Herbert Marcuse merupakan seorang anggota Institut Sosial di Frankfurt, Jerman, lembaga yang mengadakan riset-riset di bidang sosial. Lahir di Berlin pada 1898 dan memperoleh pendidikan tinggi di Berlin serta Freiburg. Menjelang Hitler berkuasa (1932), Marcuse melarikan diri dari Jerman ke California, Amerika Serikat. Di California, Marcuse merupakan guru besar filsafat politik di Kampus San Diego, Universitas California.
Ketika dunia sedang ramai memperbincangkan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat dan bahaya yang mengancam akibat pesatnya kemajuan teknologi, Marcuse hadir dengan kritik yang menyebutkan bahwa masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Dalam bukunya “One-Dimensional Man”, Marcuse melihat masyarakat modern sebagai masyarakat berdimensi satu. Maksudnya, segala segi kehidupan diarahkannya pada satu tujuan saja, yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme. Karena satu tujuan, itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi yang lain yang tidak setuju atau sesuai dengan sistem tersebut.
Hal tersebut bisa lancar dan efektif dilaksanakan karena teknologi modern dengan kemampuannya menciptakan kemakmuran bagi warganya dan pengaturan masyarakat yang serba rasional dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup yang pada tahap-tahap masyarakat sebelumnya menimbulkan protes dan konfik sosial. Sehingga, masyarakat yang tinggal dalam masyarakat tersebut dibuat menjadi pasif dan reseptif, serta tidak lagi menghendaki perubahan.
J. Sudarminta (1982) memetakan tesis pokok Marcuse ke dalam tiga segi kehidupan masyarakat: sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Dalam segi sosial-ekonomi, Marcuse mengakui bahwa secara eknomis masyarakat industri dewasa ini bertambah kaya, hidup manusia makin enak, lancar dan teratur. Kemajuan yang pesat dari teknologi dan ilmu pengetahuan makin membebaskan manusia dari cucuran keringat dan kerja kasar untuk mencari nafkah.
Tapi menurut Marcuse, semua itu baru luarnya saja yang bisa mengelabui mata, namun belum menyangkut hakekat manusia seutuhnya. Kemajuan di bidang material perlu ditinjau apakah hal itu juga membawa perbaikan di lain bidang seperti moral, kebudayaan dan kehidupan keagamaan, misalnya. Untuk itu perlu diselidiki dan ditanyakan apakah motivasi perkembangan yang terjadi sekaran ini, bagaimana proses terjadi dan akibat-akibat negatif yang mungkin ditimbulkan.
Teknologi yang dalam masyarakat industri modern sangat menentukan, menurut Marcuse, telah menjadi ungkapan kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan pada massa. Hal itu menyebabkan potensi pembebasan yang ada dalam teknologi tenggelam dan muncul sebagai alat perbudakan baru. Masyarakat industri modern tetap menjadi masyarakat teralienasi karena mengasingkan manusia-manusia yang menjadi warganya dari kemanusiaannya.
Dalam segi sosial-politik, Marcuse beranggapan bahwa masyarakat industri modern, berkat penguasaan dan pengaturannya atas teknologi, cenderung ke arah totaliterisme. Daya kekuatan mesin yang melampaui tenaga manusia menjadi alat politik yang paling ampuh. “Rasionalitas teknologis” menampakkan sifat politisnya dengan menjadi alat penindasan yang lebih ampuh. Sehingga, masyarakat kehilangan fungsi kritisnya. Teknologi juga menjadi alat pengendali sosial dengan kemampuannya mencegah timbulnya perubahan sosial kualitatif.
Dihadapkan pada sifat totaliter masyarakat industri maju, pengertian tradisional bahwa teknologi bersifat netral, tidak lagi dapat diterima. Teknologi tak dapat dipisahkan dari penggunaannya. Masyarakat teknologis merupakan suatu sistem dominasi yang sudah bekerja dalam konsep dan konstruksi teknik sendiri yang secara apriori menemukan tuntutan-tuntutannya.
Dalam segi sosial-budaya, Marcuse melontarkan kritiknya atas pola budaya masyarakat yang terlibas sistem yang ada. Seperti dalam seni dan sastra, karya-karya seni atau sastra yang sungguh-sungguh memenuhi fungsinya ada pada masa sebelum rasionalitas teknologis seperti sekarang ini. Saat ini, kebudayaan telah dicangkokkan pada kenyataan yang ada, kehilangan hakekat dan kebenarannya.
Bukan hanya seni atau sastra saja yang diperalat rasionalitas teknologis, namun juga penggunaan bahasa pada umumnya. Media massa menjadi alat yang paling efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan prilaku satu dimensi. Bahasa yang dipakai sehari-hari mendukung pemikiran kemapanan dan menentang pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.
Marcuse juga mengkritik filsafat ilmu pengetahuan dewasa ini yang bersifat positivistik dan menekankan operasionalisme. Ilmu pengetahuan modern menurutnya bukan hanya secara empiris saja berhubungan dengan teknologi, namun juga secara konseptual. Arah perkembangan ilmu pengetahuan modern juga ikut melanggengkan kelangsungan dominasi dalam masyarakat.
Pembebasan dari Irasionalitas Masyarakat Modern
Untuk membebaskan manusia dari irasionalitas masyarakat modern, Marcuse menyampaikan gagasannya melalui dua fase (Sudarminta, 1982). Fase pertama ada dalam One-Dimensional Man (1964) dan fase kedua lewat buku An Essay on Liberation (1969). Pada fase pertama, nampak Marcuse pesimis akan kemungkinan adanya jalan keluar.
Menurut hipotesisnya, ada dua kecenderungan yang bakal terjadi pada masyarakat modern. Pertama, pada masa yang akan datang tidak mungkin terjadi perubahan sosial kualitatif karena masyarakat industri modern mampu mencegahnya. Kedua, munculnya kekuatan-kekuatan dan kepekaan baru yang akan mematahkan dan menggerakkan masyarakat. Namun menurut Marcuse, kecenderungan pertamalah yang dominan. Karena itu, dalam fase pertama Marcuse merasa menemui jalan buntu.
Dalam fase kedua, Marcuse lebih optimis akan terjadinya perubahan sosial kualitatif yang bisa membawa perubahan sejati. Adapun masyarakat yang dicita-citakan Marcuse adalah tidak seperti masyarakat modern yang ruang kebebasannya terkunci rapat-rapat. Bentuk masyarakat bebas ditandai, mula-mula, adanya pemilikan, perencanaan dan pengaturan bersama alat-alat produksi dan distribusi. Keadaan tersebut akan menciptakan sendiri dorongan untuk bekerja, bukan sebagai keharusan atau dipaksakan dari luar untuk dapat hidup.
Untuk dapat mencapai masyarakat yang dicita-citakan tersebut, Marcuse menekankan perlunya kelas revolusioner untuk timbulnya perubahan sosial. Kelas revolusioner yang dibayangkan Marcuse menjelang tahun 1970-an adalah segolongan kecil dalam masyarakat, kelompok intelektual yang ‘sehat’ dan belum dibekukan dalam sistem yang ada. Marcuse sendiri lebih menaruh perhtian pada kekuatan pembebasan dari kaum muda khususnya mahasiswa. Kekuatan pembebasan mereka murni karena merupakan ungkapan dorongan naluriah akan kebebasan, tidak menggunakan kekerasan baik fisik maupun senjata serta penggunaan
bahasa yang melawan bahasa yang sudah mapan.
Untuk melakukan perombakan sosial, Marcuse merasa perlunya menanamkan suatu dasar ‘biologis’ untuk pembebasan. Perombakan sosial yang mencapai dasar terdalam ini menuntut adanya perombakan dalam pola kebutuhan manusia, arah dan lembaga baru serta hubungan produksi yang sama sekali berbeda bahkan bertentangan dengan apa yang ada dalam masyarakat sebelumnya.
Adapun sumber kekuatan pembebasan, selain munculnya kepekaan dan kesadaran baru yang datang dari beberapa kelompok radikal dalam masyarakat, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membawa suatu kekuatan baru dalam bidang produksi yang sekaligus merupakan sumber kekuatan pembebasan. Sehingga, sesuai ajaran revolusi Karl Marx, kekuatan baru itu bukan sesuatu yang harus dibuang atau dihentikan perkembangannya melainkan hanya dihilangkan sifatnya yang represif, yang memperbudak manusia.
“…technological rationality, stripped of its exploitative feature, is the sole standard and guide in planning and developing the available resources for all”. (Marcuse, 1964)
Ketika dunia sedang ramai memperbincangkan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat dan bahaya yang mengancam akibat pesatnya kemajuan teknologi, Marcuse hadir dengan kritik yang menyebutkan bahwa masyarakat industri modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Dalam bukunya “One-Dimensional Man”, Marcuse melihat masyarakat modern sebagai masyarakat berdimensi satu. Maksudnya, segala segi kehidupan diarahkannya pada satu tujuan saja, yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yang tidak lain adalah sistem kapitalisme. Karena satu tujuan, itu berarti menyingkirkan dan menindas dimensi-dimensi yang lain yang tidak setuju atau sesuai dengan sistem tersebut.
Hal tersebut bisa lancar dan efektif dilaksanakan karena teknologi modern dengan kemampuannya menciptakan kemakmuran bagi warganya dan pengaturan masyarakat yang serba rasional dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup yang pada tahap-tahap masyarakat sebelumnya menimbulkan protes dan konfik sosial. Sehingga, masyarakat yang tinggal dalam masyarakat tersebut dibuat menjadi pasif dan reseptif, serta tidak lagi menghendaki perubahan.
J. Sudarminta (1982) memetakan tesis pokok Marcuse ke dalam tiga segi kehidupan masyarakat: sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya. Dalam segi sosial-ekonomi, Marcuse mengakui bahwa secara eknomis masyarakat industri dewasa ini bertambah kaya, hidup manusia makin enak, lancar dan teratur. Kemajuan yang pesat dari teknologi dan ilmu pengetahuan makin membebaskan manusia dari cucuran keringat dan kerja kasar untuk mencari nafkah.
Tapi menurut Marcuse, semua itu baru luarnya saja yang bisa mengelabui mata, namun belum menyangkut hakekat manusia seutuhnya. Kemajuan di bidang material perlu ditinjau apakah hal itu juga membawa perbaikan di lain bidang seperti moral, kebudayaan dan kehidupan keagamaan, misalnya. Untuk itu perlu diselidiki dan ditanyakan apakah motivasi perkembangan yang terjadi sekaran ini, bagaimana proses terjadi dan akibat-akibat negatif yang mungkin ditimbulkan.
Teknologi yang dalam masyarakat industri modern sangat menentukan, menurut Marcuse, telah menjadi ungkapan kepentingan pribadi atau golongan yang dipaksakan pada massa. Hal itu menyebabkan potensi pembebasan yang ada dalam teknologi tenggelam dan muncul sebagai alat perbudakan baru. Masyarakat industri modern tetap menjadi masyarakat teralienasi karena mengasingkan manusia-manusia yang menjadi warganya dari kemanusiaannya.
Dalam segi sosial-politik, Marcuse beranggapan bahwa masyarakat industri modern, berkat penguasaan dan pengaturannya atas teknologi, cenderung ke arah totaliterisme. Daya kekuatan mesin yang melampaui tenaga manusia menjadi alat politik yang paling ampuh. “Rasionalitas teknologis” menampakkan sifat politisnya dengan menjadi alat penindasan yang lebih ampuh. Sehingga, masyarakat kehilangan fungsi kritisnya. Teknologi juga menjadi alat pengendali sosial dengan kemampuannya mencegah timbulnya perubahan sosial kualitatif.
Dihadapkan pada sifat totaliter masyarakat industri maju, pengertian tradisional bahwa teknologi bersifat netral, tidak lagi dapat diterima. Teknologi tak dapat dipisahkan dari penggunaannya. Masyarakat teknologis merupakan suatu sistem dominasi yang sudah bekerja dalam konsep dan konstruksi teknik sendiri yang secara apriori menemukan tuntutan-tuntutannya.
Dalam segi sosial-budaya, Marcuse melontarkan kritiknya atas pola budaya masyarakat yang terlibas sistem yang ada. Seperti dalam seni dan sastra, karya-karya seni atau sastra yang sungguh-sungguh memenuhi fungsinya ada pada masa sebelum rasionalitas teknologis seperti sekarang ini. Saat ini, kebudayaan telah dicangkokkan pada kenyataan yang ada, kehilangan hakekat dan kebenarannya.
Bukan hanya seni atau sastra saja yang diperalat rasionalitas teknologis, namun juga penggunaan bahasa pada umumnya. Media massa menjadi alat yang paling efektif untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan prilaku satu dimensi. Bahasa yang dipakai sehari-hari mendukung pemikiran kemapanan dan menentang pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif.
Marcuse juga mengkritik filsafat ilmu pengetahuan dewasa ini yang bersifat positivistik dan menekankan operasionalisme. Ilmu pengetahuan modern menurutnya bukan hanya secara empiris saja berhubungan dengan teknologi, namun juga secara konseptual. Arah perkembangan ilmu pengetahuan modern juga ikut melanggengkan kelangsungan dominasi dalam masyarakat.
Pembebasan dari Irasionalitas Masyarakat Modern
Untuk membebaskan manusia dari irasionalitas masyarakat modern, Marcuse menyampaikan gagasannya melalui dua fase (Sudarminta, 1982). Fase pertama ada dalam One-Dimensional Man (1964) dan fase kedua lewat buku An Essay on Liberation (1969). Pada fase pertama, nampak Marcuse pesimis akan kemungkinan adanya jalan keluar.
Menurut hipotesisnya, ada dua kecenderungan yang bakal terjadi pada masyarakat modern. Pertama, pada masa yang akan datang tidak mungkin terjadi perubahan sosial kualitatif karena masyarakat industri modern mampu mencegahnya. Kedua, munculnya kekuatan-kekuatan dan kepekaan baru yang akan mematahkan dan menggerakkan masyarakat. Namun menurut Marcuse, kecenderungan pertamalah yang dominan. Karena itu, dalam fase pertama Marcuse merasa menemui jalan buntu.
Dalam fase kedua, Marcuse lebih optimis akan terjadinya perubahan sosial kualitatif yang bisa membawa perubahan sejati. Adapun masyarakat yang dicita-citakan Marcuse adalah tidak seperti masyarakat modern yang ruang kebebasannya terkunci rapat-rapat. Bentuk masyarakat bebas ditandai, mula-mula, adanya pemilikan, perencanaan dan pengaturan bersama alat-alat produksi dan distribusi. Keadaan tersebut akan menciptakan sendiri dorongan untuk bekerja, bukan sebagai keharusan atau dipaksakan dari luar untuk dapat hidup.
Untuk dapat mencapai masyarakat yang dicita-citakan tersebut, Marcuse menekankan perlunya kelas revolusioner untuk timbulnya perubahan sosial. Kelas revolusioner yang dibayangkan Marcuse menjelang tahun 1970-an adalah segolongan kecil dalam masyarakat, kelompok intelektual yang ‘sehat’ dan belum dibekukan dalam sistem yang ada. Marcuse sendiri lebih menaruh perhtian pada kekuatan pembebasan dari kaum muda khususnya mahasiswa. Kekuatan pembebasan mereka murni karena merupakan ungkapan dorongan naluriah akan kebebasan, tidak menggunakan kekerasan baik fisik maupun senjata serta penggunaan
bahasa yang melawan bahasa yang sudah mapan.
Untuk melakukan perombakan sosial, Marcuse merasa perlunya menanamkan suatu dasar ‘biologis’ untuk pembebasan. Perombakan sosial yang mencapai dasar terdalam ini menuntut adanya perombakan dalam pola kebutuhan manusia, arah dan lembaga baru serta hubungan produksi yang sama sekali berbeda bahkan bertentangan dengan apa yang ada dalam masyarakat sebelumnya.
Adapun sumber kekuatan pembebasan, selain munculnya kepekaan dan kesadaran baru yang datang dari beberapa kelompok radikal dalam masyarakat, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membawa suatu kekuatan baru dalam bidang produksi yang sekaligus merupakan sumber kekuatan pembebasan. Sehingga, sesuai ajaran revolusi Karl Marx, kekuatan baru itu bukan sesuatu yang harus dibuang atau dihentikan perkembangannya melainkan hanya dihilangkan sifatnya yang represif, yang memperbudak manusia.
“…technological rationality, stripped of its exploitative feature, is the sole standard and guide in planning and developing the available resources for all”. (Marcuse, 1964)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar