07 Oktober 2008

ICT, Negara Dunia Ketiga dan Teori Kritis

Tranformasi teknologi saat ini terjalin transformasi lain, globalisasi, menciptakan paradigma baru yaitu era jaringan. Tak ada individu, lembaga kemasyarakatan, bisnis maupun pemerintah yang dapat mengabaikan perubahan ini. Kombinasi transformasi teknologi dan globalisasi yang menciptakan era jaringan, membuat teknologi tingkat lanjut menjadi semakin cepat dan fundamental. Ada tiga bidang yang memimpin transformasi ini, yaitu teknologi komunikasi dan informasi, bioteknologi dan, yang baru muncul, nanoteknologi.


Teknologi komunikasi dan informasi melibatkan inovasi dalam dunia mikroelektronik, komputer (hardware dan software), telekomunikasi dan opto-elektronika. Perkembangan dalam dunia teknologi informasi di berbagai sektor bisa disebut sebagai revolusi komunikasi. Dunia menjadi begitu sempit dan manusia bisa berkomunikasi dengan amat sangat cepat di manapun berada dengan kehadiran internet, telepon selular (Ponsel) maupun satelit.



Salah satu fokus diskusi dampak politik teknologi informasi saat ini adalah demokratisasi. Teknologi informasi diharapkan berperan besar dalam pembangunan demokrasi bangsa disebabkan karena biaya implementasi yang murah, penyajian informasi yang cepat, jangkauan yang luas serta bebas sensor yang memungkinkan informasi yang diterima bersifat transparan.
Dalam tulisannya berjudul “Universal Suffrage? Technology and Democracy” Julianne Schultz (1994) mengatakan bahwa teknologi memiliki kapasitas mengubah apa yang kita ketahui, apa yang kita percayai, apa yang kita lakukan, bagaimana kita melakukannya dan bahwa siapa diri kita sebenarnya. Kemampuan adaptif teknologi, terutama jika diterapkan dalam lingkungan yang dideregulasi, memiliki kapasitas untuk mempengaruhi kemampuan warga masyarakat berfungsi di sebuah masyarakat demorkasi. Sebab itulah, teknologi berpotensi mempengaruhi hakekat demokrasi itu sendiri.


Dalam pandangan David F. Andersen (1991), teknologi informasi modern mempengaruhi pemerintahan dan dengan juga politik dengan empat cara. Pertama, teknologi baru dapat mengubah rincian tahap-tahap operasi pemerintahan. Kedua, teknologi secara halus mengubah hubungan antar pemimpin pilihan masyarakat denga para pakar teknologi di pemerintahan. Ketiga, akan terjadi perubahan karakter pemerintahan sebagai sumber informasi bagi masyarakat. Dan keempat, perkembangan teknologi akan mengubah tanggung jawab pemerintah sebagai pemilik informasi publik.


Berdasar pendapat Andersen tersebut, maka akan timbul tuntutan-tuntutan baru terhadap pemerintahan, seperti transparansi, kebebasan berbicara serta kebebasan memperoleh informasi, yang merupakan pilar demokrasi. Transparansi dalam perencanaan membuat institusi bekerja lebih baik. Penggunaan teknologi informasi membuat anggaran pendapatan dan pengeluaran terefleksikan secara benar dan akurat (HDR, 2001).


Kebebasan berbicara dan kebebasan memperoleh informasi dapat tergambarkan dengan kehadiran situs-situs maupun berhimpunnya pengguna internet dalam mailing list. Lewat berbagai situs berita, yang menurut penelitian Online News Association (ONA) situs-situs berita layak dipercaya, peristiwa yang terjadi begitu cepat menyebar ke masyarakat dalam hitungan detik. Bahkan dengan streaming media, internet dapat menyajikannya secara langsung dari lapangan.


Mailing list, dengan email mutakhir yang berisi pesan suara, teks maupun grafis ke banyak pemakai, membuat banyak kalangan berminat bergabung dalam jaringan. Topik diskusi atau percakapan yang semula berkisar soal ilmu pengetahuan, kini meluas. Informasi dari politik, teknik sampai erotik hadir di sini. Public domain ini menggantikan matriks demokrasi politik seperti di kafe, taman, sudut jalan, yang diistilahkan Juergen Habermas (1989) sebagai public sphere (ruang publik).


Dalam hal penerapan teknologi informasi di negara berkembang, dua karakter dominan segera muncul, yaitu, pertama, dominasi pemerintah atas komponen lainnya di dalam masyarakat serta, kedua, ketergantungan total pada transfer teknologi dari negara maju. Sebagaimana halnya di negara maju, pemerintah negara berkembang mempelopori penggunaan komputer untuk administrasi dan riset ilmu pengetahuan dan teknologi. Perbedaannya adalah jika di negara maju kemudian pihak swasta menyusul bahkan mengambilalih peran pemerintah dalam pengembangan teknologi informasi, di banyak negara berkembang pemerintah sering menjadi satu-satunya tumpuan pengembangan.


Dalam hal ketergantungan teknologi pada negara maju, hal itu sudah merupakan ciri sejak awal difusi teknologi ini, baik sebagai bagian dari upaya untuk memodernisasi diri maupun pinjaman yang bersifat pemerintah ke pemerintah maupun government to government maupun berasal perusahaan multinational, yang meyakinkan bahwa teknologi informasi bisa membantu negara berkembang dalam berbagai bidang.


Persoalan tranfer teknologi dan penerapan TI di negara berkembang ini, seperti dikatakan Arnold Pacey (1983) sebagai ”sebuah pandangan tentang teknologi yang berawal dan berakhir dengan mesin”. Hal itu terjadi karena cara orang mendekati masalah dimulai dengan adanya sesuatu yang harus diperbaiki secara teknis sambil berbicara tentang terobosan teknologi. Padahal persoalannya tak sesederhana itu karena di dalamnya terkait dengan perangkat hukum yang mengatur penggunaan teknologi ini, budaya termasuk juga sumber daya manusia.


Namun di sisi lain, seperti negara maju, pemerintah negara berkembang juga menghadapi tekanan dari tumbuhnya aspirasi menuju masyarakat yang lebih demokratis. Publik kian sadar untuk memanfaatkan sebesar-besarnya penerapan teknologi informasi dan menjadikan seluruh proses tersebut sebagai proses pembelajaran daripada sekadar mengadaptasi sistem secara terus-menerus sesuai perkembangannya.

Kebijakan Teknologi Informasi
Menyikapi “ledakan” teknologi baru, Douglas Kellner (1997) mengatakan, di satu sisi, hiburan dan informasi dalam teknologi dan revolusi informasi merupakan bagian dari penciptaan masyarakat infotainment yang merupakan bagian dari restrukturisasi kapitalisme global. Namun di sisi lain, Kellner juga melihat potensi demokrasi, kemandirian dan pemberdayaan serta transformasi sosial yang progresif, dalam membangun sosial dan budaya baru dan mungkin ruang publik baru, yang bukan sekadar komunitas maya belaka.


Sementara itu, Robert W. McChesney (1996) melihat bahwa saat ini ada dua kecenderungan yang menandakan revolusi teknologi komunikasi dan informasi. Pertama, adanya konsentrasi korporasi yang cepat dalam industri media, sejalan dengan arah globalisasi. Televisi, radio, koran, majalah, buku, perusahaan rekaman telah menjadi industri global yang didominasi oleh sejumlah korporasi sehingga terbentuklah pasar oligopolistik global.


Dalam pandangan Chesney, pasar media global hanya akan didominasi kurang dari 24 perusahaan besar. Dengan tiga konglomerat media paling dominan adalah Time-Warner, Walt Disney Company dan New Corporation (Fox). Tak pelak, perusahaan media global sekarang dan masa depan, dibentuk oleh penyebaran komersialisasi, deregulasi dan privatisasi.
Kedua, perkembangan komunikasi digital dan teknologi yang berhubungan. Di satu pihak, digitalisasi mendorong komunikasi global menjadi instan dan murah yang berimplikasi mendorong terjadinya konglomerasi dan integrasi vertikal karena semua bentuk komunikasi berubah menjadi format digital dan produk media menjadi mudah ditransfer antargender. Di pihak lain, komunikasi digital dapat melemahkan kemampuan komunikasi yang diatur dalam aturan hierarki tradisional.


Komunikasi digital juga mencakup konvergensi media, telekomunikasi dan industri komputer. Konsekuansinya, pertama, kombinasi industri media, telekomunikasi dan komputer membuat sektor ini sebagai penghasil terbesar dan tercepat dari ekonomi global. Berdasarkan kapitalisme pasar, 3 dari 4 badan terbesar dan 13 dari 50 besar badan di dunia terjun dalam sektor ini. Karenanya dapat dikatakan, sektor ini berada pada jantung kapitalisme global yang membuat pekerjaan menjadi lebih sulit di satu sisi dan kian penting di sisi lain.


Konsekuensi kedua, lingkungan baru dan ketidakpastian mengenai masa depan industri media, telekomunikasi dan komputer. Sebab jika internet atau beberapa jaringan komputer digital seperti ini mendominiasi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana nasib perusahaan media tradisional?


Sebab seperti dikatakan Jeffrey Layne Blevins (1999), meski internet hadir sebagai ruang komunikasi tanpa dominasi dan lebih desentralisasi, namun ada kecenderungan oligarki media untuk mengkolonisasi ruang cyber. Sehingga artinya, walau internet dengan jelas telah membuka ruang penting bagi komunikasi lebih maju dan bebas, memperbolehkan nilai-nilai kemanusiaan melompati kapitalisme dan perusahaan komunikasi, dirasa meragukan. Kecuali, jika kebijakan publik itu sendiri secara keras membatasi kehadiran kolonisasi kapitalis dalam ruang cyber ini.


Dalam pandangan Jean-Benoit Zimmermann (1990), yang penting dicatat dalam perkembangan industri teknologi informasi di dunia adalah indutri ini ditemukan oleh korporasi besar, mapan dan bersifat multinasional serta mengarah pada oligopoli. Sehingga, peran dunia ketiga cukup lemah dalam pasar komputasi global.


Karena itu, kehadiran internet sebagai bentuk revolusi komunikasi tetap mengundang pertanyaan apakah media ini bisa berfungsi sebagai ruang publik? Kalau dapat, tentunya selain ancaman kapitalisme global, adalah bagaimana perannya untuk ikut mendorong terciptanya demokrasi mengingat, pertama, internet hanya dapat dimiliki oleh lapisan tertentu dalam masyarakat, umumnya kalangan elit, dan penyebarannya yang belum menjangkau hingga pelosok. Dan kedua, komunikasi antarindividu dalam internet bukanlah interaksi face to face melainkan hanyalah berupakan “kedipan piksel” di layar monitor.


Fokus diskusi dampak politik internet dalam kaitan dengan demokratisasi adalah public sphere. Isu ruang publik merupakan jantung rekonseptualisasi demokrasi. Menariknya, matriks demokrasi politik seperti coffee house, public square, town hall, taman sudut jalan dan banyak tempat yang dibanggakan Juergen Habermas, pengonsep public sphere, tidak lagi menjadi tempat untuk diskusi dan aksi politik. Perannya digantikan televisi, koran, majalah, fotografi, yang merupakan public domain. Tempat dimana dan berarti publik diciptakan dan sedang terjadi (John Hartley, 1992).


Memang dalam melihat emansipasi politik dalam penggunaan kata “publik”, “berbicara” dan pertemuan “tatap muka” cukup membingungan dan kompleks. Selain hanya hal itu hanya berupa “kedipan elektronik”, juga karena piksel-piksel itu dikirim oleh individu dari lokasi-lokasi yang berbeda, jauh dan mungkin juga belum pernah bertemu.
Namun oleh Paul Virilio dikatakan, sejak saat ini ruang publik juga bisa diciptakan dan berlangsung melalui tampilan elektronik di layar monitor. Kata “publik” yang cenderung lebih mengarah ke “publisitas” sebagai “ karakter” digantikan dengan “gambar”.


Sementara itu, Nancy Fraser (1990) dalam “Rethinking the Public Sphere” mengatakan, ruang publik merupakan lawan dari ruang pribadi (private sphere), dalam hal “berbicara”. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan Mark Poster (1995), bagaimana internet dengan komunitas virtual, kafe elektronik, bulletin board, email, konferensi komputer atau video, dapat dibedakan antara yang publik dan pribadi.


Apa yang ditanyakan Poster, secara jelas dijawab Judit Perrole (1991). Menurutnya, kondisi ideal berbicara lewat internet tidak tercapai. Hal itu karena pembicaraan terdistorsi oleh kontrol mesin. Apa yang jadi pembicaraan lebih sebagai karateristik logika mesin daripada sebuah hasil interaksi manusia.


Di tengah perdebatan, yang jelas, setiap media massa, dari cetak hingga elektronik, memiliki karakteristik yang berbeda-beda dengan keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Jika lewat media seperti novel dan televisi, meski interpretasi individu dilakukan oleh mereka sendiri, namun para pembaca atau penonton bukanlah menjadi sasaran langsung tapi sebagai khalayak umum. Sedang lewat internet, individu membaca dan menginterpretasikan komunikasi menurut dirinya sendiri pada orang lain, merespons dan mentransmisikannya.


Dan yang patut menjadi perhatian, internet mendobrak eksistensi media mainstream. Internet juga merupakan sebuah teknologi yang meletakkan kegiatan budaya, simbolisasi dalam semua bentuk, dapat dipakai semua orang, dan secara desentralisasi merupakan posisi dari percakapan, publikasi, pembuatan film, radio dan pertelevisian.


Dalam perspektif ekonomi politik liberal, pasar mempunyai “kebebasan” yang paling seluas-luasnya dalam beroperasi (Golding dan Murdock, 1996). Sebab dalam pemikiran pandangan ini, fokus perhatian adalah pertukaran pasar antara konsumen dan komoditas kompetitif. Lebih jauh, ekonomi politik liberal bercaya bahwa privatisasi layanan publik dan komunikasi adalah lebih baik karena menambah pilihan konsumen.


Ancaman yang mungkin muncul dari perspektif tersebut adalah konglomerasi media. Dengan media konglomerasi, dimana korporasi memiliki beberapa macam produksi dan distribusi media, dari hilir sampai hulu (vertical integration), para konglomerat dapat mensirkulasikan produksinya melalui media berbeda dalam satu korporasi. Yang dikhawatirkan Blevins (1999), kreativitas produksi akan menurun dan lebih terfokus pada persoalan mendapatkan keuntungan.


Senada dengan Blevin, EM Lenert (1998) dengan gamblang mengatakan bahwa teknologi informasi dan world wide web merupakan penerus tradisi demokrasi yang hebat. Karenanya penting untuk menentukan bagaimana teknologi ini diatur dengan konsekuensi sosialnya harus melawan asumsi yang mengatakan liberalisasi sama dengan demokratisasi. Privatisasi, katanya, berati komersialisasi, bukan demokrasi.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

kemajuan teknologi di dunia ketiga serta tinjauan toerinya membuat saya ingin tahu lagi kontribusi dan teori apa yang ideal di Indonesia yang saya pahami teknologi sangat cepat memabatu pembangunan di dunia ketiga dan sangat mempengaruhi disegala bidang mohon kirim artikel bila ada perkembangan teknologi dan pembangunnan dunia ketiga untuk menambah wawasan saya terimaka sih.

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut