14 Juni 2008
NOVEL: TERIKNYA MENTARI (2)
DUA
Baskara memelototkan matanya di depan layar monitor komputer. Hari sudah larut. Tapi itu tak membuatnya surut. Berita-berita yang didapat dari situs "Apakabar" mampu menahan matanya untuk tetap terjaga. Ya, pada saat-saat seperti, ketika suratkabar, majalah, radio dan televisi begitu diseragamkan oleh pemerintah, bacaan bebas seperti dari indopubs ataupun radio Netherland menjadi sumber alternatif terhadap realitas berita. Memang masyarakat pernah terbuai dengan visi berbicara terbuka seperti yang sudah realisasikan oleh Tempo, Detik ataupun Editor. Masyarakat rendah yang selama ini dibutakan secara struktural untuk bersentuhan dengan politik, lewat Detik, tukang becak-pun menjadi melek dengan apa yang terjadi dengan bangsanya. Membahayakan memang, sehingga akhirnya, ketiga, harus dikubur dari dunia pers Indonesia.
Satu per satu tulisan di "Apakabar" yang dianggap menarik, dibukanya. Banyaknya tulisan tidak memungkinkan Baskara untuk membuka semua tulisan. Bayangkan, lebih dari 50 tulisan terhidang di sini, sangat lebih banyak dibanding jaman normal dahulu. Jika semua dibuka, dengan akses internet per tulisan sekitar dua hingga tiga menit, lebih dari satu jam setengah diperlukan untuk hanya membuka dan menyimpannya dalam harddisk. Dari beberapa tulisan, ada tulisan bersambung mengenai kekayaan orang nomor satu di negeri ini, yang sekarang jadi sumber gugatan masyarakat banyak. Tulisannya terbagi dalam enam bagian berukuran 117 kilobyte.
Ada lagi tulisan yang berisikan sebuah wawancara dengan ketua senat mahasiswa UGM mengenai perkembangan politik mutakhir. Soal ramainya demo-demo yang makin marak akhir-akhir ini, penguasa yang membunuh hak-hak mahasiswa sampai isu 'reformasi' satu kata yang sedang daun dan jadi bahan omongan banyak orang. Lihat saja isinya:
T: Tampaknya perjuangan mahasiswa masih akan panjang sebelum sampai tujuan. Bagaimana caranya supaya stamina massa ini tidak cepat loyo?
J: Saya berharap, teman-teman mahasiswa jangan berkecil hati jika sampai saat ini belum ada perubahan seperti yang dikehendaki. Untuk itu tetap diperlukan peningkatan kualitas aksi-aksi mahasiswa agar daya tekan dan daya tawarnya semakin kuat.
T: Ada kabar mahasiswa ingin ke DPR . Apakah ke DPR itu untuk mengadu atau menyalurkan aspirasi?
J: Saya kira tidak begitu. Bahwa mahasiswa ke DPR itu bukan untuk mengadu, atau minta belas kasihan kepada mereka. Subtansi yang diinginkan mahasiswa sebenarnya bahwa mereka ingin memasuki ruang publik. OK, kampus bisa dibilang ruang publik, tapi bagi saya kampus adalah ruang publik yang tingkat keluasannya berbeda dengan ketika bisa menaklukkan jalan raya. Hal tersebut sebenarnya dilandasi oleh kondisi dimana selama ini, masyarakat tidak pernah punya ruang publik yang bisa berbicara secara bebas. Tapi dengan jalan gerakan massa, turun ke jalan atau reli itu suatu bentuk atau ekspresi, dari kebebasan yang seharusnya dimiliki.
T: Tapi kan beresiko?
J: Beresiko, tapi sangat positif kalau itu berhasil. Yang pertama, tingkat kampanye politiknya semakin keras dan kuat. Kedua, sangat memungkinkan untuk menggalang massa yang semakin besar dan luas. Tentu resikonya ada, mungkin dijerat pasal 510 atau pasal-pasal lainnya yang berkaitan. Sehingga perlu sebelumnya kita analisis sebaik-baiknya. Apakah sudah layak untuk turun ke jalan atau hanya sekedar turun di sekitar-sekitar kampus.
T: Bagaimana mencegah infiltran masuk?
J: Nah seperti yang saya bilang, kita terlebih dulu harus menganalisanya, kita akan siapkan perangkat-perangkatnya. Kalau infiltran itu aparat keamanan, ya kita akan selesaikan baik-baik. Dan kalau massa rakyat ingin bergabung, nah itu yang diharapkan. Tujuan masuk ke ruang publik kan kampanye politik. Sehingga kalau ada massa yang ikut untuk berpartisipasi, kenapa ditolak? Itu yang diharapkan.
T: Berarti aksi di kampus masih dianggap belum cukup?
J: Untuk teman-teman yang ingin memasuki ruang publik saya pikir ya. Tapi kalau kami di senat mengakar, sampai saat sekarang ini aksi-aksi dalam kampus pun sudah cukup untuk mempertahankan opini atau menambah daya tekan terhadap negara.
T: Pernyataan Mendikbud soal pelarangan berpolitik praktis?
J: Kami pikir itu membunuh hak-hak mahasiswa, hak-hak masyarakat untuk berdemonstrasi. Menurut saya, menyatakan pendapat dengan cara apapun dalam sebuah negara demokrasi harus mendapat tempat. Jadi pendapat itu bukan saja menunjukkan arogansi Mendilbud, tapi membunuh hak-hak mahasiswa.
T: Kalau itu dipaksakan kepada semua rektor?
J: Saya nggak yakin kalau semua rektor menerima ini.
T: Apakah ada upaya menyatukan aksi-aksi mahasiswa di kampus-kampus?
J: Sudah dilakukan. Cuma itulah, efektifitasnya masih sangat rendah.Ketika kami bertemu, yang pertama kali disatukan adalah platform-nya dan ternyata sudah sama semua, yaitu menuntut reformasi ekonomi dan politik.
T: Reformasi yang dimaksud itu perubahan tatanan?
J: Ya, perubahan sistem. Perubahan penanggung jawab dan sistem..Oleh karena itu perlunya reformasi secara sistemik.
Terkesiap darah Baskara membaca wawancara tersebut. "Ya, Republik ini sedang hamil tua," gumamnya. "Suatu saat, bayi reformasi akan lahir." Entah ini sebuah harapan atau ramalan, yang jelas sebagai aktivis kampus, Baskara melihat arah lahirnya bayi reformasi kian jelas.
Memang dia tidak tahu persis bagaimana ketika terjadinya perpindahan kekuasaan 23 lalu, sebuah peristiwa yang melahirkan suatu tatanan kehidupan baru menumbangkan tata kehidupan lama. Namun, lewat sejarah yang ia pelajari di bangku sekolah, pengalamannya menggalang massa dalam berbagai aksi demonstrasi yang belum besar seperti sekarang dan tak ketinggalan adalah "oleh-oleh" perjalanannya dalam program pertukaran mahasiswa se-ASEAN.
Dalam program ini, Baskara berkesempatan mengunjungi negara yang pernah berhasil menumbangkan rejim penguasa yang telah begitu lama berkuasa, diktator dan korup, Filipina.
Di sana, ia sempat mencari informasi mengenai bagaimana embrio "people power" bermetamorfosa sehingga berakumulasi menjadi kekuatan yang begitu dahsyat. Tak hanya mencari literatur, lewat temannya yang Filipino, Baskara berhasil bertemu dengan jaringan-jaringan "underground" yang dulu berperan dalam people power. Tambahan lagi, Baskara juga sempat bertemu dengan mereka yang menentang "pendudukan" Timor-Timur oleh Indonesia. Mereka inilah yang sempat membuat masalah ketika akan mengadakan sebuah diskusi dengan mengundang Ramos Horta di Manila. "Nampaknya, sejarah people power di Filipina akan terulang di sini."
Masih dari apakabar, Baskara meneliti lagi berita yang menarik. Soal penculikan para aktivis kampus kini menjadi perhatiannya. Di-kliknya HTML salah satu tulisan mengenai para aktivis. Dibacanya dengan seksama. "Saya yakin, aparat keamanan terlibat dalam 'operasi' ini," katanya membatin. Dalam berbagai ulasan mengenai penculikan para aktivis, entah benar atau tidak, dibeberkan beberapa wawancara dengan beberapa mantan petinggi militer yang tak disebut namanya. Orang-orang itu bilang, aktivis yang diculik disembunyikan di daerah yang dekat jalan tol ke arah Bogor. Namun sebagian lagi bilang, mereka disekap di sebuah tempat pendidikan intelijen di selatan Jakarta.
Selesai dengan apakabar, dibukanya www.hotmail.com. Dimasukkan login namanya abaskara, kemudian password dan…..muncullah sederetan pesan dalam inbox-nya. Ada kiriman dari beberapa temannya, ada juga yang dari lembaga. Dari teman-temannya, selain sekadar menanyakan kabar, seperti biasa mereka saling bertukar informasi terhangat. Dari soal rencana penutupan beberapa bank, hingga jadwal demonstrasi mahasiswa untuk besok. Dan yang paling menarik adalah surat dari sahabatnya yang Filipino, Ariceo.
Lama sudah, Baskara tidak mendengar kabar tentang Aric. Terakhir kali, ketika Baskara mengirim email ke Aric dan bertanya mengenai keadaan negeri menyusul melemahnya mata uang Thailand Bath, 4 bulan lalu. Saat itu, rupiah masih cukup kuat, begitu juga jawaban Aric. "No problem with Pesso." Tapi, waktu begitu cepat berlalu dan berubah. Rupiah secara menakjubkan anjlok sampai nilai yang tak terbayangkan sebelumnya. Harga-harga otomatis membumbung tinggi. Roda-roda bisnis dan produksi macet. PHK berhamburan di mana-mana.
Biaya pendidikan kian mahal. Demonstrasi atas ketidakpercayaan terhadap pemerintah kian hari bergelinding laksana bola salju, makin membesar. "After waiting for a long time, now is your chance to reform your country with the same way that we used before, people power. Good luck," begitu tulisnya.
Surat elektronik dari Aric kembali menggugah memori Baskara ketika suatu siang, ia bersama Aric dan teman programnya berjalan-jalan ke EDSA di Manila. EDSA yang kepanjangan dari Epifanio de los Santos Avenue merupakan tempat di mana aksi menentang Marcos dimulai. Kalau boleh dibilang, sesungguhnya people power itu adalah Revolusi EDSA. "Dalam tiga hari, laki-laki, perempuan dan anak-anak memenuhi jalan di EDSA dengan doa, tangis dan berbuat sesuai dengan keyakinan kami tentang demokrasi dan kebebasan. Dalam massa yang singkat itu, kami khawatir dengan keamanan kami, kehidupan dan masa depan kami. Sebab dari isu yang berkembang di antara kerumunan orang saat itu menyebutkan, tentara yang loyal terhadap pemerintah akan datang untuk membungkam tangisan kami. Kami berdoa semakin keras. Kegelisahan dan udara ketakutan menyelimuti hari itu tanpa letusan senjata," kenangnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar