09 Juni 2008

NOVEL: TERIKNYA MENTARI (I)


Cerita ini hanyalah sepenggal kisah kehidupan manusia, bagian kecil dari sebuah perjalanan hidup yang panjang dan kaya warna.


TERIKNYA MENTARI


Dear my inner:

Lama rasanya saya tidak saling bercerita dengan mu. Apa kabarnya engkau kawan, nun jauh di negeri yang sedang bergejolak? Saya harapkan dirimu tetap tegar menghadapi segala perubahan ini. Ya, mungkin sudah kemauan jaman, sekarang lingkungan kita sedang berubah. Entahlah, apakah perubahan itu mengarah ke kebaikan atau justru meluluhlantahkan kemajuan, yang sekecil apapun telah kita rasakan. Lewat doa, sekali lagi, semoga Tuhan memberi kekuatan pada kita--engkau, aku dan saudara-saudara kita--menghadapi cobaan ini.

Sekarang, setelah sekian lama tidak mendengar ocehan saya, saatnyalah saya bercerita mengenai perjalanan hidup ini setelah beberapa purnama saya pergi merantau di negeri orang.

Begini ceritanya:



Satu

Udara di Dallah pagi itu, dingin sekali. Tak heran kalau banyak orang menyelimuti tubuhnya dengan jaket tebal dari kulit ataupun wol. Tak seperti cara orang-orang Barat--Eropa atau Amerika, busana musim dingin di sini begitu khas. Memang ada juga yang memakai overcoat, tapi karena dinginnya kering dan tanpa salju, penutup kepala dari bulu binatang dan glove tak tampak mereka kenakan. Yang dominan, adalah kafayeh. Sorban penutup kepala yang biasa digunakan Yasser Arafat, pemimpin PLO yang legendaris itu, berwarna merah dan putih seperti warna bendera kita.


Setelah membayar taksi Ar Riyadh, dan tak lupa meminta bon, seorang anak muda, usia 27 tahunan, bergegas masuk ke dalam perkantoran mirip Polda Metro Jaya. Bukan..bukan..tempat ini bukan hanya mirip, tapi memang fungsinya sama dengan Polda di sana. Tempat untuk membuat SIM. Lihat saja, lapangan parkir terhampar luas di sana, satu dua orang sudah berbaris mengantri di loket pelayanan, sembilan sepuluh orang siap menanti giliran tes mengemudi dan parkir. Hanya bedanya, di sini ada tempat untuk sekolah nyetir. Tempat inilah yang dituju anak muda itu dengan terburu-buru. Saat itu, waktu menunjukkan 7:10.


Nampaknya masih pagi memang, namun untuk sekolah, dia sudah terlambat sepuluh menit.
Berbicara dengan bahasa tarzan, dengan berat hati--paling tidak pura-pura tidak menerima alasan yang diperagakan--instruktur membolehkan anak muda itu ikut kursus pagi ini. Sungguh beruntung dia, sebab jika tidak, dia harus kembali sore hari untuk sekolah hingga lepas Isya. Dan dia harus menunggu per 30 menit sampai gurunya yang dari Mesir menyebut, "Fajr……..," setelah 29 siswa sebelumnya bergiliran test drive.

Fajar, nama anak muda itu, atau tepatnya Fajar Gumilang, memang baru beberapa pekan menginjakan kaki di negara yang alamnya begitu keras. Arab Saudi. Bagi orang muslim, siapa yang tidak mengenal negara berbentuk sepatu ini. Sebuah negara di Timur Tengah dengan dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Tempat yang menjadi dambaan dan berkumpulnya jutaan orang di dunia, khususnya di bulan-bulan haji. Indonesia sendiri, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, mendapat kuota untuk bisa memberangkatkan 200 ribu jemaah. Apakah karena haji pula, Fajar mengembara ke sini? Jawabnya: mungkin, tapi bisa juga tidak. Perlu waktu lama untuk mengenal pribadi dan kemauan anak muda ini.

Jam di tangan menunjukkan huruf V, seperti yang ditunjukkan dalam iklan jam merk-merk terkenal. 10.10. Setelah melahap sepotong showarma, lagi-lagi dengan bergegas Fajar meninggalkan Dallah. " Kam…..," tawarnya pada sopir taksi. Si sopir tak mau pakai tawar-tawaran, dia mau pakai argo. Ah di Saudi, kalau pakai argo, dua kali lipat kita harus bayar dibanding menawar. Dan taksi ketiga, dengan sopir asal Afganistan, akhirnya proses tawar menawar disepakati. 25 Riyal. "Kalau harus bayar dengan rupiah yang senilai limapuluh ribu dan tidak diburu waktu, wah lebih baik saya naik bus," gumamnya dalam hati.

Ya, hari itu Fajar memang nampak terburu. Setelah telat kursus, dia tidak mau ketinggalan kesempatan pertamanya bertemu dengan orang-orang kedutaan. Sesuai perjanjian, Dubes Indonesia untuk Arab Saudi bisa bertemu dengannya pukul 10.30. "Please, quickly sadiq!" Sesuai permintaan, kaki si Afganistan ini menekan pedal gasnya lebih dalam. Mobil dipacu hingga 120 km/jam. Mursalat, King Abdul Azis Road hingga pertigaan Sifarat, begitu cepat terlewati. Memasuki wilayah Kedutaan, tentu saja si Afganistan tak mau ambil resiko. Tekanan pedal gas berkurang. Perlahan kami mencari bendera merah putih, di antara belantara bendera negara-negara lain. Setelah berputa-putar beberapa kali, dari jauh terlihat olehnya lambaian merah putih yang berkibar gagah. "Itu dia rumah saya," pekiknya dalam hati.

Gagahnya Merah Putih, tak terasa membuatnya tergugah. Sapaan petugas kedutaan tak begitu didengarnya. "Maaf Mas, mau ketemu siapa," tanya petugas itu. "Anu. Saya sudah janji dengan Pak Dubes untuk wawancara," jawabnya. Langsung saja, petugas itu menghubungi seseorang menanyakan kebenaran maksud kedatangannya. Setelah mendapat jawaban, seperti dari bagian protokol, Fajar diperbolehkan masuk.

Di dalam gedung, seorang pria berjas menemuinya. "Hallo Mas Fajar, selamat datang di Saudi. Gimana kabar tanah air? " Dengan hangat, si pria yang kemudian diketahui bernama Hadi, menyambut kedatangannya. "Terima kasih…terima kasih," Fajar kehilangan kata-kata. "Kita langsung aja menghadap Pak Dubes. Beliau sudah menunggu sejak tadi, lho!"

Denga tape recorder di tangan dan kamera tentunya, Fajar memasuki kamar kerja berukuran besar. Dari jauh, Pak Dubes Salman sudah memberikan senyumnya. Dijabat erat tangan Fajar, dan mereka duduk. "Mau minum apa?" tanyanya. "Syai aja, Pak," jawabku. Lewat telepon Pak Dubes menelepon pembantunya telepon langsung diangkat. "Bikinkan teh dua."

"Gimana kabarnya Indonesia muda?" Fajar tersenyum. "Ya sekarang dunia pers kita menghadapi masa paceklik, Pak. Harga kertas membumbung tinggi, seiring dengan naiknya dolar. Mau ini tidak mau, harga jual harus dinaikkan. Masalahnya, ekonomi kita sepertinya mengarah ke perubahan yang tidak kita harapkan. Kemampuan beli masyarakat yang melemah, makin membuat banyak surat kabar dan majalah tutup usaha. Tapi untunglah, dengan kekritisan dan dedikasi yang kita punyai, Indonesia Muda masih mencoba untuk bertahan hidup."

Pak Dubes membetulkan posisi duduknya. "Syukurlah kalau begitu. Memang apa yang terjadi saat ini, tentu kita tidak duga sebelumnya. Semua pihak diharapkan untuk bersabar. Pemerintah sedang melakukan berbagai upaya untuk pemulihan kehidupan ekonomi di tanah air. Bapak Presiden sendiri kan pernah bilang, Badai Pasti Akan Berlalu," ujar Salman dengan gaya campuran diplomat dan birokratnya yang begitu kentara.

Satu per satu, pertanyaan terlontar silih berganti. Wawancara mengalir tanpa hambatan hingga jam 12.10. Hampir semua materi wawancara terjawab. Memang ada bagian-bagian yang off the record, tapi paling tidak informasi yang diharapkan dari berbagai persoalan mengenai tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita, yang selama ini masih terselubungi misteri, sedikit terkuak. Sebab bukan rahasia umum lagi, banyak TKW kita yang mendapat perlakuan tidak senonoh dari para majikan. Dari rumor yang beredar di Jakarta, banyak di antara mereka yang dianiaya bahkan diperkosa. Tapi apakah isu-isu tersebut benar adanya atau hanya sekadar isapan jempol belaka?

Jawaban ini tidak bisa disimpulkan hanya dari satu nara sumber saja. Kedalaman materi berita perlu lebih digali dengan menghubungi berbagai sumber yang terkait erat dengan dunia ketenagakerjaan di sini. Untuk itu, Fajar merasa tak cukup dengan hanya mewawancarai Dubes RI untuk Arab Saudi, sebagai kepala perwakilan RI tingkat atas di sini. Sasaran berikutnya adalah Kepala Urusan Tenaga Kerja di tingkat pelaksana, beberapa orang Indonesia yang lama tinggal di sini dan tentunya sebanyak mungkin tenaga kerja Indonesia yang ada di sini. Semua itu, diharapkan bisa selesai dalam beberapa hari ini. Sehingga minggu depan, tulisan pertamanya dari Arab Saudi sudah bisa dikirim ke Jakarta.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

lebih asyik kalau dibikin e-book aja..........bisa di download per-bab.