31 Oktober 2008

Sejarah Perkembangan dan Pemanfaatan Teknologi Informasi


Sejarah pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia telah dimulai sejak saluran telegrap pertama dibuka pada tanggal 23 Oktober 1855 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak hadirnya telegrap elektromagnetik yang menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor), jasa telegrap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di 28 kantor telegrap. Selain itu, kabel laut juga telah terpasang antara Jakarta dan Singapura, kemudian juga dari Jawa (Banyuwangi) ke Australia (Darwin).

Menurut catatan buku “Dari Monopoli ke Kompetisi: 50 Tahun Telekomunikasi Indonesia Sejarah dan Kita Manajemen PT Telkom” (Ramadhan KH dkk., 1994), hubungan telepon lokal pertama kali digunakan pada 16 Oktober 1882 dan diselenggarakan oleh swasta. Jaringan telepon tersebut menghubungkan Gambir dan Tanjung Priok (Batavia). Menyusul dua tahun kemudian terhubung sambungan telepon di Semarang dan Surabaya.

Dalam pengembangan jaringan telepon tersebut yang diselenggarakan swasta tersebut, ijin konsesi yang didapat adalah sampai 25 tahun. Namun karena perusahaan telepon hanya membuka hubungan telepon di kota-kota besar saja, pada tahun 1906 ketika jangka waktu konsesi berakhir, Pemerintah Hindia Belanda melalui pembentukan Post, Telegraaf en Telefoon Dienst (PTT) mengambil alih semua pengusahaan jaringan telepon yang ada.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, PTT tetap dipertahankan. Orang-orang Belanda yang ada di PTT tergusur diganti orang Jepang. Begitu pula mulai banyak posisi pimpinan yang ditempati pegawai Indonesia. Perbedaan fungsi utama PTT pada jaman Hindia Belanda dengan Jepang adalah PTT jaman Hindia Belanda tidak bertujuan komersial saja namun juga diperuntukkan bagi pelayanan masyarakat, sedang pada jaman Jepang PTT digunakan untuk mendukung “Perang Asia Timur Raya”.

Kekalahan Jepang atas sekutu setelah bom atom sekutu jatuh di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, meski berusaha ditutupi oleh Jepang dan diperlambat penyebarannya ke Asia, namun telegram resmi dari Tokyo mengenai kekalahan diterima di PTT Bandung. Berita tersebut segera disebarkan kepada pemuda-pemuda di Jakarta untuk mendesak pemimpin-pemimpin bangsa mengumumkan kemerdekaan Indonesia.

Karena tidak mendapat jawaban, tanggal 15 Agustus 1945, dikirim lagi telegram ke Jakarta namun dengan desakan yang lebih keras. Sebab jika Jakarta tidak mau memanfaatkan momentum untuk mengambil keputusan penting, maka pemuda-pemuda Bandung akan bertindak. Akhirnya, Kemerdekaan Indonesia pun diproklamirkan oleh Soekarno – Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Berita proklamasi diteruskan melalui telepon, telegrap, radio dan pos ke semua kantor PTT secara beranting. Tidak hanya itu, lewat Stasiun Radio Pemancar PTT di Dayeuhkolot, berita proklamasi kemerdekaan juga disiarkan ke luar negeri pada hari itu juga.

Kemerdekaan Indonesia, tidak begitu saja membuat Jepang menyerahkan Kantor Pusat PTT dan jawatan-jawatan lainnya. Inilah yang mendorong Angkatan Muda PTT (AM PTT), yang sebelumnya bernama Tsusintai, untuk mengambilalih PTT. Perundingan dilakukan dengan pihak Jepang, namun Jepang menolak untuk menyerahkan pada Indonesia melainkan pada sekutu yang menang perang. Perundingan selama tiga hari sejak 24 September 1945 itu pun mengalami jalan buntu.

Sampai akhirnya, tanggal 27 September 1945 kantor pusat PTT diambilalih secara paksa oleh AM PTT. Pembebasan Jawatan PTT dari tangan penjajah tersebut yang kemudian dijadikan Hari Bakti Pos dan Telekomunikasi. Apa yang terjadi di Bandung, kemudian diikuti rekan-rekannya di berbagai kota kantor PTT seperti Jakarta, Surabaya, Bukittinggi, Medan Palembang, Yogyakarta dan lain-lain.

Ketika pasukan sekutu datang, Kantor Pusat PTT menjadi salah satu sasaran. Akibatnya, Kantor Pusat PTT tidak dapat dipertahankan. Tentara sekutu yang pada 23 Maret 1946 telah menguasai Bandung Utara mengultimatum agar daerah Bandung Selatan dikosongkan. Pimpinan AM PTT menugaskan agar Gedung Pusat PTT dibumihanguskan, namun gagal karena bahan peledak yang digunakan tidak sebanding dengan konstruksi gedung yang sangat kokoh.

Dengan hijrahnya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta, maka Kantor Pusat PTT juga hijrah ke Yogyakarta. Peran perjuangan pun diemban PTT untuk memancarkan dan menerima komando presiden sehingga dapat diterima dengan baik di seluruh pelosok Jawa dan Sumatera.Hal tersebut terjadi hingga pengakuan kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda kepada Indonesia, 27 Desember 1949.

Seusai pengakuan kedaulatan, keadaan pertelekomunikasi Indonesia dalam keadaan teramat sulit. Banyak gedung PTT dan kantor telepon rusak dibom pesawat sekutu maupun dibumihanguskan AM PTT. Namun dalam waktu tiga tahun, banyak kemajuan berarti didapat. Pada tahun 1953, sentral telepon Bandung Centrum diotomatkan dengan kapasitas 4 ribu nomor dan Hegarmanah dengan 500 nomor. Setahun berikutnya, otomatisasi kantor telepon Makassar dengan 3 ribu nomor dan Kebayoran dengan 400 nomor.

Hingga tahun 1958, satuan sambungan telepon (SST) telah mencapai 84.789. Sementara jumlah kantor telepon bertambah menjadi 415 buah, terdiri dari 190 kantor telepon induk, 15 sentral tambahan dan 210 kantor telepon cabang. PTT juga menunjukkan perannya ketika penyelenggaraan Pemilihan Umum I dan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955.

Mengikuti perkembangan jaman, Jawatan PTT berubah statusnya menjadi PN Pos dan Telekomunikasi atau PN Postel sejak 1 Januari 1962. Pada 6 Juli 1965, PN Postel dipecah dan bidang telekomunikasi berada di bawah PN Telekomunikasi. Guna memungkinkan perluasan gerak PN Telekomunikasi dan tebritnya PP No 44 Tahun 1969 dan PP No 45 tahun 1969 tentang bentuk-bentuk Perusahaan Negara, awal 1972 pemerintah memutuskan untuk mengubah kelembagaan PN Telekomunikasi menjadi Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel).

Keberadaan Perumtel dikukuhkan melalui Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 1974 yang menetapkannya sebagai pengelola telekomunikasi untuk umum dalam dan luar negeri. Dalam PP tersebut dinyatakan juga bahwa Perumtel merupakan satu-satunya penyelenggara jasa telekomunikasi untuk umum di Indonesia. Hak monopoli diberikan karena Perumtel diberi beban menjalankan misi pemerintah dalam bidang telekomunikasi, yaitu sebagai “agent of development”.

Dengan selesainya pembangunan jaringan telekomunikasi Nusantara yang meliputi proyek gelombang mikro lintas Sumatera, gelombang mikro Indonesia Timur yang menghubungkan Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan pada 1967, pemerintah menyatakan perlunya penggunaan sistem satelit untuk hubungan dengan luar negeri. Untuk itu melayani jasa telekomunikasi ke luar negeri, kemudian didirikan PT Indonesian Satellite (Indosat) pada 9 Juni 1967. Sejak itu lalu lintas komunikasi Indonesia dan dunia internasional semakin terbuka.

Satu babakan baru pemanfaatan teknologi satelit terjadi pada 9 Juli 1976 ketika satelit Palapa A-1 berjenis HS-333 diluncurkan dari Cape Canaveral. Satelit pertama milik Indonesia itu diresmikan pemanfaatannya pada tanggal 16 Agustus 1976 oleh Presiden Soeharto dan dinamai Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa. Indonesia merupakan negara pertama di Asia Pasifik dan ketiga di dunia yang menggunakan teknologi satelit untuk keperluan komersial.

Setahun kemudian, 11 Maret 1977 diluncurkan Satelit Palapa A-2. Selain mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, satelit ini juga dimanfaatkan beberapa negara ASEAN. Setelah generasi pertama, Palapa generasi kedua yang diberi nama B-1 diluncurkan 16 Juni 1983 dan B-2 pada 8 Februari 1984. Hanya saja, Palapa B-2 yang dipersiapkan untuk menunjang Pemilu 1987 kemudian menghilang di orbit rendah. Hingga kemudian diluncurkan kembali Satelit Palapa B-2P (pengganti) 2 Maret 1987 sebelum Pemilu digelar.

Selain Indosat, pada tahun 1983 berdiri PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo). Satelindo yang dimiliki Bambang Triatmodjo, putra Presiden Soeharto, diberikan peran besar untuk mengelola dan mengoperasikan Palapa generasi ketiga C. Hingga saat ini, satelit Palapa C1 dan C2 masih dalam pengelolaan Satelindo. Sementara PT Telekomunikasi Indonesia, yang sebelumnya menjadi Badan Usaha Milik Negara dan kemudian menjadi perusahaan publik, mengelola Telkom 1. Satelit lainnya dimiliki Indostar bernama Cakrawarta-1 yang merupakan satelit berorbit rendah (low earth orbit).

Dalam catatan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) pengguna telepon seluler hingga Juli 2008 lalu mencapai 106 juta pelanggan (http://www.postel.go.id/).

Mengenai perkembangan internet di Indonesia, internet diperkenalkan di Indonesia pertama kali pada awal 1980-an, dimana koneksi internet pertama dibuat oleh Universitas Indonesia (Lim, 2001). Institusi ini kemudian bergabung dengan UUNet pada 1984, dan membuat Indonesia sebagai negara pertama di Asia yang memasuki dunia internet saat itu (Dunia Cyber, 1999). Di awal 1990-an, jaringan internet Indonesia lebih dikenal sebagai paguyuban network. Hal itu maksudnya, semangat kerjasama, kekeluargaan dan gotong royong lebih kental terasa dibanding dengan komersialisasi yang kini lebih terasa terutama dalam aktivitas yang melibatkan perdagangan internet (Purbo, 2000).

Di tahun 1989, beberapa mahasiswa Indonesia di luar negeri memanfaatkan dan membangun tempat diskusi di Internet. Salah satu tempat diskusi Indonesia di Internet yang pertama berada di indonesians@janus.berkeley.edu. Berawal dari mailing list ini, kemudian berkembang menjadi salah satu sarana yang sangat strategis dalam pembangunan komunitas di Internet.

Di tahun 1994, jaringan internet permanen pertama dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan nama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Networks atau dikenal dengan nama Iptek-Net. Sedangkan internet service provider (ISP) komersial pertama Indonesia adalah IndoNet.

Sampai kemudian, ISP berkembang makin marak denghan sekitar 60 ISP memperoleh ijin dari pemerintah. Dari pengelola jasa internet tersebut, kemudian berdirilah Asosiasi Pengelola Jasa Internet Indonesia (APJII). Effisiensi sambungan antar-ISP dilakukan dengan membangun beberapa Internet exchange (IX) di Indosat, Telkom, APJII (IIX) serta beberapa ISP lainnya. Untuk meningkatkan pengguna, APJII melakukan program SMU2000 yang kemudian berkembang menjadi Sekolah2000.

Dalam hal pemanfaatan, banyak kalangan telah memanfaatkan internet untuk berkomunikasi, bertukar hasil penelitian, bertransaksi bahkan untuk sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, dimana berdasar data ClearCommerce Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal carder terbesar di dunia (Sinar Harapan, 5 April 2003). Pelengseran rejim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto ke Orde Reformasi tahun 1998 sedikit banyak dipengaruhi juga gelombang informasi lewat internet (Marcus, 1998). Internet menjadi media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Beberapa situs seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi yang hangat saat itu (lihat Jeffrey A. Winters, 2000)

Perusahaan, sekolah, perguruan tinggi termasuk media konvensional yang berupa cetak, majalah, radio maupun televisi, kini pun memanfaatkan internet agar dapat diakses secara online, yang sesuai dengan karakternya, di seluruh penjuru dunia. Pemerintahan baik pusat maupun daerah otonom telah pula memanfaatkan internet untuk layanan pemerintahan secara elektronik (e-government). Seperti Direktorat Perpajakan, yang melayani persoalan pajak secara online. Situs pemerintah daerah seperti Pemda Berau, Sragen, Takalar, Sidoarjo maupun Kutai Timur, telah pula menawarkan layanan mengurus Kartu Tanda Penduduk, Surat Ijin Usaha, Ijin Mendirikan Bangunan serta urusan kependudukan dan ijin lainnya secara elektronik.

21 Oktober 2008

Teknologi Informasi Indonesia dalam Perspektif One-Dimensional Man Marcuse

Berdasar kenyataan, dalam beberapa dekade terakhir diperlihatkan bahwa teknologi diakui sebagai penggerak utama bagi kemajuan industri, perubahan struktur perekonomian serta peningkatan daya saing suatu negara maupun wilayah dalam pasar global. Singkatnya, teknologi telah telah menjadi faktor produksi yang signifikan dalam proses pembangunan segala bidang.

Dalam pengamatan Hall Hill (1998), sebelum masa krisis, Indonesia selama 20 tahun berhasil muncul sebagai salah satu negara yang berkembang sangat pesat di wilayah Asia Pasifik. Hal itu bisa dilihat dari pesatnya tingkat industrialisasi dan meluasnya aplikasi teknologi tinggi untuk industri-industri tradisional. Meski fokus pembangunan utama adalah pada modernisasi pertanian dan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, termasuk penggunaan teknologi informasi, menjadi komponen penting pertumbuhan Indonesia.

Teknologi informasi telah dimulai ketika pada tahun 1976, Indonesia meluncurkan salah satu satelit komunikasi pertama di dunia. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan teknologi komputer, yang diawali dengan penggunaan mainframe di berbagai pusat pengolahan data.

Perkembangan teknologi informasi yang meski terbilang lambat, dengan tingkat pertumbuhan pembangunan infrastuktur informasi yang masih tertinggal dibandingkan negara lain yang setara di wiayah Asia Pasifik, tekanan global untuk memanfaatkan kemajuan teknologi ini telah mendorong Pemerintah menyempurnakan infrastruktur informasi dengan membangun sarana komunikasi modern.

Dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa ini, pemerintah selalu, memainkan peranan penting dalam menentukan hitam putihnya teknologi informasi di Indonesia. Rujukan pertama mengenai sistem informasi muncul dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993. Istilah “informatika” juga pertama kali dipakai di GBHN ini.

Selain soal teknologi, GBHN 1993 juga memperlihatkan budaya politik saat itu yang menyatakan bahwa walaupun penggunaan teknologi informasi modernisasi infrastruktur juga harus sesuai dengan tujuan umum menciptakan landasan politik yang konstitusional berdasarkan demokrasi Pancasila dan mendorong mobilisasi masyarakat dalam pembangunan.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi, membawa pengaruh dalam dinamika masyarakat. Kondisi demikian, di satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat karena memberi kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktivitas terutama yang terkait dengan pemanfaatan informasi, namun di sisi lain juga melahirkan persoalan di masyarakat sebagai akibat penggunaan sistem ini.

Akses terhadap saluran informasi melalui internet, yang jelas, dirasakan dampaknya dalam perpolitikan di Indonesia, khususnya di kalangan LSM dan aktivis mahasiswa, dan di kalangan elite sipil dan militer (Winters, 2000). Ketika tabloid Detik, majalah Editor dan Tempo ditutup pemerintah rezim Soeharto pada tahun 1994 sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan media cetak dan elektronik Indonesia, internet membebaskan ketertutupan informasi. Lewat situs Apakabar yang dimoderatori Dr John A MacDougall, Indonews kemudian juga Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif informasi yang tidak bisa didapatkan lewat media cetak dan elektronik, bisa tersebar luas di kalangan
masyarakat.

Teknologi informasi dimanfaatkan secara maksimal untuk melakukan analisis, networking dan koordinasi. Ledakan aktivisme politik yang dibahanbakari internet ini kemudian berhasil mengejutkan rezim Soeharto. Ia dan pembantu-pembantunya seakan-akan terperangkap di masa lalu, dimana kekuasaan dapat dipertahankan semata-mata dengan mengintimidasi majalah, koran dan televisi.

Media internet dapat menggabungkan kelebihan media cetak (ketahanan informasi) dan elektronik (kecepatan menyampaikan isi berita dan penyajian yang terinci) sekaligus walau dalam skala yang sangat kecil dibanding media aslinya. Mengikuti tantangan zaman itulah, kemudian hadir pula versi online beberapa suratkabar seperti Media Indonesia, Kompas, Republika, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan dan sebagainya; majalah Tempo, Gatra, Gamma, Femina, Kosmopolitan dan lain-lain untuk majalah online.

Mailing list, dengan email mutakhir yang berisi pesan suara, teks maupun grafis ke banyak pemakai, membuat banyak kalangan berminat bergabung dalam jaringan. Topik diskusi atau percakapan yang semula berkisar soal ilmu pengetahuan, kini meluas. Informasi dari politik, teknik sampai erotik hadir di sini. Public domain ini menggantikan matriks demokrasi politik seperti di kafe, taman, sudut jalan, yang diistilahkan Jurgen Habermas sebagai public sphere (ruang publik).

Diakui atau tidak, teknologi informasi banyak berperan memungkinkan terciptanya pemerintahan yang transparan, anti KKN dan lebih dekat dengan rakyatnya. Secara gamblang, Julianne Schultz (1994) mengatakan, teknologi informasi mempengaruhi kemampuan masyarakat berfungsi dalam masyarakat demokrasi dan teknologi itu juga mempengaruhi hakikat demokrasi itu sendiri.

Selain ancaman komersialisasi, persoalan yang menghambat teknologi informasi bisa berperan lebih luas dan signifikan adalah masalah akses, kultur penyelenggara negara dan kesadaran masyarakat serta aturan macam apa yang dibuat pemerintah dalam mengatur teknologi ini. Dalam mengakses teknologi informasi, antaranegara tidak sama. Apalagi jika dibandingkan antara negara maju dan negara dunia ketiga, terjadi digital divide (kesenjangan digital).

Untuk ukuran Asia saja, Indonesia tergolong sebagai negara dengan jumlah pengakses internet sangat kecil. Sehingga, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan wilayah yang begitu luas, isu akses ini menjadi persoalan yang signifikan.


Teknologi Informasi dalam Perspektif Marcuse
Jika dikaitkan dengan pembebasan dari irasionalitas masyarakat modern Herbert Marcuse, perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dapat dikategorikan dalam kecenderungan kedua yang bakal terjadi pada masyarakat modern. Yaitu, akan terjadinya perubahan sosial yang bisa membawa perubahan sejati. Masyarakat modern dengan kebebasan yang tidak terkunci rapat.

Perkembangan teknologi informasi di Indonesia memungkinkan kemudahan mendapatkan informasi. Seperti dijelaskan sebelumnya, teknologi informasi, lewat internet, berdampak pada perubahan politik di Indonesia dengan hadirnya kelas revolusioner, intelektual ‘sehat’ yang belum dibekukan sistem yang ada, dalam hal ini mahasiswa dan aktivis LSM. Seperti diakhir kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharo. Ledakan aktivisme politik ini kemudian berhasil mengejutkan rezim Soeharto dan menumbangkannya.

Hal itu terjadi karena Soeharto dan pembantu-pembantunya seakan-akan terbuai dengan dengan kecenderungan fase pertama masyarakat modern seperti dikatakan Marcuse, bahwa pada masa mendatang tidak mungkin terjadi perubahan sosial kualitatif karena masyarakat industri modern mampu mencegahnya. Penindasan yang dilakukan dengan membungkam majalah, koran dan televisi—dimensi-dimensi yang tidak setuju atau sesuai dengan sistem yang diberlakukan—dibebaskan ketertutupan informasi tersebut dengan hadirnya media perlawanan lewat internet seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online maupun Tempo Interaktif

Selain munculnya kepekaan dan kesadaran baru yang datang dari kelompok pembaharu dalam masyarakat, seperti disebutkan sebelumnya yaitu mahasiswa dan para aktivis LSM, teknologi informasi telah menjadi sumber kekuatan pembebasan. Kekuatan baru ini, seperti yang diambil Marcuse dari ajaran Karl Marx bahwa kekuatan baru bukan sesuatu yang harus dibuang atau dihentikan tetapi hanya dihilangkan sifatnya yang represif.

Hanya saja, analisis lebih jauh pemanfaatan teknologi informasi ini di Indonesia secara lebih luas dalam kehidupan masyarakat menurut pandangan Marcuse, perlu diuji mengikuti tesis pokok Marcuse ke dalam tiga segi kehidupan: sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Jika dilihat berdasar segi sosial-ekonomi, adalah benar yang dikatakan Marcuse bahwa secara ekonomis kemajuan yang pesat dari teknologi makin membebaskan manusia dari cucuran keringat dan kerja kasar mencari nafkah.

Namun, kata Marcuse, hal tersebut baru nampak luar saja yang bisa mengelabui mata. Untuk itu, pemanfaatan teknologi informasi ini perlu dilihat apakah hal itu juga membawa perbaikan di lain bidang seperti moral, kebudayaan dan kehidupan keagamaan misalnya. Kemudian juga, pelru dilihat apakah teknologi informasi ini telah menjadi ungkapan kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan pada massa. Sehingga potensi pembebasan hanya menjadi alat perbudakan baru.

Bila dikaji, memang pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia telah mengubah kehidupan dengan adanya kemudahan dalam mengakses informasi, membuat hidup enak dimana mereka yang memanfaatkan teknologi ini terbebas dari cucuran keringat dan kerja kasar untuk mencari nafkah. Namun, tidak dapat dihindari dengan adanya dampak-dampak negatif yang muncul dalam moral, kebudayaan maupun agama.

Seperti, cenderung meningkatnya kejahatan yang terkait dengan teknologi informasi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dan uniknya, meski penetrasi teknologi ini masih rendah (sekitar satu persen dari jumlah penduduk), nama Indonesia ternyata mendominasi kejahatan berbasis teknologi informasi di dunia. Menurut catatan Markas Besar Kepolisian RI, pelaku kejahatan jenis baru ini, 98 persen orang Indonesia.

Dalam catatan The John Marshall Law School Chicago, Amerika Serikat, setidaknya ada 30 jenis kejahatan yang berkaitan dengan dunia cyber. Termasuk di dalamnya, hacking, cracking, carding, perjudian online, hak atas kekayaan intelektual, perlindungan anak-anak dan sebagainya. Dengan ramainya terorisme, diwaspadai pula lalu lintas informasi para teroris lewat jaringan superhighway ini.

Hal lain yang terkait dengan isu ini adalah soal pornografi. Saat ini, banyak banyak situs yang khusus menampilkan gambar-gambar perempuan Indonesia tanpa busana. Bahkan, tidak segan-segan situs-situs tersebut menarik bayaran dari para penikmat ‘keindahan virtual’ tersebut. Seperti, situs Exotic Azza, JavaSweet ataupun Pramuria. Gambar-gambar dan cerita-cerita berbau pornografi pun dapat dibaca lewat mailing list maupun situs. Mailing list yang cukup ramai peminatnya adalah Indonesia Naked Girls dan Cewek Bugil. Sedang yang cukup kesohor dengan cerita-cerita seks adalah situs Ceritaseru dan situs 17tahun.com.

Sedang dalam kaitannya apakah teknologi informasi hanya menjadi ungkapan prbadi atau golongan yang dipaksakan pada massa, jawabannya adalah pada satu sisi teknologi ini mempunyai potensi pembebasan, namun di sisi lain bisa juga sebagai alat perbudakan baru. Seperti dipaksakannya pengakses ketika membuka situs semacam yahoo.com dengan iklan-iklan yang tidak dikehendaki. Sistem kapitalisme juga dikembangkan dengan keharusan membayar untuk akses situs-situs tertentu.

Berdasar segi sosial-politik, apa yang dikatakan Marcuse bahwa tidak bisa diterima lagi pendapat yang mengatakan teknologi bersifat netral, dapat dibenarkan. Teknologi informasi pun tergantung penggunaannya. Hanya saja, kekuatannya menjadi alat politik penindasan yang ampuh yang menyebabkan masyarakt kehilangan fungsi kritisnya, dengan berbagai fenomena yang telah dipaparkan justru teknologi ini pada beberapa hal justru melahirkan fungsi kritis dalam masyarakat. Teknologi ini mampu menjadi alat pengendali sosial untuk menghadirkan perubahan sosial kualitatif.

Dalam segi sosial-budaya, apa yang dikatakan Marcuse bahwa media menjadi alat efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan prilaku satu dimensi, teknologi informasi pun berpotensi ke arah tersebut. Termasuk mendukung pemikiran kemapanan dan menentang pemikiran-pemikiran kritis. Namun, banyak terjadi juga sebaliknya. Dengan internet, kemudian hadir pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.

Jika membaca Human Development Report (HDR) UNDP dalam dua tahun terakhir. HDR 2001 yang bertemakan teknologi (“Making New Technology for Human Development”) dan HDR 2002 tentang demokrasi (“Deepening Democracy in a Fragmented World”), jelas bahwa teknologi informasi membuka ruang baru, yang seperti dikatakan Habermas dengan public sphere, menjadikan kehidupan yang lebih demokratis. Dan keduanya, mempunyai peran yang signifikan dalam pembangunan yang berpusat pada manusia (human development).

Namun perlu diakui, dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa ini, selain pemerintah selalu memainkan peranan penting dalam menentukan pemanfaatan dan perkembangan teknologi informasi di Indonesia, juga diperlihatkan bahwa penggunaan teknologi informasi dijadikan alat untuk menciptakan landasan politik yang konstitusional berdasarkan demokrasi Pancasila dan mendorong mobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Ini merupakan arah ‘satu-dimensionalita’ dimana kritik dan kebebasan berpikir hanya dalam rangka status quo, tidak pernah boleh keluar daripadanya.

Perlu ditegaskan, tentunya peran dan pemanfaatan teknologi informasi dalam masyarakat Indonesia, akan sulit menjangkau bentuk masyarakat bebas seperti dicita-citakan Marcuse yang ditandai adanya kepemilikan, perencanaan dan pengaturan bersama alat-alat produksi dan distribusi seperti pada masyarakat sosial, meski belum mencukupi. Namun begitu, apa yang dicita-citakan Marcuse sesungguhnya, dalam pandangan Sudarminta (1982:165) terlalu utopis, jauh dari realitas yang dapat diwujudkan.

Dan terakhir, perlu diingat bahwa kritik Marcuse mengenai manusia satu dimensi ini dialamatkan pada negara-negara industri maju dengan tingkat ekonomi yang sudah cukup tinggi. Sehingga, meski perkembangan teknologi informasi telah mempu menjangkau banyak orang di Indonesia dan berperan dalam perubahan sosial politik, ‘satu-dimensionalita’ yang dimaksud Marcuse belum menjadi berarti. Apalagi dengan angka teledensitas (penetrasi telepon untuk 1000 penduduk) yang masih pada angka 30-an untuk 220 juta penduduk serta masih ada ribuan desa yang belum telepon tersentuh telepon dasar.

Walau belum merupakan masalah, dengan globalisasi seperti sekarang ini, perubahan konstelasi kehidupan dunia perlu dicermati. Pengalaman pahit yang dihadapi negara-negara maju dengan orientasi industrialisasi ternyata menimbulkan masalah yang tidak mudah diselesaikan. Ini artinya, dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi, kebijakan yang ditempuh jangan sekadar meniru negara yang sudah maju, namun perlu diingat situasi, kondisi, masalah-masalah dan cara-cara menghadapinya. Kenyataan-kenyataan yang ada tersebut diharapkan dapat memunculkan arti dan tujuan sebenarnya pemanfaatan teknologi ini, yang dalam lebih luas terkait dengan pembangunan bangsa.

14 Oktober 2008

Pandangan Marcuse Tentang Masyarakat Modern


Herbert Marcuse merupakan seorang anggota Institut Sosial di Frankfurt, Jerman, lembaga yang mengadakan riset-riset di bidang sosial. Lahir di Berlin pada 1898 dan memperoleh pendidikan tinggi di Berlin serta Freiburg. Menjelang Hitler berkuasa (1932), Marcuse melarikan diri dari Jerman ke California, Amerika Serikat. Di California, Marcuse merupakan guru besar filsafat politik di Kampus San Diego, Universitas California.

Ketika dunia sedang ramai memperbincangkan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat dan bahaya yang mengancam akibat pesatnya kemajuan teknologi, Marcuse hadir dengan kritik yang menyebutkan bahwa masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Dalam bukunya “One-Dimensional Man”, Marcuse melihat masyarakat modern sebagai masyarakat berdimensi satu. Maksudnya, segala segi kehidupan diarahkannya pada satu tujuan saja, yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme. Karena satu tujuan, itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi yang lain yang tidak setuju atau sesuai dengan sistem tersebut.

Hal tersebut bisa lancar dan efektif dilaksanakan karena teknologi modern dengan kemampuannya menciptakan kemakmuran bagi warganya dan pengaturan masyarakat yang serba rasional dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup yang pada tahap-tahap masyarakat sebelumnya menimbulkan protes dan konfik sosial. Sehingga, masyarakat yang tinggal dalam masyarakat tersebut dibuat menjadi pasif dan reseptif, serta tidak lagi menghendaki perubahan.

J. Sudarminta (1982) memetakan tesis pokok Marcuse ke dalam tiga segi kehidupan masyarakat: sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Dalam segi sosial-ekonomi, Marcuse mengakui bahwa secara eknomis masyarakat industri dewasa ini bertambah kaya, hidup manusia makin enak, lancar dan teratur. Kemajuan yang pesat dari teknologi dan ilmu pengetahuan makin membebaskan manusia dari cucuran keringat dan kerja kasar untuk mencari nafkah.

Tapi menurut Marcuse, semua itu baru luarnya saja yang bisa mengelabui mata, namun belum menyangkut hakekat manusia seutuhnya. Kemajuan di bidang material perlu ditinjau apakah hal itu juga membawa perbaikan di lain bidang seperti moral, kebudayaan dan kehidupan keagamaan, misalnya. Untuk itu perlu diselidiki dan ditanyakan apakah motivasi perkembangan yang terjadi sekaran ini, bagaimana proses terjadi dan akibat-akibat negatif yang mungkin ditimbulkan.

Teknologi yang dalam masyarakat industri modern sangat menentukan, menurut Marcuse, telah menjadi ungkapan kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan pada massa. Hal itu menyebabkan potensi pembebasan yang ada dalam teknologi tenggelam dan muncul sebagai alat perbudakan baru. Masyarakat industri modern tetap menjadi masyarakat teralienasi karena mengasingkan manusia-manusia yang menjadi warganya dari kemanusiaannya.

Dalam segi sosial-politik, Marcuse beranggapan bahwa masyarakat industri modern, berkat penguasaan dan pengaturannya atas teknologi, cenderung ke arah totaliterisme. Daya kekuatan mesin yang melampaui tenaga manusia menjadi alat politik yang paling ampuh. “Rasionalitas teknologis” menampakkan sifat politisnya dengan menjadi alat penindasan yang lebih ampuh. Sehingga, masyarakat kehilangan fungsi kritisnya. Teknologi juga menjadi alat pengendali sosial dengan kemampuannya mencegah timbulnya perubahan sosial kualitatif.

Dihadapkan pada sifat totaliter masyarakat industri maju, pengertian tradisional bahwa teknologi bersifat netral, tidak lagi dapat diterima. Teknologi tak dapat dipisahkan dari penggunaannya. Masyarakat teknologis merupakan suatu sistem dominasi yang sudah bekerja dalam konsep dan konstruksi teknik sendiri yang secara apriori menemukan tuntutan-tuntutannya.

Dalam segi sosial-budaya, Marcuse melontarkan kritiknya atas pola budaya masyarakat yang terlibas sistem yang ada. Seperti dalam seni dan sastra, karya-karya seni atau sastra yang sungguh-sungguh memenuhi fungsinya ada pada masa sebelum rasionalitas teknologis seperti sekarang ini. Saat ini, kebudayaan telah dicangkokkan pada kenyataan yang ada, kehilangan hakekat dan kebenarannya.

Bukan hanya seni atau sastra saja yang diperalat rasionalitas teknologis, namun juga penggunaan bahasa pada umumnya. Media massa menjadi alat yang paling efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan prilaku satu dimensi. Bahasa yang dipakai sehari-hari mendukung pemikiran kemapanan dan menentang pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.

Marcuse juga mengkritik filsafat ilmu pengetahuan dewasa ini yang bersifat positivistik dan menekankan operasionalisme. Ilmu pengetahuan modern menurutnya bukan hanya secara empiris saja berhubungan dengan teknologi, namun juga secara konseptual. Arah perkembangan ilmu pengetahuan modern juga ikut melanggengkan kelangsungan dominasi dalam masyarakat.

Pembebasan dari Irasionalitas Masyarakat Modern
Untuk membebaskan manusia dari irasionalitas masyarakat modern, Marcuse menyampaikan gagasannya melalui dua fase (Sudarminta, 1982). Fase pertama ada dalam One-Dimensional Man (1964) dan fase kedua lewat buku An Essay on Liberation (1969). Pada fase pertama, nampak Marcuse pesimis akan kemungkinan adanya jalan keluar.

Menurut hipotesisnya, ada dua kecenderungan yang bakal terjadi pada masyarakat modern. Pertama, pada masa yang akan datang tidak mungkin terjadi perubahan sosial kualitatif karena masyarakat industri modern mampu mencegahnya. Kedua, munculnya kekuatan-kekuatan dan kepekaan baru yang akan mematahkan dan menggerakkan masyarakat. Namun menurut Marcuse, kecenderungan pertamalah yang dominan. Karena itu, dalam fase pertama Marcuse merasa menemui jalan buntu.

Dalam fase kedua, Marcuse lebih optimis akan terjadinya perubahan sosial kualitatif yang bisa membawa perubahan sejati. Adapun masyarakat yang dicita-citakan Marcuse adalah tidak seperti masyarakat modern yang ruang kebebasannya terkunci rapat-rapat. Bentuk masyarakat bebas ditandai, mula-mula, adanya pemilikan, perencanaan dan pengaturan bersama alat-alat produksi dan distribusi. Keadaan tersebut akan menciptakan sendiri dorongan untuk bekerja, bukan sebagai keharusan atau dipaksakan dari luar untuk dapat hidup.

Untuk dapat mencapai masyarakat yang dicita-citakan tersebut, Marcuse menekankan perlunya kelas revolusioner untuk timbulnya perubahan sosial. Kelas revolusioner yang dibayangkan Marcuse menjelang tahun 1970-an adalah segolongan kecil dalam masyarakat, kelompok intelektual yang ‘sehat’ dan belum dibekukan dalam sistem yang ada. Marcuse sendiri lebih menaruh perhtian pada kekuatan pembebasan dari kaum muda khususnya mahasiswa. Kekuatan pembebasan mereka murni karena merupakan ungkapan dorongan naluriah akan kebebasan, tidak menggunakan kekerasan baik fisik maupun senjata serta penggunaan
bahasa yang melawan bahasa yang sudah mapan.

Untuk melakukan perombakan sosial, Marcuse merasa perlunya menanamkan suatu dasar ‘biologis’ untuk pembebasan. Perombakan sosial yang mencapai dasar terdalam ini menuntut adanya perombakan dalam pola kebutuhan manusia, arah dan lembaga baru serta hubungan produksi yang sama sekali berbeda bahkan bertentangan dengan apa yang ada dalam masyarakat sebelumnya.

Adapun sumber kekuatan pembebasan, selain munculnya kepekaan dan kesadaran baru yang datang dari beberapa kelompok radikal dalam masyarakat, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membawa suatu kekuatan baru dalam bidang produksi yang sekaligus merupakan sumber kekuatan pembebasan. Sehingga, sesuai ajaran revolusi Karl Marx, kekuatan baru itu bukan sesuatu yang harus dibuang atau dihentikan perkembangannya melainkan hanya dihilangkan sifatnya yang represif, yang memperbudak manusia.

“…technological rationality, stripped of its exploitative feature, is the sole standard and guide in planning and developing the available resources for all”. (Marcuse, 1964)

07 Oktober 2008

ICT, Negara Dunia Ketiga dan Teori Kritis

Tranformasi teknologi saat ini terjalin transformasi lain, globalisasi, menciptakan paradigma baru yaitu era jaringan. Tak ada individu, lembaga kemasyarakatan, bisnis maupun pemerintah yang dapat mengabaikan perubahan ini. Kombinasi transformasi teknologi dan globalisasi yang menciptakan era jaringan, membuat teknologi tingkat lanjut menjadi semakin cepat dan fundamental. Ada tiga bidang yang memimpin transformasi ini, yaitu teknologi komunikasi dan informasi, bioteknologi dan, yang baru muncul, nanoteknologi.


Teknologi komunikasi dan informasi melibatkan inovasi dalam dunia mikroelektronik, komputer (hardware dan software), telekomunikasi dan opto-elektronika. Perkembangan dalam dunia teknologi informasi di berbagai sektor bisa disebut sebagai revolusi komunikasi. Dunia menjadi begitu sempit dan manusia bisa berkomunikasi dengan amat sangat cepat di manapun berada dengan kehadiran internet, telepon selular (Ponsel) maupun satelit.



Salah satu fokus diskusi dampak politik teknologi informasi saat ini adalah demokratisasi. Teknologi informasi diharapkan berperan besar dalam pembangunan demokrasi bangsa disebabkan karena biaya implementasi yang murah, penyajian informasi yang cepat, jangkauan yang luas serta bebas sensor yang memungkinkan informasi yang diterima bersifat transparan.
Dalam tulisannya berjudul “Universal Suffrage? Technology and Democracy” Julianne Schultz (1994) mengatakan bahwa teknologi memiliki kapasitas mengubah apa yang kita ketahui, apa yang kita percayai, apa yang kita lakukan, bagaimana kita melakukannya dan bahwa siapa diri kita sebenarnya. Kemampuan adaptif teknologi, terutama jika diterapkan dalam lingkungan yang dideregulasi, memiliki kapasitas untuk mempengaruhi kemampuan warga masyarakat berfungsi di sebuah masyarakat demorkasi. Sebab itulah, teknologi berpotensi mempengaruhi hakekat demokrasi itu sendiri.


Dalam pandangan David F. Andersen (1991), teknologi informasi modern mempengaruhi pemerintahan dan dengan juga politik dengan empat cara. Pertama, teknologi baru dapat mengubah rincian tahap-tahap operasi pemerintahan. Kedua, teknologi secara halus mengubah hubungan antar pemimpin pilihan masyarakat denga para pakar teknologi di pemerintahan. Ketiga, akan terjadi perubahan karakter pemerintahan sebagai sumber informasi bagi masyarakat. Dan keempat, perkembangan teknologi akan mengubah tanggung jawab pemerintah sebagai pemilik informasi publik.


Berdasar pendapat Andersen tersebut, maka akan timbul tuntutan-tuntutan baru terhadap pemerintahan, seperti transparansi, kebebasan berbicara serta kebebasan memperoleh informasi, yang merupakan pilar demokrasi. Transparansi dalam perencanaan membuat institusi bekerja lebih baik. Penggunaan teknologi informasi membuat anggaran pendapatan dan pengeluaran terefleksikan secara benar dan akurat (HDR, 2001).


Kebebasan berbicara dan kebebasan memperoleh informasi dapat tergambarkan dengan kehadiran situs-situs maupun berhimpunnya pengguna internet dalam mailing list. Lewat berbagai situs berita, yang menurut penelitian Online News Association (ONA) situs-situs berita layak dipercaya, peristiwa yang terjadi begitu cepat menyebar ke masyarakat dalam hitungan detik. Bahkan dengan streaming media, internet dapat menyajikannya secara langsung dari lapangan.


Mailing list, dengan email mutakhir yang berisi pesan suara, teks maupun grafis ke banyak pemakai, membuat banyak kalangan berminat bergabung dalam jaringan. Topik diskusi atau percakapan yang semula berkisar soal ilmu pengetahuan, kini meluas. Informasi dari politik, teknik sampai erotik hadir di sini. Public domain ini menggantikan matriks demokrasi politik seperti di kafe, taman, sudut jalan, yang diistilahkan Juergen Habermas (1989) sebagai public sphere (ruang publik).


Dalam hal penerapan teknologi informasi di negara berkembang, dua karakter dominan segera muncul, yaitu, pertama, dominasi pemerintah atas komponen lainnya di dalam masyarakat serta, kedua, ketergantungan total pada transfer teknologi dari negara maju. Sebagaimana halnya di negara maju, pemerintah negara berkembang mempelopori penggunaan komputer untuk administrasi dan riset ilmu pengetahuan dan teknologi. Perbedaannya adalah jika di negara maju kemudian pihak swasta menyusul bahkan mengambilalih peran pemerintah dalam pengembangan teknologi informasi, di banyak negara berkembang pemerintah sering menjadi satu-satunya tumpuan pengembangan.


Dalam hal ketergantungan teknologi pada negara maju, hal itu sudah merupakan ciri sejak awal difusi teknologi ini, baik sebagai bagian dari upaya untuk memodernisasi diri maupun pinjaman yang bersifat pemerintah ke pemerintah maupun government to government maupun berasal perusahaan multinational, yang meyakinkan bahwa teknologi informasi bisa membantu negara berkembang dalam berbagai bidang.


Persoalan tranfer teknologi dan penerapan TI di negara berkembang ini, seperti dikatakan Arnold Pacey (1983) sebagai ”sebuah pandangan tentang teknologi yang berawal dan berakhir dengan mesin”. Hal itu terjadi karena cara orang mendekati masalah dimulai dengan adanya sesuatu yang harus diperbaiki secara teknis sambil berbicara tentang terobosan teknologi. Padahal persoalannya tak sesederhana itu karena di dalamnya terkait dengan perangkat hukum yang mengatur penggunaan teknologi ini, budaya termasuk juga sumber daya manusia.


Namun di sisi lain, seperti negara maju, pemerintah negara berkembang juga menghadapi tekanan dari tumbuhnya aspirasi menuju masyarakat yang lebih demokratis. Publik kian sadar untuk memanfaatkan sebesar-besarnya penerapan teknologi informasi dan menjadikan seluruh proses tersebut sebagai proses pembelajaran daripada sekadar mengadaptasi sistem secara terus-menerus sesuai perkembangannya.

Kebijakan Teknologi Informasi
Menyikapi “ledakan” teknologi baru, Douglas Kellner (1997) mengatakan, di satu sisi, hiburan dan informasi dalam teknologi dan revolusi informasi merupakan bagian dari penciptaan masyarakat infotainment yang merupakan bagian dari restrukturisasi kapitalisme global. Namun di sisi lain, Kellner juga melihat potensi demokrasi, kemandirian dan pemberdayaan serta transformasi sosial yang progresif, dalam membangun sosial dan budaya baru dan mungkin ruang publik baru, yang bukan sekadar komunitas maya belaka.


Sementara itu, Robert W. McChesney (1996) melihat bahwa saat ini ada dua kecenderungan yang menandakan revolusi teknologi komunikasi dan informasi. Pertama, adanya konsentrasi korporasi yang cepat dalam industri media, sejalan dengan arah globalisasi. Televisi, radio, koran, majalah, buku, perusahaan rekaman telah menjadi industri global yang didominasi oleh sejumlah korporasi sehingga terbentuklah pasar oligopolistik global.


Dalam pandangan Chesney, pasar media global hanya akan didominasi kurang dari 24 perusahaan besar. Dengan tiga konglomerat media paling dominan adalah Time-Warner, Walt Disney Company dan New Corporation (Fox). Tak pelak, perusahaan media global sekarang dan masa depan, dibentuk oleh penyebaran komersialisasi, deregulasi dan privatisasi.
Kedua, perkembangan komunikasi digital dan teknologi yang berhubungan. Di satu pihak, digitalisasi mendorong komunikasi global menjadi instan dan murah yang berimplikasi mendorong terjadinya konglomerasi dan integrasi vertikal karena semua bentuk komunikasi berubah menjadi format digital dan produk media menjadi mudah ditransfer antargender. Di pihak lain, komunikasi digital dapat melemahkan kemampuan komunikasi yang diatur dalam aturan hierarki tradisional.


Komunikasi digital juga mencakup konvergensi media, telekomunikasi dan industri komputer. Konsekuansinya, pertama, kombinasi industri media, telekomunikasi dan komputer membuat sektor ini sebagai penghasil terbesar dan tercepat dari ekonomi global. Berdasarkan kapitalisme pasar, 3 dari 4 badan terbesar dan 13 dari 50 besar badan di dunia terjun dalam sektor ini. Karenanya dapat dikatakan, sektor ini berada pada jantung kapitalisme global yang membuat pekerjaan menjadi lebih sulit di satu sisi dan kian penting di sisi lain.


Konsekuensi kedua, lingkungan baru dan ketidakpastian mengenai masa depan industri media, telekomunikasi dan komputer. Sebab jika internet atau beberapa jaringan komputer digital seperti ini mendominiasi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana nasib perusahaan media tradisional?


Sebab seperti dikatakan Jeffrey Layne Blevins (1999), meski internet hadir sebagai ruang komunikasi tanpa dominasi dan lebih desentralisasi, namun ada kecenderungan oligarki media untuk mengkolonisasi ruang cyber. Sehingga artinya, walau internet dengan jelas telah membuka ruang penting bagi komunikasi lebih maju dan bebas, memperbolehkan nilai-nilai kemanusiaan melompati kapitalisme dan perusahaan komunikasi, dirasa meragukan. Kecuali, jika kebijakan publik itu sendiri secara keras membatasi kehadiran kolonisasi kapitalis dalam ruang cyber ini.


Dalam pandangan Jean-Benoit Zimmermann (1990), yang penting dicatat dalam perkembangan industri teknologi informasi di dunia adalah indutri ini ditemukan oleh korporasi besar, mapan dan bersifat multinasional serta mengarah pada oligopoli. Sehingga, peran dunia ketiga cukup lemah dalam pasar komputasi global.


Karena itu, kehadiran internet sebagai bentuk revolusi komunikasi tetap mengundang pertanyaan apakah media ini bisa berfungsi sebagai ruang publik? Kalau dapat, tentunya selain ancaman kapitalisme global, adalah bagaimana perannya untuk ikut mendorong terciptanya demokrasi mengingat, pertama, internet hanya dapat dimiliki oleh lapisan tertentu dalam masyarakat, umumnya kalangan elit, dan penyebarannya yang belum menjangkau hingga pelosok. Dan kedua, komunikasi antarindividu dalam internet bukanlah interaksi face to face melainkan hanyalah berupakan “kedipan piksel” di layar monitor.


Fokus diskusi dampak politik internet dalam kaitan dengan demokratisasi adalah public sphere. Isu ruang publik merupakan jantung rekonseptualisasi demokrasi. Menariknya, matriks demokrasi politik seperti coffee house, public square, town hall, taman sudut jalan dan banyak tempat yang dibanggakan Juergen Habermas, pengonsep public sphere, tidak lagi menjadi tempat untuk diskusi dan aksi politik. Perannya digantikan televisi, koran, majalah, fotografi, yang merupakan public domain. Tempat dimana dan berarti publik diciptakan dan sedang terjadi (John Hartley, 1992).


Memang dalam melihat emansipasi politik dalam penggunaan kata “publik”, “berbicara” dan pertemuan “tatap muka” cukup membingungan dan kompleks. Selain hanya hal itu hanya berupa “kedipan elektronik”, juga karena piksel-piksel itu dikirim oleh individu dari lokasi-lokasi yang berbeda, jauh dan mungkin juga belum pernah bertemu.
Namun oleh Paul Virilio dikatakan, sejak saat ini ruang publik juga bisa diciptakan dan berlangsung melalui tampilan elektronik di layar monitor. Kata “publik” yang cenderung lebih mengarah ke “publisitas” sebagai “ karakter” digantikan dengan “gambar”.


Sementara itu, Nancy Fraser (1990) dalam “Rethinking the Public Sphere” mengatakan, ruang publik merupakan lawan dari ruang pribadi (private sphere), dalam hal “berbicara”. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan Mark Poster (1995), bagaimana internet dengan komunitas virtual, kafe elektronik, bulletin board, email, konferensi komputer atau video, dapat dibedakan antara yang publik dan pribadi.


Apa yang ditanyakan Poster, secara jelas dijawab Judit Perrole (1991). Menurutnya, kondisi ideal berbicara lewat internet tidak tercapai. Hal itu karena pembicaraan terdistorsi oleh kontrol mesin. Apa yang jadi pembicaraan lebih sebagai karateristik logika mesin daripada sebuah hasil interaksi manusia.


Di tengah perdebatan, yang jelas, setiap media massa, dari cetak hingga elektronik, memiliki karakteristik yang berbeda-beda dengan keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Jika lewat media seperti novel dan televisi, meski interpretasi individu dilakukan oleh mereka sendiri, namun para pembaca atau penonton bukanlah menjadi sasaran langsung tapi sebagai khalayak umum. Sedang lewat internet, individu membaca dan menginterpretasikan komunikasi menurut dirinya sendiri pada orang lain, merespons dan mentransmisikannya.


Dan yang patut menjadi perhatian, internet mendobrak eksistensi media mainstream. Internet juga merupakan sebuah teknologi yang meletakkan kegiatan budaya, simbolisasi dalam semua bentuk, dapat dipakai semua orang, dan secara desentralisasi merupakan posisi dari percakapan, publikasi, pembuatan film, radio dan pertelevisian.


Dalam perspektif ekonomi politik liberal, pasar mempunyai “kebebasan” yang paling seluas-luasnya dalam beroperasi (Golding dan Murdock, 1996). Sebab dalam pemikiran pandangan ini, fokus perhatian adalah pertukaran pasar antara konsumen dan komoditas kompetitif. Lebih jauh, ekonomi politik liberal bercaya bahwa privatisasi layanan publik dan komunikasi adalah lebih baik karena menambah pilihan konsumen.


Ancaman yang mungkin muncul dari perspektif tersebut adalah konglomerasi media. Dengan media konglomerasi, dimana korporasi memiliki beberapa macam produksi dan distribusi media, dari hilir sampai hulu (vertical integration), para konglomerat dapat mensirkulasikan produksinya melalui media berbeda dalam satu korporasi. Yang dikhawatirkan Blevins (1999), kreativitas produksi akan menurun dan lebih terfokus pada persoalan mendapatkan keuntungan.


Senada dengan Blevin, EM Lenert (1998) dengan gamblang mengatakan bahwa teknologi informasi dan world wide web merupakan penerus tradisi demokrasi yang hebat. Karenanya penting untuk menentukan bagaimana teknologi ini diatur dengan konsekuensi sosialnya harus melawan asumsi yang mengatakan liberalisasi sama dengan demokratisasi. Privatisasi, katanya, berati komersialisasi, bukan demokrasi.

06 Oktober 2008

Persuasi Dalam Politik (3): Kampanye

Menurut Dan Nimmo, kampanye persuasif dalam politik kontemporer mengandalkan tiga teknik yang membentuk jenis-jenis komunikasi yang relevan dengan opini publik. Pertama, karena persuasi adalah proses dua arah, timbal-balik, persuader harus menyesuaikan imbauannya dengan titik pandang pendengar karena seperti kata Wilbur Schramm (1948) “khalayak memilih komunikasi yang mereka anggap menyenangkan.”

Kedua, karena persuasi adalah proses satu ke banyak dan juga satu ke satu, persuader menggunakan teknologi yang tepat untuk menyebarkan pesan kepada anggota kelompok (untuk propaganda), individu (untuk periklanan) atau kolaborator yang potensial (untuk retorika). Hal tersebut melibatkan pemilihan antara teknologi lisan, cetakan atau elektronik sebagai media.

Dan ketiga, persuader memilih sarana dan gaya linguistik yang tepat untuk menuangkan propaganda, periklanan atau retorikanya. Alfred McClung Lee dan Elizabeth B. Lee (1939) menurunkan tujuh sarana untuk merangkum berbagai teknik persuasi terpenting dengan memanfaatkan kombinasi kata, tindakan dan logika. Ketujuh sarana tersebut meliputi: label (name calling), iming-iming (glittering generalities), transfer, kesaksian (testimonial), merakyat (plain folks), memupuk kartu (card stacking) dan gerobak musik (bandwagon).

Adapun gaya penyajian persuasif, perbedaan yang paling umum adalah yang singkat dan bertele-tele, yang dibakukan dan dikontraskan serta yang panas dan dingin. Selain gaya-gaya persuasif umum, ada gaya-gaya retoris yang mengungkapkan imbauan khusus seperti ekshortif, legal, birokratis, tawar-menawar, tertutu/terbuka.

Saluran Persuasi
Perhatian pada saluran persuasif di sini adalah yang digunakan dalam kampanye pemilihan jabatan. Dalam setiap pemilihan, terdapat unsur-unsur propaganda, periklanan massa dan retorika. Dalam pelaksanaan kampanye politik pada tiga bentuk persuasi tersebut, diperlukan penggunaan rencana kampanye dan konsep kampanye total. Namun yang terpenting dari persiapan rencana kampanye adalah perumusan ide kampanye.

Untuk melaksanakan ide, ada empat segi rencana kampanye yang melandasinya: ada formasi awal dari organisasi kampanye, bagaimana mengumpulkan dana dan menggunakannya, bagaimana melalukan riset untuk mendapat informasi yang diperlukan mengenai pemilih, lawan politik dan masalah yang ada, serta bagaimana menyampaikan pesan kandidat.

Berjalannya konsep kampanye total, jika rencana kampanye menggunakan komunikasi kampanye. Dalam politik kontemporer, kebanyakan kampanye meraih sukses jika melebur berbagai media ke dalam penampilan yang seimbang dan persuasif secara menyeluruh. Dengan kecenderungannya ialah memanfaatkan kekuatan relatif setiap media dengan suatu kombinasi.

Dan Nimmo membagi jenis kampanye menjadi tiga: kampanye masa, antarpribadi dan organisasi. Dalam kampanye massa, kampanye dapat dilakukan melalui hubungan tatap muka ataupun melalui media seperti media cetak, media elektronik serta poster. Dari berbagai jenis kampanye tersebut, John W. Carey (1976) mengatakan bahwa dampak komunikasi politik dalam kampanye pemilihan kurang bergantung pada bagaimana pemilih perseorangan menanggapi, melainkan pada bagaimana media membentuk kampanye dan bagaimana tindakan para juru kampanye.


Melihat perkembangan terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, selain mengandalkan iklan televisi dan kaset video yang kirim langsung ke pemilih, persuasi kini juga menggunakan teknologi informasi (internet). Penggunaan internet untuk pemasaran langsung merupakan kombinasi teknologi yang unik yang membantu mengintegrasikan strategi pemasaran politisi.

Kandidat mempunyai kesempatan untuk membangun kontak langsung dengan pemilih melalui debat online yang dapat dilihat secara real time. Internet juga menawarkan kesempatan bagi kandidat untuk menghabiskan lebih banyak waktu menyampaikan ide-ide mereka kepada pemilih karena penggunaan pemasaran langsung ini relatif tidak mahal. Internet juga memberi kesempatan bagi kandidat untuk mempresentasikan informasi yang sulit dihadirkan pada media lain.