22 Juni 2008

NOVEL: TERIKNYA MENTARI (3)

TIGA

Demonstrasi mahasiswa yang kian hari makin membesar, seperti menuju ke suatu puncak perubahan. Hampir tiap hari surat kabar dihiasi berita demonstrasi mahasiswa dari seluruh penjuru tanah air. Hampir tiap hari pula, tak ada jalan di ibu kota dalam radius kampus-kampus yang tak macet karena demonstrasi.


"Ah seandainya saja Fajar ada di sini, pasti dia akan sibuk mencari berita ke sana ke mari. Fajar ku sayang, apa kabarnya kamu, di manakah kamu, apakah kamu begitu sibuk dengan perjuangmu memotret wajah TKW kita hingga kamu melupakan aku? Fajar kekasihku, cepatlah kembali. Peristiwa yang begitu kamu tunggu sekarang sedang terjadi. Di sini aku dan perubahan itu menunggumu."


"Sandra…Sandra…apa yang sedang kamu lamunkan?" Rita memecah lamunan. "Nggak…nggak…aku sedang menikmati demonstrasi-demonstrasi yang terjadi." Tapi bukan Sandra kalau tidak cepat memberi tangkisan yang lebih berisi. "Sekarang ini, kita sedang adu kuat dengan aparat, siapa yang lebih cepat lelah akan kalah. Itu pertama. Kedua, siapa yang lebih cepat jadi korban, merekalah yang akan berada di atas angin untuk mempengaruhi pendapat publik." Meski sebenarnya untuk mengalihkan masalah, apa yang diungkapkan Sandra, bagi Rita bukanlah sekadar pendapat kosong belaka. Sebagai mahasiswi FISIP semester akhir jurusan politik, yang keluar dari mulut Sandra adalah "pernyataan politik".


Sandra Ramadhanti, biasa dipangggil Sandra, mahasiswi cemerlang di kampusnya. Dengan IPK rata-rata 3,7, aktif di berbagai kegiatan kampus dan kadang-kadang menulis opini di surat kabar terkemuka, menjadikannya sebuah barometer pendapat mahasiswa-mahasiswa lainnya. Awalnya, Sandra hanyalah seorang gadis cerdas biasa. Berkaca mata minus dan rajin kuliah.



Sampai suatu ketika dia aktif dalam penerbitan suratkabar di kampusnya. Biasa berdiskusi dengan teman berbeda jurusan dan fakultas, lebih-lebih lagi setelah berkenalan dengan Fajar.
Fajar yang mahasiswa hukum banyak memberi masukan tentang suatu masalah dipandang dari sudut hukum. Lebih-lebih lagi ketika Fajar menjadi reporter magang di surat kabar Indonesia Muda, segala gosip politik dan apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini begitu ringan mereka ceritakan. Kedekatannya dengan Sandra, bagi Fajar adalah hal yang wajar. Sandra cantik, berkulit putih, hidung mancung dan rambutnya yang di bawah bahu selalu menebarkan keharuman. Sedang bagi Sandra, "Fajar pintar, mandiri, nggak sombong dan ….ya lumayanlah..," begitu alasan Sandra ketika didesak Rita dan Dhea menceritkan soal kedekatannya dengan Fajar. "Gua dekat Fajar masih sebatas pemikiran-pemikirannya."


Bagi sebagian orang, pemikiran Fajar dinilai terlalu sederhana. Tidak ada suatu "riak revolusioner" dalam dirinya. Tapi bagi Sandra, setelah mengenal lebih dekat lelaki ini, justru dari kesederhaan itulah sebenarnya Fajar membangun suatu radikalisasi yang revolusioner. Khutbahnya di media massa nasional memang hanya bicara soal-soal sepele, namun dibalik semua itu sebenarnya ia ingin memberi suatu kesadaran individu baru yang akhirnya bermuara sebagai sebuah kesadaran kolektif. Lihat saja tulisannya semasa jadi mahasiswa yang berbicara tentang aksi mahasiswa saat itu.

"Kampus ini Pemecah Masalah, Bukan Pembuat masalah", "Selamat Datang di Kampus Rakyat", "Selamat Datang di Kampus Orde Baru". Begitulah bunyi-bunyi spanduk yang berkibar megah, ketika menyambut kedatangan mahasiswa baru, beberapa tahun lalu.
Memang slogan. Atau, bisa juga dikatakan apologi. Sebab ketika mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ramai-ramai mulai mencoba menghilangkan fanatisme kampus, menjadi mahasiswa Indonesia, ternyata banyak pihak---termasuk mahasiswa sendiri---yang masih senang bermain-main dengan trade mark kampusnya. Slogan yang bermetamorfosa menjadi sebuah pembelaan untuk menutupi ketidakbersatuan, atau mungkin juga ketidakberanian. Tidak berani membenturkan pemikiran dan suaranya ke dinding-dinding kekuasaan.


Waktu berlalu, masa berganti. Sekonyong-konyong bius afiksasi "ke-an" di atas bergerak ke satu pemikiran untuk menghayati cakrawala pancaindera dan jiwa. Kata WS Rendra dalam "Megatruh", agar kita tidak terkesima, terbengong, terhiba-hiba dan menjadi santapan para raksasa.


Masih terekam di otak saya, ketika kali pertama setelah tidur panjangnya, mahasiswa Indonesia menjenguk "orang tua" dan "adik kakak"-nya yang tergusur di Kedungombo serta ramai-ramai lagi ke jalan, menuntut penurunan tarif listrik. Saya berpikir dan bertanya-tanya waktu. "Apa yang terjadi dengan mereka?"


Begitu juga ketika mereka mengucurkan tetes demi tetes aktivitas sejenis. Penggusuran-penggusuran yang merugikan rakyat kecil seperti Cimacan, Badega, Kacapiring, Tanah Merah, dan banyak lainnya. Demo untuk solidaritas Bosnia di Kampus, Kedubes Yugoslavia, Kedubes AS dan DPR. Atau, ketika mereka demo menuntut penghapusan SDSB. Nempel juga "Sumpah Mahasiswa" cah-cah bagus setiap mimbar bebas. Yang seperti cerita-cerita di film: gandrung akan kebebasan dengan satu bahasa, kebenaran.


Tetapi apa yang bisa diamati? Aksi telah menjadi mengalami deviasi. Aksi sekarang, bagi mahasiswa nggak lengkap kalau tidak turun ke jalan, masuk koran dan disorot televisi. Entah mimpi buruk apa yang selalu membayangi mereka, sehingga mereka berlari-larian--numpang ngetop--ketika wartawan foto sedang menjepret. Ngebela-belain menelpon koran biar namanya ditulis besar-besar. Apakah ini yang disebut pretensi, sensasi atau ambisi, saya kurang paham.


Lebih baik tanyakan saja pada teman saya. Mandul, namanya. Lelaki gondrong yang satu ini, kalau boleh dibilang, setiap ada aksi mahasiswa, dia pasti ada di situ. Aksi sudah menjadi candu baginya, paling tidak ya hobi.
Toh, Mandul hanya bisa mengangkat bahu ketika ditanya apa yang didapat dari berbagai aksi yang ia geluti. Peristiwa-peristiwa itu, kata Mandul, hilang begitu saja, laksana debu tertiup angin.


"Mahasiswa sekarang munafik!" cetus Mandul. Terus terang, agak kaget juga saya mendengar pernyataan yang tiba-tiba itu. Apalagi dari seorang seperti Mandul..


"Munafik bagaimana, kawan?"


"Bayangkan. Mereka bilang, mereka anti penggusuran. Kenyataannya, mereka juga yang tinggal di sana setelah kampung itu jadi real estate, jadi kondominium. Mereka bilang, mereka anti SDSB. Tetapi dibalik semua itu, kucuran uang haram itu dinikmati untuk segala kegiatan tetek bengek mereka," katanya berapi-api. Mukanya merah dan tangannya terkepal.
Aku termenung sejenak. "Lalu yang tidak bertopeng kemunafikan itu yang seperti apa atau bagimana?" tanyaku.


Mandul diam. Dia tidak menjawab dan hanya bercerita. Ketika Mandul main ke sebuah dusun, dia melihat seorang mbok-mbok tua, dengan dua bumbung bambu di bahunya, harus berjalan berkilo-kilo meter hanya untuk mendapatkan air. Tidak terlihat keresahan di wajah si mbok, meski mungkin di sekitar desanya proyek PLTN akan segera dibangun. Si Mbok tidak berteriak-teriak agar orang sudi memperhatikan nasibnya. Tidak juga membutuhkan mahasiswa, seperti yang sering dibangga-banggakan mahasiswa. Baginya hanya satu: hidup.


"Pada saat itu, jangankan teman-teman aktivis kampus, tokoh-tokoh dunia yang pernah dibaca perjuangannya pun lenyap karena si mbok tadi," tuturnya datar.Untuk Mandul tidak memerinci sebab musabab terjadinya amnesia yang dia alami. Bisa jadi karena Mandul menganggap, gerakan si Mbok itu tanpa ambisi, sensasi atau pretensi. Dia bergerak karena memang dia harus bergerak. Mungkin inilah yang disebut orang sebagai aksi yang hakiki. Atau juga, aksinya Mandul? Entahlah.




Lewat caranya, Fajar berusaha untuk menyadarkan mahasiswa bahwa sekarang saatnya mereka melepaskan atribut 'kedaerahan' untuk bersatu menjadi mahasiswa Indonesia. Sebab salah satu kunci keberhasilan perjuangan mahasiswa di masa lalu dan banyak negara adalah karena mereka bersatu. Secara halus Fajar juga menyindir bahwa seharusnya mereka melakukan segala aksi mereka dengan ikhlas. Mereka beraksi karena seharusnyalah mereka beraksi. Semua karena peran yang begitu berat dipikul mahasiswa, sebagai agen perubahan, dan kemauan jaman, bukan merasa dipaksakan.



BERSAMBUNG....

Tidak ada komentar: