbitkan
- hadirnya E-Books
- genre: beragam dan sulit dikarakteristikan
Ø Distribusi: toko buku, penerbit dan secara online.
Ø Ekonomi-politik: - adanya konsolidasi dan konsentrasi kepemilikan
- pembajakan buku
- kebebasan berbicara dan penyensoran.

Trend Perkembangan Majalah
Ø Produksi: - komputerisasi
- makin beragam namun segmented mengikuti usia, hobi
- hadirnya Web ‘zines’
- genre: investigasi, digest, majalah berita dan majalah bergambar
Ø Distribusi: eceran, langganan, online
Ø Ekonomi-politik: - adanya konsolidasi dan konsentrasi kepemilikan
- kebebasan berbicara dan sensor.

Trend Perkembangan Suratkabar
Ø Produksi: - komputerisasi
- cetak jarak jauh
- hadirnya edisi internet untuk suratkabar, lebih personal
Ø Distribusi: videoteks, online
Ø Ekonomi-Politik: - monopoli berita
- konsolidasi bersifat integrasi horisontal: menggabungkan surat kabar yang sudah ada dalam satu jaringan kepemilikan
- konsolidasi yang bersifat integrasi vertikal: menggabungkan suratkabar dengan media lain yang lebih besar dari grup utamanya, seperti menggabungkan kepemilikan jaringan suratkabar dengan radio, televisi dan lain-lain.
- Kebebasan berbicara dan penyensoran

Tinjauan di Indonesia:

Secara umum, trend perkembangan industri buku/majalah dan suratkabar global hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia. Hanya saja, seperti dalam catatan Deddy N Hidayat (2000), perlu diperhatikan bahwa Indonesia di satu pihak merupakan bagian dari sistem kapitalisme global, namun di lain pihak struktur ekonomi politik Orde Baru yang berkuasa hingga 32 tahun mampu pula mengembangkan ciri-ciri yang spesifik.

Karakteristik yang menonjol itu adalah intervensi negara yang amat menonjol dalam ekonomi atau negara menjadi bagian integral dari perkembangan sistem kapitalis yang ada. Di sektor industri media cetak, sejumlah anggota keluarga mantan Presiden Soeharto serta pejabat menjadi patron atau pemilik saham di sejumlah media cetak.

Selain itu, seperti dijelaskan Jacob Utama (2001), pers dalam suatu negara akan selalu dipengaruhi oleh pikiran dasar dan orientasi pokok yang sedang berlaku dalam masyarakatnya. Pers Indonesia juga terbawa oleh orientasi pembangunan. Pers tidak hanya melaporkan pembangunan, namun juga diharapkan pendapat dan sumbangan pemikirannya tentang model pembangunan.

Sementara itu, Alwi Dahlan (1996) melihat bahwa industrialisasi komunikasi di Indonesia sebenarnya sudah terlambat datang. Tatkala media massa kita sedang mengalami proses industrialiasasi, media di negara industri justru mulai meninggalkan bentuknya yang sekarang dan menjalani peralihan ke arah dunia pasca industri di bidang informasi. Ketertinggalan satu tahap di belakang negara maju, jika di zaman yang lalu tidak menjadi masalah, tidak begitu dengan sekarang.

Kebutuhan yang didorong oleh arus globalisasi di bidang informasi menipiskan batas-batas sistem pers di masing-masing negara. Di bidang pers, revolusi komunikasi menghadirkan sistem cetak jarak jauh dan media massa internet. Akibat yang ditimbulkan fenomena komunikasi tersebut, antara lain adalah meningkatnya kecepatan arus dan volume pemberitaan di dalam masyarakat.

Media internet dapat menggabungkan kelebihan media cetak (ketahanan onformasi) dan elektronik (kecepatan menyampaikan isi berita dan penyajian yang terinci) sekaligus walau dalam skala yang sangat kecil dibanding media aslinya. Mengikuti tantangan zaman itulah, kemudian hadir pula versi online beberapa suratkabar seperti Media Indonesia, Kompas, Republika, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan dan sebagainya; majalah Tempo, Gatra, Gamma, Femina, Kosmopolitan dan lain-lain untuk majalah online.

Beberapa catatan penting trend perkembangan industri buku, majalah dan suratkabar di Indonesia:

Trend Perkembangan Buku
ü Jumlah dan judul buku yang diterbitkan makin banyak karena kemudahan pengumpulan data, kebebasan berbicara, dan pasar yang beragam
ü Komputerisasi produksi, akan terkait dengan mutu cetakan, desain kulit muka dan sebagainya
ü Meski belum begitu banyak, fenomena E-Books juga terjadi
ü Tantangan ekonomis: pembajakan buku
ü Distribusi selain melalui toko buku, penerbit, juga online

Trend Perkembangan Majalah
Ø Ragam majalah makin banyak mengikuti usia, hobi, ketertarikan. Selain itu juga, hadir majalah asing versi Indonesia seperti Mens Health, Cosmopolitan.
Ø Pengumpulan dan penyebaran berita menjadi kian cepat dan akurat.
Ø Hadirnya Web ‘zines’, seperti Gatra.com, Gamma.com, Angkasa, Popular Online, juga termasuk Astaga.com, Indonews dan sebagainya.
Ø Pencabutan lembaga SIUPP membuat pers majalah tidak dihantui ketakutan pembreidelan

Trend Perkembangan Suratkabar
Ø Era reformasi dan meningkatnya kriminalitas, membuat hadirnya suratkabar-suratkabar baru berbau politik dan kriminal
Ø Sistem cetak jarak jauh juga sudah digunakan
Ø Hadirnya edisi internet untuk suratkabar, membuat kita bisa memilih berita sesuai dengan keinginan, lebih personal
Ø Pencabutan lembaga SIUPP membuat pers suratkabar tidak dihantui ketakutan pembreidelan
Ø Secara ekonomis, hadir konglomerat media, seperti Kompas Grup, Jawa Pos Grup, Pos Kota Grup.
Ø Tumbuhnya suratkabar komunitas (community newspaper) menyusul diberlakukannya otonomi daerah. Sebut saja Purwokerto yang memiliki Sudirman Pos, Bogor yang mempunyai Bogor Pos dan Radar Bogor, Brebes dengan Brebes Pos dan sebagainya. Ada pula koran yang berisfta iklan, seperti Bandung Advertiser dll.

DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, M. Alwi. (1996). “Trend Industrialisasi Media Massa dan Multimedia”. Makalah diskusi panel Industri Media Massa dan Multimedia, ISKI.
Hidayat, Dedd N. (2000) “Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam “Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah hegemoni”. Deddy N. Hidayat dkk., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muis, A. (1996). “Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers”. Jakarta: Mario Grafika.
Nihayah, Khotimatun dkk. (1993). “Dunia Buku Indonesia”. Politeknik Universitas Indonesia Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan.
Soedarmanto, JB., Subagya, PD. (2002). “Pemasaran Buku di Indonesia”. Jakarta: Ikapi.
Straubhaar Joseph dan LaRose, Robert (2002). “Media Now: Communication Media in the Information Age”. Wadsworth.
Tanuwijaya, Hikmat S (2001). “Situs Berita, Media Informasi Nan Cepat”. PC Media, 27 Mei 2001.
Widyawati, Nina dkk. (2000). “Pers Daerah Menyongsong Otonomi dan Desentralisasi”. Jakarta: Puslibatang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.
Winters Jeffry, A. (2000) “Dampak Politis dari Sumber dan Teknologi Informasi Baru di Indonesia”, dalam “Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah hegemoni”. Deddy N. Hidayat dkk., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Utama, Jacob. (2001) “Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

14 Oktober 2009

Pendapat Mengenai Kasus Prita Mulyasari dan UU ITE

Kasus Prita Mulyasari yang berselisih dengan RS Omni Internasional Tangerang menyedot perhatian banyak orang. Bukan cuma galangan dukungan pembebasan Prita yang ditahan di LP Tangerang yang dalam waktu singkat mencapai puluhan ribu orang melalui media jejaring sosial seperti Facebook, para calon presiden pun, dimana saat Prita ditahan kampanye Pilpres sedang berlangsung, berkomentar dan mendesak pembebasan Ibu dua anak itu. Dan akhirnya, genap tiga minggu ditahanan, Prita dibebaskan bisa pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga.

Prita ditahan karena dianggap melanggar Pasal 310 KUHP jo Pasal 27 ayat 3 UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Asal muasalnya, Prita mengirimkan keluhan mengenai pelayanan RS Omni Internasional yang menurutnya mengecewakan ke beberapa teman melalui media surat elektronik (E-Mail). Apa yang dikeluhkan Prita dan menyebar ke dunia maya dianggap pihak RS sebagai pencemaran nama baik.
* * *

Apa yang terjadi dengan Prita, perlu dibedakan secara tegas antara substansi keluhan dengan media. Hal ini agar tidak ada kesan, seolah-olah UU ITE menjadi ”biang kerok” penahanan Prita, sehingga harus direvisi. Padahal, sebagaimana diketahui, UU ITE sendiri telah mengalami pembahasan yang lama di DPR dan menyangkut Pasal 27 ayat 3, juga telah mendapat penetapan Mahkamah Konstitusi untuk tetap dimasukkan dalam UU ITE atas judicial review yang dilakukan masyarakat agar Pasal ini dicabut.

Dalam kasus Prita, yang perlu dikedepankan adalah substansi pengaduan Prita mengenai keluhan layanan RS. UU ITE hanya bicara mengenai medium, dimana apa yang dilakukan di dunia nyata, dapat pula diberikan sanksi jika itu terjadi di dunia maya. Sehingga, kasus di masa lalu seperti hacking, cracking, carding, penyebaran pornografi, judi, termasuk pencemaran nama baik melalui internet, yang selama ini banyak terjadi, ditangkap pelakunya, namun kemudian lolos ketika masuk ke pengadilan karena kepastian hukum mengenai kejahatan elektronik masih lemah atau bahkan belum ada.

Mengenai substansi, sejak berdirinya negara ini, UUD 1945 telah menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan, meski memang euphoria kebebasan berpendapat meledak sejak reformasi bergulir di tahun 1998. Ini bisa dilihat dari demontsrasi yang dilakukan masyarakat, hadir dan menjamurnya nya media cetak, buku, televisi dan tak ketinggalan juga media online.

Dengan hadirnya fasilitas blogging, tiap individu bebas menyuarakan pikiran, curahan hati maupun gugatan terhadap lingkungan sekeliling. Tambah lagi dengan adanya jejaring sosial, dalam kampanye legisltaif lalu tercatat, ada galangan dukungan untuk tidak memilih tokoh tertentu ”Say No to ....”, meski ada juga ”lawannya” yang membuat kelompok diskusi ”Say Yes to....”. Hal-hal seperti itu, berlanjut menjelang Pilpres mendatang.

Selain jaminan UUD 1945, Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8/1999 juga menjamin agar konsumen mendapatkan layanan yang berkualitas dari produsen. Sehingga, yang perlu dipertanyakan adalah, apakah RS Omni Internanasional, sebagai produsen, memang telah memberikan layanan berkualitas kepada Prita, sebagai konsumen. Inilah yang perlu diuji di pengadilan. Hanya saja, sesungguhnya, pihak RS dapat segera melakukan introspeksi. Sebab betatapun, konsumen adalah raja, yang keluhannya menjadi masukan bagi RS untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanannya.

Mengenai keluhan pengguna atau konsumen, sesungguhnya bukan hal yang baru. Di banyak mengenai, hampir tiap hari Rubrik Pembaca memuat keluhan masyarakat akan berbagai hal, dari layanan operator telekomunikasi, perbankan, perumahan sampai masalah layanan pemerintahan. Dan uniknya, proses menyampaikan keluhan dan menjawab keluhan terjadi. Setelah ada keluhan, pihak yang dikeluhkan biasanya menyampaikan hak menjawab keluhan, dan banyak yang berujung dengan kalimat, ”Keluhan sudah diselesaikan dengan baik.”
* * *

Adanya pemikiran yang menyatakan bahwa kasus Prita mencuat karena UU ITE, perlu dilihat dari dua kacamata, pertama, memang UU ITE memasukkan unsur pencemaran nama baik secara elektronik sehingga pencemaran nama baik yang dilakukan secara ”tradisional” juga dapat dibidik jika pencemaran nama baik dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kedua, UU ITE hanyalah menjadi penguat agar apa pencemaran nama baik secara maya, juga dapat dibidik sama halnya pencemaran nama baik secara nyata.

Sebab, walaupun bagi sebagian kalangan kebutuhan akan UU yang mengatur informasi dan transaksi elektronik dirasa terlalu mewah dan tidak mempunyai dampak besar terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun sesungguhnya bangsa ini memerlukan kepastian hukum menyangkut hal-hal yang berbau elektronik, apalagi dengan berubahnya modus kejahatan yang tadinya bersifat offline (tradisional) menjadi online sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam catatan beberapa perusahaan keamanan teknologi informasi, posisi Indonesia di dunia hitam kejahatan cyber cukup disegani, dan bertengger dalam 10 besar internasional. Kejahatan internet yang marak di Indonesia meliputi penipuan kartu kredit, penipuan perbankan, defacing, cracking, transaksi seks, judi online dan terorisme dengan korban berasal selain dari negara-negara luar seperti AS, Inggris, Australia, Jerman, Korea serta Singapura, juga beberapa daerah di tanah air. Karena dicap sebagai sarang penjahat dunia maya, saat belum adanya UU ITE, orang Indonesia yang ingin berbelanja lewat internet sering tidak dipercaya lagi oleh merchant luar negeri, sehingga Indonesia dikhawatirkan tersingkir dari ekonomi digital yang mengglobal.

Untuk memerangi kejahatan internet yang telah, sedang dan akan muncul, itulah UU ITE lahir untuk kepastian hukum. RUU ITE sendiri telah menempuh waktu yang lama untuk dibawa ke parlemen dan dibahas. UU ini cukup lengkap dan dapat dijadikan payung karena beberapa hal yang terkait dengan kepastian hukum mengenai informasi elektronik telah diadopsi semisal perebutan nama domain, HAKI, perlindungan informasi pribadi, hacking, cracking, carding serta perdagangan password.

Satu hal pasti, UU ITE membutuhkan peningkatan pengetahuan dan kemampuan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) mengenai seluk-beluk cybercrime, agar juga tidak salah dalam mengambil putusan, termasuk dalam kasus Prita. Tak ketinggalan, meningkatkan pengetahuan dan pemberdayaan masyarakat untuk dapat menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab dan cerdas. Pemikiran yang menyatakan bahwa kita bebas berbuat semaunya di dunia maya, harus dihilangkan karena sudah ada koridor hukum yang harus dipatuhi bersama. Berpendapat adalah hak, namun di sisi lain, berpendapat juga tetap harus menghargai dan memperhatikan hak dipunya orang lain.

13 Oktober 2009

Paradigma ICTnomic-ku Dimuat Koran Jakarta

Tulisan mengenai aplikasi dan implikasi ICTnomic yang saya tulis hari ini (13/9/2009) dimuat di Koran Jakarta. Berikut isinya, bagi yang belum sempat baca korannya:

Ekonomi dunia sedang berubah. Basis ekonomi yang tadinya berdasar pada baja, kendaraan dan jalan raya, kini berubah jalur ke arah ekonomi baru yang dibentuk oleh silikon, komputer dan jaringan. Transformasi tersebut, yang terjalin dengan transformasi lain, globalisasi, menciptakan paradigma baru ekonomi, pembangunan ekonomi berbasis information and communication technology (ICT)—ICTnomic. Perkembangan ini cukup menarik.

Di masa dulu, misalnya saja, saat Soeharto menjadi Presiden, berkembang konsep ekonomi ”Soehartonomic”, yang mengacu pada konsep pembangunan berdasar pemikiran Soeharto. Begitu juga dengan dengan istilah ”Habibienomic”, yang mengarah pada konsep pembangunan menurut Habibie. Dengan ICTnomic, konsep top down seperti itu bisa jadi tidak dikenal lagi. Sesuai dengan semangat kebebasan, demokrasi maupun perubahan, siapa pun bisa mengembangkan ekonomi, baik di tingkat negara maupun rumah tangga, dengan menggunakan ICT sebagai alat maupun sokoguru aktivitasnya.

Tokoh macam Bill Gates dengan Microsoft-nya, Marck Zuckerberg melalui Facebook, serta Google yang dikembangkan oleh Larry Page dan Sergey Brin maupun Yahoo! yang diciptakan oleh Jerry Yang dan David Filo, menjadi bukti bahwa ekonomi dapat berputar dan bergerak di luar kendali penguasa.
Sebenarnya, begitu banyak contoh lain, termasuk dari dalam negeri, bagaimana ICT (teknologi informasi dan komunikasi) kini telah membuat ekonomi seakan terpisah dari jalannya roda pemerintahan. Ini artinya, siapapun pemimpinnya, bisnis ICT akan tetap berjalan sesuai konsep dasar cyber dimana diibaratkan seekor tikus yang akan mencari jalan keluarnya sendiri dari labirin.

Peran ICT dalam pembangunan akan kian penting. Lihat saja, sektor ini telah menggerakan ekonomi secara masif—dari sekadar menjadi penjual voucher di gang-gang sempit, pemasar ponsel-ponsel baik lama maupun yang teranyar, hingga hadirnya begitu banyak operator dengan beragam lisensi, bahkan memberikan pemasukan bagi negara yang cukup signifikan dan cenderung meningkat tiap tahunnya, baik dalam bentuk pajak maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Direktorat Jenderal Postel, Depkominfo, pada anggaran 2008, dari BHP frekuensi radio saja ditargetkan untuk dapat mencapai Rp. 4,61 trilyun, dan untuk 2009 ditargetkan untuk memperoleh Rp. 5,61 trilyun (Siaran Pers Ditjen Postel, 17 Juni 2009).

Dalam ICTnomic, ada beberapa perubahan maupun pergeseran yang perlu menjadi perhatian. Seperti disebutkan Don Tapscott dalam ”Digital Economy: Promise and Peril In The Age of Networked Intelligence”, pergeseran terjadi dari produksi yang berbasis “tenaga” (brawn) ke basis “otak” (brain) yaitu pengetahuan tentang pekerjaan dari para pekerjanya. Kini pengetahuan menjadi variabel kunci bagi perusahaan masa depan. Tingkat pengetahuan yang tinggi dari para pekerja akan membuat mereka menjadi kreatif dan inovatif dalam bekerja. Ini yang kemudian menjadi dasar dari ekonomi kreatif.

Kemudian, semua informasi tidak lagi ditampilkan secara apa adanya (sistem analog), tetapi dengan menggunakan simbol angka 0 dan 1. Dalam ekonomi baru, informasi dikemas dalam bentuk digital. Dengan teknologi digital, orang dapat melakukan pekerjaannya dengan banyak orang dari tempat yang berlainan, dalam waktu yang bersamaan tanpa harus bertemu secara langsung. Informasi dapat diakses lewat komputer—termasuk telepon seluler, baik dalam bentuk tulisan, audio maupun video.

Produk juga tidak lagi berbentuk fisik, tetapi virtual (maya/semu) termasuk juga aktivitas ekonomi yang dilakukan. Seperti virtual office, di mana para pekerja tidak lagi harus melakukan aktivitas di kantor. Bisnis perusahaan mendapatkan informasi tentang pasarnya dengan cepat karena mereka telah terhubung dengan jaringan internet yang memungkinkan akses informasi dengan cepat. Misalnya informasi tentang supplier, pesaing, konsumen dan lainnya. Sehingga, fungsi dari para perantara antara produsen dan konsumen akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan produsen melalui teknologi informasi, dapat langsung melakukan komunikasi dengan para konsumen.

ICTnomic juga bicara mengenai keterpaduan antara telekomunikasi, komputer dan media. Informasi dan transaksi bisnis dalam dilakukan melalui media eletronik dalam waktu yang sangat cepat, terus-menerus sehingga dibutuhkan informasi yang akurat dan cepat dalam hitungan detik. Dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang ada, membuat persaingan akan makin tajam dalam membuat produk yang sama atau bahkan lebih unggul. Di sinilah perlunya perhatian terhadap inovasi. Karena suatu produk baru akan segera menjadi ketinggalan jaman kalau tidak dilakukan inovasi terus-menerus, termasuk mensosialisasikannya secara luas.

Namun begitu, ICTnomic ternyata dapat juga menimbulkan kesenjangan yang mengarah pada perpecahan. Misalnya antara mereka yang mengusai teknologi dengan yang tidak; antara yang tahu dan yang tidak tahu; antara yang mempunyai kemampuan mengakses dan yang tidak, karena tidak semua orang sudah memasuki era informasi. Untuk kondisi Indonesia, empat tingkatan masyarakat dari pra-agraris, agraris, industri dan hingga masyarakat informasi, semua ada di sini. Empat tingkatan masyarakat—dari suku-suku yang ada di pedalaman dan tidak tersentuh kemajuan jaman termasuk barang-barang elektronik, hingga yang tiap saat aktif meng-update status melalui situs jejaring sosial—semuanya adalah kekayaan dan kenyataan negeri ini. Tugas besar kita semua adalah bagaimana mewujudkan “ICT Untuk Semua” sehingga tiap individu masyarakat dapat menjadi aset negara dan menjadi roda-roda penggerak ekonomi negara. Semoga.

11 Oktober 2009

Sejarah Film dan Perkembangan Film Indonesia

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga harus membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia.


Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).


Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.


Film kita tidak hanya dapat dinikmati di televisi, bioskop, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD, film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway ini.

Isu yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film adalah persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik. Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film, adalah: (1) Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang berpengaruh terhadap hasil film; (2) Film mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari audiensnya. Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya. Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup besar.

Hal lainnya adalah soal konglomerasi dalam industri ini, dimana konglomerat besar industri film dunia mempunyai kontrol terhadap pendistribusian film ke bioskop, video, stasiun Televisi kabel dan stasiun televisi sampai luar negeri. Hal tersebut berimplikasi yang membuat pemain baru tidak bisa masuk.

Hampir sama dengan industri musik dan rekaman, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual juga menghantui industri perfilman. Meski dalam setiap film produksi AS terhadap peringatan dari FBI, namun pembajakan film tetap saja tidak bisa diremehkan begitu saja.


Industri Film Indonesia
Bagaimana dengan industri film Indonesia? Topik lama ini sudah dua dekade lamanya menjadi bahan perbincangan kalangan film Indonesia. Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor.

Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari persoalan dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun semakin melebarkan jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film.

Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia. Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose Purnomo dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada industri film Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi harapan, karena selain terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga, tak terasa bahwa industri perfilman sesungguhnya sudah seratus tahun dikenal di Indonesia.


Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.


Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.


Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.

Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.


Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.

Di tahun ‘80-an, produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun ‘70-an menjadi 721 judul film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.


Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun ‘80-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.


Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun ‘80-an, kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela.

Meski dalam kondisi “sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional. Pertengahan ‘90-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.


Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.

Kini, film Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan booming dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta, yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina, Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.


Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King, Garuda di Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.

Bahan Bacaan

Mambor, Victor C. (2000). “Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia”. Jakarta: Kunci Cultural Studies Center.
Straubhaar, Joseph dan LaRose, Robert (2002). “Media Now: Communication Media in the Information Age”. Wadsworth.

06 Oktober 2009

Mobile Money dan Tantangan Implementasi

Tulisan saya kembali dimuat Harian Bisnis Indonesia hari ini Selasa, 6 Oktober 2009. Terima kasih Bisnis Indonesia. Berikut isi lengkap tulisan nya:

Mobile Money dan Tantangan Implementasi

Teknologi dan pengguna telepon bergerak berkembang dengan begitu cepat.
Untuk kondisi Indonesia saja, setelah era 2G dan 2,5G, kemudian hadir 3G, yang bahkan sekarang disebut-sebut sudah mencapai 3,9 G atau sebentar lagi memasuki era 4G, sebuah lompatan teknologi yang memungkinkan transfer data dilakukan secara cepat.


Dari sisi pengguna, Indonesia merupakan negara di kawasan Asean yang pertumbuhan pengguna telepon bergeraknya meningkat secara signifikan. Dalam catatan WCIS (World Cellular Information System) ataupun Informa Telecoms and Media, kontribusi Indonesia terhadap pengguna telepon bergerak di kawasan cukup tinggi, yaitu 35%. Angka ini di atas Vietnam yang 20%, bahkan Malaysia yang hanya 7% dan Singapura dengan kontribusi 2%.
Di tingkat dunia, pasar Indonesia juga dianggap cukup besar dan masuk dalam peringkat ketiga pada kuartal pertama tahun ini dengan 43,3, juta pengguna, di bawah India (127,8 juta) dan China (88,5 juta). Posisi Indonesia sebagai peringkat pertumbuhan ketiga di Asia Pasifik diprediksi terus terjadi hingga 2013. Termasuk 3G yang akan mencapai pengguna hingga 42%.

Perkembangan layanan telepon bergerak, bahkan sudah ke tingkat pita lebar (broadband) tentu perlu diimbangi dengan aplikasi ataupun konten yang menarik, mencerdaskan dan bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Sebab apabila itu tidak terjadi, dikhawatirkan industri ini hanya akan mendorong masyarakat menjadi konsumtif. Salah satu yang mungkin bisa dikembangkan adalah transaksi dagang secara bergerak atau lebih dikenal dengan istilah mobile commerce (M-Commerce).

Pengembangan terkini dari m-commerce cukup sukses di beberapa negara. Kecenderungan m-commerce yang awalnya hanya terbatas pada pembelian layanan konten telepon seluler seperti berita, cuaca, trafik lalu lintas, ringtone, wallpaper, musik, kemudian pembelian tiket bioskop, berkembang ke arah perbankan bergerak dan pembayaran mikro, yang kemudian mengarah ke uang bergerak (mobile money).

Layanan keuangan bergerak pertama kali diimplementasikan pada 2001 oleh Mobipay di Spanyol, sementara layanan perbankan bergerak telah diberikan bertahun-tahun di Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura dan Eropa. Mobile money menjadi fokus perhatian karena fenomena ini sukses di beberapa negara berkembang seperti Kenya, Afrika Selatan dan Filipina. Di Kenya misalnya, layanan yang diberikan sejak Maret 2007, digunakan oleh separuh populasi di sana sebagai sarana utama pengiriman uang. Diprediksi hingga akhir 2013 lebih dari 424 juta pengguna telepon seluler akan mengirimkan uang ke pengguna ponsel lainnya dalam negara yang sama dan 73 juta akan mengirimkan uang ke negara lain.

Terkait dengan uang bergerak, ada tiga tipe utama layanan keuangan, yaitu pengiriman uang bergerak (mobile money transfer), perbankan bergerak (mobile banking) serta pembayaran bergerak (mobile payment). Layanan pengiriman uang bergerak memungkinkan mengirim atau menerima sejumlah uang antarpengguna ponsel. Layanan ini bisa berupa pengiriman domestik dan internasional.

Beberapa operator dalam negeri sudah mulai memberikan layanan ini. Untuk international remittance, yang menjadi target adalah para pekerja Indonesia yang sedang bekerja di negeri orang yang berkeinginan mentransfer uang untuk keluarga di kampung halaman. Negara yang jadi target adalah Malaysia, Hong Kong serta negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi.

Layanan perbankan bergerak di sini juga sudah beroperasi sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan ini menjadi layanan pelengkap selain perbankan melalui Internet. Beberapa bank telah bekerja sama dengan operator untuk memasukkan layanannya sebagai layanan dasar setaraf dengan layanan ringtone, wallpaper ataupun layanan konten informasi dan hiburan lainnya.

Proses mengetahui adanya pengiriman uang tidak perlu dilakukan dengan mengunjungi bank bersangkutan atau Anjungan tunai mandiri, sebab informasi akan langsung dapat diterima melalui SMS yang dikirimkan pascatransaksi dilakukan.

Pembayaran bergerak juga mulai diberikan sejak 2 tahun lalu, dengan istilah e-wallet. Hanya saja saat itu masih ada keraguan soal layanan ini mengingat payung hukum yang melindungi transaksi elektronik masih lemah. Namun, dengan di sahkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), di mana transaksi elektronik secara tegas diatur dan ada payung hukum melindungi, maka keraguan berangsur berkurang.

Belum cukup
Hanya saja, dalam implementasi layanan uang bergerak secara umum, walau sudah ada UU ITE, hal itu dirasa belum cukup. Ada beberapa isu yang perlu dipertegas karena mungkin bisa menjadi hambatan upaya untuk mengurangi peredaran uang kartal di masyarakat.

Pertama adalah pembagian kewenangan antara operator dan lembaga keuangan seperti bank. Memang ada keinginan dari operator telekomunikasi untuk bisa menjadi bagian dari lembaga keuangan, tentu saja itu perlu dilihat bagaimana UU mengaturnya. Sebab, walaupun alat pembayaran yang sah adalah uang, di beberapa wilayah dan transaksi tertentu, pulsa telah juga dapat berubah fungsi sebagai alat pembayaran dan alat tukar.

Kedua adalah jaringan. Selain belum semua perbankan turut memanfaatkan pemberian layanan uang bergerak, belum semua operator juga tertarik memberikan layanan serupa. Jika sudah memberikan layanan, untuk menjangkau seluruh penduduk Indonesia, jaringan telekomunikasi yang menjangkau seluruh penjuru tanah air diperlukan. Yang menarik, ada wilayah yang dengan susah payah coba dijangkau jaringan seluler, tetapi menara telekomunikasi yang ada kemudian 'ditebangi' pemerintah daerah setempat.

Hal krusial lainnya adalah keamanan (security). Masalah ini sering menjadi keraguan bagi konsumen untuk mempercayai layanan uang bergerak. Memang hal itu tidak terlepas dari budaya kita yang masih mempercayai cara-cara lama dalam berdagang ataupun melakukan transaksi keuangan, seperti membeli barang yang harus melihat wujud aslinya dibanding membeli secara maya lewat internet misalnya. Ini menjadi tugas bersama.

Tugas operator telekomunikasi menjamin jaringannya aman digunakan, lembaga keuangan menjamin transaksi berjalan sesuai kehendak konsumen dan ada perlindungan hukum memadai dari transaksi elektronik yang dilakukan sesuai amanat UU ITE.

Dan terakhir adalah soal edukasi dan sosialisasi. Tanpa hal itu, sulit rasanya layanan uang bergerak bisa dimanfaatkan masyarakat secara masif. Selain itu, masyarakat juga perlu diberdayakan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajibannya dalam transaksi uang bergerak. Dengan adanya kepercayaan, dan keperluan kecepatan transaksi, maka layanan uang bergerak akan menjadi killer application untuk semua, guna memberikan layanan keuangan yang nyaman, mudah diakses dan terjangkau, baik pelanggan perbankan maupun di luar perbankan.