21 Oktober 2008

Teknologi Informasi Indonesia dalam Perspektif One-Dimensional Man Marcuse

Berdasar kenyataan, dalam beberapa dekade terakhir diperlihatkan bahwa teknologi diakui sebagai penggerak utama bagi kemajuan industri, perubahan struktur perekonomian serta peningkatan daya saing suatu negara maupun wilayah dalam pasar global. Singkatnya, teknologi telah telah menjadi faktor produksi yang signifikan dalam proses pembangunan segala bidang.

Dalam pengamatan Hall Hill (1998), sebelum masa krisis, Indonesia selama 20 tahun berhasil muncul sebagai salah satu negara yang berkembang sangat pesat di wilayah Asia Pasifik. Hal itu bisa dilihat dari pesatnya tingkat industrialisasi dan meluasnya aplikasi teknologi tinggi untuk industri-industri tradisional. Meski fokus pembangunan utama adalah pada modernisasi pertanian dan rekayasa, inovasi dan difusi teknologi, termasuk penggunaan teknologi informasi, menjadi komponen penting pertumbuhan Indonesia.

Teknologi informasi telah dimulai ketika pada tahun 1976, Indonesia meluncurkan salah satu satelit komunikasi pertama di dunia. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan teknologi komputer, yang diawali dengan penggunaan mainframe di berbagai pusat pengolahan data.

Perkembangan teknologi informasi yang meski terbilang lambat, dengan tingkat pertumbuhan pembangunan infrastuktur informasi yang masih tertinggal dibandingkan negara lain yang setara di wiayah Asia Pasifik, tekanan global untuk memanfaatkan kemajuan teknologi ini telah mendorong Pemerintah menyempurnakan infrastruktur informasi dengan membangun sarana komunikasi modern.

Dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa ini, pemerintah selalu, memainkan peranan penting dalam menentukan hitam putihnya teknologi informasi di Indonesia. Rujukan pertama mengenai sistem informasi muncul dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993. Istilah “informatika” juga pertama kali dipakai di GBHN ini.

Selain soal teknologi, GBHN 1993 juga memperlihatkan budaya politik saat itu yang menyatakan bahwa walaupun penggunaan teknologi informasi modernisasi infrastruktur juga harus sesuai dengan tujuan umum menciptakan landasan politik yang konstitusional berdasarkan demokrasi Pancasila dan mendorong mobilisasi masyarakat dalam pembangunan.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi, membawa pengaruh dalam dinamika masyarakat. Kondisi demikian, di satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat karena memberi kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktivitas terutama yang terkait dengan pemanfaatan informasi, namun di sisi lain juga melahirkan persoalan di masyarakat sebagai akibat penggunaan sistem ini.

Akses terhadap saluran informasi melalui internet, yang jelas, dirasakan dampaknya dalam perpolitikan di Indonesia, khususnya di kalangan LSM dan aktivis mahasiswa, dan di kalangan elite sipil dan militer (Winters, 2000). Ketika tabloid Detik, majalah Editor dan Tempo ditutup pemerintah rezim Soeharto pada tahun 1994 sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan media cetak dan elektronik Indonesia, internet membebaskan ketertutupan informasi. Lewat situs Apakabar yang dimoderatori Dr John A MacDougall, Indonews kemudian juga Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif informasi yang tidak bisa didapatkan lewat media cetak dan elektronik, bisa tersebar luas di kalangan
masyarakat.

Teknologi informasi dimanfaatkan secara maksimal untuk melakukan analisis, networking dan koordinasi. Ledakan aktivisme politik yang dibahanbakari internet ini kemudian berhasil mengejutkan rezim Soeharto. Ia dan pembantu-pembantunya seakan-akan terperangkap di masa lalu, dimana kekuasaan dapat dipertahankan semata-mata dengan mengintimidasi majalah, koran dan televisi.

Media internet dapat menggabungkan kelebihan media cetak (ketahanan informasi) dan elektronik (kecepatan menyampaikan isi berita dan penyajian yang terinci) sekaligus walau dalam skala yang sangat kecil dibanding media aslinya. Mengikuti tantangan zaman itulah, kemudian hadir pula versi online beberapa suratkabar seperti Media Indonesia, Kompas, Republika, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan dan sebagainya; majalah Tempo, Gatra, Gamma, Femina, Kosmopolitan dan lain-lain untuk majalah online.

Mailing list, dengan email mutakhir yang berisi pesan suara, teks maupun grafis ke banyak pemakai, membuat banyak kalangan berminat bergabung dalam jaringan. Topik diskusi atau percakapan yang semula berkisar soal ilmu pengetahuan, kini meluas. Informasi dari politik, teknik sampai erotik hadir di sini. Public domain ini menggantikan matriks demokrasi politik seperti di kafe, taman, sudut jalan, yang diistilahkan Jurgen Habermas sebagai public sphere (ruang publik).

Diakui atau tidak, teknologi informasi banyak berperan memungkinkan terciptanya pemerintahan yang transparan, anti KKN dan lebih dekat dengan rakyatnya. Secara gamblang, Julianne Schultz (1994) mengatakan, teknologi informasi mempengaruhi kemampuan masyarakat berfungsi dalam masyarakat demokrasi dan teknologi itu juga mempengaruhi hakikat demokrasi itu sendiri.

Selain ancaman komersialisasi, persoalan yang menghambat teknologi informasi bisa berperan lebih luas dan signifikan adalah masalah akses, kultur penyelenggara negara dan kesadaran masyarakat serta aturan macam apa yang dibuat pemerintah dalam mengatur teknologi ini. Dalam mengakses teknologi informasi, antaranegara tidak sama. Apalagi jika dibandingkan antara negara maju dan negara dunia ketiga, terjadi digital divide (kesenjangan digital).

Untuk ukuran Asia saja, Indonesia tergolong sebagai negara dengan jumlah pengakses internet sangat kecil. Sehingga, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan wilayah yang begitu luas, isu akses ini menjadi persoalan yang signifikan.


Teknologi Informasi dalam Perspektif Marcuse
Jika dikaitkan dengan pembebasan dari irasionalitas masyarakat modern Herbert Marcuse, perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dapat dikategorikan dalam kecenderungan kedua yang bakal terjadi pada masyarakat modern. Yaitu, akan terjadinya perubahan sosial yang bisa membawa perubahan sejati. Masyarakat modern dengan kebebasan yang tidak terkunci rapat.

Perkembangan teknologi informasi di Indonesia memungkinkan kemudahan mendapatkan informasi. Seperti dijelaskan sebelumnya, teknologi informasi, lewat internet, berdampak pada perubahan politik di Indonesia dengan hadirnya kelas revolusioner, intelektual ‘sehat’ yang belum dibekukan sistem yang ada, dalam hal ini mahasiswa dan aktivis LSM. Seperti diakhir kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharo. Ledakan aktivisme politik ini kemudian berhasil mengejutkan rezim Soeharto dan menumbangkannya.

Hal itu terjadi karena Soeharto dan pembantu-pembantunya seakan-akan terbuai dengan dengan kecenderungan fase pertama masyarakat modern seperti dikatakan Marcuse, bahwa pada masa mendatang tidak mungkin terjadi perubahan sosial kualitatif karena masyarakat industri modern mampu mencegahnya. Penindasan yang dilakukan dengan membungkam majalah, koran dan televisi—dimensi-dimensi yang tidak setuju atau sesuai dengan sistem yang diberlakukan—dibebaskan ketertutupan informasi tersebut dengan hadirnya media perlawanan lewat internet seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online maupun Tempo Interaktif

Selain munculnya kepekaan dan kesadaran baru yang datang dari kelompok pembaharu dalam masyarakat, seperti disebutkan sebelumnya yaitu mahasiswa dan para aktivis LSM, teknologi informasi telah menjadi sumber kekuatan pembebasan. Kekuatan baru ini, seperti yang diambil Marcuse dari ajaran Karl Marx bahwa kekuatan baru bukan sesuatu yang harus dibuang atau dihentikan tetapi hanya dihilangkan sifatnya yang represif.

Hanya saja, analisis lebih jauh pemanfaatan teknologi informasi ini di Indonesia secara lebih luas dalam kehidupan masyarakat menurut pandangan Marcuse, perlu diuji mengikuti tesis pokok Marcuse ke dalam tiga segi kehidupan: sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Jika dilihat berdasar segi sosial-ekonomi, adalah benar yang dikatakan Marcuse bahwa secara ekonomis kemajuan yang pesat dari teknologi makin membebaskan manusia dari cucuran keringat dan kerja kasar mencari nafkah.

Namun, kata Marcuse, hal tersebut baru nampak luar saja yang bisa mengelabui mata. Untuk itu, pemanfaatan teknologi informasi ini perlu dilihat apakah hal itu juga membawa perbaikan di lain bidang seperti moral, kebudayaan dan kehidupan keagamaan misalnya. Kemudian juga, pelru dilihat apakah teknologi informasi ini telah menjadi ungkapan kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan pada massa. Sehingga potensi pembebasan hanya menjadi alat perbudakan baru.

Bila dikaji, memang pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia telah mengubah kehidupan dengan adanya kemudahan dalam mengakses informasi, membuat hidup enak dimana mereka yang memanfaatkan teknologi ini terbebas dari cucuran keringat dan kerja kasar untuk mencari nafkah. Namun, tidak dapat dihindari dengan adanya dampak-dampak negatif yang muncul dalam moral, kebudayaan maupun agama.

Seperti, cenderung meningkatnya kejahatan yang terkait dengan teknologi informasi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dan uniknya, meski penetrasi teknologi ini masih rendah (sekitar satu persen dari jumlah penduduk), nama Indonesia ternyata mendominasi kejahatan berbasis teknologi informasi di dunia. Menurut catatan Markas Besar Kepolisian RI, pelaku kejahatan jenis baru ini, 98 persen orang Indonesia.

Dalam catatan The John Marshall Law School Chicago, Amerika Serikat, setidaknya ada 30 jenis kejahatan yang berkaitan dengan dunia cyber. Termasuk di dalamnya, hacking, cracking, carding, perjudian online, hak atas kekayaan intelektual, perlindungan anak-anak dan sebagainya. Dengan ramainya terorisme, diwaspadai pula lalu lintas informasi para teroris lewat jaringan superhighway ini.

Hal lain yang terkait dengan isu ini adalah soal pornografi. Saat ini, banyak banyak situs yang khusus menampilkan gambar-gambar perempuan Indonesia tanpa busana. Bahkan, tidak segan-segan situs-situs tersebut menarik bayaran dari para penikmat ‘keindahan virtual’ tersebut. Seperti, situs Exotic Azza, JavaSweet ataupun Pramuria. Gambar-gambar dan cerita-cerita berbau pornografi pun dapat dibaca lewat mailing list maupun situs. Mailing list yang cukup ramai peminatnya adalah Indonesia Naked Girls dan Cewek Bugil. Sedang yang cukup kesohor dengan cerita-cerita seks adalah situs Ceritaseru dan situs 17tahun.com.

Sedang dalam kaitannya apakah teknologi informasi hanya menjadi ungkapan prbadi atau golongan yang dipaksakan pada massa, jawabannya adalah pada satu sisi teknologi ini mempunyai potensi pembebasan, namun di sisi lain bisa juga sebagai alat perbudakan baru. Seperti dipaksakannya pengakses ketika membuka situs semacam yahoo.com dengan iklan-iklan yang tidak dikehendaki. Sistem kapitalisme juga dikembangkan dengan keharusan membayar untuk akses situs-situs tertentu.

Berdasar segi sosial-politik, apa yang dikatakan Marcuse bahwa tidak bisa diterima lagi pendapat yang mengatakan teknologi bersifat netral, dapat dibenarkan. Teknologi informasi pun tergantung penggunaannya. Hanya saja, kekuatannya menjadi alat politik penindasan yang ampuh yang menyebabkan masyarakt kehilangan fungsi kritisnya, dengan berbagai fenomena yang telah dipaparkan justru teknologi ini pada beberapa hal justru melahirkan fungsi kritis dalam masyarakat. Teknologi ini mampu menjadi alat pengendali sosial untuk menghadirkan perubahan sosial kualitatif.

Dalam segi sosial-budaya, apa yang dikatakan Marcuse bahwa media menjadi alat efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan prilaku satu dimensi, teknologi informasi pun berpotensi ke arah tersebut. Termasuk mendukung pemikiran kemapanan dan menentang pemikiran-pemikiran kritis. Namun, banyak terjadi juga sebaliknya. Dengan internet, kemudian hadir pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.

Jika membaca Human Development Report (HDR) UNDP dalam dua tahun terakhir. HDR 2001 yang bertemakan teknologi (“Making New Technology for Human Development”) dan HDR 2002 tentang demokrasi (“Deepening Democracy in a Fragmented World”), jelas bahwa teknologi informasi membuka ruang baru, yang seperti dikatakan Habermas dengan public sphere, menjadikan kehidupan yang lebih demokratis. Dan keduanya, mempunyai peran yang signifikan dalam pembangunan yang berpusat pada manusia (human development).

Namun perlu diakui, dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa ini, selain pemerintah selalu memainkan peranan penting dalam menentukan pemanfaatan dan perkembangan teknologi informasi di Indonesia, juga diperlihatkan bahwa penggunaan teknologi informasi dijadikan alat untuk menciptakan landasan politik yang konstitusional berdasarkan demokrasi Pancasila dan mendorong mobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Ini merupakan arah ‘satu-dimensionalita’ dimana kritik dan kebebasan berpikir hanya dalam rangka status quo, tidak pernah boleh keluar daripadanya.

Perlu ditegaskan, tentunya peran dan pemanfaatan teknologi informasi dalam masyarakat Indonesia, akan sulit menjangkau bentuk masyarakat bebas seperti dicita-citakan Marcuse yang ditandai adanya kepemilikan, perencanaan dan pengaturan bersama alat-alat produksi dan distribusi seperti pada masyarakat sosial, meski belum mencukupi. Namun begitu, apa yang dicita-citakan Marcuse sesungguhnya, dalam pandangan Sudarminta (1982:165) terlalu utopis, jauh dari realitas yang dapat diwujudkan.

Dan terakhir, perlu diingat bahwa kritik Marcuse mengenai manusia satu dimensi ini dialamatkan pada negara-negara industri maju dengan tingkat ekonomi yang sudah cukup tinggi. Sehingga, meski perkembangan teknologi informasi telah mempu menjangkau banyak orang di Indonesia dan berperan dalam perubahan sosial politik, ‘satu-dimensionalita’ yang dimaksud Marcuse belum menjadi berarti. Apalagi dengan angka teledensitas (penetrasi telepon untuk 1000 penduduk) yang masih pada angka 30-an untuk 220 juta penduduk serta masih ada ribuan desa yang belum telepon tersentuh telepon dasar.

Walau belum merupakan masalah, dengan globalisasi seperti sekarang ini, perubahan konstelasi kehidupan dunia perlu dicermati. Pengalaman pahit yang dihadapi negara-negara maju dengan orientasi industrialisasi ternyata menimbulkan masalah yang tidak mudah diselesaikan. Ini artinya, dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi, kebijakan yang ditempuh jangan sekadar meniru negara yang sudah maju, namun perlu diingat situasi, kondisi, masalah-masalah dan cara-cara menghadapinya. Kenyataan-kenyataan yang ada tersebut diharapkan dapat memunculkan arti dan tujuan sebenarnya pemanfaatan teknologi ini, yang dalam lebih luas terkait dengan pembangunan bangsa.

Tidak ada komentar: