28 Desember 2010

Outlook Bidang ICT di 2011



Fajar 2011 akan segera menjelang. Tantang, harapan dan kecenderungan yang baru akan datang, termasuk di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Berikut outlook 2011 di bidang  ICT yang kemungkinan akan menghiasai kehidupan berteknologi Indonesia:
1. Revisi UU Telekomunikasi No. 36/1999, UU Penyiaran No. 32/2002 dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11/2008, sudah akan mulai dibahas di DPR. Pembahasan ini penting untuk menyikapi perkembangan teknologi informasi yang konvergen, dan jadi pijakan kebijakan dan regulasi ICT satu dekade ke depan.

2. Melihat animo masyarakat di 2010 akan penggunaan Blackberry dan Ipad, diprediksi di 2011 Playbook dan Ipad 2 akan menjadi gadget yang dinanti pengguna ICT Indonesia, termasuk juga gadget-gadget berbasis Android baru yang di 2010 baru pada tahap pengenalan. Meski begitu, di tingkat bawah, pasar Ponsel-ponsel low end akan juga makin membesar dengan desain yang mirip-mirip smartphone dan punya kemampuan koneksi ke jejaring sosial.

3. Pemerintah akan mengumumkan biaya interkoneksi yang baru, yang mau tidak mau akan berdampak pada tarif ritel kepada masyarakat, khususnya untuk komunikasi lintas operator. Dengan penurunan biaya interkoneksi, maka tarif pun juga akan terkoreksi. Khusus untuk layanan data, terutama Blackberry, akan memasuki persaingan di bawah Rp. 100 ribu/bulan.

4. Sesuai kecenderungan, maka layanan voice dan SMS akan menurun, dan secara perlahan data akan mendominasi. Persaingan penyedia data juga akan mulai berkompetisi, apalagi dengan hadirnya operator baru  yang menggunakan teknologi WiMax.

5. Indonesia akan menunjukkan superioritasnya di jejaring sosial dunia, terutama Twitter. Kemampuan pengguna Indonesia membuat trending topic di Twitter akan menjadikan Indonesia sebagai sorotan isu-isu dunia. Mudah-mudahan hal-hal positif bagi Indonesia yang dikabarkan ke dunia luar sana. Bukan cuma dunia, media-media dalam negeri sendiri, selalu memantau isu-isu yang jadi pembicaraan di jejaring sosial untuk dijadikan berita di emdia cetak, elektronik maupun online.

6. Akan keluar isu-isu terkait Indonesia di Wikileaks yang akan menjadi bahan diskusi baru. Secara informasl beberapa media asing sudah mendapatkan dokumen-dokumen kabel diplomatik AS mengenai Indonesia, namun Wikileaks sendiri belum mempublikasi dokumen yang berasal dari Kedubes AS di Jakarta maupun Konsulat di Surabaya yang disebut-sebut hampir mencapai empat ribuan dokumen.

7. Isu mengenai komputasi awan akan mulai menggeliat, namun masih perlu keyakinan mengenai masalah keamanan data. Trend ini sesuai kecenderungan penggunaan perangkat teknologi informasi yang tadinya bersifat capex menjadi opex. Ini akan sama dengan yang terjadi dalam penjualan menara telekomunikasi dan berganti dengan menyewa, maupun manage service daripada memiliki perangkat sendiri.

8. Kesadaran Green ICT akan mulai meningkat, seiring dengan kecenderungan global menyelamatkan bumi dari perubahan iklim yang sudah terjadi. Secara industri, saving energy atau mencari energi alternatif misalnya, juga bermanfaat untuk efisiensi perusahaan.

Catatan Akhir Tahun 2010 bidang ICT

Tak terasa, 2010 hampir berganti menuju 2011. Begitu banyak catatan yang mengemuka di bidang Information and Communication Technology (ICT) atau Teknologi Informasi dan Komunikasi. Berikut isu-isu yang mempunyai magnitude besar terkait TIK di tahun 2010:

1. Facebook dan Twitter menjadi jejaring sosial paling diminati. Posisi Indonesia di FB dan twitter dunia signifikan.

2. Kasus video porno yang melibatkan Ariel-Luna-Cut Tari, jadi kasus yangg cukup menyita perhatian karena penyebarannya menggunakan kemajuan ICT. Dan itu bukan cuma di dalam negeri saja, tapi juga mendapat perhatian dari dunia dengan label “PeterPorn”.

3. Teknologi Wimax sudah mulai meluncur dan LTE mulai diuji coba. Utk 3G, beberapa operator sudah menambah frekuensi, bahkan ada yang sudah meminta kanal ketiga untuk 5 MHz tambahan.

4. Penggunaan voice, sms, kian tergerus digantikan oleh data sebagai akibat maraknya penggunaan smartphone dan data card.

5. Kemajuan ICT belum diimbangi edukasi ke masyarakat sehingga muncul kasus orang hilang setelah bertemu di FB, penyebaran pornografi online serta pencemaran nama baik menggunakan jejaring sosial.

6. Ada sinyal bahwa UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akan direvisi terutama terkait sanksi pencemaran nama baik sebagai dampak kasus Prita Mulyasari.

7.SMS spam Kredit Tanpa Agunan dan penawaran kartu kredit serta sms penipuan, sangat marak memasuki ponsel konsumen telekomunikasi.

8.Blackberry, Ipad dan ponsel-ponsel China jadi gadget paling dicari di 2010. Android sudah juga memasuki pasar.

9. Siaran TV digital mulai diuji cobakan. Seluruh wilayah Indonesia akan selesai pindah ke digital pada 2018.

10. Indoleaks hadir mengikuti kesuksesan Wikileaks. Namun masih dinantikan informasi yang benar2 rahasia soal Indonesia dari dua situs tersebut.

04 Desember 2010

Detikcom: Menanti Informasi “Jakarta” dan Dampak Wikileaks

Tulisan ku mengenai Wikileaks alias cable gate hari ini (4/12) dimuat di Detik.com. Terima kasih Detik.com. Berikut isi tulisannya:



Menanti Informasi  “Jakarta” dan Dampak Wikileaks 

Oleh: Heru Sutadi

Bocornya arsip komunikasi Kedutaan Besar Amerika Serikat di berbagai negara atau disebut dengan “Cable Gate”, menjadi perbincangan di manca negara. Dokumen kawat diplomatik itu dipublikasikan melalui wikileaks.org bersumber dari 274 kedutaan besar Amerika Serikat di berbagai belahan dunia, termasuk dari Departemen Luar Negeri AS. Jumlah dokumennya disebut-sebut ada 251.287 buah dan hingga hari ini (4/12), yang dirilis baru  667 dokumen.

Menurut situs whistleblower ini, publikasi memang sengaja dilakukan secara bertahap agar masing-masing dokumen mendapat perhatian publik yang memadai. Bila dilepas sekaligus, rahasia negara yang penting bisa terlewatkan dari perhatian. Namun, menurut analisis, proses upload semua dokumen juga menghadapi kendala teknis, apalagi dengan kondisi terakhir dimana server terpaksa berpindah-pindah.

Tentu saja, dunia gerah dibuatnya. Hal itu karena banyak kepala negara atau tokoh dunia di“label”kan secara unik, kalau tak mau disebut dijelekkan, oleh pemerintahan Amerika Serikat. Wajar saja, jika kemudian pemerintah AS mengecam pembocor dokumen-dokumen rahasia itu. Bahkan, pendiri Wikileaks, Julian Assange, mulai dikejar. Termasuk situs wikileaks.org yang harus mengalam serangan DDOS kini melebihi 10 gigabit per detik.

Bukan cuma itu, situs ini juga diusir-usir, seperti dari Amazon.com. Alasannya memang karena Wikileaks dianggap melanggar aturan yang menyebutkan bahwa user seharusnya memiliki hak pada konten yang mereka posting. Selain itu, konten tersebut terjamin tidak sampai membahayakan orang lain. Namun, bukan tak mungkin akan adanya upaya “mematikan” Wikileaks. Namun sesuai sifat internet yang memang sulit untuk untuk diblok, Wikileaks hadir di mana-mana dengan domain name berbeda-beda.

Menanti Informasi Soal “Jakarta”

Dari informasi yang disampaikan situs Wikileaks, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan Konsulat di Surabaya, tidak luput dari pencurian data arsip kawat diplomatik. Disebut-sebut ada 3059 dokumen dari Jakarta dan 167 dari Surabaya. Adapun isu yang disebut-sebut mengemuka adalah soal teror, buruh, HAM dan keamanan. Dari semua dokumen, yang berkategori dokumen bukan rahasia jumlahnya ada 1510 buah, kategori confidential 1451 buah, dan kategori secret ada 98 buah.

Lalu bagaimanakah isi dokumen yang bocor dari Jakarta dan Surabaya? Sampai saat ini, belum ada informasi sedikit pun yang terpublikasi sebagai bocoran dari Jakarta dan Surabaya. Ini bisa dicek antara lain di situs wikileaks http://213.251.145.96/ maupun situs Guardian di http://www.guardian.co.uk/world/interactive/2010/nov/ 28/us-embassy-cables-wikileaks, sehingga kita masih perlu bersabar untuk mengetahui bagaimana cara pandang AS terhadap Indonesia.

Namun begitu, bukan berarti Indonesia tidak disinggung. Setidaknya, ada dua dokumen yang terkait Indonesia, pertama, yaitu berdasar dokumen dari Kedutaan Besar AS di Tel Aviv itu tanggal 30 Juli 2009 dengan No. 09TELAVIV1688 dan berklasifikasi “secret” dimana pejabat Dephan AS mempermasalahkan pernyataan Hillary Clinton di Jakarta yang mengatakan AS mempertimbangkan menyediakan payung pertahanan bagi negara-negara Arab moderat untuk menghadapi nuklir Iran. Oleh Asisten Menlu AS pernyataan Clinton diluruskan bahwa pernyataan itu tidak  mengindikasikan perubahan kebijakan soal menghadapi Iran. Dan kedua, adanya laporan “Congressional Research Service, Report RS21874” yang dikompilasi Bruce Vaughn, analis Divisi Asia Tenggara dan Asia Selatan,  mengenai hasil Pemilu 2004 Indonesia.

Dampak

Secara kasat mata, Wikileaks membuka pada dunia lemahnya keamanan jaringan dari Kedubes AS di berbagai negara—setidaknya datab ase kawat diplomatik, sehingga bisa tercuri dan bocor ke seluruh dunia. Meski memang ini perlu diklarifikasi kebenaran semua dokumen Cable Gate, namun perlu kreativitas tinggi dan memahami perkembangan yang terjadi dengan sikap pemerintah AS, jika dokumen-dokumen itu dianggap sebagai karangan. 

Ini tentunya perlu menjadi pelajaran, bahwa perkara keamanan jaringan bukanlah hal sepele. Dan itu bukan hanya terkait dengan data base sistem yang ada di dalam negeri, namun juga jika proses dan letak server berada di luar negeri, yang kita sendiri tidak tahu apa yang terjadi di luar negeri sana. Secara lebih jauh, ini akan berpengaruh terhadap solusi komputasi awan (cloud computing) yang akan menjadi trend ke depan.

Selain itu adalah sikap kita jika dokumen “Jakarta” akhirnya terpublikasi, apakah wikileaks harus diblok? Dengan adanya beberapa URL yang bisa diakses, sesuai sifat internet, bukan perkara mudah “mematikan” wikileaks. Dan, untungnya, informasi yang bocor adalah informasi menurut kaca mata AS, bukan informasi dalam negeri, sehingga kita juga perlu tahu cara pandang AS sesungguhnya tentang Indonesia. Cara pandang itulah yang juga akan menentukan hubungan negara-negara yang dilabelkan tertentu  dengan AS ke depan, dan kita tidak sendiri. Sebab menurut Founder Wikileaks, Julian Assange, saat tanya jawab melalui http://guardian.co.uk Jum’at (3/12) ini dikatakan, “History will win. The world will be elevated to a better place. Will we survive? That depends on you”.

Heru Sutadi. Pengamat Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bisa dihubungi di herusutadi@hotmail.com atau twitter @herusutadi 

18 November 2010

Koran Jakarta: TIK Indonesia Menuju 2015

Tulisan saya dimuat di Koran Jakarta, 18 November 2010 ini. Berikut isi lengkapnya dari tulisan berjudul"TIK Indonesia Menuju 2015. Selamat membaca.


Perkembangan information and communication technology (ICT) atau teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia sekilas menampakkan perkembangan yang cukup pesat. Jika melihat angka-angka, seperti pengguna telepon seluler yang hingga akhir 2009 mencapai 160 juta pengguna, FWA (fixed wireless access) pada angka 25,5 juta lebih serta pengguna internet yang menggapai 45 juta, seakan-akan kerja memajukan TIK sudah pada tahap selesai sehingga bisa dilakukan santai. Pendapat itu keliru, sebab ada tantangan besar yang harus dipenuhi pada 2015 mendatang.
Berdasar World Summit on the Information Society (WSIS) yang diadakan di Jenewa (2003) dan Tunisia (2005), dan dipantau pada pertemuan terakhir WSIS di Jenewa beberapa waktu lalu, ada 10 target yang harus dicapai tiap negara dalam hal TIK di tahun 2015, yang sejalan dengan target waktu Millenium Development Goals (MDG). Target-target yang dimaksud seperti terhubungnya  seluruh desa dengan TIK serta tersedianya  akses bagi masyarakat, terhubungnya perguruan tinggi dan sekolah-sekolah, pusat sains dan penelitian, perpustakaan, pusat budaya, museum, kantor pos dan pusat arsip, pusat kesehatan dan rumah sakit, serta seluruh pemerintahan baik pusat dan daerah dengan TIK, berikut menyediakan situs dan alamat surat elektronik (e-mail).
Target lainnya adalah mengadopsi pelajaran TIK untuk sekolah dasar dan sekolah menengah guna menghadapi tantangan masyarakat informasi, memastikan bahwa seluruh populasi mempunyai akses menerima tayangan televisi dan radio, mendukung pengembangan konten untuk memfasilitasi kehadiran dan penggunaan seluruh bahasa di internet, serta memastikan lebih dari separuh populasi mempunyai akses ke TIK.
Disayangkan bahwa data mengenai Indonesia tidak tampak dalam monitoring target WSIS karena data yang dianalisis hanyalah berasal dari negara yang menjawab kuesioner yang dikirimkan International Telecommunication Union (ITU) terkait target WSIS. Namun begitu, ada beberapa analisis lain yang bisa dijadikan acuan kemajuan TIK Indonesia. Di antaranya adalah Digital Economy Rankings 2010 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU).
Dalam laporan bertajuk “Digital Economy Rankings 2010: Beyond E-Readiness”, posisi kesiapan TIK Indonesia tidak bergeming dari posisi 65 dari 70 negara yang dianalisis, sama seperti pada posisi 2009, meski secara nilai ada peningkatan dari 3,51 ke 3,60. Di peringkat pertama adalah Swedia dengan nilai 8,49. Di antara negara ASEAN, posisi Indonesia masih di bawah Singapura (8), Malaysia (36), Filipina (54) maupun Vietnam (62).
Meski berbeda, namun peringkat ini tetap bisa menjadi cermin karena beberapa indikator juga mengikuti kecenderungan dunia digital. Seperti isu konektivitas dan infrastuktur teknologi, lingkungan bisnis, sosial budaya, hukum, visi dan regulasi pemerintah serta adopsi konsumen dan bisnis. Bahkan di 2010 ini, ada beberapa perubahan. Seperti menyangkut indikator penetrasi pita lebar (broadband) berbasis serta optik maupun teknologi 3G/4G, keterjangkauan tarif untuk 256 kbps, kemudian penetrasi internet dibanding 100 persen populasi serta tingkat pendidikan sebagai prakondisi untuk memanfaatkan layanan TIK termasuk melek internet, kewirausahaan, inovasi maupun kemampuan teknis untuk bekerja.
Sementara itu, berdasar United Nation E-Government Survey 2010, nasib Indonesia juga tidak lebih baik. Menurut peringkat E-Government Index yang di dalamnya termuat indikator layanan online, infrastruktur telekomunikasi maupun modal sumber daya manusia, Indonesia berada di peringkat 109 dari 183 negara. Posisi Indonesia lagi-lagi di bawah Singapura (11), Malaysia (32), Filipina (78) maupun Vietnam (90). Dari kenyataan tersebut, dapat dipastikan bahwa kerja belum selesai karena pekerjaan rumah masih banyak yang harus diselesaikan.

Upaya ke Depan
Untuk menciptakan masyarakat informasi global dan menjadi bagian darinya, jelas bahwa target separuh populasi Indonesia untuk bisa mengakses internet pada 2015 harus menjadi prioritas. Bahkan dengan kecenderungan dunia yang berubah menuju layanan broadband, maka beberapa perubahan strategi perlu dilakukan. Seperti mengubah filosofi universal service obligation atau kewajiban pelayanan universal (USO) menjadi kewajiban pelayanan broadband (BSO).
Selain kesenjangan infrastruktur TIK antara wilayah Barat dan Timur, hal lain yang juga perlu di atasi adalah kesenjangan digital  antara kota dengan desa. Begitu juga dengan miskin-nya konten yang berkualitas, serta budaya yang lebih sering mengunduh (download) daripada mengunggah (upload). Wacana memanfaatkan dana USO ke arah lebih luas jadi semacam ICT Fund, perlu didorong karena dana dari masyarakat pengguna jasa TIK yang tidak kecil tersebut dapat dimanfaatkan kembali ke masyarakat, bahkan lebih bernilai. Membangun tulang punggung (backbone) serta optik yang menghubungkan wilayah Barat dan Timur—yang kurang diminati investor, menambah internet exchange di beberapa wilayah tanah air, mendirikan inkubator konten nasional maupun upaya pemberdayaan masyarakat agar cerdas dalam memanfaatkan TIK, dapat menjadi prioritas penggunaan ICT Fund.
Namun tentunya, upaya memajukan TIK Indonesia bukan hanya menjadi tugas satu sektor atau kementerian saja, tapi juga melibatkan pihak lainnya. Misalnya saja masalah energi listrik. Hal yang bombastis bila kita bicara penggunaan TIK, namun listrik saja sulit bahkan tidak ada. Sebab, hadirnya perangkat elektronik, mau tidak mau, membutuhkan dan perlu diimbangi dengan ketersediaan pasokan listrik.
 Begitu juga dengan upaya menghubungkan perguruan tinggi dan sekolah-sekolah, pusat sains dan penelitian, perpustakaan, pusat budaya, museum, kantor pos dan pusat arsip, pusat kesehatan dan rumah sakit, serta seluruh pemerintahan baik pusat dan daerah dengan TIK, semua merupakan pekerjaan besar yang perlu ditangani bersama. Karena pekerjaan besar dan menyangkut banyak sektor, e-leadership dari pimpinan negeri juga diperlukan di sini.
Seperti dilakukan mantan PM Malaysia Mahathir Muhammad yang jauh-jauh hari sejak 1991 mengemukakan mimpinya mengenai TIK di negeri jiran tersebut.  Melalui “Vision 2020” Mahathir bercita-cita agar Malaysia menjadi negara maju, yang dilakukan dengan membangun Multimedia Super Corridor (MSC). Bukan cuma Malaysia, banyak negara-negara lain juga pembangunan TIK-nya dipimpin langsung presiden atau perdana menteri-nya. Sebab diyakini bahwa TIK akan menjadi motor ekonomi ke depan, yang bahkan menjadi lokomotif kemajuan bangsa maupun kesejahteraan masyarakat. 

12 Agustus 2010

Teknologi Informasi dan Pornografi

Tulisan saya mengenai Teknologi Informasi dan Pornografi hari ini (12/8) dimuat di detikcom/Detikinet. Thx Dtc.


Berikut ini isi lengkapnya:




Kolom Telematika
Teknologi Informasi dan Pornografi
Penulis: Heru Sutadi - detikinet


Ilustrasi (Ist.)
Jakarta - Pembicaraan mengenai pornografi di internet saat ini sedang ramai, dan bahkan akan terus menjadi bahan diskusi yang menarik mengingat masalah pornografi disebut-sebut sama tuanya dengan peradaban manusia di muka bumi.

Dari beberapa kasus yang mengemuka terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam pornografi, isu ini mempunyai relasi kuat dengan kemudahan proses produksi, manipulasi, penyebaran dan pemanfaatan TI sebagai sarana akses pornografi, serta bagaimana kita menyikapinya.

Dalam hal pembuatan, dengan perubahan dari analog ke digital, proses pembuatan hal-hal porno menjadi kian mudah. Dengan kamera digital atau kini dengan telepon seluler, proses dokumentasi menjadi begitu mudah dilakukan.

Tiap saat foto maupun video dapat diabadikan, dari hal-hal yang biasa sampai hal yang sangat privasi. Bukan hanya secara sengaja diabadikan, namun juga ada pihak-pihak yang secara iseng dengan hidden camera mengambil gambar maupun video orang lain di tempat-tempat umum maupun secara tersembunyi.

Namun dalam banyak kasus pula, terjadi rekayasa foto maupun video, sehingga seolah-olah foto dan video itu adalah orang lain, lebih sering artis-artis tertentu. Misalnya saja, wajahnya artis X, tapi tubuhnya diambil dari foto lain yang seksi, menarik, maupun menghebohkan.

Bisakah pornografi di internet ditapis? Pertanyaan yang sederhana, namun cukup kompleks untuk menjelaskannya. Penapisan internet terhadap material pornografi sebenarnya dapat dilakukan dengan beberapa perangkat lunak (software) yang membuat pengguna tidak bisa mengunjungi situs porno.

Selain itu, bisa juga dilakukan blokir dengan bantuan pihak Internet Service Provider (ISP). Namun, dengan kondisi ISP yang begitu banyak, dan banyak jalur-jalur tikus yang bisa dilalui, penapisan secara nasional menjadi persoalan yang tidak mudah.

Sebab begitulah memang sifat dari internet, akses informasi akan mencari jalannya sendiri laksana tidur dimasukkan dalam labirin. Jika jalur depan diblok, maka pornografi bisa masuk melalui jalur belakang.

Dengan hadirnya media sosial seperti blog maupun jejaring sosial, tingkat penapisan juga makin rumit. Jika satu blog atau akun jejaring sosial mengandung pornografi, maka tidak mungkin misalnya wordpress.com, blogger.com maupun satu situs Facebook diblok.

Cara lain tentunya adalah filtering kata. Di beberapa negara Islam, kata-kata 'porno' terblokir, sehingga pengguna tidak bisa mengakses situs-situs yang di dalamnya mengandung kata 'porno'. Cara ini bisa efektif, tapi bisa juga tidak. Jika memang tidak ada kata lagi yang dipakai pengunggah selain kata 'porno', maka cara ini efektif. Namun, jika ada kata lain selain 'porno' namun isi situsnya mengandung hal-hal porkeefektifannya dipertanyakan.

Misalnya saja, saat ini, video mesum yang ditengarai dilakukan Ariel, Luna Maya maupun Cut Tari, jika ada kata 'porno' di file-file maupun situs-situs yang menyebarkan video tersebut, maka file maupun situs yang ada dapat ditapis. Dan uniknya, file-file maupun dari situs yang ada, sudah tidak lagi menggunakan kata 'porno', namun langsung ke nama artis-artis tersebut.

Pornografi Seluler


Persoalan lainnya terkait dengan penyebaran pornografi adalah perkembangan pemanfaatan teknologi informasi seperti telepon seluler. Dengan cukup beberapa orang saja yang mengunduh file berisi pornografi, file-file tersebut bisa cepat mudah tersebar dari satu orang ke orang lainnya dengan fasilitas yang ada di ponsel, selain email atau instant messenger, seperti infra red maupun bluetooth, yang tanpa biaya.

Yang lebih menarik, saat ini ada sekitar 180 juta pengguna seluler dimana angka itu jauh lebih tinggi dari pengakses internet yang baru pada angka sekitar 45 juta.

Selain penapisan konten pornografi, yang harus juga dikedepankan adalah lebih mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi adalah dengan memberdayakan masyarakat dengan mengusung ide internet cerdas.

Maksudnya adalah, agar masyarakat secara cerdas dapat memanfaatkan teknologi informasi, khusus internet, yang berfungsi sebagai alat untuk membuat masyarakat itu sendiri makin cerdas, sehat, mandiri dan sejahtera.

Terkait dengan penyebaran pornografi, cara yang pertama perlu dikedepankan adalah agar berhati-hati dengan makin maju dan mudahnya proses produksi foto dan video. Artinya, tidak semua hal-hal privasi bisa dengan leluasa didokumentasikan melalui handycam, view cam laptop maupun ponsel berkamera.

Memang ponsel maupun laptop adalah barang pribadi sehingga foto maupun video pribadi pada satu saat aman, namun waspadalah sebab suatu saat mungkin saja ponsel hilang maupun laptop, PC ataupun external harddisk tercuri.

Jika itu terjadi, dengan kemajuan teknologi informasi pula, yakinlah jika ada foto maupun video yang pribadi, maka itu bisa tersebar dengan cepat. Beberapa kasus sudah membuktikan hal itu. Bahkan tidak harus hilang maupun tercuri, ketika ponsel kita dipinjam maupun PC/laptop dipakai orang lain, perpindahan file dari tangan satu ke tangan lain begitu cepat terjadi tanpa kita sadari.

Memutus Mata Rantai


Kedua, terkait dengan pornografi anak. Terkadang orang tua tidak sadar dan hanya menganggap hal yang lucu dan unik ketika mendokumentasikan anak-anaknya yang di bawah 18 tahun, apalagi di usia balita, saat sedang mandi ataupun kondisi tanpa busana.

Sebaiknya hal itu tidak dilakukan lagi, mengingat hal ini merupakan pornografi anak. Bukan cuma UU No. 11/2008 yang melindungi anak dari pornografi, namun secara internasional ini dilarang. Sehingga tidak heran, beberapa tahun lalu, Kejaksaan Agung Amerika Serikat sampai mengejar pelaku pornografi anak ke Indonesia.

Ketiga, perlunya memutus mata rantai dari pornografi. Dalam hal ini, jika kita menerima dari orang lain file-file yang berisi pornografi, hendaknya tidak menyebarkan file-file tersebut, termasuk memberi tahu alamat situs porno ke orang lain lagi.

Upaya ini akan membuat pornografi tidak tersebar lebih jauh ke banyak orang. Jika kesadaran ini ditanamkan, maka efek bola salju pengakses pornografi tidak ada terjadi dan hanya tersebar ke beberapa orang saja.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kita dapat menggunakan internet secara cerdas. Sebab terkadang pengguna internet lupa bahwa penggunaan internet adalah sebuah tujuan, bukan alat.

Padahal sesungguhnya, internet adalah alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan masyarakat itu sendiri bahkan sebagai alat transformasi peradaban menuju kehidupan yang lebih baik.


*) Penulis, Heru Sutadi adalah seorang pengamat telematika. Ia bisa dihubungi melalui email: herusutadi@hotmail.com atau blog: hsutadi.blogspot.com

18 Juli 2010

Haruskah Akses Internet Menjadi Bagian dari HAM?


Ini nih, ada wawancara saya dengan Futuregov mengenai apakah akses internet harus menjadi bagian dari HAM. Selamat membaca. 



DIGITAL INCLUSION

SHOULD INTERNET ACCESS BE A BASIC HUMAN RIGHT?

How valuable to human life is information? Well, in Finland it is now a basic human right - like food, shelter or clean water. Every citizen and business in the home of Nokia should - by law – be granted access to broadband internet services, the government decreed on July 1st 2010. Should Asia follow suitPHOTOS

Ninety-nine per cent of all households in the country of 5.3 million people already have broadband access of at least one Mbps - so the policy is a realistically achievable goal. But what about Asian countries where internet access is still limited?For Fins, a “reasonably priced and high-quality broadband connection will be everyone’s basic right”, Minister of Communications Suvi Linden said last week. Service providers must be able to provide every permanent resident and business to a connection with a speed of at least one Megabit per second (Mbps).
In Indonesia, internet penetration is around 13 per cent. Some 30 million users have internet access, but only 500,000 have broadband. The Commissioner of the Indonesian Telecommunications Regulatory Body (BRTI), Heru Sutadi told FutureGov that while the idea of universal broadband access was “interesting”, meeting that goal was a huge challenge.
“If we talk about human rights, we’re talking about basic needs. I agree that access to information is a basic need, but first we need basic infrastructure – and that includes ICTinfrastructure,” said Sutadi.
Indonesia’s policy on information access has recently shifted from a “universal internet obligation” to a “broadband obligation”, he explained. “We want to realise two ambitions: not only telephony and internet access for all Indonesians in all towns and villages, but universal broadband internet access.”
In Thailand, internet penetration is around 25 per cent (16 million users) and there are under one million broadband subscribers. Jirapon Tubtimhin, Director of Government Information Technology Infrastructure at the National Electronics and Computer Technology Center, told FutureGov that universal broadband internet access is a key part of Thailand’s ICT2020policy framework. But he admitted that this was a “very challenging” objective.
“Over the coming decade, much attention will be paid to empowering civil society, particularly in education and career development,” he said. “Broadband will play a significant role in achieving this. But we have been careful to incorporate ‘inclusion’ as a key part ofICT2020. A broadband internet network must make access equally possible for the smallest village in the most remote part of the country.”
For this to happen, there must be a concerted effort from the very top, Tubtimhin insisted. “Broadband internet access for all is only achievable if supported by stringent government policies, by law, or at the highest level of constitution. Only then can broadband access be granted a basic human right.”
In China, the number of broadband internet connections reached 346 million in May 2010, but overall internet penetration is still relatively low - at 29 per cent. Wang Fengming, Deputy Secretary-General of Hengshui City Government in eastern China, told FutureGov that while he believes that internet access should be a basic right, much investment is needed to make broadband financially viable.
Of course using the internet should be a basic human right, but for all of China to get free access is not realistic at the moment,” he said. “China is still very much in the developing stage of its ICT journey, and to push on requires massive investment to make broadband financially viable.”

29 Mei 2010

Menimbang Adopsi LTE

Tulisan saya muncul lagi di Koran Jakarta, 27 Mei ini. Judulnya "Menimbang Adopsi LTE". Semoga bermanfaat bagi para pembaca. Berikut isi lengkapnya:



Perbincangan mengenai Long Term Evolution (LTE), generasi selanjutnya dari generasi ketiga (3G) dalam teknologi telekomunikasi bergerak, menyeruak menyusul kabar adanya beberapa operator telekomunikasi bergerak yang telah bersiap mengadopsi teknologi ini dengan meminta kepada pemerintah untuk dapat melakukan uji coba. Bukan hanya operator, para penyedia perangkat (vendor) pun gencar mempromosikan produk terbarunya utnuk dapat dipakai di operator.
Ketika diundang berbicara dalam Forum LTE Asia di Hong Kong tahun lalu, mengingat posisi Indonesia sebagai dynamic follower alias pasar, dan bukan produsen perangkat, pertanyaan yang banyak diajukan adalah kapan Indonesia akan mengadopsi LTE? Pertanyaan tersebut sama seperti ketika pemerintah belum mengeluarkan kebijakan mengenai WiMAX atau bahkan 3G. Harap maklum, selain pasar, negara ini dikenal haus akan teknologi baru, sehingga hampir semua teknologi telekomunikasi di adopsi dan ada di sini. Sebut saja AMPS, CDMA, GSM, GPRS/EDGE, 3G maupun WiMAX. Sehingga, kebijakan kapan Indonesia akan mengadopsi LTE, amat sangat ditunggu.
Sebenarnya, sebelum menjawab pertanyaan kapan Indonesia akan mengadopsi LTE, pertanyaan dasar yang perlu dijawab lebih dahulu adalah apakah kita perlu mengadopsi LTE? Hal itu mengingat jaringan 3G saja belum tersebar merata, dan baru saja operator Telkomsel dan Indosat ’menebus’ tambahan 5 MHz kedua di akhir tahun lalu.  Selain itu, tentunya, adalah manfaat apa yang akan didapat jika LTE diadopsi. Jika hanya menjadikan negara sebesar Indonesia sebagai pasar, dan tidak ada nilai tambah lain, LTE bisa jadi tidak diperlukan.
Agar bisa diadopsi, LTE kemungkinan harus mengikuti kewajiban yang sama seperti dibebankan saat akan menentukan adopsi WiMAX dimana untuksubscriber station wajib memenuhi sekurang-kurangnya 30% tingkat kandungan dalam negeri dan 50% untuk base station. LTE bisa saja diadopsi jika memang memberikan kesempatan bagi lokal untuk berkontribusi berupashare teknologi, membuka lapangan kerja dan lebih bagus lagi jika dapat membangun pabrik di sini. Selain itu, tentunya adopsi LTE juga akan tergantung pada para operator apakah memang LTE diperlukan untuk menjawab kebutuhan pita lebar (broadband) masyarakat.
Soal kapan akan diadopsi, jika melihat negara tetangga Singapura, Infocomm Development Authority (IDA) sebagai regulator juga baru melakukan konsultan publik terkait spektrum yang digunakan untuk 4G, yaitu 2,3 GHz dan 2,5 GHz (yang di Eropa dikenal dengan 2,6 GHZ). Walaupun konsultasi dilakukan hingga 7 Juni mendatang, namun nampaknya peluncuran komersial LTE akan tertunda karena pita frekuensi 2,3/2,6 GHz tidak lowong setidaknya hingga 2015.
Sementara itu, pemerintah Malaysia berencana akan melakukan lelang di frekuensi 2,6 GHz untuk LTE tahun depan. Adapun besar pita yang akan dilelang adalah dua blok 70 (2 x 70) MHz dan satu blok 50 (1 x 50) MHz. Namu begitu, akan ada konsultasi publik lebih dulu terkait dengan rencana melelang frekuensi di 2,6 GHz tersebut. Selain itu, regulator MCMC juga melakukan konsultasi tertutup dengan empat operator di sana—Maxis, Celcom, Digi dan U Mobile, terkait dengan refarming spektrum 2G di 850 MHz, 900 MHz and 1800 MHz untuk 3G.
Di Eropa, beberapa negara seperti Norwegia, Swedia dan Finlandia sudah melelang frekuensi 2,6 GHz untuk layanan telekomunikasi bergerak. Di Jerman, lelang dalam proses. Sementara di Belanda, Austria dan mungkin juga Inggris, lelang direncanakan dua tahun mendatang. Dan nampaknya, di berbagai dunia, ada kebutuhan yang besar terhadap frekuensi di 2,6 GHz. Selain itu, tentunya adalah penggunaan spektrum frekuensi yang ditinggalkan televisi analog ke digital di rentang 790-862 MHz, yang disebut juga dengan digital dividend, untuk LTE. Seperti Australia yang akan menggunakan digital dividend untuk layanan data broadband pada 2011 atau 2012, sebesar 2 x 20 MHz.
Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia untuk adopsi LTE? Yang jelas, saat ini yang kendala utama adalah frekuensi. Untuk frekuensi 2,6 GHz, walau pada pita frekuensi 2500 – 2520 MHz dan 2670 – 2690 MHz, tidak diberikan lagi izin baru untuk aplikasi non BWA, pita frekuensi 2520 – 2670 MHz digunakan untuk penyelenggaraan infrastruktur telekomunikasi bagi layanan penyiaran berbayar melalui satelit yang dilaksanakan oleh Media Citra Indostar. Meski disebut banyak pihak penguasaan frekuensi 150 MHz dinilai teralu besar, proses evaluasi optimalisasi frekuensi, juga akan butuh waktu. Sementara itu, untuk dapat memanfaatkan digital dividend, juga nampaknya masih butuh waktu panjang. Dari rencana digitalisasi radio dan televisi yang dikeluarkan pemerintah, paling cepat 2015 dan paling lambat 2018, tidak ada lagi siaran analog karena sudah pindah ke digital.
Yang juga menarik dari kondisi di sini adalah Indonesia belum setahun  menyelesaikan lelang WiMAX, yang hingga kini belum ada satupun pemenang lelang secara resmi memberikan layanan komersialnya. Ini perlu juga diperhatikan, mengingat belum jelas apakah antara LTE dan WiMAX akan saling berkompetisi atau komplemen, sebab keduanya akan fokus di layanan data berpita lebar (broadband) dengan alokasi frekuensi LTE yang lebih besar per bloknya sekitar 20 MHz, sementara WiMAX ‘hanya’ 15 MHz.
Idealnya, adopsi LTE dilakukan setelah melihat pengalaman keberhasilan  adopsi LTE di beberapa negara lain, minimal se-kawasan, namun tetap dengan memperhatikan keunikan negeri ini. Sehingga, proses komunikasi dan diskusi dengan negara se-ASEAN maupun Asia Pasifik, perlu diintensifkan. Sebab selain harmonisasi frekuensi untuk interoperabilitas, teknologi yang dipakai bersama di banyak negara tentunya juga akan lebih murah. Apalagi kalau kita dapat memproduksi perangkat LTE sendiri, maka potensi eksport juga besar. (herusutadi@hotmail.com)

21 Mei 2010

E-Voting dalam Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat

Munas Partai Demokrat yang dibuka hari ini (21 Mei) hingga tanggal 23 Mei akan mencatatkan sebagai Munas yang menggunakan teknologi terbaru pada proses pemilihan ketua umum partai berupa elektronik voting (E-voting). Konsep e-voting sama dengan model konvensional yang menggunakan hak, tetapi melewati proses verifikasi. Bedanya, seperti dipaparkan dalam situs resmi Partai Demokrat, proses klarifikasi peserta akan dimodali ID Card. ID card akan di barcode oleh panitia. Saat pemilihan ketua umum, ID diverifikasi dan akan dibaca oleh mesin.

Setelah terbaca maka identitas pemilih akan muncul dalam layar besar dan bisa diakses seluruh peserta. Setelah itu, kemudian menuju bilik suara untuk memilih. Setelah masuk di bilik suara, peserta akan menghadapi layar komputer untuk melakukan verifikasi kedua. Kemudian layar monitor touch screen akan memunculkan foto kandidat untuk dipilih. Kemudian, hasil pemilihan akan diumumkan secara elektronik. Dan jika ada kandidat yang merasa dirugikan, maka alat bukti pemilihan berupa struk pemilihan bisa diminta lagi oleh pihak yang protes sebagai bukti. Menurut panitia, teknologi yang dipakai dapat diaudit kebenarannya.
* * *
Secara pemanfaatan teknologi informasi, apa yang dilakukan Partai Demokrat merupakan sebuah langkah maju. Bahkan bukan cuma dalam hal pemanfaatan teknologi informasi, namun kemajuan dalam berdemokrasi. Di banyak negara, konsep e-voting sudah mulai diterapkan.

Sebagaimana diketahui, teknologi informasi berperan besar dalam mengubah gaya hidup, kehidupan ekonomi, sosial budaya, termasuk juga hubungan rakyat dan pemerintah, serta demokratisasi. Teknologi informasi dikembangkan pemanfaatannya dalam  berdemokrasi karena biaya yang murah, cepat, transparan dan memangkas birokrasi. Sehingga, mungkin sudah saatnya, jika beberapa waktu lalu, teknologi informasi telah meramaikan demokrasi dalam Pemilu di tanah air, termasuk diikuti dalam Pilkada,  penggunaan teknologi informasi dalam e-voting nampaknya hanya soal waktu saja.
E-voting disebut murah, karena memang jika dibandingkan dengan perhitungan manual, akan memakan waktu dan biaya, baik dari pencetakan misalnya kertas suara, petugas penghitung dan sebagainya. Dengan memangkas itu semua, maka penghitungan juga akan lebih cepat. Tidak ada aturan, berapa minimal peserta untuk dapat e-voting digunakan, tapi tentunya, ada semangat lain yang juga perlu dicermati adalah adanya transparansi jika e-voting dipakai. Masalah kertas suara yang salah, sudah dicoblos, ditandai maupun duplikasi kertas suara, tidak akan terjadi dengan penggunaan e-voting.

Mengapa? Sebab, mekanisme e-voting adalah pemilih anonimous, alias tidak dapat dijejaki siapa memilih siapa, dan tentunya tidak bakal ada pilihan yang sudah dipilih lebih dahulu, tidak seperti kertas suara manual yang bisa dicoblos lebih dulu. Hanya saja, yang perlu dicatat, sistem yang dipakai sudah harus lulus pengetesan dan audit. Tidak bisa alat berbasis teknologi informasi yang sekonyong-konyong baru, kemudian dipakai, sebab serangkaian pengujian perlu dilakukan agar alat dapat dijamin bekerja dengan baik, dan tidak akan ada masalah seperti penggelembungan angka untuk kandidat tertentu, ataupun dapat dijejakinya siapa memilih siapa. Sebab jika itu terjadi, maka tujuan partai yang lebih demokratis  bisa jadi tidak tercapai.

Lalu bagaimana dengan sistem yang akan Partai Demokrat? Yang jelas, sistem ini harus dites dan diaudit lebih dulu. Jika itu sudah, prinsip jaminan privasi harus dikedepankan. Artinya, jangan sampai ketika barcode ID card di-scan dan kemudian terpampang di layar, yang kemudian masuk memilih, urutan-urutan pemilih terekam dalam komputer, dan akan ketahuan siapa memilih siapa.

Hal lainnya, adalah, sebagaimana kelemahan e-voting, adalah mewaspadai setting dari sistem dimana walaupun jumlah pemilih akan sama antara yang benar-benar memilih dengan yang ada di komputer, namun sesungguhnya hal itu tidak bisa dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena memang sistem e-voting didesain bersifat anonimous, tak bisa diketahui siapa memilih siapa, yang justru juga memberi celah bahwa pemilih tidak bisa memastikan, apalah pilihannya terhadap kandidat tertentu memang benar kandidat itulah yang dipilih, bukan sebaliknya.  

Karena itu, sebaiknya, penggunaan e-voting, dilakukan hanya setelah memang benar sistem telah diuji dan dapat dpertanggungjawabkan hasilnya. Jika tidak, ya itu dapat dianggap hanya untuk gagah-gagahan saja, seolah-olah telah maju selangkah dalam berdemokrasi. (herusutadi@hotmail.com)

09 Mei 2010

Menghadapi CAFTA dengan Daya Tahan dan Daya Saing


Tulisan saya Maret lalu dimuat di Majalah Seluler. Terima kasih Seluler. Berikut ini isi lengkapnya:

Tahun 2010 merupakan awal baru dari era perdagangan bebas di kawasan ASEAN. Negara-negara ASEAN telah berkomitmen untuk mengimplementasikan perdagangan bebas dengan China. Perdagangan bebas China-ASEAN atau CAFTA  ini tentu ditanggapi beragam pendapat. Tentu ada pro, dan tidak sedikit yang kontra. Tulisan ini mencoba melihat secara singkat bagaimana dampak dari perkembangan CAFTA terhadap sektor teknologi informasi dan komunikasi Indonesia, dan bagaimana kita harus menyikapinya.

* * *

Satu hal yang perlu dikedepankan dalam pembahasan CAFTA adalah tidak ada sektor yang tidak terpengaruh oleh pasar yang menjadi lebih terbuka lagi dari sebelumnya, kecuali sektor yang memang belum dibuka, namun itupun hanya soal waktu saja. Sehingga, sektor telekomunikasi pun akan sedikit banyak terpengaruh dengan pasar yang kian bebas, fokusnya terutama adalah serbuan produk-produk China yang bisa dinilai merugikan, namun dapat dianggap juga “menguntungkan”.

Dikatakan menguntungkan karena memang, diakui atau tidak, produk-produk China sangat kompetitif, kalau tak mau dibilang murah. Misalnya saja telepon seluler (ponsel). Bila dibandingkan dengan produk-produk ber-merk global, maka produk China dengan tampilan yang nyaris sama lebih bisa terjangkau harganya bagi masyarakat. Dengan perluasan pengguna telekomunikasi dari kelas atas, kemudian menengah, dan kini ke kalangan bawah, serta dari orang-orang kota menuju desa-desa, maka yang dibutuhkan masyarakat adalah harga produk yang terjangkau. Tentu saja produk-produk China yang sudah menjadi “home industry” menjadi pilihan dibanding produk ber-merk buatan non-China.

Dengan dibukanya pasar bebas China-ASEAN, maka diperkirakan produk-produk seperti ponsel akan makin membanjiri pasar Indonesia. Ini dapat dilihat dengan sertifikasi yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, yang mana terlihat akan kecenderungan naiknya produk-produk yang berasal dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Sebenanrya bukan Cuma ponsel. Perangkat telekomunikasi seperti perangkat BTS, switching, antena, jaringan serat optik sampai data card (dongle) kecenderungan penggunaan produk China meningkat, bahkan menggusur vendor-vendor Eropa. Selain harga murah, China juga berani berinvestasi dan memberikan kemudahan pembayaran bagi operator.

Jika vendor-vendor Eropa saja tergusur, apalagi dengan produk telekomunikasi lokal. Stigma harga yang tidak bersaing dan kualitas yang dipertanyakan, kesulitan mendapatkan pendanaan membuat para operator telekomunikasi berpikir seribu kali menggunakan produk dalam negeri. Inilah yang bisa dikatakan merugikan. Upaya mencoba membangkitkan industri perangkat telekomunikasi  dari “kuburnya”, bisa jadi terhambat bahkan menjadi sia-sia karena rintisan yang baru dimulai langsung dihadapkan dengan raksasa yang skala ekonomisnya sudah tinggi.

* * *

Dua kunci utama menghadapi CAFTA adalah soal daya tahan dan daya saing. Daya tahan di sini maksudnya adalah agar kita tidak sekadar menjadi pasar saja. Sebab, adopsi masyarakat yang cepat akan hadirnya teknologi baru dan demam pemanfaatan layanan teknologi informasi dan komunikasi, menjadi peluang sendiri dan daya tarik investor maupun produsen perangkat dari luar untuk masuk ke Indonesia. Jika memang tidak bisa “melawan”, perlu adanya saringan jaminan kualitas misalnya, agar tidak sembarang produk masuk. Apalagi harga yang murah tidak seiring dengan kualitasnya yang bagus. 

Selain sertifikasi yang ketat, karena ekonomi dunia bergerak jika ada kerja sama yang saling menguntungkan, perlu dibuat kebijakan nasional mengenai kewajiban pemasok perangkat telekomunikasi bekerja  sama dengan vendor dalam negeri ‘asli’ dan adanya Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tertentu sebelum produk itu bisa dipasarkan di sini. Tenaga kerja asing yang turut dibawa ke sini ketika perangkat telekomunikasi dipasarkan juga perlu dibatasi mengingat tenaga kerja Indonesia cukup melimpah dan punya kemampuan yang tidak kalah dengan tenaga kerja asing.  

Dalam hal daya saing, produsen perangkat telekomunikasi dalam negeri harus pandai berinovasi, melihat ceruk pasar serta menjaga kualitas produk sesuai standar internasional. Pemerintah harus membuka sumbatan-sumbatan yang terkait dengan upaya pengembangan produk lokal telekomunikasi. Biaya riset dan pengembangan yang mahal perlu dibantu, kesulitan perizinan perlu dipangkas, dan tentunya perlu keberpihakan dan komitmen bahwa industri telekomunikasi dalam negeri memang perlu dikembangkan, dan Indonesia bukan sekadar menjadi pasar saja.

Soal visi, misi dan strategi ke depan dalam hal teknologi informasi dan komunikasi ini jangan dianggap remeh. Ketika akhir November lalu berkunjung ke China dan menjadi pembicara dalam Seminar “Convergence of Industrialization and ICT: Challenges and Opportunities” yang diselenggarakan oleh ITU dengan pemerintah RRC, nampak jelas visi, misi dan strategi China dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk menghadapi konvergensi. Yaitu, dengan menggabungkan Kementerian Industri dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Ini artinya, ke depan, China akan memfokuskan industrinya ke arah berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Industri yang akan menjadi sentral dari segala industri ke depan.