02 Juni 2008

Sudahkah Kita Merdeka di Sektor TIK?

Bersamaan dengan Peringatan Satu abad Kebangkitan Nasional dan menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI Ke-63 ini, juga merupakan saat yang tepat untuk melakukan refleksi terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi Indonesia. Sudahkah, setelah sekian puluh tahun “founding fathers” mengantarkan Indonesia ke Jembatan Emas Kemerdekaan, sektor TIK kita mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan banyak karya yang disumbangkan anak negeri lewat sektor ini? Pertanyaan yang tentu tak mudah untuk dijawab.

Bukan mengada-ada. Sejarah pemanfaatan TIK di Indonesia sudah dimulai sejak saluran telegrap pertama dibuka pada tanggal 23 Oktober 1855 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak hadirnya telegrap elektromagnetik yang menghubungkan Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor), jasa telegrap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di 28 kantor telegrap. Selain itu, kabel laut juga telah terpasang antara Jakarta dan Singapura, kemudian juga dari Jawa (Banyuwangi) ke Australia (Darwin).

Menurut catatan buku “Dari Monopoli ke Kompetisi: 50 Tahun Telekomunikasi Indonesia Sejarah dan Kita Manajemen PT Telkom” (Ramadhan KH dkk., 1994), hubungan telepon lokal pertama kali digunakan pada 16 Oktober 1882 dan diselenggarakan oleh swasta. Jaringan telepon tersebut menghubungkan Gambir dan Tanjung Priok (Batavia). Menyusul dua tahun kemudian terhubung sambungan telepon di Semarang dan Surabaya.

Pada tahun 1906, Pemerintah Hindia Belanda melalui pembentukan Post, Telegraaf en Telefoon Dienst (PTT) mengambil alih semua pengusahaan jaringan telepon yang ada. Ketika Jepang menduduki Indonesia, PTT tetap dipertahankan. Orang-orang Belanda yang ada di PTT tergusur diganti orang Jepang.

Saat Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno – Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, berita proklamasi diteruskan melalui telepon, telegrap, radio dan pos ke semua kantor PTT secara beranting. Tidak hanya itu, lewat Stasiun Radio Pemancar PTT di Dayeuhkolot, berita proklamasi kemerdekaan juga disiarkan ke luar negeri pada hari itu juga.
Kemerdekaan Indonesia, tidak begitu saja membuat Jepang menyerahkan Kantor Pusat PTT dan jawatan-jawatan lainnya. Inilah yang mendorong Angkatan Muda PTT (AM PTT), yang sebelumnya bernama Tsusintai, untuk mengambilalih PTT. Perundingan dilakukan dengan pihak Jepang, namun Jepang menolak untuk menyerahkan pada Indonesia melainkan pada sekutu yang menang perang. Perundingan selama tiga hari sejak 24 September 1945 itu pun mengalami jalan buntu.

Sampai akhirnya, tanggal 27 September 1945 kantor pusat PTT diambilalih secara paksa oleh AM PTT. Pembebasan Jawatan PTT dari tangan penjajah tersebut yang kemudian dijadikan Hari Bakti Pos dan Telekomunikasi. Apa yang terjadi di Bandung, kemudian diikuti rekan-rekannya di berbagai kota kantor PTT seperti Jakarta, Surabaya, Bukittinggi, Medan Palembang, Yogyakarta dan lain-lain.

Setelah merdeka, pembangunan infrastruktur telekomunikasi dilakukan termasuk untuk mendukung penyelenggaraan Pemilihan Umum I dan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Pada tahun 1976, satu babakan baru pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi terjadi pada 9 Juli 1976 ketika satelit Palapa A-1 berjenis HS-333 diluncurkan dari Cape Canaveral.

Satelit pertama milik Indonesia itu diresmikan pemanfaatannya pada tanggal 16 Agustus 1976 dan dinamai Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa. Indonesia merupakan negara pertama di Asia Pasifik dan ketiga di dunia yang menggunakan teknologi satelit untuk keperluan komersial. Setahun kemudian, 11 Maret 1977 diluncurkan Satelit Palapa A-2. Selain mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, satelit ini juga dimanfaatkan beberapa negara ASEAN.

Waktu bergulir terus. Hingga kini, setidaknya cukup banyak perkembangan berarti. Misalnya, pengguna telepon seluler kita sudah di angka sekitar 65 juta, meski telepon tetap kabel kita baru mencapai angka 8,5 jutaan. Indonesia sudah memasuki generasi ketiga (3G) dalam pengimplementasian telepon bergerak. Internet yang diperkenalkan pertama kali pada awal 1980-an dan lebih dikenal sebagai paguyuban network, kini sudah berkembang ke arah broadband. Hotspot WiFi pun kini bisa ditemui di mana-mana.

Perkembangan internet dalam perkembangan bangsa juga tidak sedikit. Pelengseran rejim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto ke Orde Reformasi tahun 1998 sedikit banyak dipengaruhi juga gelombang informasi lewat internet. Internet menjadi media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor. Beberapa situs seperti Apakabar, Indonews, Joyonews, Pijar Online dan Tempo Interaktif, memberi warna percepatan penyebaran informasi yang hangat saat itu.

Di luar perkembangan yang cukup pesat, pertanyaan awal mengenai apakah kita sudah merdeka dalam pemanfaatan TIK di sini? Yang jelas, perkembangan yang ada belumlah sepenuhnya dapat mendukung apa yang diamanatkan UUD 1945 Perubahan Kedua, khususnya Pasal 28 F. Ini terjadi karena wilayah Indonesia yang luas dan tersebar, sehingga antara pusat dan daerah, kota dan desa, terjadi kesenjangan dalam implementasi dan penggunaan teknologi digital (digital divide). Dari catatan, didapat data sekitar 40 ribuan desa belum tersentuh teleponi dasar. Teledensitas kita dibanding jumlah penduduk, terutama telepon tetap kabel, masih rendah. Penetrasinya pun tidak merata.

Perkembangan teknologi dan adopsinya yang sudah demikian maju, juga tidak mengubah industri perangkat TIK di sini yang masih hanya menjadi penonton dan pengguna (user) para vendor besar kelas internasional. Kalaupun banyak pihak lokal dilibatkan, posisinya tak bergeming hanya sebagai “makelar” produk-produk luar negeri, Industri perangkat lokal tidak jalan, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Memang kita pernah memiliki Badan Industri Strategis semacam PT INTI, namun transfer teknologi juga tidak terjadi. Perannya yang kemudian menjadi sekadar memberi label, kini ikut berubah menjadi system integrator.

Bersamaan dengan maraknya investasi asing di sektor TIK kita, termasuk penguasaan asing di beberapa operator telekomunikasi, industri konten juga tidak bisa menghindari hal itu. Mayoritas industri konten Indonesia saat ini juga dikuasai asing. Hal ini tentu memprihatinkan dan membuat kita bertanya-tanya apakah orang Indonesia tidak ada yang pintar untuk membuat konten yang bagus. Ataukah memang, kepintaran orang-orang kita di bidang TIK hanya yang negatif saja, semisal cybercrime yang selalu masuk dalam urutan 10 besar di dunia?

Yang seharusnya tak luput juga dari pengamatan adalah kian membanjirnya tenaga kerja TIK dari luar negeri ke tanah air. Kalau tadinya tenaga kerja asing itu masuk bersama dengan vendor, selain tetap melalui jalur yang sama, yang angkanya meningkat menyusul vendor-vendor yang jumlah juga kian banyak dan beragam, tenaga kerja asing juga masuk seiring dengan naiknya investasi asing dalam sektor TIK, khususnya telekomunikasi. Ke depannya, ini perlu diwaspadai.

Sebab harapan hadirnya perusahaan-perusahaan dan peluang kerja baru dalam bidang TIK agar dapat mengurangi jumlah pengangguran, bisa jadi tidak terwujud karena tenaga kerjanya akan diambil dari negeri asal vendor atau investor yang berinvestasi di operator-operator. Sebagai tenaga kerja Indonesia yang sempat berkelana bekerja di beberapa negara, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, yakinlah bahwa ornag Indonesia mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam penguasaan TIK dan bukan sekadar pemakai teknologi saja.

Untuk memerdekakan diri dari “penjajahan digital” beberapa langkah telah disiapkan. Misalnya saja untuk membuka ketertutupan akses komunikasi di 40 ribuan desa, program USO telah disiapkan. Diharapkan, dengan strategi USO yang baru diharapkan dalam waktu tidak berapa lama, semua desa telah mampu menjadi Desa Berdering, yang pada gilirannya juga menjadi Desa Pinter (desa punya internet).

Dalam pengembangan produksi lokal, sesungguhnya pemerintah dan regulator telekomunikasi juga telah memberikan kewajiban pada penyelengara telekomunikasi khususnya 3G untuk mengalokasikan 30% capital expenditure dan 50% operational expenses-nya dari total belanjanya untuk menggunakan produk nasional. Bahkan untuk Broadband Wireless Access (BWA) ke depan, didorong agar industri nasional berpartisipasi dalam penyediaan perangkat, termasuk riset dan pengembangan chipset. Memang langkah ini dinilai terlambat dan diragukan, namun sesungguhnya jika tidak dimulai dari sekarang ya kapan lagi industri nasional bereposisi dari sekadar user atau penonton hilir mudiknya perangkat produksi asing menjadi produsen.

Untuk menghalau membanjirnya pekerja asing, selain mungkin mempertegas aturan tenaga kerja asing maksimal dalam satu perusahaan TIK, PR kita bersama adalah bagaimana SDM Indonesia mempunyai kualitas penguasaan TIK secara merata melalui jalur pendidikan formal dan non formal, maupun pengembangan standar kompetensi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan implementasi TIK.

Seperti yang dilakukan ketika merebut kemerdekaan, upaya mengatasi ketertinggalan ataupun keterjajahan Indonesia di bidang TIK, perlu dilakukan secara bersama-sama, simultan dan sungguh-sungguh. Jika dikatakan berat—apalagi masyarakat Indonesia bisa dibilang lengkap, dari masih adanya suku-suku yang berada di jaman praagraris hingga memang yang sudah memasuki masyarakat informasi, ya memang berat. Tapi dengan kesungguhan hati untuk menjadikan bangsa ini lebih baik dan maju, yakinlah kita bisa mengatasi itu semua. Merdeka!

Tidak ada komentar: