14 Desember 2009

Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?

Tulisan saya berjudul "Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?" muncul menjadi centerfold di Majalah Gatra edisi minggu ini No. 05 Tahun XVI. Bagi yang belum baca majalahnya, berikut tulisannya:

Jejaring Sosial = Pilar Kelima Demokrasi?


Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus Wakil Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah—tanpa mengecilkan peran pihak lainnya, sesungguhnya menegaskan bahwa peran jejaring sosial saat ini tidak bisa dianggap remeh. Berkat dukungan pengguna jejaring sosial Facebook dalam “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto” yang hingga mencapai lebih dari 1,3 juta orang, membuat kasus ini mendapat perhatian tersendiri. Chandra dan Bibit yang sempat ditahan oleh Polisi kemudian dibebaskan.



Sebelum Chandra-Bibit, publik—pengguna Facebook (facebooker) juga bereaksi keras terhadap penahanan seorang Ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari yang berseteru dengan pihak RS Omni International karena pengiriman surat elektronik ke beberapa teman mengenai buruknya layanan di RS tersebut. Berkat dukungan jejaring sosial, beberapa pejabat dan tokoh yang menjadi calon presiden saat jelang Pemilu dan Pilpres ikut berkomentar dan bereaksi terhadap kasus ini, yang kemudian Prita pun dibebaskan. Walaupun, berbeda dengan Chandra-Bibit, kini Prita terkena vonis perdata dengan diwajibkan membayar denda Rp. 204 juta di tengah perkara pidana yang bergulir di Pengadilan Negeri Tangerang.


Fenomena tersebut perlu dicermati, sebab bukan tidak mungkin ini merupakan bentuk baru demokrasi yang ada di tengah masyarakat. Demokrasi yang berbasis jejaring sosial web 2.0 berpotensi menjadi ruang publik baru dan menajdi pilar demokrasi kelima setelah eksekutif, yudikatif, legislatif (trias politica) serta media. Meskipun, ada kelebihan dan kekurangan yang ditawarkan struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul individu atau organisasi yang diikat dengan satu atau lebih relasi seperti teman, keluarga, nilai, visi maupun ide.


Jejaring Sosial
Ramainya jejaring sosial dapat dikatakan dimulai ketika dengan layanan BBS (bulletin board system) yang memungkinkan pengguna dapat berkomunikasi dengan pusat sistem dimana dapat mengirimkan pesan, mengunduh dokumen maupun permainan. Sampai kemudian hadir situs yang berfokus menghubungkan antarteman sekolah seperti Classmates.com (1995) maupun SixDegrees.com (1997).


Pada 2002, jejaring sosial benar-benar naik daun dengan hadirnya Friendster. Jejaring sosial satu ini menggunakan konsep yang hampir sama dengan SixDegrees.com dengan melihat hubungan antara pengguna dengan derajat pembeda. Hanya saja, Friendster dirasa kurang interaktif, yang kemudian diperbaiki oleh layanan Facebook. Facebook begitu cepat berkembang. Sejak diluncurkan Mark Zukerberg 4 Februari 2004, di Indonesia sudah saja sudah ada sekitar 12 juta orang pengakses dan penggemar setia Facebook.


Angka tersebut mungkin akan terus bertambah, dan menjadi pandemi mengingat beberapa layanan yang memikat pengguna, seperti pengguna dapat mengunggah foto dirinya, pembuatan grup untuk dapat saling berbagi, chatting serta kirim-kirim pesan. Yang paling utama, menghubungkan jalinan silaturahmi yang telah sekian tahun terputus—menghubungkan kita kembali dengan teman-teman masa kecil, remaja, kuliah, bahkan saudara yang sudah lama tidak ada kabar beritanya. Sungguh menakjubkan.


Tidak heran, resto di mall, kafe, maupun tempat makan favorit, kerap ramai oleh kumpul-kumpulnya reuni apakah SD, SMP, SMA, kuliah. Ya, semua itu karena FB, yang sedikit banyak begitu mempengaruhi kehidupan kita. Tokoh-tokoh publik maupun selebritas, yang secara ”normal” susah didekati, bisa tiba-tiba saja menjadi teman virtual kita. Semua begitu mudah dilakukan. Tidak mengherankan, menurut catatan Alexa.com, Facebook merupakan situs yang paling kerap dikunjungi masyarakat pengguna internet di Indonesia lebih daripada Google maupun Yahoo!


Dalam Pemilu dan Pilpres, Facebook juga marak dengan para caleg dan capres/cawapres yang mencari pendukung lewat dunia maya. Facebook dimanfaatkan untuk pencitraan politik dan mencari pemilih, namun ada juga yang memanfaatkannya sebagai black campaign anti terhadap calon tertentu ”say no to....”. Peranan ini tentu tak lepas dari fenomena penggunaan Facebook dalam kampanye Pilpres yang dilakukan Barack Obama, yang membuatnya menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat.


Yang menarik, saat ini banyak orang lebih mudah digapai melalui pesan ke Facebook atau comment status dibanding email atau telepon langsung karena perkembangan smartphone yang menawarkan Facebook inside. Wartawan-wartawan sekarang misalnya, juga menanyakan nara sumber nya—termasuk juga menghubungi narasumber, melalui Facebook. Dengan jawaban yang tertulis, tentunya proses editing lebih mudah dan tak perlu salah tulis dibanding translasi wawancara verbal.


Pilar Demokrasi?
Internet telah memainkan peran signifikan dalam perubahan dari Orde Baru ke era reformasi. Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pascapembredelan DeTIK, Editor dan Tempo, dengan kehadiran beberapa situs maupun maling list seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi politik yang kontroversial dan kritis saat itu.


Situs-situs tersebut lebih cepat dalam menebar berita dibandingkan media massa lain serta menjadi sumber utama berita dan diskusi yang bebas sensor (lihat Winters, 2000). Bukan hanya itu, karena ‘perlawanannnya’ terhadap tentara dan Departemen Penerangan, media-media tersebut memperkukuh reputasi internet sebagai media bebas yang radikal (Hill dan Sen, 1997). Dari hal tersebut nampak bahwa teknologi informasi terlibat dalam proses perjuangan identitas dan formasi komunitas politik baru di luar negara dan korporasi ekonomi.


Memang dalam melihat politik dan demokrasi, peran jejaring sosial cukup membingungan dan kompleks. Selain karena hanya berupa “kedipan elektronik” di layar monitor komputer atau telepon seluler, juga partisipasi dikirim oleh individu dari lokasi-lokasi yang berbeda, jauh dan mungkin juga belum pernah bertemu. Namun oleh Paul Virilio (dalam Poster, 1995) dikatakan, ruang publik dan demokrasi juga bisa diciptakan dan berlangsung melalui tampilan elektronik di layar monitor. Sehingga, galangan opini maupun isu yang mengemuka melalui jejaring sosial tetap perlu jadi perhatian.


Tentu saja, jika lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif dapat berfungsi sebagaimana diharapkan, dampak jejaring sosial masih dapat ”dikendalikan”. Namun, sebaliknya, jika terjadi kebuntuan seperti terjadi dalam kasus Chandra-Bibit, jejaring sosial apalagi didukung media, bisa menjadi alternatif perjuangan. Walaupun tidak serta merta bisa menjadi gerakan people power, jejaring sosial dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat dalam menghadapi hegemoni politik dan tekanan ekonomi, serta pemicu berhimpunnya kekuatan rakyat. Sehingga, meski hanya melalui ”kedipan layar elektronik”, peran jejaring sosial jangan dianggap remeh.

Tidak ada komentar: