13 Juni 2012

Tulisan Mengenai Adopsi Teknologi Netral

Tulisan saya berjudul "Adopsi Teknologi Netral" dimuat di Harian suara Karya 8 Juni 2012. Selain dapat juga dibaca dari tautan Suara Karya Online, berikut ini tulisan saya tersebut:

UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 pada Lampiran bagian D mengamanatkan bahwa pembangunan telematika (telekomunikasi dan informatika) diarahkan untuk mendorong terciptakan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based society). Salah satu upaya yang ditempuh adalah melalui penerapan konsep teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri.

Ada beberapa pengertian mengenai teknologi netral. Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik No 11/ 2008, teknologi netral atau kebebasan memilih teknologi diartikan sebagai pemanfaatan teknologi informasi dengan tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu, sehingga dapat mengikuti perkembangan ke depan.

Sementara itu, konsep teknologi netral dipakai pula terkait dengan pemanfaatan frekuensi. Pada beberapa alokasi pita frekuensi (850 MHz, 900 MHz dan 1800 MHz), kewajiban Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi diubah dari Izin Stasiun Radio ke BHP Pita. Maka, pengenaan biaya penggunaan spektrum frekuensi tidak lagi ke teknologi/BTS tapi ke lebar pita (bandwidth). Itu artinya, frekuensi dapat dipakai untuk teknologi apa pun sepanjang mengikuti standar internasional dan tidak menimbulkan gangguan pada layanan eksisting.

Salah satu bentuk adopsi teknologi netral dalam pemanfaatan spektrum frekuensi diatur dalam Permen Kominfo No 19/2011 terkait dengan perkembangan teknologi Broadband Wireless Access di 2,3 GHz. Aturan ini dikeluarkan untuk menjawab salah satu tantangan perubahan teknologi dan memenuhi target penyebaran pita lebar (broadband) nasional sebagaimana tertuang dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Adapun beberapa batasan teknologi netral yang dimaksud adalah moda penggunaan frekuensi TDD (time division duplex), jenis layanan sesuai peruntukan penggunaan pita frekuensi radio dan izin penyelenggaraan telekomunikasi yang ditetapkan serta tidak hanya terbatas pada teknologi WiMax 16.d dan 16.e saja.

Adopsi ini sebenarnya bukan tanpa sebab. Berdasarkan fakta, pemenang seleksi penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched yang menggunakan pita frekuensi radio 2360-2390 MHz untuk keperluan layanan pita lebar nirkabel (wireless broadband access) dari tahun 2009 sampai pertengahan 2011 masih belum dapat memberikan penyediaan layanan kepada masyarakat sesuai komitmennya. Selain itu, juga atas pertimbangan adanya aspirasi dari pemenang seleksi untuk dapat menggunakan teknologi berkelanjutan (sustainable), yang mampu bersaing dengan teknologi lainnya dan pada akhirnya dapat mendukung ketersedian layanan teknologi informasi bagi masyarakat.

Pengaturan layanan berbasis netral teknologi ini memberi kebebasan kepada penyelenggara untuk memilih teknologi dalam rangka mengoperasikan jenis layanannya. Antara lain, dengan tujuan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi radio, mendorong perkembangan dan inovasi teknologi informasi, menjamin keberlanjutan (sustainable) teknologi yang mampu bersaing antarteknologi satu dan lainnya; serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Suka atau tidak suka, dalam pemanfaatan frekuensi, satu rentang frekuensi yang dapat digunakan untuk teknologi yang berbeda baru di 2,3 GHz. Soal apakah rentang frekuensi lain dapat dipakai untuk teknologi yang berbeda termasuk dari yang dipakai sekarang, tentu ini menjadi tantangan tersendiri.
Di banyak negara, khususnya untuk penggunaan frekuensi 900 MHz dan 1800 MHz yang sekarang ini banyak dipakai oleh operator seluler ditata kembali dengan istilah refarming.

Konsep ini menjadi pembicaraan karena teknologi terkini, mengingat spektrum frekuensi merupakan sumber daya terbatas. Arahnya adalah mengoptimalisasi spektrum yang sudah dialokasikan dengan teknologi terbaru. Indonesia sendiri telah memberikan peluang dilaksanakannya netral teknologi pada kedua pita frekuensi tersebut melalui pengaturan kewajiban BHP berdasarkan pita. Namun uniknya, setiap negara memiliki aturan main berbeda mengenai bagaimana pengalokasian spektrum, pemanfaataan spektrum untuk layanan/teknologi apa dan berapa lama spektrum dapat dimanfaatkan oleh operator.

Belum lagi, dengan kebijakan International Telecommunication Union (ITU) yang membagi dunia ini menjadi tiga region di mana Indonesia sebagai negara Asia masuk di region 3. Sementara Eropa di region 1 dan Amerika di region 2. Dampaknya, teknologi yang dipakai di region 2, misalnya, bisa berbeda dengan di region 3. Kasus Ipad 4G contohnya, disebut 4G di Amerika Serikat karena mereka menggunakan LTE di 700 MHz.
Koordinasi, filterisasi di sisi transmitter maupun receiver maupun pengaturan daya keluaran BTS menjadi hal yang harus dilakukan agar interferensi tidak terjadi. Sehingga, sebelum diputuskan apakah teknologi netral diadopsi untuk teknologi-teknologi terbaru, perlu dilakukan uji coba apa pengaruhnya terhadap teknologi lain dalam rentang frekuensi yang sama, maupun rentang frekuensi lain yang berdekatan.

Dalam implementasi teknologi netral, pemilihan alat dan perangkat telekomunikasi seperti base station, antenna serta subscriber station wajib memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan. Karena, operator telah membayar BHP Frekuensi berdasarkan Pita, maka operator akan sangat hati-hati dalam melakukan perencananaan dan pemilihan teknologi yang digunakan karena akan berdampak kepada efisiensi biaya investasi yang dibelanjakan.
Mengingat Regulator selalu mendengung-dengungkan pencapaian target broadband maka penggunaan netral teknologi perlu didukung mengingat teknologi yang seluler generasi ke 2 (2G) dengan teknologi GSM dan DCS tidak dapat menjawab kebutuhan jaringan pita lebar (broadband). Regulator harus mensyaratkan bahwa teknologi yang dipilih tidak menimbulkan interferensi yang akan berdampak kepada pelayanan ke pelanggan dan jaringan milik operator lain. ***

Penulis adalah pegiat di Indonesia ICT Institute