31 Desember 2009

detikcom : Prita Mulyasari dan UU Konvergensi

title : Prita Mulyasari dan UU Konvergensi
summary : Implementasi kebijakan telekomunikasi dan informatika terkadang carut marut. Salah satunya adalah UU ITE yang digunakan untuk menjerat Prita Mulyasari. Demi harmonisasi, diperlukan UU Konvergensi untuk menyatukannya. (read more)

16 Desember 2009

Prita, Koin Keadilan dan Perlawanan Rakyat

Prita Mulyasari adalah Fenomena. Lambang yang terang akan ketidakadilan dan perlawanan terhadap hukum di bumi Indonesia ini. Seorang Ibu yang digugat oleh sebuah rumah sakit akibat email yang dikirim ke teman-temannya sebagai rasa ketidakpuasan akan layanan RS tersebut. Di awal kasusnya, ketika saat itu sedang ramai-ramainya kampanye politik, terutama pemilihan presiden, semua calon pemimpin seolah-olah peduli turun tangan terhadap nasib Prita. Namun dalam perjalanannya, Prita dikesampingkan. Semua perhatian tertuju pada proses hukum yang terjadi pada pejabat-pejabat.


Memang, Prita bukanlah pejabat, dan tidak punya kepentingan politik mewakili partai politik dalam kasusnya. Sehingga, pembedaan perlakuan terjadi. Bibit-Chandra, petinggi KPK, bisa dibebaskan dengan intervensi dari Presiden. Namun tidak dengan Prita, bahkan ada kasus ketidakadilan lain yang juga sama seperti kasus Nenek Minah. Presiden sama sekali tidak bergeming untuk ikut ”mengingatkan” pengadilan agar proses ketidakadilan diselesaikan di luar pengadilan, seperti dilakukan terhadap Bibit-Chandra. Bahkan yang terjadi, Prita dijatuhi hukuman membayar Rp. 204 juta. Uang yang bukan sedikit tentunya.


Di sinilah, perlawanan rakyat terjadi. Uang yang Rp. 204 juta tentu sangat besar bagi keluarga Prita, dengan donasi berupa koin receh dari rakyat, menurut informasi terakhir sudah mencapai setengah milyar. Koin untuk Prita pun berubah menjadi Koin Keadilan, yang artinya jangan sekadar melihat koin recehnya, tapi keadilan yang ingin dicari rakyat melihat sepak terjang penegak hukum maupun pemimpin negeri yang tidak tegas, pilih kasih dan berkutat di wilayah politik melulu.


Ya, koin keadilan merupakan perlawanan rakyat. Yang tentunya, perlahan tapi pasti, bahwa rakyat akan bisa menjadi rakyat dengan ”R” besar dari dan akibat kasus-kasus yang dirasa memuakkan. Ini merupakan peringatan, meski mendapat mandat yang cukup besar dari rakyat dalam Pemilu, tentunya jangan meninggalkan rakyat dalam sepak terjang menjadi wakil rakyat maupun memimpin rakyat. Sebab inilah yang terjadi sekarang. Presiden misalnya, lebih mendengar dan memperhatikan aspirasi partai politik. Lihat saja dalam komposisi kabinet. Para menteri yang diharapkan profesional dan bekerja untuk rakyat, menjadi kapling-kapling jatah partai politik. Ini tentunya begitu menyakitkan rakyat yang mengharapkan kabinet yang dihasilkan adalah Kabinet kerja dengan orang-orang yang berintegritas, profesional—orang yang tepat untuk posisi yang tepat. Sehingga tak heran jika rakyat kemudian melawan.


Bagi para pemimpin dan Wakil rakyat, inilah saat yang tepat untuk introspeksi, mau dibawa ke mana negeri ini. Sebagai pemimpin misalnya, ketegasan seorang presiden dibutuhkan, dengan kearifan sebagai seorang Bapak Bangsa. Manajemen menakut-nakuti, emosional, tentunya harus diubah. Pencitraan juga jangan lagi dikedepankan, dengan nama National Summit, Program 100 Hari, yang didalamnya, tidak ada sesuatu yang baru dan langsung berdampak bagi rakyat. Yang penting adalah kerja..kerja.. dan kerja secara ikhlas, fokus dan punya target yang harus dicapai dengan rakyat sebagai pengawas dan pengawal target-tagret tersebut.


Dalam ilmu komunikasi politik, ada satu hal yang sering dilupakan dan tidak dilaksanakan ketika seseorang telah sukses menggapai kekuasaan dengan politik pencitraan, yaitu bahwa kekuasaan bukanlah akhir dari perjuangan mendapat kepercayaan rakyat, tapi adalah awal, sebab yang tidak kalah penting adalah apa yang dilakukan setelah kekuasaan itu didapatkan.

14 Desember 2009

Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?

Tulisan saya berjudul "Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?" muncul menjadi centerfold di Majalah Gatra edisi minggu ini No. 05 Tahun XVI. Bagi yang belum baca majalahnya, berikut tulisannya:

Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?


Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah—tanpa mengecilkan peran pihak lainnya, sesungguhnya menegaskan bahwa peran jejaring sosial saat ini tidak bisa dianggap remeh. Berkat dukungan pengguna jejaring sosial Facebook dalam “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto” yang hingga mencapai lebih dari 1,3 juta orang, membuat kasus ini mendapat perhatian tersendiri. Chandra dan Bibit yang sempat ditahan oleh Polisi kemudian dibebaskan.



Sebelum Chandra-Bibit, publik—pengguna Facebook (facebooker) juga bereaksi keras terhadap penahanan seorang Ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari yang berseteru dengan pihak RS Omni International karena pengiriman surat elektronik ke beberapa teman mengenai buruknya layanan di RS tersebut. Berkat dukungan jejaring sosial, beberapa pejabat dan tokoh yang menjadi calon presiden saat jelang Pemilu dan Pilpres ikut berkomentar dan bereaksi terhadap kasus ini, yang kemudian Prita pun dibebaskan. Walaupun, berbeda dengan Chandra-Bibit, kini Prita terkena vonis perdata dengan diwajibkan membayar denda Rp. 204 juta di tengah perkara pidana yang bergulir di Pengadilan Negeri Tangerang.


Fenomena tersebut perlu dicermati, sebab bukan tidak mungkin ini merupakan bentuk baru demokrasi yang ada di tengah masyarakat. Demokrasi yang berbasis jejaring sosial web 2.0 berpotensi menjadi ruang publik baru dan menajdi pilar demokrasi kelima setelah eksekutif, yudikatif, legislatif (trias politica) serta media. Meskipun, ada kelebihan dan kekurangan yang ditawarkan struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul individu atau organisasi yang diikat dengan satu atau lebih relasi seperti teman, keluarga, nilai, visi maupun ide.


Jejaring Sosial
Ramainya jejaring sosial dapat dikatakan dimulai ketika dengan layanan BBS (bulletin board system) yang memungkinkan pengguna dapat berkomunikasi dengan pusat sistem dimana dapat mengirimkan pesan, mengunduh dokumen maupun permainan. Sampai kemudian hadir situs yang berfokus menghubungkan antarteman sekolah seperti Classmates.com (1995) maupun SixDegrees.com (1997).


Pada 2002, jejaring sosial benar-benar naik daun dengan hadirnya Friendster. Jejaring sosial satu ini menggunakan konsep yang hampir sama dengan SixDegrees.com dengan melihat hubungan antara pengguna dengan derajat pembeda. Hanya saja, Friendster dirasa kurang interaktif, yang kemudian diperbaiki oleh layanan Facebook. Facebook begitu cepat berkembang. Sejak diluncurkan Mark Zukerberg 4 Februari 2004, di Indonesia sudah saja sudah ada sekitar 12 juta orang pengakses dan penggemar setia Facebook.


Angka tersebut mungkin akan terus bertambah, dan menjadi pandemi mengingat beberapa layanan yang memikat pengguna, seperti pengguna dapat mengunggah foto dirinya, pembuatan grup untuk dapat saling berbagi, chatting serta kirim-kirim pesan. Yang paling utama, menghubungkan jalinan silaturahmi yang telah sekian tahun terputus—menghubungkan kita kembali dengan teman-teman masa kecil, remaja, kuliah, bahkan saudara yang sudah lama tidak ada kabar beritanya. Sungguh menakjubkan.


Tidak heran, resto di mall, kafe, maupun tempat makan favorit, kerap ramai oleh kumpul-kumpulnya reuni apakah SD, SMP, SMA, kuliah. Ya, semua itu karena FB, yang sedikit banyak begitu mempengaruhi kehidupan kita. Tokoh-tokoh publik maupun selebritas, yang secara ”normal” susah didekati, bisa tiba-tiba saja menjadi teman virtual kita. Semua begitu mudah dilakukan. Tidak mengherankan, menurut catatan Alexa.com, Facebook merupakan situs yang paling kerap dikunjungi masyarakat pengguna internet di Indonesia lebih daripada Google maupun Yahoo!


Dalam Pemilu dan Pilpres, Facebook juga marak dengan para caleg dan capres/cawapres yang mencari pendukung lewat dunia maya. Facebook dimanfaatkan untuk pencitraan politik dan mencari pemilih, namun ada juga yang memanfaatkannya sebagai black campaign anti terhadap calon tertentu ”say no to....”. Peranan ini tentu tak lepas dari fenomena penggunaan Facebook dalam kampanye Pilpres yang dilakukan Barack Obama, yang membuatnya menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat.


Yang menarik, saat ini banyak orang lebih mudah digapai melalui pesan ke Facebook atau comment status dibanding email atau telepon langsung karena perkembangan smartphone yang menawarkan Facebook inside. Wartawan-wartawan sekarang misalnya, juga menanyakan nara sumber nya—termasuk juga menghubungi narasumber, melalui Facebook. Dengan jawaban yang tertulis, tentunya proses editing lebih mudah dan tak perlu salah tulis dibanding translasi wawancara verbal.


Pilar Demokrasi?
Internet telah memainkan peran signifikan dalam perubahan dari Orde Baru ke era reformasi. Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pascapembredelan DeTIK, Editor dan Tempo, dengan kehadiran beberapa situs maupun maling list seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi politik yang kontroversial dan kritis saat itu.


Situs-situs tersebut lebih cepat dalam menebar berita dibandingkan media massa lain serta menjadi sumber utama berita dan diskusi yang bebas sensor (lihat Winters, 2000). Bukan hanya itu, karena ‘perlawanannnya’ terhadap tentara dan Departemen Penerangan, media-media tersebut memperkukuh reputasi internet sebagai media bebas yang radikal (Hill dan Sen, 1997). Dari hal tersebut nampak bahwa teknologi informasi terlibat dalam proses perjuangan identitas dan formasi komunitas politik baru di luar negara dan korporasi ekonomi.


Memang dalam melihat politik dan demokrasi, peran jejaring sosial cukup membingungan dan kompleks. Selain karena hanya berupa “kedipan elektronik” di layar monitor komputer atau telepon seluler, juga partisipasi dikirim oleh individu dari lokasi-lokasi yang berbeda, jauh dan mungkin juga belum pernah bertemu. Namun oleh Paul Virilio (dalam Poster, 1995) dikatakan, ruang publik dan demokrasi juga bisa diciptakan dan berlangsung melalui tampilan elektronik di layar monitor. Sehingga, galangan opini maupun isu yang mengemuka melalui jejaring sosial tetap perlu jadi perhatian.


Tentu saja, jika lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif dapat berfungsi sebagaimana diharapkan, dampak jejaring sosial masih dapat ”dikendalikan”. Namun, sebaliknya, jika terjadi kebuntuan seperti terjadi dalam kasus Chandra-Bibit, jejaring sosial apalagi didukung media, bisa menjadi alternatif perjuangan. Walaupun tidak serta merta bisa menjadi gerakan people power, jejaring sosial dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat dalam menghadapi hegemoni politik dan tekanan ekonomi, serta pemicu berhimpunnya kekuatan rakyat. Sehingga, meski hanya melalui ”kedipan layar elektronik”, peran jejaring sosial jangan dianggap remeh.

08 Desember 2009

Finlandia: Dari Hutan Merambah ICT


Jika ada satu negara yang cukup mengesankan kesuksesannya dalam mengembangkan serta menjual teknologi informasi dan komunikasi, itu pastilah Finlandia. Bayangkan, jika sebelum tahun 1990-an negeri yang berada dekat Kutub Utara ini menggantungkan diri pada hasil hutan dan sumber daya alam terbatas, dengan antisipasi yang tepat dan melihat potensi yang dimiliki teknologi informasi dan komunikasi, Finlandia mampu merubah diri. Produksi Finlandia, seperti telepon genggam merk Nokia, kini menjadi HP begitu banyak digunakan atau yang di sini diistilahkan dengan HP “sejuta umat”.


Reputasi kesuksesan Finlandia dalam mereformasi ekonomi dan administrasi publik membuat seluruh dunia menengok ke sana dan menjadikan pengalaman Finlandia yang secara proaktif menyediakan layanan pemerintahan secara elektronik (e-government) sebagai pelajaran berharga agar dapat menuai sukses serupa. Kunci dari apa yang telah dicapai Finlandia memang tidak dapat dilepaskan dari bagaimana e-government dikembangkan di sana mengingat selain reformasi dalam administrasi publiknya, e-government juga mempertajam pembangunan masyarakat informasi.

Jalan Berliku
Visi nasional pengembangan ICT awalnya diformulasikan di tahun 1990-an, yang mengintegrasikan reformasi administrasi dan agenda menciptakan masyarakat informasi. Tentu saja, apa yang dicita-citakan tidak serta merta berbuah keberhasilan. Jalan berliku tetap juga harus dilalui negara yang banyak andil terhadap proses perdamaian dalam konflik antara GAM dan Pemerintah RI di Nanggroe Aceh Darussalam ini.


Memang pengembangan awal ICT berderak karena ditopang kolaborasi yang cantik antara petinggi pengambil kebijakan, baik itu pemerintahan, masyarakat sipil maupun dari sektor swasta. Namun begitu, pemerintah tidak begitu sukses mengefektifkan dan memobilisasi para pegawai negara ke dalam lingkaran visi yang ditetapkan.


Kegagalan memperlebar kepemilikan ICT tersebut kemudian menyebabkan terjadinya kebingungan pihak-pihak yang terlibat mengenai peran mereka dan langkah apa yang harus dilakukan dalam implementasi ICT. Apalagi, pemerintah sendiri belum dapat menetapkan target nasional yang terukur dari pengembangan ICT. Tak adanya target yang harus dicapai, membuat menurunnya akuntabilitas karena antara pihak-pihak yang terlibat dapat menilai kemajuan yang dicapai sesuka hati masing-masing.


Dari kendala yang mengemuka dan mengingat ICT merupakan alat untuk memperbaiki layanan terhadap publik dan mempromosikan manajemen yang efektif dalam administrasi publik, maka kemudian pemerintah secara lebih serius menetapkan tujuan pengembangan e-government dan pertanggungjawabannya, yaiut dengan mereformasi administrasi publik dengan menerapkan prinsip new public management (NPM). Fokus dari NPM adalah desentralisasi, privatisasi serta menciptakan public enterprise, dan disiplin anggaran.


Dengan NPM, maka maka kontrol terhadap pemerintah terhadap lembaga-lembaga terkait dikurangi. Dengan begitu, maka mereka dapat menentukan prioritasnya masing-masing, namun perangkat pengembangan e-government telah lebih dulu disamakan dan antarpihak tetap didorong untuk bekerja sama. Perubahan besar yang dihasilkan dalam administrasi pemerintah di Finlandia adalah akuntabilitas, tanggung jawab dan fleksibiltas yang meningkat, serta diikuti menurunnya koordinasi terpusat dan keterlibatan pemerintah dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang perannya tergantikan oleh masyarakat.

Guna memperkuat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai instrumen memperbaharui sektor publik, maka kemudian digagas proyek perdagangan secara elektronik (e-commerce). Selain memperkenalkan teknologi baru, e-commerce mengubah pola bisnis tradisional ke arah bisnis yang menggunakan jaringan komunikasi elektronik. Yang dijadikan indikator keberhasilan e-commerce di sini adalah pembangunan infrastruktur komunikasi dan peningkatan kepercayaan baik oleh “pedagang” maupun “pembeli”-nya. Oleh Kementerian Perdagangan dan Industri, e-commerce juga disosialisasikan kepada para pengusaha yang tergolong UKM.


Beberapa aktivitas lain yang kemudian muaranya memperkuat posisi Finlandia dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti diluncurkannya proyek untuk menjadikan Finlandia sebagai negara industri content. Yan dimaksud dengan content di sini termasuk produksi yang berisikan dokumenter, budaya, pendidikan, penelitian, hiburan serta pemasaran untuk media elektronik dan aktivitas bisnis yang berhubungan.


Pembangunan masyarakat informasi tidak hanya dibatasi untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi saja. Departemen Pendidikan juga mempromosikan pembangunan kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi serta akses internet melalui jaringan perpustakaan umum. Dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah juga memindahkan pusat administrasi pemerintahan keluar dari wilayah Helsinki, sehingga pembangunan daerah meningkat dan tentunya lapangan pekerjaan.


Cara seperti itu, setidaknya, kemudian berbuah dalam mempersempit kesenjangan digital (digital divide). Seperti diketahui, akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi serta akses internet merupakan halangan pengembangan e-government yang cukup besar. Memang konektivitas telekomunikasi dan internet di Finlandia berada tingkatan yang cukup tinggi, namun hal itu tidak sama di seluruh penjuru negeri.


Dengan kebijakan desentralisasi dalam mewujudkan masyarakat informasi, di tahun 2002 saja sudah 63% dari populasi mempunyai akses terhadap komputer di rumah. Sementara utnuk akses internet, 62% populasi telah dapat mengakses internet di manapun. Namun nampaknya pemerintah belumlah puas dengan angka-angka itu.


Pemerintah kemudian banyak menggelar proyek untuk bagaimana meningkatkan akses seperti dengan meningkatkan jumlah terminal akses internet bagi publik, membangun infrastruktur informasi dan jaringan regional untuk menghubungkan daerah-daerah pedesaan, serta mengembangkan pembelajaran jarak jauh (distance learning) maupun teleworking. Untuk mendukung itu semua, dikeluarkan juga kebijakan yang tujuannya adalah meningkatkan akses broadband di seluruh negeri yang cukup jarang dapat menikmati sinar matahari tersebut.

Rajin Survei
Sejak tahun 1999, Departemen Dalam Negeri Finlandia melakukan rangkaian survei tahunan untuk melihat bagaimana pandangan publik terhadap layanan elektronik dari administrasi publik. Hasil dari survei tersebut akan dijadikan masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan e-government. Salah satu hasil survei misalnya adalah diketahui bahwa masyarakat ternyata lebih banyak peduli terhadap layanan yang disediakan kota praja atau otoritas negara setempat dibanding layanan elektronik untuk sektor publik lainnya.

Sementara itu, hasil survei yang diadakan Departemen Keuangan terhadap masyarakat dan mereka yang memberikan layanan publik mengenai rencana membangun portal nasional, didapat informasi bahwa mereka menginginkan portal yang dapat menyediakan beberapa hal. Yaitu, informasi mengenai organisasi sektor publik, adanya layanan elektronik yang lebih maju dengan kemungkinan tersedianya fasilitas bertransaksi serta mekanisme umpanbalik terhadap pertanyaan yang khusus.

Dalam rangka memenuhi keinginan publik, maka kemudian pemerintah membuat model yang berisikan empat tahapan dalam mengantarkan layanan secara elektronik. Tahapan pertama adalah informasi. Pada tahap ini dibuat situs-situs yang menginformasikan layanan-layanan yang diberikan. Tahap kedua, informasi yang interaktif. Ini merupakan lanjutan tahap pertama yang ditambah dengan dibukanya fasilitas interaksi yang memungkinkan pengguna dapat mengakses database instansi yang dituju, mencari, mengeksplorasi serta berinteraksi dengan data yang dibutuhkan.

Tahap berikutnya adalah transaksi. Setelah interaktif, pada tahap selanjutnya perlunya disediakan fasilitas sehingga pengguna dapat memasuki informasi yang keamanannya terjamin sehingga transaksi dengan instansi tersebut dapat dilakukan dengan aman. Tahap keempat adalah penggunaan data secara bersama (sharing data). Setelah tahap pertama hingga ketiga tercapai, maka dengan terlebih dulu mendapat persetujuan dari pengguna, data-data yang didapat harus juga bisa dibagi dengan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.

Pemerintah Finlandia juga membangun portal resmi pemerintah, portal masyarakat, sebagai pintu masuk dengan administrasi pemerintahan. Portal masyarakat menyediakan akses ke semua otoritas publik, meski kemudian juga dapat digunakan kalangan bisnis. Jalan menuju layanan kepada masyarakat secara online sesungguhnya telah dimulai sejak 1997 ketika Departemen Keuangan meluncurkan “Citizen Guide” yang bertujuan membawa buku pegangan warga negara secara online. Buku pegangan itu sendiri telah tersedia dalam bentuk cetak sejak awal ahun 1990-an. Ketika “Citizen Guide” muncul pertama kali tahun 1997, itu merupakan versi online bentuk sederhana dari buku pegangan yang selama ini sudah beredar di masyarakat.

Pada april 2002, portal masyarakat (www.suomi.fi) diluncurkan dengan tujuan untuk menyediakan menyediakan informasi yang dibutuhkan publik untuk berbagai situasi. Sebagai tambahan dari kehadiran portal tersebut, pemerintah negara yang berbatasan dengan Norwegia dan Swedia ini juga meluncurkan sejumlah portal lain untuk pengguna maupun tema spesifik seperti portal promosi hiburan di www.yrityssuomi.fi yang tersedia versi dwibahasa: Finlandia dan Swedia.


Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri juga bekerja sama dengan daerah dan kota praja untuk membangun portal regional yang berfokus pada kebutuhan dan layanan lokal. Beberapa tematik dan portal daerah di antaranya adalah www.libraries.fi yang hadir pertama kali tahun 1995. Portal ini menyediakan akses untuk masuk ke layanan perpustakaan nasional dengan satu identitas saja. Kemudian www.edu.fi yang dilincurkan pada 2001. Portal ini dipublikasikan oleh Dewan Pendidikan Nasional untuk pendidikan nonakademik dan pelatihan-pelatihan yang ada di sana.


Sementara untuk portal kota, misalnya adalah untuk kota Helsinki (www.hel.fi). Portal ini menyediakan informasi yang mendalam mengenai isu-isu yang terkait dengan kota tersebut, acara kebudayaan maupun berita umum mengenai Kota Helsinki. Selain menyediakan fasilitas online shopping untuk pembelian tiket transportasi, peta maupun buku yang terkait Kota Helsinki. Hingga saat ini, telah lebih dari 700 formulir online tersedia dalam portal tersebut. Dan yang terpenting, Kota Helsinki bertanggung jawab terhadap otentitas dan reliabilitas informasi yang berhubungan dengan layanan kota tersebut.

Dana Litbang

Salah satu kunci lain dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah peran pemerintah dalam menumbuhkembangkan penelitian dan pengembangan. Jika melihat anggaran pemerintah untuk penelitian dan pembangunan tahun 2006 ini yang sebesar 1,680 miliar Euro atau sekitar Rp. 19,32 triliun—meningkat dibanding tahun sebelumnya yang “hanya“ 83 juta Euro, untuk penelitian dianggarkan 5,2% yang artinya sebesar sekitar Rp. 1 triliun. Sementara peran publik terhadap Litbang mencapai angka Rp. 200 miliar.

Dana penelitian itu kemudian disebar ke berbagai departemen. Misalnya Departemen Pendidikan yang menggunakan 44 juta euro, Departemen Perdagangan dan Perindustrian yang menyerap 41 juta Euro. Sementara Departemen Sosial dna Kesehatan mendapat jatah 7 juta Euro.

*Pernah dimuat di Majalah E-Indonesia

03 Desember 2009

Menuju Ekonomi Broadband


Hari ini (3/12) tulisan saya dimuat kembali di Bisnis Indonesia. judulnya "Menuju Ekonomi Broadband". Terima kasih Bisnis Indonesia. Bagi yang ingin membacanya, silakan klik http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A57&cdate=03-DEC-2009&inw_id=707508 atau dapat membacanya berikut ini:

MENUJU EKONOMI BROADBAND



Pertemuan para Menteri Telekomunikasi dan ICT (Information and Communication Technology) se-Asia-Pasifik yang tergabung dalam APT (Asia-Pacific Telecommunity) 11-12 November di Bali, penting dicermati.
Selain pertemuan ini menjadi milestone 30 tahun keberadaan APT dan Indonesia menjadi bagian penting dari perjalanan APT tersebut, para menteri yang hadir juga sepakat mengeluarkan pernyataan bersama berupa Bali Statement untuk memperkuat kolaborasi regional di Asia Pasifik menuju ekonomi berbasis infrastruktur dan jasa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pita lebar (broadband).


Kolaborasi tersebut menandakan adanya kesadaran bahwa tema ekonomi ke depan dibangun berbasis TIK dan potensi maksimal dari TIK hanya dapat direalisasikan melalui ekonomi broadband yang merangsang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan.
Dalam Bali Statement ada beberapa hal yang dianggap krusial dalam pengembangan ekonomi broadband, yaitu: perluasan konektivitas broadband, penyediaan layanan TIK yang aman dan memperhatikan lingkungan, memfasilitasi layanan konvergensi yang efektif, memberi dukungan terhadap pengembangan konten dan aplikasi, serta meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di industri TIK.

Selain Bali Statement, disepakati pula Rencana Aksi sebagai rincian dan jawaban terhadap isu-isu krusial yang dimaksud. Beberapa Rencana Aksi di antaranya adalah setiap negara anggota APT diharapkan dapat membuat kebijakan dan kerangka kerja regulator yang efektif yang dapat menstimulasi investasi dan kompetisi dalam pembangunan infrastruktur broadband.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mencatat ada hubungan signifikan antara ekonomi dan broadband serta perannya sebagai bagian integral dari ekonomi juga kian meningkat.

Dengan perkembangan teknologi dan lebar pita yang meningkat, peran broadband sebagai enabler perubahan struktur ekonomi kian meluas dan memberi dampak peningkatan sejumlah aktivitas dan sektor. Broadband memfasilitasi pengembangan temuan-temuan baru, bisnis model baru, produk dan jasa baru serta pengembangannya, dan meningkatkan kompetisi dan fleksibiltas ekonomi.
Broadband telah menjadi bagian penting bahkan hampir dalam tiap aspek ekonomi berbasis pengetahun (knowledge based economy), khususnya pada aktivitas yang menggantungkan pada provisi data dan informasi.

Banyak aspek dalam produksi, distribusi, konsumsi, koordinasi dan organisasi dilakukan melalui jaringan komunikasi broadband karena meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan yang lebih, serta berpotensi menciptakan lapangan kerja baru.
Secara umum, broadband juga mengubah peran individu dalam produksi, memfasilitasi inovasi dan pengembangan konten berbasis pengguna, yang saat ini juga sudah mewabah seperti ramainya pemanfaatan jejaring sosial seperti Facebook maupun maraknya blog-blog pribadi.

Uniknya, broadband juga memberi kesempatan pada usaha kecil dan menengah untuk bekerja sama dan bahkan berkompetisi dengan perusahaan besar dalam pasar yang luas, yang mungkin sebelumnya tidak dapat terakses.
Kompetisi tersebut memungkinkan komparasi harga jadi kian mudah, meningkatnya kualitas produk serta kustomisasi barang dan jasa. Mengenai dampak produktivitas dari implementasi broadband, berbagai penelitian mengindikasikan dampat positif dari pemanfaatan TIK pita lebar terhadap produktivitas.

Ekonomi broadband sesungguhnya merupakan tingkat lanjut dari pergeseran terjadi dari produksi yang berbasis 'tenaga' (brawn) ke basis 'otak' (brain) atau yang dapat juga disebut sebagai ICTnomic-pembangunan ekonomi berbasis TIK.
Sektor yang sudah menggerakkan ekonomi secara massal-dari sekadar menjual voucher pulsa di pinggir-pingir jalan, penyediaan perangkat sentral dan transmisi, hingga hadirnya begitu banyak operator dengan bermacam lisensi-akan lebih berperan lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan layanan data yang meningkat akibat hadirnya ponsel-ponsel cerdas, perubahan gaya hidup yang kian bergerak (mobile) maupun peran Internet, terutama dengan web 2.0-nya.

Posisi Indonesia
Letak Indonesia di Asia Pasifik sangat strategis. Berada antara Benua Asia dan Australia/Oceania, serta diapit antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sehingga, peran dan posisi Indonesia dalam pengembangan ekonomi broadband cukup signifikan di kawasan. Hanya saja, apa yang dihadapi Indonesia juga tidak mudah. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau, mempunyai lebih dari 70.000 desa, serta penduduk di atas 225 juta jiwa. Jika tidak dikelola dengan baik, semua itu justru akan menjadi batu ganjalan bagi Indonesia untuk melangkah lebih maju.

Kondisi nyata yang dihadapi Indonesia sekarang, di antaranya adalah kesenjangan infrastruktur TIK antara bagian barat dan timur. Jaringan tulang punggung (backbone) dari Indonesia ke luar negeri juga terbatas, baik jalur maupun kapasitasnya. Kesenjangan digital juga terjadi antara kota dan desa. Dari penduduk yang demikian besar, baru sekitar 40 jutaan yang terkoneksi ke Internet.

Sebenarnya, upaya yang dilakukan pemerintah dan regulator sudah pada jalur yang semestinya. Rencana membangun jaringan serat optik di wilayah timur, yang disebut dengan Palapa Ring, penyediaan teleponi dasar di desa-desa (Desa Berdering) serta rencana Desa Pinter berupa desa punya akses Internet.
Diharapkan Palapa Ring akan segera dimulai tahun ini, dan pada 2010 seluruh desa di Indonesia sudah akan memiliki akses teleponi dasar, dan sebagian siap digunakan untuk akses Internet.

Bali Statement diharapkan bukanlah akhir, melainkan sebagai langkah awal kerja sama regional membangun ekonomi broadband. Dan tentu saja banyak PR yang menjadi tugas untuk dikerjakan. Kebijakan dan kebijakan dan kerangka kerja regulator yang efektif yang dapat menstimulasi investasi dan kompetisi dalam pembangunan infrastruktur broadband, perlu segera dikeluarkan. Agar dapat dipastikan jaringan dan jasa broadband menjangkau seluruh wilayah RI.

Rakyat perlu diberdayakan dalam pemanfaatan layanan broadband serta meningkatkan pengetahuan penggunaan TIK untuk memperbaiki kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan. Jika tidak, maklum saja jika Indonesia akan tertinggal pada era ekonomi broadband yang mengglobal.