29 Juni 2008

NOVEL: TERIKNYA MENTARI (3-sambungan)

SAMBUNGAN...



Soal ide tulisan, "Saya adalah Mandul. Saya capek melihat gerakan mahasiswa kita yang tidak jelas arah tujuan. Saya juga ingin menggugah agar mahasiswa sadar akan perannya," katanya suatu hari dalam diskusi menarik dengan Sandra. Memang benar, apa yang diimpikan Fajar kini terwujud. Mahasiswa dari berbagai penjuru mulai meninggalkan atribut kampus mereka. Kampus UI secara terang-terangan telah menanggalkan julukan sebagai kampus Perjuangan Orde Baru. "Fajar-Fajar, seandainya engkau ada di sini…..," lamun Sandra kembali.


Sandra begitu mengharapkan kehadiran Fajar di sampingnya. Hari-hari penuh demonstrasi ini harus dia lalui sendiri. Beda dengan tahun-tahun yang lalu. Mereka aktif turut serta meramaikan berbagai demonstrasi. Menghadiri berbagai sidang politik di pengadilan. Tak ketinggalan, datang ke berbagai kampus bertemu dengan banyak aktivis untuk berdiskusi soal konstelasi politik kontemporer. Semua kenangan itu begitu membekas dan banyak membentuk dirinya sebagai mahasiswa politik yang disegani seperti sekarang. Dengan terjun langsung sebagai aktivis, pendapat-pendapat Sandra tentang suatu perubahan politik di tanah air, begitu mulus termuat di berbagai media. Tak hanya media tulis, televisi pun acap mewawancarai gadis ini dan bahkan mengundangnya untuk berdiskusi di televisi dengan tokoh-tokoh terkemuka politik tanah air.


Wajahnya yang cantik memang begitu meragukan bahwa dia adalah dara dengan aktivitas yang terkadang menyerempet bahaya dan otak yang cemerlang. Bayangkan, suatu kali, karena demonstrasi menentang pembredelan beberapa tabloid dan majalah nasional, Sandra pernah dikejar-kejar aparat dalam suatu bentrokan di Silang Monas Jakarta. Karena pengalamannya itulah, dalam diskusi di televisi tentang kekerasan aparat menangani demonstrasi mahasiswa, Sandra secara tegas mengatakan. "Aparat keamanan seharusnya sadar. Rotan, sepatu, ataupun suatu saat peluru yang diletuskan, itu adalah uang rakyat. Pada saat seperti ini, seharusnya mereka memperhatikan rakyat, bukan sebaliknya!"


"Hebat kamu, San…" tanggap Sita, esok hari setelah wawancara Sandra disiarkan. Bukan hanya Sita, sahabat dekatnya, tapi juga Rita dan sahabat dekatnya, para aktivis kampus, termasuk pejabat di rektorat, atau mungkin banyak pemirsa yang sependapat dengan Sandra, mengacungkan jempol untuk statement-nya. Meski klise, tapi paling tidak perlu segenap keberanian untuk bicara kebenaran di depan petinggi negara untuk mengatakan hal yang seperti itu. Dan Sandra, punya nyali untuk itu. Sayang memang Fajar sudah terbang meninggalkan tanah air, kalau tidak pasti dia akan sangat berbangga dan sependapat dengan pernyataan Sandra. Sebab bukankah apa yang dikatakan Sandra itu merupakan buah pembicaraan santai mereka?


"San kamu tahu nggak, sejarah tumbangnya Orde Lama itu bukanlah gerakan murni mahasiswa. Saat itu, selain ekonomi kita yang memang morat-marit, sebenarnya mahasiswa juga didukung Angkatan Bersenjata," kata Fajar membuka diskusi.


"Ya Francois Rallion juga dalam bukunya tentang Mahasiswa Indonesia juga mengatakan hal yang seperti itu. Tapi untuk merubah tatanan kehidupan yang korup dan penuh nepotisme seperti sekarang ini apakah kita bisa berharap banyak pada militer," tanggap Sandra.


"Memang nampaknya sulit. Mereka solid dan secara komando begitu sistematik berada di satu tangan. Tapi apakah benar mereka solid? Inilah peluang kita. Satu saat perwira yang berpikiran maju dan demokrat pasti menginginkan perubahan dan akan berhadapan dengan perwira yang merasa enak dengan status quo. Ketika 'perkelahian' itu timbul, saatnyalah bagi mahasiswa untuk masuk, berkoalisi dengan perwira yang demokrat tadi."


"Mengharapkan hal itu terjadi, bukankah seperti mengharap durian runtuh?"


"Atau bisa juga diberi kesadaran pada mereka, bahwa yang harus mereka bela itu adalah rakyat banyak. Bukan kelompok tertentu, apalagi orang per orang."


"Caranya?"


"Pancing aja mereka, katakan bahwa dari sepatu, baju hijau dan loreng, pet, senapan dan peluru yang mereka pakai itu adalah uang rakyat. Sehingga sudah seharusnyalah mereka membela kepentingan rakyat."


"Seperti menyadarkan mahasiswa sini, yang sebagaian uang kuliah mereka juga dibiayai rakyat?"


"Kira-kira seperti itu."


Diskusi Sandra sebenarnya, tidak hanya dengan Fajar, namun juga Baskara. Namun berbeda dengan Fajar dan dirinya, Baskara kuliah di Teknik Elektro Trisakti. Sesama aktivis mereka acap bertemu. Peran Baskara bagi Sandra juga tidak sedikit. Dari Baskara, Sandra mendapat banyak pasokan berita-berita terhangat dari Internet. Dan atas saran Sandra dalam sebuah diskusi, lewat jalur komunikasi superhighway itu pulalah, Baskara jadi administrator E-Mail grup untuk berkomunikasi tentang perkembangan dunia kemahasiswa antar kampus se-Indonesia.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah saya pernah ketemu neh dengan Bapak heru Sutadi. Mungkin udah lupa, tapi saya masih ingat. Terimakasih yah atas informasi yang sudah diberikan di kantor Bapak waktu itu

Anonim mengatakan...

Wah saya pernah ketemu Pa heru neh, mungkin sudah lupa sama saya, tapi saya masih inget kok. Waktu itu saya ke kantor Bapak. terimakasih yah dengan segala informasinya.