29 Juni 2008

NOVEL: TERIKNYA MENTARI (3-sambungan)

SAMBUNGAN...



Soal ide tulisan, "Saya adalah Mandul. Saya capek melihat gerakan mahasiswa kita yang tidak jelas arah tujuan. Saya juga ingin menggugah agar mahasiswa sadar akan perannya," katanya suatu hari dalam diskusi menarik dengan Sandra. Memang benar, apa yang diimpikan Fajar kini terwujud. Mahasiswa dari berbagai penjuru mulai meninggalkan atribut kampus mereka. Kampus UI secara terang-terangan telah menanggalkan julukan sebagai kampus Perjuangan Orde Baru. "Fajar-Fajar, seandainya engkau ada di sini…..," lamun Sandra kembali.


Sandra begitu mengharapkan kehadiran Fajar di sampingnya. Hari-hari penuh demonstrasi ini harus dia lalui sendiri. Beda dengan tahun-tahun yang lalu. Mereka aktif turut serta meramaikan berbagai demonstrasi. Menghadiri berbagai sidang politik di pengadilan. Tak ketinggalan, datang ke berbagai kampus bertemu dengan banyak aktivis untuk berdiskusi soal konstelasi politik kontemporer. Semua kenangan itu begitu membekas dan banyak membentuk dirinya sebagai mahasiswa politik yang disegani seperti sekarang. Dengan terjun langsung sebagai aktivis, pendapat-pendapat Sandra tentang suatu perubahan politik di tanah air, begitu mulus termuat di berbagai media. Tak hanya media tulis, televisi pun acap mewawancarai gadis ini dan bahkan mengundangnya untuk berdiskusi di televisi dengan tokoh-tokoh terkemuka politik tanah air.


Wajahnya yang cantik memang begitu meragukan bahwa dia adalah dara dengan aktivitas yang terkadang menyerempet bahaya dan otak yang cemerlang. Bayangkan, suatu kali, karena demonstrasi menentang pembredelan beberapa tabloid dan majalah nasional, Sandra pernah dikejar-kejar aparat dalam suatu bentrokan di Silang Monas Jakarta. Karena pengalamannya itulah, dalam diskusi di televisi tentang kekerasan aparat menangani demonstrasi mahasiswa, Sandra secara tegas mengatakan. "Aparat keamanan seharusnya sadar. Rotan, sepatu, ataupun suatu saat peluru yang diletuskan, itu adalah uang rakyat. Pada saat seperti ini, seharusnya mereka memperhatikan rakyat, bukan sebaliknya!"


"Hebat kamu, San…" tanggap Sita, esok hari setelah wawancara Sandra disiarkan. Bukan hanya Sita, sahabat dekatnya, tapi juga Rita dan sahabat dekatnya, para aktivis kampus, termasuk pejabat di rektorat, atau mungkin banyak pemirsa yang sependapat dengan Sandra, mengacungkan jempol untuk statement-nya. Meski klise, tapi paling tidak perlu segenap keberanian untuk bicara kebenaran di depan petinggi negara untuk mengatakan hal yang seperti itu. Dan Sandra, punya nyali untuk itu. Sayang memang Fajar sudah terbang meninggalkan tanah air, kalau tidak pasti dia akan sangat berbangga dan sependapat dengan pernyataan Sandra. Sebab bukankah apa yang dikatakan Sandra itu merupakan buah pembicaraan santai mereka?


"San kamu tahu nggak, sejarah tumbangnya Orde Lama itu bukanlah gerakan murni mahasiswa. Saat itu, selain ekonomi kita yang memang morat-marit, sebenarnya mahasiswa juga didukung Angkatan Bersenjata," kata Fajar membuka diskusi.


"Ya Francois Rallion juga dalam bukunya tentang Mahasiswa Indonesia juga mengatakan hal yang seperti itu. Tapi untuk merubah tatanan kehidupan yang korup dan penuh nepotisme seperti sekarang ini apakah kita bisa berharap banyak pada militer," tanggap Sandra.


"Memang nampaknya sulit. Mereka solid dan secara komando begitu sistematik berada di satu tangan. Tapi apakah benar mereka solid? Inilah peluang kita. Satu saat perwira yang berpikiran maju dan demokrat pasti menginginkan perubahan dan akan berhadapan dengan perwira yang merasa enak dengan status quo. Ketika 'perkelahian' itu timbul, saatnyalah bagi mahasiswa untuk masuk, berkoalisi dengan perwira yang demokrat tadi."


"Mengharapkan hal itu terjadi, bukankah seperti mengharap durian runtuh?"


"Atau bisa juga diberi kesadaran pada mereka, bahwa yang harus mereka bela itu adalah rakyat banyak. Bukan kelompok tertentu, apalagi orang per orang."


"Caranya?"


"Pancing aja mereka, katakan bahwa dari sepatu, baju hijau dan loreng, pet, senapan dan peluru yang mereka pakai itu adalah uang rakyat. Sehingga sudah seharusnyalah mereka membela kepentingan rakyat."


"Seperti menyadarkan mahasiswa sini, yang sebagaian uang kuliah mereka juga dibiayai rakyat?"


"Kira-kira seperti itu."


Diskusi Sandra sebenarnya, tidak hanya dengan Fajar, namun juga Baskara. Namun berbeda dengan Fajar dan dirinya, Baskara kuliah di Teknik Elektro Trisakti. Sesama aktivis mereka acap bertemu. Peran Baskara bagi Sandra juga tidak sedikit. Dari Baskara, Sandra mendapat banyak pasokan berita-berita terhangat dari Internet. Dan atas saran Sandra dalam sebuah diskusi, lewat jalur komunikasi superhighway itu pulalah, Baskara jadi administrator E-Mail grup untuk berkomunikasi tentang perkembangan dunia kemahasiswa antar kampus se-Indonesia.

22 Juni 2008

NOVEL: TERIKNYA MENTARI (3)

TIGA

Demonstrasi mahasiswa yang kian hari makin membesar, seperti menuju ke suatu puncak perubahan. Hampir tiap hari surat kabar dihiasi berita demonstrasi mahasiswa dari seluruh penjuru tanah air. Hampir tiap hari pula, tak ada jalan di ibu kota dalam radius kampus-kampus yang tak macet karena demonstrasi.


"Ah seandainya saja Fajar ada di sini, pasti dia akan sibuk mencari berita ke sana ke mari. Fajar ku sayang, apa kabarnya kamu, di manakah kamu, apakah kamu begitu sibuk dengan perjuangmu memotret wajah TKW kita hingga kamu melupakan aku? Fajar kekasihku, cepatlah kembali. Peristiwa yang begitu kamu tunggu sekarang sedang terjadi. Di sini aku dan perubahan itu menunggumu."


"Sandra…Sandra…apa yang sedang kamu lamunkan?" Rita memecah lamunan. "Nggak…nggak…aku sedang menikmati demonstrasi-demonstrasi yang terjadi." Tapi bukan Sandra kalau tidak cepat memberi tangkisan yang lebih berisi. "Sekarang ini, kita sedang adu kuat dengan aparat, siapa yang lebih cepat lelah akan kalah. Itu pertama. Kedua, siapa yang lebih cepat jadi korban, merekalah yang akan berada di atas angin untuk mempengaruhi pendapat publik." Meski sebenarnya untuk mengalihkan masalah, apa yang diungkapkan Sandra, bagi Rita bukanlah sekadar pendapat kosong belaka. Sebagai mahasiswi FISIP semester akhir jurusan politik, yang keluar dari mulut Sandra adalah "pernyataan politik".


Sandra Ramadhanti, biasa dipangggil Sandra, mahasiswi cemerlang di kampusnya. Dengan IPK rata-rata 3,7, aktif di berbagai kegiatan kampus dan kadang-kadang menulis opini di surat kabar terkemuka, menjadikannya sebuah barometer pendapat mahasiswa-mahasiswa lainnya. Awalnya, Sandra hanyalah seorang gadis cerdas biasa. Berkaca mata minus dan rajin kuliah.



Sampai suatu ketika dia aktif dalam penerbitan suratkabar di kampusnya. Biasa berdiskusi dengan teman berbeda jurusan dan fakultas, lebih-lebih lagi setelah berkenalan dengan Fajar.
Fajar yang mahasiswa hukum banyak memberi masukan tentang suatu masalah dipandang dari sudut hukum. Lebih-lebih lagi ketika Fajar menjadi reporter magang di surat kabar Indonesia Muda, segala gosip politik dan apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini begitu ringan mereka ceritakan. Kedekatannya dengan Sandra, bagi Fajar adalah hal yang wajar. Sandra cantik, berkulit putih, hidung mancung dan rambutnya yang di bawah bahu selalu menebarkan keharuman. Sedang bagi Sandra, "Fajar pintar, mandiri, nggak sombong dan ….ya lumayanlah..," begitu alasan Sandra ketika didesak Rita dan Dhea menceritkan soal kedekatannya dengan Fajar. "Gua dekat Fajar masih sebatas pemikiran-pemikirannya."


Bagi sebagian orang, pemikiran Fajar dinilai terlalu sederhana. Tidak ada suatu "riak revolusioner" dalam dirinya. Tapi bagi Sandra, setelah mengenal lebih dekat lelaki ini, justru dari kesederhaan itulah sebenarnya Fajar membangun suatu radikalisasi yang revolusioner. Khutbahnya di media massa nasional memang hanya bicara soal-soal sepele, namun dibalik semua itu sebenarnya ia ingin memberi suatu kesadaran individu baru yang akhirnya bermuara sebagai sebuah kesadaran kolektif. Lihat saja tulisannya semasa jadi mahasiswa yang berbicara tentang aksi mahasiswa saat itu.

"Kampus ini Pemecah Masalah, Bukan Pembuat masalah", "Selamat Datang di Kampus Rakyat", "Selamat Datang di Kampus Orde Baru". Begitulah bunyi-bunyi spanduk yang berkibar megah, ketika menyambut kedatangan mahasiswa baru, beberapa tahun lalu.
Memang slogan. Atau, bisa juga dikatakan apologi. Sebab ketika mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ramai-ramai mulai mencoba menghilangkan fanatisme kampus, menjadi mahasiswa Indonesia, ternyata banyak pihak---termasuk mahasiswa sendiri---yang masih senang bermain-main dengan trade mark kampusnya. Slogan yang bermetamorfosa menjadi sebuah pembelaan untuk menutupi ketidakbersatuan, atau mungkin juga ketidakberanian. Tidak berani membenturkan pemikiran dan suaranya ke dinding-dinding kekuasaan.


Waktu berlalu, masa berganti. Sekonyong-konyong bius afiksasi "ke-an" di atas bergerak ke satu pemikiran untuk menghayati cakrawala pancaindera dan jiwa. Kata WS Rendra dalam "Megatruh", agar kita tidak terkesima, terbengong, terhiba-hiba dan menjadi santapan para raksasa.


Masih terekam di otak saya, ketika kali pertama setelah tidur panjangnya, mahasiswa Indonesia menjenguk "orang tua" dan "adik kakak"-nya yang tergusur di Kedungombo serta ramai-ramai lagi ke jalan, menuntut penurunan tarif listrik. Saya berpikir dan bertanya-tanya waktu. "Apa yang terjadi dengan mereka?"


Begitu juga ketika mereka mengucurkan tetes demi tetes aktivitas sejenis. Penggusuran-penggusuran yang merugikan rakyat kecil seperti Cimacan, Badega, Kacapiring, Tanah Merah, dan banyak lainnya. Demo untuk solidaritas Bosnia di Kampus, Kedubes Yugoslavia, Kedubes AS dan DPR. Atau, ketika mereka demo menuntut penghapusan SDSB. Nempel juga "Sumpah Mahasiswa" cah-cah bagus setiap mimbar bebas. Yang seperti cerita-cerita di film: gandrung akan kebebasan dengan satu bahasa, kebenaran.


Tetapi apa yang bisa diamati? Aksi telah menjadi mengalami deviasi. Aksi sekarang, bagi mahasiswa nggak lengkap kalau tidak turun ke jalan, masuk koran dan disorot televisi. Entah mimpi buruk apa yang selalu membayangi mereka, sehingga mereka berlari-larian--numpang ngetop--ketika wartawan foto sedang menjepret. Ngebela-belain menelpon koran biar namanya ditulis besar-besar. Apakah ini yang disebut pretensi, sensasi atau ambisi, saya kurang paham.


Lebih baik tanyakan saja pada teman saya. Mandul, namanya. Lelaki gondrong yang satu ini, kalau boleh dibilang, setiap ada aksi mahasiswa, dia pasti ada di situ. Aksi sudah menjadi candu baginya, paling tidak ya hobi.
Toh, Mandul hanya bisa mengangkat bahu ketika ditanya apa yang didapat dari berbagai aksi yang ia geluti. Peristiwa-peristiwa itu, kata Mandul, hilang begitu saja, laksana debu tertiup angin.


"Mahasiswa sekarang munafik!" cetus Mandul. Terus terang, agak kaget juga saya mendengar pernyataan yang tiba-tiba itu. Apalagi dari seorang seperti Mandul..


"Munafik bagaimana, kawan?"


"Bayangkan. Mereka bilang, mereka anti penggusuran. Kenyataannya, mereka juga yang tinggal di sana setelah kampung itu jadi real estate, jadi kondominium. Mereka bilang, mereka anti SDSB. Tetapi dibalik semua itu, kucuran uang haram itu dinikmati untuk segala kegiatan tetek bengek mereka," katanya berapi-api. Mukanya merah dan tangannya terkepal.
Aku termenung sejenak. "Lalu yang tidak bertopeng kemunafikan itu yang seperti apa atau bagimana?" tanyaku.


Mandul diam. Dia tidak menjawab dan hanya bercerita. Ketika Mandul main ke sebuah dusun, dia melihat seorang mbok-mbok tua, dengan dua bumbung bambu di bahunya, harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan air. Tidak terlihat keresahan di wajah si mbok, meski mungkin di sekitar desanya proyek PLTN akan segera dibangun. Si Mbok tidak berteriak-teriak agar orang sudi memperhatikan nasibnya. Tidak juga membutuhkan mahasiswa, seperti yang sering dibangga-banggakan mahasiswa. Baginya hanya satu: hidup.


"Pada saat itu, jangankan teman-teman aktivis kampus, tokoh-tokoh dunia yang pernah dibaca perjuangannya pun lenyap karena si mbok tadi," tuturnya datar.Untuk Mandul tidak memerinci sebab musabab terjadinya amnesia yang dia alami. Bisa jadi karena Mandul menganggap, gerakan si Mbok itu tanpa ambisi, sensasi atau pretensi. Dia bergerak karena memang dia harus bergerak. Mungkin inilah yang disebut orang sebagai aksi yang hakiki. Atau juga, aksinya Mandul? Entahlah.




Lewat caranya, Fajar berusaha untuk menyadarkan mahasiswa bahwa sekarang saatnya mereka melepaskan atribut 'kedaerahan' untuk bersatu menjadi mahasiswa Indonesia. Sebab salah satu kunci keberhasilan perjuangan mahasiswa di masa lalu dan banyak negara adalah karena mereka bersatu. Secara halus Fajar juga menyindir bahwa seharusnya mereka melakukan segala aksi mereka dengan ikhlas. Mereka beraksi karena seharusnyalah mereka beraksi. Semua karena peran yang begitu berat dipikul mahasiswa, sebagai agen perubahan, dan kemauan jaman, bukan merasa dipaksakan.



BERSAMBUNG....

14 Juni 2008

NOVEL: TERIKNYA MENTARI (2)


DUA

Baskara memelototkan matanya di depan layar monitor komputer. Hari sudah larut. Tapi itu tak membuatnya surut. Berita-berita yang didapat dari situs "Apakabar" mampu menahan matanya untuk tetap terjaga. Ya, pada saat-saat seperti, ketika suratkabar, majalah, radio dan televisi begitu diseragamkan oleh pemerintah, bacaan bebas seperti dari indopubs ataupun radio Netherland menjadi sumber alternatif terhadap realitas berita. Memang masyarakat pernah terbuai dengan visi berbicara terbuka seperti yang sudah realisasikan oleh Tempo, Detik ataupun Editor. Masyarakat rendah yang selama ini dibutakan secara struktural untuk bersentuhan dengan politik, lewat Detik, tukang becak-pun menjadi melek dengan apa yang terjadi dengan bangsanya. Membahayakan memang, sehingga akhirnya, ketiga, harus dikubur dari dunia pers Indonesia.

Satu per satu tulisan di "Apakabar" yang dianggap menarik, dibukanya. Banyaknya tulisan tidak memungkinkan Baskara untuk membuka semua tulisan. Bayangkan, lebih dari 50 tulisan terhidang di sini, sangat lebih banyak dibanding jaman normal dahulu. Jika semua dibuka, dengan akses internet per tulisan sekitar dua hingga tiga menit, lebih dari satu jam setengah diperlukan untuk hanya membuka dan menyimpannya dalam harddisk. Dari beberapa tulisan, ada tulisan bersambung mengenai kekayaan orang nomor satu di negeri ini, yang sekarang jadi sumber gugatan masyarakat banyak. Tulisannya terbagi dalam enam bagian berukuran 117 kilobyte.

Ada lagi tulisan yang berisikan sebuah wawancara dengan ketua senat mahasiswa UGM mengenai perkembangan politik mutakhir. Soal ramainya demo-demo yang makin marak akhir-akhir ini, penguasa yang membunuh hak-hak mahasiswa sampai isu 'reformasi' satu kata yang sedang daun dan jadi bahan omongan banyak orang. Lihat saja isinya:

T: Tampaknya perjuangan mahasiswa masih akan panjang sebelum sampai tujuan. Bagaimana caranya supaya stamina massa ini tidak cepat loyo?
J: Saya berharap, teman-teman mahasiswa jangan berkecil hati jika sampai saat ini belum ada perubahan seperti yang dikehendaki. Untuk itu tetap diperlukan peningkatan kualitas aksi-aksi mahasiswa agar daya tekan dan daya tawarnya semakin kuat.
T: Ada kabar mahasiswa ingin ke DPR . Apakah ke DPR itu untuk mengadu atau menyalurkan aspirasi?
J: Saya kira tidak begitu. Bahwa mahasiswa ke DPR itu bukan untuk mengadu, atau minta belas kasihan kepada mereka. Subtansi yang diinginkan mahasiswa sebenarnya bahwa mereka ingin memasuki ruang publik. OK, kampus bisa dibilang ruang publik, tapi bagi saya kampus adalah ruang publik yang tingkat keluasannya berbeda dengan ketika bisa menaklukkan jalan raya. Hal tersebut sebenarnya dilandasi oleh kondisi dimana selama ini, masyarakat tidak pernah punya ruang publik yang bisa berbicara secara bebas. Tapi dengan jalan gerakan massa, turun ke jalan atau reli itu suatu bentuk atau ekspresi, dari kebebasan yang seharusnya dimiliki.
T: Tapi kan beresiko?
J: Beresiko, tapi sangat positif kalau itu berhasil. Yang pertama, tingkat kampanye politiknya semakin keras dan kuat. Kedua, sangat memungkinkan untuk menggalang massa yang semakin besar dan luas. Tentu resikonya ada, mungkin dijerat pasal 510 atau pasal-pasal lainnya yang berkaitan. Sehingga perlu sebelumnya kita analisis sebaik-baiknya. Apakah sudah layak untuk turun ke jalan atau hanya sekedar turun di sekitar-sekitar kampus.
T: Bagaimana mencegah infiltran masuk?
J: Nah seperti yang saya bilang, kita terlebih dulu harus menganalisanya, kita akan siapkan perangkat-perangkatnya. Kalau infiltran itu aparat keamanan, ya kita akan selesaikan baik-baik. Dan kalau massa rakyat ingin bergabung, nah itu yang diharapkan. Tujuan masuk ke ruang publik kan kampanye politik. Sehingga kalau ada massa yang ikut untuk berpartisipasi, kenapa ditolak? Itu yang diharapkan.
T: Berarti aksi di kampus masih dianggap belum cukup?
J: Untuk teman-teman yang ingin memasuki ruang publik saya pikir ya. Tapi kalau kami di senat mengakar, sampai saat sekarang ini aksi-aksi dalam kampus pun sudah cukup untuk mempertahankan opini atau menambah daya tekan terhadap negara.
T: Pernyataan Mendikbud soal pelarangan berpolitik praktis?
J: Kami pikir itu membunuh hak-hak mahasiswa, hak-hak masyarakat untuk berdemonstrasi. Menurut saya, menyatakan pendapat dengan cara apapun dalam sebuah negara demokrasi harus mendapat tempat. Jadi pendapat itu bukan saja menunjukkan arogansi Mendilbud, tapi membunuh hak-hak mahasiswa.
T: Kalau itu dipaksakan kepada semua rektor?
J: Saya nggak yakin kalau semua rektor menerima ini.
T: Apakah ada upaya menyatukan aksi-aksi mahasiswa di kampus-kampus?
J: Sudah dilakukan. Cuma itulah, efektifitasnya masih sangat rendah.Ketika kami bertemu, yang pertama kali disatukan adalah platform-nya dan ternyata sudah sama semua, yaitu menuntut reformasi ekonomi dan politik.
T: Reformasi yang dimaksud itu perubahan tatanan?
J: Ya, perubahan sistem. Perubahan penanggung jawab dan sistem..Oleh karena itu perlunya reformasi secara sistemik.

Terkesiap darah Baskara membaca wawancara tersebut. "Ya, Republik ini sedang hamil tua," gumamnya. "Suatu saat, bayi reformasi akan lahir." Entah ini sebuah harapan atau ramalan, yang jelas sebagai aktivis kampus, Baskara melihat arah lahirnya bayi reformasi kian jelas.


Memang dia tidak tahu persis bagaimana ketika terjadinya perpindahan kekuasaan 23 lalu, sebuah peristiwa yang melahirkan suatu tatanan kehidupan baru menumbangkan tata kehidupan lama. Namun, lewat sejarah yang ia pelajari di bangku sekolah, pengalamannya menggalang massa dalam berbagai aksi demonstrasi yang belum besar seperti sekarang dan tak ketinggalan adalah "oleh-oleh" perjalanannya dalam program pertukaran mahasiswa se-ASEAN.

Dalam program ini, Baskara berkesempatan mengunjungi negara yang pernah berhasil menumbangkan rejim penguasa yang telah begitu lama berkuasa, diktator dan korup, Filipina.
Di sana, ia sempat mencari informasi mengenai bagaimana embrio "people power" bermetamorfosa sehingga berakumulasi menjadi kekuatan yang begitu dahsyat. Tak hanya mencari literatur, lewat temannya yang Filipino, Baskara berhasil bertemu dengan jaringan-jaringan "underground" yang dulu berperan dalam people power. Tambahan lagi, Baskara juga sempat bertemu dengan mereka yang menentang "pendudukan" Timor-Timur oleh Indonesia. Mereka inilah yang sempat membuat masalah ketika akan mengadakan sebuah diskusi dengan mengundang Ramos Horta di Manila. "Nampaknya, sejarah people power di Filipina akan terulang di sini."

Masih dari apakabar, Baskara meneliti lagi berita yang menarik. Soal penculikan para aktivis kampus kini menjadi perhatiannya. Di-kliknya HTML salah satu tulisan mengenai para aktivis. Dibacanya dengan seksama. "Saya yakin, aparat keamanan terlibat dalam 'operasi' ini," katanya membatin. Dalam berbagai ulasan mengenai penculikan para aktivis, entah benar atau tidak, dibeberkan beberapa wawancara dengan beberapa mantan petinggi militer yang tak disebut namanya. Orang-orang itu bilang, aktivis yang diculik disembunyikan di daerah yang dekat jalan tol ke arah Bogor. Namun sebagian lagi bilang, mereka disekap di sebuah tempat pendidikan intelijen di selatan Jakarta.


Selesai dengan apakabar, dibukanya
www.hotmail.com. Dimasukkan login namanya abaskara, kemudian password dan…..muncullah sederetan pesan dalam inbox-nya. Ada kiriman dari beberapa temannya, ada juga yang dari lembaga. Dari teman-temannya, selain sekadar menanyakan kabar, seperti biasa mereka saling bertukar informasi terhangat. Dari soal rencana penutupan beberapa bank, hingga jadwal demonstrasi mahasiswa untuk besok. Dan yang paling menarik adalah surat dari sahabatnya yang Filipino, Ariceo.

Lama sudah, Baskara tidak mendengar kabar tentang Aric. Terakhir kali, ketika Baskara mengirim email ke Aric dan bertanya mengenai keadaan negeri menyusul melemahnya mata uang Thailand Bath, 4 bulan lalu. Saat itu, rupiah masih cukup kuat, begitu juga jawaban Aric. "No problem with Pesso." Tapi, waktu begitu cepat berlalu dan berubah. Rupiah secara menakjubkan anjlok sampai nilai yang tak terbayangkan sebelumnya. Harga-harga otomatis membumbung tinggi. Roda-roda bisnis dan produksi macet. PHK berhamburan di mana-mana.

Biaya pendidikan kian mahal. Demonstrasi atas ketidakpercayaan terhadap pemerintah kian hari bergelinding laksana bola salju, makin membesar. "After waiting for a long time, now is your chance to reform your country with the same way that we used before, people power. Good luck," begitu tulisnya.

Surat elektronik dari Aric kembali menggugah memori Baskara ketika suatu siang, ia bersama Aric dan teman programnya berjalan-jalan ke EDSA di Manila. EDSA yang kepanjangan dari Epifanio de los Santos Avenue merupakan tempat di mana aksi menentang Marcos dimulai. Kalau boleh dibilang, sesungguhnya people power itu adalah Revolusi EDSA. "Dalam tiga hari, laki-laki, perempuan dan anak-anak memenuhi jalan di EDSA dengan doa, tangis dan berbuat sesuai dengan keyakinan kami tentang demokrasi dan kebebasan. Dalam massa yang singkat itu, kami khawatir dengan keamanan kami, kehidupan dan masa depan kami. Sebab dari isu yang berkembang di antara kerumunan orang saat itu menyebutkan, tentara yang loyal terhadap pemerintah akan datang untuk membungkam tangisan kami. Kami berdoa semakin keras. Kegelisahan dan udara ketakutan menyelimuti hari itu tanpa letusan senjata," kenangnya.

09 Juni 2008

NOVEL: TERIKNYA MENTARI (I)


Cerita ini hanyalah sepenggal kisah kehidupan manusia, bagian kecil dari sebuah perjalanan hidup yang panjang dan kaya warna.


TERIKNYA MENTARI


Dear my inner:

Lama rasanya saya tidak saling bercerita dengan mu. Apa kabarnya engkau kawan, nun jauh di negeri yang sedang bergejolak? Saya harapkan dirimu tetap tegar menghadapi segala perubahan ini. Ya, mungkin sudah kemauan jaman, sekarang lingkungan kita sedang berubah. Entahlah, apakah perubahan itu mengarah ke kebaikan atau justru meluluhlantahkan kemajuan, yang sekecil apapun telah kita rasakan. Lewat doa, sekali lagi, semoga Tuhan memberi kekuatan pada kita--engkau, aku dan saudara-saudara kita--menghadapi cobaan ini.

Sekarang, setelah sekian lama tidak mendengar ocehan saya, saatnyalah saya bercerita mengenai perjalanan hidup ini setelah beberapa purnama saya pergi merantau di negeri orang.

Begini ceritanya:



Satu

Udara di Dallah pagi itu, dingin sekali. Tak heran kalau banyak orang menyelimuti tubuhnya dengan jaket tebal dari kulit ataupun wol. Tak seperti cara orang-orang Barat--Eropa atau Amerika, busana musim dingin di sini begitu khas. Memang ada juga yang memakai overcoat, tapi karena dinginnya kering dan tanpa salju, penutup kepala dari bulu binatang dan glove tak tampak mereka kenakan. Yang dominan, adalah kafayeh. Sorban penutup kepala yang biasa digunakan Yasser Arafat, pemimpin PLO yang legendaris itu, berwarna merah dan putih seperti warna bendera kita.


Setelah membayar taksi Ar Riyadh, dan tak lupa meminta bon, seorang anak muda, usia 27 tahunan, bergegas masuk ke dalam perkantoran mirip Polda Metro Jaya. Bukan..bukan..tempat ini bukan hanya mirip, tapi memang fungsinya sama dengan Polda di sana. Tempat untuk membuat SIM. Lihat saja, lapangan parkir terhampar luas di sana, satu dua orang sudah berbaris mengantri di loket pelayanan, sembilan sepuluh orang siap menanti giliran tes mengemudi dan parkir. Hanya bedanya, di sini ada tempat untuk sekolah nyetir. Tempat inilah yang dituju anak muda itu dengan terburu-buru. Saat itu, waktu menunjukkan 7:10.


Nampaknya masih pagi memang, namun untuk sekolah, dia sudah terlambat sepuluh menit.
Berbicara dengan bahasa tarzan, dengan berat hati--paling tidak pura-pura tidak menerima alasan yang diperagakan--instruktur membolehkan anak muda itu ikut kursus pagi ini. Sungguh beruntung dia, sebab jika tidak, dia harus kembali sore hari untuk sekolah hingga lepas Isya. Dan dia harus menunggu per 30 menit sampai gurunya yang dari Mesir menyebut, "Fajr……..," setelah 29 siswa sebelumnya bergiliran test drive.

Fajar, nama anak muda itu, atau tepatnya Fajar Gumilang, memang baru beberapa pekan menginjakan kaki di negara yang alamnya begitu keras. Arab Saudi. Bagi orang muslim, siapa yang tidak mengenal negara berbentuk sepatu ini. Sebuah negara di Timur Tengah dengan dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Tempat yang menjadi dambaan dan berkumpulnya jutaan orang di dunia, khususnya di bulan-bulan haji. Indonesia sendiri, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, mendapat kuota untuk bisa memberangkatkan 200 ribu jemaah. Apakah karena haji pula, Fajar mengembara ke sini? Jawabnya: mungkin, tapi bisa juga tidak. Perlu waktu lama untuk mengenal pribadi dan kemauan anak muda ini.

Jam di tangan menunjukkan huruf V, seperti yang ditunjukkan dalam iklan jam merk-merk terkenal. 10.10. Setelah melahap sepotong showarma, lagi-lagi dengan bergegas Fajar meninggalkan Dallah. " Kam…..," tawarnya pada sopir taksi. Si sopir tak mau pakai tawar-tawaran, dia mau pakai argo. Ah di Saudi, kalau pakai argo, dua kali lipat kita harus bayar dibanding menawar. Dan taksi ketiga, dengan sopir asal Afganistan, akhirnya proses tawar menawar disepakati. 25 Riyal. "Kalau harus bayar dengan rupiah yang senilai limapuluh ribu dan tidak diburu waktu, wah lebih baik saya naik bus," gumamnya dalam hati.

Ya, hari itu Fajar memang nampak terburu. Setelah telat kursus, dia tidak mau ketinggalan kesempatan pertamanya bertemu dengan orang-orang kedutaan. Sesuai perjanjian, Dubes Indonesia untuk Arab Saudi bisa bertemu dengannya pukul 10.30. "Please, quickly sadiq!" Sesuai permintaan, kaki si Afganistan ini menekan pedal gasnya lebih dalam. Mobil dipacu hingga 120 km/jam. Mursalat, King Abdul Azis Road hingga pertigaan Sifarat, begitu cepat terlewati. Memasuki wilayah Kedutaan, tentu saja si Afganistan tak mau ambil resiko. Tekanan pedal gas berkurang. Perlahan kami mencari bendera merah putih, di antara belantara bendera negara-negara lain. Setelah berputa-putar beberapa kali, dari jauh terlihat olehnya lambaian merah putih yang berkibar gagah. "Itu dia rumah saya," pekiknya dalam hati.

Gagahnya Merah Putih, tak terasa membuatnya tergugah. Sapaan petugas kedutaan tak begitu didengarnya. "Maaf Mas, mau ketemu siapa," tanya petugas itu. "Anu. Saya sudah janji dengan Pak Dubes untuk wawancara," jawabnya. Langsung saja, petugas itu menghubungi seseorang menanyakan kebenaran maksud kedatangannya. Setelah mendapat jawaban, seperti dari bagian protokol, Fajar diperbolehkan masuk.

Di dalam gedung, seorang pria berjas menemuinya. "Hallo Mas Fajar, selamat datang di Saudi. Gimana kabar tanah air? " Dengan hangat, si pria yang kemudian diketahui bernama Hadi, menyambut kedatangannya. "Terima kasih…terima kasih," Fajar kehilangan kata-kata. "Kita langsung aja menghadap Pak Dubes. Beliau sudah menunggu sejak tadi, lho!"

Denga tape recorder di tangan dan kamera tentunya, Fajar memasuki kamar kerja berukuran besar. Dari jauh, Pak Dubes Salman sudah memberikan senyumnya. Dijabat erat tangan Fajar, dan mereka duduk. "Mau minum apa?" tanyanya. "Syai aja, Pak," jawabku. Lewat telepon Pak Dubes menelepon pembantunya telepon langsung diangkat. "Bikinkan teh dua."

"Gimana kabarnya Indonesia muda?" Fajar tersenyum. "Ya sekarang dunia pers kita menghadapi masa paceklik, Pak. Harga kertas membumbung tinggi, seiring dengan naiknya dolar. Mau ini tidak mau, harga jual harus dinaikkan. Masalahnya, ekonomi kita sepertinya mengarah ke perubahan yang tidak kita harapkan. Kemampuan beli masyarakat yang melemah, makin membuat banyak surat kabar dan majalah tutup usaha. Tapi untunglah, dengan kekritisan dan dedikasi yang kita punyai, Indonesia Muda masih mencoba untuk bertahan hidup."

Pak Dubes membetulkan posisi duduknya. "Syukurlah kalau begitu. Memang apa yang terjadi saat ini, tentu kita tidak duga sebelumnya. Semua pihak diharapkan untuk bersabar. Pemerintah sedang melakukan berbagai upaya untuk pemulihan kehidupan ekonomi di tanah air. Bapak Presiden sendiri kan pernah bilang, Badai Pasti Akan Berlalu," ujar Salman dengan gaya campuran diplomat dan birokratnya yang begitu kentara.

Satu per satu, pertanyaan terlontar silih berganti. Wawancara mengalir tanpa hambatan hingga jam 12.10. Hampir semua materi wawancara terjawab. Memang ada bagian-bagian yang off the record, tapi paling tidak informasi yang diharapkan dari berbagai persoalan mengenai tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita, yang selama ini masih terselubungi misteri, sedikit terkuak. Sebab bukan rahasia umum lagi, banyak TKW kita yang mendapat perlakuan tidak senonoh dari para majikan. Dari rumor yang beredar di Jakarta, banyak di antara mereka yang dianiaya bahkan diperkosa. Tapi apakah isu-isu tersebut benar adanya atau hanya sekadar isapan jempol belaka?

Jawaban ini tidak bisa disimpulkan hanya dari satu nara sumber saja. Kedalaman materi berita perlu lebih digali dengan menghubungi berbagai sumber yang terkait erat dengan dunia ketenagakerjaan di sini. Untuk itu, Fajar merasa tak cukup dengan hanya mewawancarai Dubes RI untuk Arab Saudi, sebagai kepala perwakilan RI tingkat atas di sini. Sasaran berikutnya adalah Kepala Urusan Tenaga Kerja di tingkat pelaksana, beberapa orang Indonesia yang lama tinggal di sini dan tentunya sebanyak mungkin tenaga kerja Indonesia yang ada di sini. Semua itu, diharapkan bisa selesai dalam beberapa hari ini. Sehingga minggu depan, tulisan pertamanya dari Arab Saudi sudah bisa dikirim ke Jakarta.

02 Juni 2008

Sudahkah Kita Merdeka di Sektor TIK?

Bersamaan dengan Peringatan Satu abad Kebangkitan Nasional dan menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI Ke-63 ini, juga merupakan saat yang tepat untuk melakukan refleksi terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi Indonesia. Sudahkah, setelah sekian puluh tahun “founding fathers” mengantarkan Indonesia ke Jembatan Emas Kemerdekaan, sektor TIK kita mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan banyak karya yang disumbangkan anak negeri lewat sektor ini? Pertanyaan yang tentu tak mudah untuk dijawab.

Bukan mengada-ada. Sejarah pemanfaatan TIK di Indonesia sudah dimulai sejak saluran telegrap pertama dibuka pada tanggal 23 Oktober 1855 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak hadirnya telegrap elektromagnetik yang menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor), jasa telegrap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di 28 kantor telegrap. Selain itu, kabel laut juga telah terpasang antara Jakarta dan Singapura, kemudian juga dari Jawa (Banyuwangi) ke Australia (Darwin).

Menurut catatan buku “Dari Monopoli ke Kompetisi: 50 Tahun Telekomunikasi Indonesia Sejarah dan Kita Manajemen PT Telkom” (Ramadhan KH dkk., 1994), hubungan telepon lokal pertama kali digunakan pada 16 Oktober 1882 dan diselenggarakan oleh swasta. Jaringan telepon tersebut menghubungkan Gambir dan Tanjung Priok (Batavia). Menyusul dua tahun kemudian terhubung sambungan telepon di Semarang dan Surabaya.

Pada tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda melalui pembentukan Post, Telegraaf en Telefoon Dienst (PTT) mengambil alih semua pengusahaan jaringan telepon yang ada. Ketika Jepang menduduki Indonesia, PTT tetap dipertahankan. Orang-orang Belanda yang ada di PTT tergusur diganti orang Jepang.

Saat Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno – Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, berita proklamasi diteruskan melalui telepon, telegrap, radio dan pos ke semua kantor PTT secara beranting. Tidak hanya itu, lewat Stasiun Radio Pemancar PTT di Dayeuhkolot, berita proklamasi kemerdekaan juga disiarkan ke luar negeri pada hari itu juga.
Kemerdekaan Indonesia, tidak begitu saja membuat Jepang menyerahkan Kantor Pusat PTT dan jawatan-jawatan lainnya. Inilah yang mendorong Angkatan Muda PTT (AM PTT), yang sebelumnya bernama Tsusintai, untuk mengambilalih PTT. Perundingan dilakukan dengan pihak Jepang, namun Jepang menolak untuk menyerahkan pada Indonesia melainkan pada sekutu yang menang perang. Perundingan selama tiga hari sejak 24 September 1945 itu pun mengalami jalan buntu.

Sampai akhirnya, tanggal 27 September 1945 kantor pusat PTT diambilalih secara paksa oleh AM PTT. Pembebasan Jawatan PTT dari tangan penjajah tersebut yang kemudian dijadikan Hari Bakti Pos dan Telekomunikasi. Apa yang terjadi di Bandung, kemudian diikuti rekan-rekannya di berbagai kota kantor PTT seperti Jakarta, Surabaya, Bukittinggi, Medan Palembang, Yogyakarta dan lain-lain.

Setelah merdeka, pembangunan infrastruktur telekomunikasi dilakukan termasuk untuk mendukung penyelenggaraan Pemilihan Umum I dan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Pada tahun 1976, satu babakan baru pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi terjadi pada 9 Juli 1976 ketika satelit Palapa A-1 berjenis HS-333 diluncurkan dari Cape Canaveral.

Satelit pertama milik Indonesia itu diresmikan pemanfaatannya pada tanggal 16 Agustus 1976 dan dinamai Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa. Indonesia merupakan negara pertama di Asia Pasifik dan ketiga di dunia yang menggunakan teknologi satelit untuk keperluan komersial. Setahun kemudian, 11 Maret 1977 diluncurkan Satelit Palapa A-2. Selain mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, satelit ini juga dimanfaatkan beberapa negara ASEAN.

Waktu bergulir terus. Hingga kini, setidaknya cukup banyak perkembangan berarti. Misalnya, pengguna telepon seluler kita sudah di angka sekitar 65 juta, meski telepon tetap kabel kita baru mencapai angka 8,5 jutaan. Indonesia sudah memasuki generasi ketiga (3G) dalam pengimplementasian telepon bergerak. Internet yang diperkenalkan pertama kali pada awal 1980-an dan lebih dikenal sebagai paguyuban network, kini sudah berkembang ke arah broadband. Hotspot WiFi pun kini bisa ditemui di mana-mana.

Perkembangan internet dalam perkembangan bangsa juga tidak sedikit. Pelengseran rejim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto ke Orde Reformasi tahun 1998 sedikit banyak dipengaruhi juga gelombang informasi lewat internet. Internet menjadi media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Beberapa situs seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi yang hangat saat itu.

Di luar perkembangan yang cukup pesat, pertanyaan awal mengenai apakah kita sudah merdeka dalam pemanfaatan TIK di sini? Yang jelas, perkembangan yang ada belumlah sepenuhnya dapat mendukung apa yang diamanatkan UUD 1945 Perubahan Kedua, khususnya Pasal 28 F. Ini terjadi karena wilayah Indonesia yang luas dan tersebar, sehingga antara pusat dan daerah, kota dan desa, terjadi kesenjangan dalam implementasi dan penggunaan teknologi digital (digital divide). Dari catatan, didapat data sekitar 40 ribuan desa belum tersentuh teleponi dasar. Teledensitas kita dibanding jumlah penduduk, terutama telepon tetap kabel, masih rendah. Penetrasinya pun tidak merata.

Perkembangan teknologi dan adopsinya yang sudah demikian maju, juga tidak mengubah industri perangkat TIK di sini yang masih hanya menjadi penonton dan pengguna (user) para vendor besar kelas internasional. Kalaupun banyak pihak lokal dilibatkan, posisinya tak bergeming hanya sebagai “makelar” produk-produk luar negeri, Industri perangkat lokal tidak jalan, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Memang kita pernah memiliki Badan Industri Strategis semacam PT INTI, namun transfer teknologi juga tidak terjadi. Perannya yang kemudian menjadi sekadar memberi label, kini ikut berubah menjadi system integrator.

Bersamaan dengan maraknya investasi asing di sektor TIK kita, termasuk penguasaan asing di beberapa operator telekomunikasi, industri konten juga tidak bisa menghindari hal itu. Mayoritas industri konten Indonesia saat ini juga dikuasai asing. Hal ini tentu memprihatinkan dan membuat kita bertanya-tanya apakah orang Indonesia tidak ada yang pintar untuk membuat konten yang bagus. Ataukah memang, kepintaran orang-orang kita di bidang TIK hanya yang negatif saja, semisal cybercrime yang selalu masuk dalam urutan 10 besar di dunia?

Yang seharusnya tak luput juga dari pengamatan adalah kian membanjirnya tenaga kerja TIK dari luar negeri ke tanah air. Kalau tadinya tenaga kerja asing itu masuk bersama dengan vendor, selain tetap melalui jalur yang sama, yang angkanya meningkat menyusul vendor-vendor yang jumlah juga kian banyak dan beragam, tenaga kerja asing juga masuk seiring dengan naiknya investasi asing dalam sektor TIK, khususnya telekomunikasi. Ke depannya, ini perlu diwaspadai.

Sebab harapan hadirnya perusahaan-perusahaan dan peluang kerja baru dalam bidang TIK agar dapat mengurangi jumlah pengangguran, bisa jadi tidak terwujud karena tenaga kerjanya akan diambil dari negeri asal vendor atau investor yang berinvestasi di operator-operator. Sebagai tenaga kerja Indonesia yang sempat berkelana bekerja di beberapa negara, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yakinlah bahwa ornag Indonesia mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam penguasaan TIK dan bukan sekadar pemakai teknologi saja.

Untuk memerdekakan diri dari “penjajahan digital” beberapa langkah telah disiapkan. Misalnya saja untuk membuka ketertutupan akses komunikasi di 40 ribuan desa, program USO telah disiapkan. Diharapkan, dengan strategi USO yang baru diharapkan dalam waktu tidak berapa lama, semua desa telah mampu menjadi Desa Berdering, yang pada gilirannya juga menjadi Desa Pinter (desa punya internet).

Dalam pengembangan produksi lokal, sesungguhnya pemerintah dan regulator telekomunikasi juga telah memberikan kewajiban pada penyelengara telekomunikasi khususnya 3G untuk mengalokasikan 30% capital expenditure dan 50% operational expenses-nya dari total belanjanya untuk menggunakan produk nasional. Bahkan untuk Broadband Wireless Access (BWA) ke depan, didorong agar industri nasional berpartisipasi dalam penyediaan perangkat, termasuk riset dan pengembangan chipset. Memang langkah ini dinilai terlambat dan diragukan, namun sesungguhnya jika tidak dimulai dari sekarang ya kapan lagi industri nasional bereposisi dari sekadar user atau penonton hilir mudiknya perangkat produksi asing menjadi produsen.

Untuk menghalau membanjirnya pekerja asing, selain mungkin mempertegas aturan tenaga kerja asing maksimal dalam satu perusahaan TIK, PR kita bersama adalah bagaimana SDM Indonesia mempunyai kualitas penguasaan TIK secara merata melalui jalur pendidikan formal dan non formal, maupun pengembangan standar kompetensi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan implementasi TIK.

Seperti yang dilakukan ketika merebut kemerdekaan, upaya mengatasi ketertinggalan ataupun keterjajahan Indonesia di bidang TIK, perlu dilakukan secara bersama-sama, simultan dan sungguh-sungguh. Jika dikatakan berat—apalagi masyarakat Indonesia bisa dibilang lengkap, dari masih adanya suku-suku yang berada di jaman praagraris hingga memang yang sudah memasuki masyarakat informasi, ya memang berat. Tapi dengan kesungguhan hati untuk menjadikan bangsa ini lebih baik dan maju, yakinlah kita bisa mengatasi itu semua. Merdeka!