30 September 2008

HAPPY EID MUBARRAK




Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin


Semoga Alloh SWT menerima amal ibadah Ramadhan kita sehingga menjadikan kita golongan manusia bertaqwa dan dipertemukan kembali dengan Ramadhan tahun depan. Amien.








Heru Sutadi dan keluarga

23 September 2008

Selebritas dan Privasi



Artis Sarah Azhari pernah berang terhadap wartawan infotainment yang dianggapnya telah mengusik wilayah pribadinya (privacy) berkenaan dengan kasus rumah tangga adik Sarah, Rachma Azhari, yang dikabarkan sedang bermasalah. Dikatakan melanggar hak pribadi, hal itu karena persoalan Rachma bukanlah masalah yang terkait dengan dirinya, dan Sarah merada wartawan infotainment terlalu mengejarnya untuk mendapatkan komentar mengenai rumah tangga Rachma tersebut.



Dari fenomena ini, persoalan hak pribadi dalam bermedia perlu menjadi pegangan bagi seluruh media, baik itu cetak, radio, internet serta televisi. Sehingga, media harus mempertimbangkan, termasuk investigative reporting, apakah cara mendapatkan informasi dan penyebarluasan informasi memasuki wilayah pribadi atau tidak. Misalnya saja, masalah kondisi rumah tangga, kegiatan harian seseorang, atau hal-hal lain yang dapat dikategorikan ke dalam masalah pribadi.


Sebab dengan memasuki wilayah pribadi, maka hak asasi seseorang untuk merasa secure (aman) telah ternodai, dan bisa jadi informasi yang disampaikan justru membunuh karakter (character assasination) orang yang bersangkutan. Hanya saja, persoalannya, media telah menjadi ajang juga bagi para selebritas untuk curhat, membagi cerita-cerita yang bersifat pribadi, bahkan menjadi sasaran untuk membuka hal-hal yang seharusnya masuk dalam wilayah pribadi.


Misalnya kasus Ibu dari Kiki Fatmala, proses perceraian Saipul Jamil dan Dewi Perssik ataupun Dhani-Maia. Padahal, persoalan mereka merupakan persoalan pribadi, dan publik tidak perlu tahu. Namun yang terjadi, privacy itu justru dibuka dengan sangat transparan ke muka publik. Publik tidak perlu tahu apa yang terjadi dengan keluarga masing-masing pasangan sehingga bercerai. Namun yang terjadi, aib mereka dibeberkan di muka publik.


Yang bisa ditarik, selebritas sendiri kebingungan, menentukan mana yang publik perlu tahu dan tidak perlu tahu. Akibatnya, masalah-masalah pribadi pun kemudian dianggap sebagai masalah publik.


Di mana-mana memang, segala langkah dan tingkah laku selebriti akan menjadi sorotan. Jangankan ke tempat-tempat yang kurang baik, langkah artis ke masjid, gereja, sakit bahkan meninggal juga tetap merupakan santapan ‘lezat’ media. Sehingga kunci utamanya tetap adalah kehati-hatian dalam bersikap dan melangkah.

16 September 2008

Persuasi Dalam Politik (2): Dari Propaganda Hingga Retorika

Ada tiga pendekatan kepada persuasi politik: propaganda, periklanan dan retorika. Dengan persamaannya adalah semuanya bertujuan, disengaja dan melibatkan pengaruh. Sedang perbedaannya meliputi, pertama, perbedaan dalam meneruskan pesan dengan tekanan satu ke banyak dan dua arah. Kedua, orientasi pendekatan, perorangan atau kelompok. Ketiga, pandangan berbeda yang memungkinkan adanya masyarakat. Dan keempat, masing-masing menggunakan fokus yang berbeda dalam merumuskan masalah.

Propaganda
Jacques Ellul (1965) mendefinikan propaganda sebagai komunikasi yang “digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, diersatukan secara psikologis dan dugabungkan di dalam suatu organisasi.” Bagi Ellul, propaganda erat kaitannya dengan organisasi dan tindakan, yang tanpa propaganda praktis tidak ada.

Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda memisahkan propagandis dari khalayaknya. Namun menurut Ellul, propagandis sebenarnya merupakan wakil suatu organisasi yang berusaha mengontrol anggotanya. Sehingga disimpulkan, propagandis adalah seorang teknikus kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa negara atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara, mempergunakan propaganda sebagai suatu mekanisme kontrol sosial.

Ellul membagi tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan sosiologi. Propaganda politik melibatkan usaha pemerintah, partai atau golongan untuk mencapai tujuan strategis dan taktis. Sementara propaganda sosiologis merupakan perembesan cara hidup yang berangsur-angsur masuk ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik.

Ellul juga membedakan propaganda integrasi dengan agitasi dan propaganda vertikal dengan horisontal. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita. Sedang propaganda integrasi bertujuan menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang.

Yang dimaksud propaganda vertikal adalah propaganda satu satu ke banyak dengan mengandalkan media massa bagi penyebarannya. Sedangkan propaganda horisontal lebih banyak melalui komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi dibanding komunikasi massa.

Jika dihubungkan dengan kelima dasar identifikasi unsur-unsur komunikasi yang dikemukakan Harold Lasswell (1948)—siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa dan dengan akibat apa, titik fokus kampanye propaganda dirumuskan Dan Nimmo (2000) lebih ke arah: siapa, mengatakan apa dan melalui saluran mana.

Beberapa pertimbangan untuk fokus pada siapa meliputi status komunikator, kredibilitas komunikator serta daya tarik komunikator. Sedang untuk mengatakan apa, berbagai pesan propagandis berhubungan isi dan struktur pesan. Fokus dengan saluran mana, berkait dengan media apa yang digunakan dan dipercaya orang serta media yang sesuai dengan orang tertentu.

Periklanan
Periklanan massal adalah komunikasi satu ke banyak. Namun berbeda dengan propaganda yang ditujukan pada orang-orang sebagai anggota kelompok, periklanan mendekati mereka terutama sebagai individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat. Bila orang bertindak secara independen sampai pada pilihan yang sama, maka pilihan individual itu berkonvergensi.

Dimensi periklanan dalam persuasi politik, menjadikan kandidat laksana produk. Produk menjadi sebuah kombinasi yang beraneka ragam dari kandidat itu sendiri, citra politisi dan platform yang menyokong, yang dipromosikan dan disampaikan kepada khalayak yang tepat (Bruce I. Newman, 1999). Produk yang tidak dikenal, dengan teknik pemasaran yang baik, dapat dijual kepada pemilih sehingga memperoleh kesuksesan.

Dan Nimmo (2000) membagi tipe periklanan menjadi komersial dan nonkomersial. Periklanan komersial meliputi periklanan konsumen untuk menjual produk dan jasa dan periklanan perusahaan yang ditujukan kepada manajemen industri, profesional serta pedagang grosir maupun eceran. Periklanan nonkomersial dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, kelompok politik, pemerintah dan para kandidat politik.

Periklanan dapat juga dibagi menjadi periklanan produk dan periklanan institusional. Periklanan produk mempromosikan penjualan barang atau jasa. Dalam dunia politik, periklanan ini berkenaan dengan citra. Menurut Newman, citra merupakan subyek yang menyurutkan dan menaikkan kemampuan politisi dalam menghadapi bermacam isu dan skandal yang muncul. Kesuksesan penciptaan citra menghendaki perhatian terhadap opini publik dan apa yang diperdebatkan publik secara konstan.

Sama dengan citra merk, citra merk untuk sebuah produk mewakili semua persepsi tentang merk dan dibentuk berdasar informasi yang dimiliki konsumen tentang merk tersebut, citra politik tidak dapat dipisahkan dari obyek politik yang mempengaruhi perasaan orang dan sikap tentang politisi. Dalam politik, citra diciptakan melalui impresi visual yang dikomunikasikan lewat tampilan fisik politisi, kemunculan di media, pengalaman serta rekornya sebagai pemimpin politik yang semua informasi tersebut terintegrasikan ke dalam pemikiran rakyat. Citra dari kandidat juga dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan rakyat dalam negara kepadanya.

Periklanan institusional mempromosikan reputasi sebuah industri, badan usaha, bisnis atau kegiatan komersial lainnya. Periklanan institusional mirip dengan hubungan masyarakat. Periklanan ini berusaha meyakinkan orang bahwa sebuah institusi memiliki reputasi di belakang suatu merk dagang. Hal itu untuk menjawab anggapan bahwa orang lebih cenderung berurusan dengan lembaga yang dipercaya daripada yang tidak dipercayainya.

Fokus kampanye periklanan, menurut Dan Nimmo adalah kepada siapa dan dengan akibat apa. Beberapa pertanyaan kepada siapa yang harus dijawab pengiklan politik dalam merumuskan kampanye adalah apa yang memotivasi khalayak dan apa karakteristik kepribadian dan sosial khalayak. Sedangkan dengan akibat apa, lebih cenderung menfokuskan pada bagaimana komunikasi persuasif melibatkan orang-orang dalam menciptakan kembali citra mereka tentang politik.

Retorika
Retorika merupakan bentuk persuasi yang menonjolkan komunikasi dua arah, dialektika, negosiasi dan drama. Melalui retorika, yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas.

Karena merupakan komunikasi dua arah, satu ke satu dan bukan satu ke banyak, retorika politik, merupakan proses yang memungkinkan terbentuknya masyarakat melalui negosiasi. Melalui retorika politik, kita menciptakan masyarakat dengan negosiasi yang terus berlangsung tentang makna situasi dan tentang identitas kita dalam situasi tersebut.

Adapun tipe-tipe retorika politik, seperti digolongkan Aristoteles dalam Retorika, meliputi deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan pada apa yang akan terjadi di masa depan jika ditetapkan kebijakan tertentu. Retorika forensik bersifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau menjatahukan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.

Fokus kampanye retoris, menurut Dan Nimmo adalah bagaimana menciptakan dan merayu khalayak. Sementara yang dimaksud khalayak, diklasifikasikan Hugh Duncan (1962) meliputi: khalayak umum, pelindung komunitas, kawan dan orang dekat, diri sendiri dan khalayak ideal.

Dari ketiga cara berpikir tentang persuasi politik tersebut, nampak bahwa persuasi merupakan transaksi kreatif yang dimana yang dipersuasi ikut memberi tanggapan terhadap lambang dalam imbauan persuader. Hal itu membantah argumentasi di banyak literatur bahwa persuasi hanya manipulatif dimana khlayak bereaksi terhadap lambang-lambang secara otomatik. Dalam pengertian Burke, yang dipersuasi terlibat secara aktif dalam persuasi itu sendiri.

Agar persuasi tidak seperti robot yang digerakkan oleh propaganda, periklanan dan retorika, William McGuire (1968) mengatakan bahwa ada enam tahap pemrosesan informasi agar persuasi itu terjadi: harus ada imbauan persuasif, orang harus memperhatikannya, harus memahaminya isinya, menerimanya, tetap pada opini yang baru dianutnya serta bertindak lebih lanjut berdasarkan pandangan itu.Keenam langkah persuasi McGuire dapat dipandang sebagai tahap-tahap yang diidentifikasikan di dalam proses persuader dan yang dipersuasi menyusun makna atau citra bersama tentang pesan persuasif. Dengan mengikuti langkah McGuire kita dapat menggabungkan tahap penyusunan citra dengan kelima unsur komunikasi Lasswell: sumber (siapa?), pesan (mengatakan apa?), saluran, penerima (dengan siapa?) dan tujuan (dengan akibat apa?).

11 September 2008

Menanti Implementasi Number Portability

Kejadian ini mungkin pernah Anda alami. Ketika pergi ke suatu daerah dan ingin menggunakan telepon seluler (ponsel), namun ternyata operator yang sehari-hari Anda pakai tidak mempunyai jaringan di daerah itu sehingga ponsel Anda pun tidak dapat digunakan. Anda kecewa karena jaringan operator lain ternyata cukup bagus di sana. Dari kejadian itu, bukan tidak mungkin Anda akan berpikir, alangkah nikmatnya jika tanpa mengganti nomor telepon, ponsel yang Anda pakai tetap berfungsi.

Kejadian lain, dengan makin ketatnya kompetisi dimana tiap operator menawarkan beragam bonus maupun tawaran menarik, terkadang kita iri jika ternyata operator yang kita langgani tidak bisa memberikan bonus atau tawaran menarik seperti yang diberikan operator lain. Jika saja kita tidak perlu repot-repot memberi tahu semua relasi, kerabat maupun teman-teman untuk mengganti nomor dan operator, rasanya asyik juga semua bonus dan tawaran menarik dari semua operator dapat kita nikmati.

Keinginan-keinginan seperti itu, ternyata bukan hanya impian Anda seorang. Konsumen di berbagai dunia mempunyai keinginan dan impian yang sama: bisa berganti-ganti operator, menikmati semua tawaran menarik yang diberikan operator-operator, dan untuk mendapatkan semua itu tak perlu repot-repot mengganti nomor HP yang kita pakai selama ini. Dengan konsep apa yang dinamakan number portability, keinginan tersebut menjadi kenyataan, bukan sekadar impian lagi.

Tak Perlu Ganti Nomor
Number portability (NP) memungkinkan pengguna atau konsumen untuk berganti operator dalam memberikan layanan telekomunikasi tanpa perlu berganti-ganti nomor. Dengan NP, selain memberikan akses lebih luas kepada pilihan layanan maupun operator, pengguna berkesempatan untuk mendapatkan harga yang lebih murah terhadap layanan yang ditawarkan, menghindari biaya yang diakibatkan perubahan nomor pelanggan serta perubahan pada buku petunjuk telepon misalnya.

Berdasarkan kelasnya, setidaknya ada dua bagian besar NP, yaitu local number portability (LNP) dan mobile number portability (MNP). MNP kadang-kadang disebut juga dengan wireless number portability (MNP) atau wireless local number portability (WLNP). Di beberapa negara, seperti Australia, sebenarnya ada juga dengan apa yang disebut freephone number portability (FNP) dan local rate number portability (LRNP). Namun begitu, LNP dan MNP lebih sering mengemuka mengingat pembagian telepon lokal dan bergerak juga sudah begitu umum.

Dalam hal implementasi, negara pertama yang memperkenalkan NP untuk telepon bergerak adalah singapura di tahun 1997. Sementara negara lain, meski baru berfungsi secara penuh pada Januari 2000, Australia telah memulai LNP pada bulan Mei 1998. Di Amerika Serikat, Federal communications Commission (FCC) sebagai regulator di sana telah memandatkan bahwa NP harus diimpelementasikan sebelum Regional Bell Operating Companies (RBOCs) diijinkan untuk menawarkan layanan jarak jauh di wilayah mereka, hampir satu dekade lalu. Meskipun, untuk WLNP baru dimulai 24 November 2003. Hanya, FCC juga menambahkan aturan bahwa LNP dapat pula digunakan secara baik pada telepon bergerak. Sementara di Australia, MNP antaroperator telah dimulai 2001.

Beberapa negara yang baru mulai menerapkan MNP adalah Arab Saudi dan India. Sementara Jepang, akan menerapkan MNP pada 24 Oktober mendatang. Konsumen seluler di sana dapat berpindah-pindah operator tanpa mengganti nomor dengan biaya 5000 yen. Namun begitu, bagi penikmat MNP di negeri Matahari Terbit itu harus rela karena download untuk data maupun musik belum bisa berfungsi.

Tantangan

Semua negara yang mengimplementasikan NP rata-rata menganggap bahwa NP merupakan aset yang begitu berharga untuk memberikan kebebasan memilih operator. Hanya saja, seperti di India, implementasi NP sedikit mendapat tentangan dari operator seluler yang khawatir akan menghambat pertumbuhan pelanggan di sana. Sedang di Australia, karena banyak perusahaan telekomunikasi memberikan tarif khusus atau diskon untuk percakapan antarpelanggan dalam operator yang sama (on-net), dengan NP konsumen justru mendapat kesulitan untuk menentukan operator mana yang digunakan lawan bicaranya saat percakapan dilakukan.

Diakui, implementasi NP memiliki kompleksitas yang cukup tinggi dari beragam sisi. Misalnya saja dengan konsep penomoran selama ini dimana operator mendapatkan blok nomor dari regulator dan operator menyediakan nomor-nomor dari blok tersebut ke penggunanya. Dengan NP, positifnya, besarnya blok tentu tidak sebesar dibanding penomoran konvensional bahkan hanya dibutuhkan beberapa blok saja. Sistem ini, beragam operator dalam satu blok, akan bekerja cukup baik di lingkungan telepon tetap kabel (fixedline) dimana pengguna dimasukkan dalam infrastruktur yang sama. Persoalannya akan lebih kompleks jika diimplementasikan untuk telepon bergerak.

Dalam NP, ada yang dinamakan jaringan “donor” yang menyediakan nomor, dan jaringan “recipient” yang menerima nomor. Perpindahan jaringan “donor” ke jaringan “recipient” itulah inti dari konsep kerja NP. Kedua jaringan tersebut, yang akan melibatkan beberapa operator yang akan mengimplementasikan NP, harus bekerja secara baik, cepat dan halus. Memang tampaknya rumit, namun sesungguhnya operasi dasar NP bukan hal baru bagi mereka yang pernah pergi ke luar negeri dimana agar bisa roaming di negara tujuan—jika pemilihan jaringan dilakukan secara manual, bukan otomatis—kita dapat memilih operator setempat yang diinginkan.

Kapan Mengadopsi?
Untuk Indonesia, konsep penomoran masih menggunakan konsep konvensional, sama dengan negara-negara yang belum mengadopsi NP dimana regulator memberikan blok nomor ke operator dan operator lah yang mengatur nomor yang akan dipasarkan ke konsumen. Dengan manfaat dan perkembangan NP, yang jadi pertanyaan adalah kapan kita akan mengadopsi NP?

Yang jelas, adopsi NP menjadi dilematis. Di satu sisi, konsep tersebut sangat berpihak kepentingan masyarakat sebab akan memberi pilihan bagi masyarakat dalam memilih operator yang memberi tarif layanan lebih baik dan lebih murah. Namun memang diakui bahwa adopsi NP tidak bisa dilepaskan dari bagaimana pasar telepon tetap dan bergerak di suatu negara.

Banyak negara mengimplementasikan NP karena pertumbuhan pengguna telepon, terutama telepon bergerak, telah berada pada satu titik masif, yang tidak akan bisa tumbuh secara signifikan lagi. Karenanya, agar iklim kompetisi tetap berjalan dan menarik investor, maka dikeluarkan kebijakan NP.

Apalagi, pasar Indonesia menjadi kian sempit. Lihat saja di sektor telepon bergerak, saat ini sudah ada sekitar 106 juta pengguna. Pertumbuhan ini lebih cepat, karena sebelumnya diyakini bahwa angka psikologis 100 juta pengguna baru akan dapat dilampaui paling tidak di tahun 2010. Idealnya memang kebijakan NP dikeluarkan setelah pasar mengalami kejenuhan sehingga butuh penyegaran.

Tanpa mendahului proses konsultasi publik dengan seluruh stakeholder telekomunikasi yang perlu dilakukan sebelum kebijakan NP diambil, ‘jalan tengah’ yang mungkin bisa dilakukan adalah mengimplementasikan NP secara gradual. Hal itu bisa dimulai dari telepon tetap, FWA maupun seluler, atau sebaliknya dan kombinasinya. Bisa juga, regulator mengeluarkan nomor secara terbatas dulu untuk NP yang dapat dipakai berpindah-pindah operator ke seluruh operator yang ada, termasuk dari telepon tetap ataupun FWA ke seluler.

Memang implementasi ini tidak mudah karena bukan tidak mungkin akan terjadi resistensi dari kalangan operator. Namun, terobosan regulasi tetap perlu dilakukan jika memang masyarakat sudah banyak yang menghendakinya. Dan seharusnya, NP menjadi tantangan tersendiri bagi operator untuk memelihara dan meningkatkan kualitas jaringan dan layanan serta memberikan harga yang bersaing untuk para konsumen telekomunikasi di Indonesia.

08 September 2008

Terima Kasih Dhani, Tapi Maia dan Infotainment Gimana?

Ada berita yang menarik di Detikhot, pada beberapa hari lalu. Judul tulisannya, “Konflik dengan Maia, Dhani Sadar Masyarakat Bosan” yang bisa diakses di http://www.detikhot.com/read/2008/09/04/100508/1000078/230/konflik-dengan-maia-dhani-sadar-masyarakat-bosan.

Dibilang menarik, karena tentunya pernyataan ini begitu dinanti oleh publik, mengingat proses konflik pentolan Grup Band Dewa ini dengan istrinya, Maia–pentolan Grup Ratu dan kini menjadi Duo Maia, cukup berlarut-larut. Bayangkan, dalam dua tahunan ini kita disuguhkan berita konflik Dhani-Maia di layar televisi maupun media infotainment. Jenuh dan bosan seperti yang dikatakan Dhani, ya tentu saja.

Sebab ada dua hal kritis yang patut diajukan pada Dhani dan Maia, tanpa atau dengan posisi mereka sebagai selebritas yang punya nama. Pertama, apakah memang setiap persoalan rumah tangga, termasuk selebritas dengan begitu mudahnya dan entengnya disebar ke rana publik? Dari hal-hal sepele sampai hal-hal yang mengindikasikan perang dingin antara keduanya. Yang satu ngomong A, dibalas satunya dengan mengatakan B. Yang satu berbuat X, satunya nggak mau kalah berbuat Y. Sungguh, sebenarnya, tontonan yang tidak akan pernah habis karena ceritanya bisa menganak sungai, dari soal anak, manajer, pembantu sampai sopir, semua dilibatkan.

Dan kedua, kok demikian berlarut-larut ya? Pertanyaan ini mengemuka juga di banyak infotainment. “Wong mau pisah saja harus ramai-ramai di mana-mana, pisah ya tinggal pisah” demikian pertanyaan yang menjadi kecurigaan, jangan-jangan ulah keduanya disengaja untuk tetap menaikkan rating keduanya, yang sama-sama memiliki kelompok musik, yang memang secara langsung atau tidak, kedua-keduanya berada di puncak deretan artis-artis top yang ada saat ini. Sebab bayangkan, dua tahun kita disuguhi cerita bagai sumur tanpa dasar, yang bisa digali-digali dan digali.

Kecurigaan itu sebenarnya, memang bukan tanpa alasan. Begitu sering artis digosipkan pacaran dengan A, mau bercerai, atau mau apa lah, yang ujung-ujung nya ternyata sedang mempromosikan album, sinetron atau film nya, agar terdongkrak dan publik penasaran. Tentu masih ingat, kecurigaan publik terhadap hubungan cinta Agnez Monica dengan Dirly Idol, yang katanya terkait dengan upaya Agnez mempertahankan diri sebagai artis paling ngetop. Benar- atau tidak, saat itu Agnez terpilih sebagai artis paling ngetop, dan sesudah itu pula hubungan cinta dengan Dirly tidak jelas ujungnya. Sehingga, propaganda seperti itu dianggap wajar di dunia hiburan, yang membuat orang makin penasaran, dan ujung-ujungnya menjadi artis paling dicari infotainment, dan album, sinetron maupun film-nya ”meledak”.

Kembali ke perseteruan Dhani dan Maia, tentunya akar masalah dan mau ke mana muaranya, hanya mereka yang tahu. Tapi dengan pernyataan Dhani, mudah-mudahan ini menjadi pelepas dahaga bahwa persoalan ini, walaupun belum tentu berakhir, tidak lagi melibat-libatkan publik melalui infotainment atau berita-berita sejenis, yang sudah jenuh dengan cerita yang nggak ada “mati-matinye”, apa lagi kan ini masalah intern rumah tangga. Jangan kan orang se-Indonesia tahu, berantem di keluarga saja kalau se RT tahu, seperti mau ditaruh di mana muka kita, “Mau ditaruh di mana muka ini, malu aku,” seperti kata Bang Tigor di sinetron “Suami-suami Takut Istri”.

Setelah Dhani, ada dua unsur penting lagi untuk menyetop drama berbabak-babak tanpa berkesudahan ini. Pertama, adalah Maia. Karena Dhani sudah legowo, diharapkan Maia juga mengambil sikap serupa. Kasihan anak-anak kalau semua perseteruan orang tuanya disaksikan publik, semua rahasia keluarga jadi rahasia publik. Selesaikanlah secara baik dan dicari jalan keluarnya. Dan kedua, masyarakat, terutama wartawan infotainment. Berilah waktu dua pasangan ini untuk mengambil keputusan penting dalam hidup mereka. Sebab, dalam konflik, yang sesungguhnya bisa memecahkan persoalan itu, adalah yang berkonflik itu sendiri. Memang kadang-kadang dibutuhkan pisahk lain, tapi dalam banyak kasus justru pihak lain menjadi faktor “ngompori” sehingga makin meledak.

Mudah-mudahan saja media, khususnya infotainment, tidak mengambil posisi sebagai kompor.

06 September 2008

Strategi Kampanye: Persuasi Politik dan Agenda Setting (1)


Agenda setting memiliki potensi untuk membangun masalah-masalah bagi publik. Seperti dikatakan McComb dan Shaw, media menentukan isu-isu penting, yang berarti media mengatur ‘agenda’ dari kampanye. “The mass media may well determine the important issues—that is, the media may set the ‘agenda’ of the campaign.”


Dalam sebuah kampanye pemilihan di Denmark, penelitian menunjukkan adanya tiga pengaruh agenda. Pertama, sejauh mana media mencerminkan agenda publik atau yang disebut dengan representasi. Dalam agenda representasional, publik yang mempengaruhi media. Kedua, pemeliharaan agenda yang sama oleh publik selama waktu itu yang disebut persistensi. Dan ketiga, terjadi apabila agenda media mempengaruhi agenda publik, yang disebut persuasi. Jenis pengaruh yang ketiga ini—media mempengaruhi publik—adalah tepat seperti apa yang diramalkan oleh teori agenda setting klasik.

Meski dikatakan McCombs dan Shaw bahwa editor, staf pemberitaan dan penyiar memainkan peranan penting dalam mempertajam realitas politik, memilihkan what to think about kepada publik, namun berita politik merupakan gabungan kreasi antara jurnalis dan komunikator politik lain—politikus, profesional dan juru bicara—yang mempromosikannya. Sehingga, hal tersebut memungkinkan persuader ikut ‘bermain’ dalam agenda setting.

Untuk melihat kaitan lebih jauh antara persuasi dengan agenda setting, mengikuti identifikasi Lasswell untuk melukiskan tindakan komunikasi—siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa dan dengan akibat apa, jelas bahwa persuader—politikus, profesional dan juru bicara, merupakan sumber berita bagi para jurnalis yang dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Lebih jelas lagi, dengan posisi seorang presiden. Hampir semua apa yang dilakukan presiden membuat berita—apa yang dikatakannya, bagaimana mengatakannya, ke mana ia pergi, apa yang dilihatnya dan bahkan kecelakaannya.

Dalam konteks persuasi politik, kaitan agenda setting di sini adalah dengan propaganda, periklanan dan retorika. Temua-temuan riset menyebutkan, untuk bisa mempengaruhi agenda setting, pesan akan dilihat berdasarkan isi dan struktur pesan. Yang perlu diperhatikan di sini adalah jangka waktu yang terbatas untuk kampanye politik hampir tidak cukup untuk melakukan propaganda penuh. Karena itu, dalam kampanye politik kontemporer terletak pada upaya mempersuasi melalui periklanan massa dan retorika, bukan propaganda.

Persuasi modern menggunakan semua saluran komunikasi modern. Imbauan kepada massa dilakukan baik melalui hubungan tatap muka ataupun melalui media antara, yaitu media elektronik, media cetak dan poster. Namun baiknya dipikirkan bukan menentukan media mana yang akan digunakan, melainkan media mana yang tepat untuk persuasi. Yang menantang untuk dimanfaatkan dalam mengatur agenda persuasi adalah televisi. Televisi tetap digunakan secara luas sebagai saluran persuasi.

Melihat perkembangan terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, selain mengandalkan iklan televisi dan kaset video yang kirim langsung ke pemilih, persuasi kini juga menggunakan teknologi informasi (internet).

Tujuan akhir dari persuasi adalah khalayak. Jika persuasi masuk dalam agenda setting, proses dialektis yang diharapkan adalah tindakan yang merefleksikan perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai dan pengharapan. Sehingga, kaitannya dengan agenda setting adalah bagaimana mempengaruhi khalayak itu dengan isu-isu yang ingin disampaikan persuader dengan menggunakan media.

Secara kritis, ada tiga hal yang dikedepankan dari tulisan mengenai agenda setting dalam persuasi politik: menyangkut persuasi politik itu sendiri, teori agenda setting dan relasi antara keduanya, terutama jika dikaitkan dengan tujuan akhir persuasi, yaitu mempengaruhi khalayak. Mengenai persuasi, selain persoalan efek terbatas, dalam kasus kampanye misalnya, bagaimana orang memilih, merupakan lebih merupakan interaksi yang kompleks antara pemilih dan sistem politik.

Kritik terhadap teori agenda setting ini sendiri adalah McComb dan Shaw menggambarkan bahwa manusia adalah pasif sehingga dalam mengendalikan lingkungannya agenda media berpengaruh terhadap agenda masyarakat. Jika dihubungkan dengan limited effect theories, pengaruh media atas publik tidak sebesar yang diperkirakan. Ada halangan yang menghambat peran media atas publik, seperti tingkat intelektualitas, pendidikan agama, norma keluarga dan sebagainya.

Dan mengenai relasi agenda setting dengan persuasi politik, memang bisa jadi tak semudah ataupun sesulit yang dibayangkan. Persuader seperti presiden misalnya, hampir semua yang dilakukannya menjadi berita. Namun, meisi media itu sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh pekerja media secara individu, rutinitas media, organisasi media, institusi di luar media dan ideologi, dimana faktor-faktor tersebut berada dalam hubungan hierarkis. Sehingga, meskipun persuader mencoba memasukkan agenda setting tertentu, media mempunyai ideologi, aturan, tata kerja serta kemampuan wartawan yang memungkinkan agenda yang hendak ditanamkan bisa berbeda atau sama sekali tidak disinggung dalam media tersebut.

02 September 2008

Made in Indonesia


Sebagai bangsa, negara ini kaya. Apapun kita punya. Laut yang luas dengan segala keanekaragaman isinya, gunung, hutan, lembah, ngarai, pantai, semua ada di ini. Kita juga memiliki manusia-manusia yang penuh talenta sehingga menghasilkan kreativitas seni yang memukau.

Ini saya lihat dari perjalanan saya ke Bali minggu lalu. Perjalanan yang lebih tepatnya adalah tugas konferensi tingkat ASEAN. Salah satu yang dimunculkan dalam konferensi internasional adalah pergeralan budaya Indonesia. Dan karena di Bali, tentunya budaya, kesenian Bali yang sudah dikenal di mana-mana.




Perjalanan budaya yang cukup berkesan adalah ketika makan malam di Puri Kerambitan, Tabanan. Acara cukup meriah. Kami yang datang dengan beberapa bus besar disambut dengan obor yang dibawa warga dan tari-tarian.

Tarian Selamat Datang ini dibawakan lelaki dan perempuan. Pokoknya menarik perhatian bagi mereka yang baru melihatnya, saya sendiri sudah dua kali datang denga pakaian khusus khusus seperti terlihat difoto ini, tapi tetap takjub dengan sambutan yang megah seperti itu.

Setelah itu, kami masuk ke dalam Puri dan disambut Raja Kerambitan. Raja ini, menurut Pak Raja sendiri, adalah Raja yang modern. Sebab, hanya beristri satu. Padahal ayahnya, ayah dari ayahnya, beristri lebih dari satu. Kami pun disuguhi makanan-makanan khas Indonesia, kalau tak mau dibilang Bali. Ada soto ayam, bebek betutu, minuman brem Bali, dan yang benar-benar khas adalah daun belimbing yang diolah bikin mak nyos di mulut.

Sambil makan malam dengan pernak-pernik layaknya di kerajaan, kami disuguhi juga tari-tarian Bali. Tarian yang trully Indonesia. Meski banyak negara mengaku-ngaku bahwa batik, reog ponorogo, ukir-ukiran, wayang, tahu, sampai mungkin tari Bali merupakan produk asli negara tersebut, sesungguhnya nuansa ke-Indonesia-an tetap lah tak bisa melepaskan bahwa produk-produk itu adalah asli made in Indonesia. Sehingga, bukan juga berlebihan jika seperti yang teman saya bilang, negara-negara yang mengaku-ngaku budaya dan kesenian Indonesia sebagai budaya dan kesenian mereka, sebagai negara-negara yang trully Indonesia.