Prita Mulyasari adalah Fenomena. Lambang yang terang akan ketidakadilan dan perlawanan terhadap hukum di bumi Indonesia ini. Seorang Ibu yang digugat oleh sebuah rumah sakit akibat email yang dikirim ke teman-temannya sebagai rasa ketidakpuasan akan layanan RS tersebut. Di awal kasusnya, ketika saat itu sedang ramai-ramainya kampanye politik, terutama pemilihan presiden, semua calon pemimpin seolah-olah peduli turun tangan terhadap nasib Prita. Namun dalam perjalanannya, Prita dikesampingkan. Semua perhatian tertuju pada proses hukum yang terjadi pada pejabat-pejabat.
Memang, Prita bukanlah pejabat, dan tidak punya kepentingan politik mewakili partai politik dalam kasusnya. Sehingga, pembedaan perlakuan terjadi. Bibit-Chandra, petinggi KPK, bisa dibebaskan dengan intervensi dari Presiden. Namun tidak dengan Prita, bahkan ada kasus ketidakadilan lain yang juga sama seperti kasus Nenek Minah. Presiden sama sekali tidak bergeming untuk ikut ”mengingatkan” pengadilan agar proses ketidakadilan diselesaikan di luar pengadilan, seperti dilakukan terhadap Bibit-Chandra. Bahkan yang terjadi, Prita dijatuhi hukuman membayar Rp. 204 juta. Uang yang bukan sedikit tentunya.
Di sinilah, perlawanan rakyat terjadi. Uang yang Rp. 204 juta tentu sangat besar bagi keluarga Prita, dengan donasi berupa koin receh dari rakyat, menurut informasi terakhir sudah mencapai setengah milyar. Koin untuk Prita pun berubah menjadi Koin Keadilan, yang artinya jangan sekadar melihat koin recehnya, tapi keadilan yang ingin dicari rakyat melihat sepak terjang penegak hukum maupun pemimpin negeri yang tidak tegas, pilih kasih dan berkutat di wilayah politik melulu.
Ya, koin keadilan merupakan perlawanan rakyat. Yang tentunya, perlahan tapi pasti, bahwa rakyat akan bisa menjadi rakyat dengan ”R” besar dari dan akibat kasus-kasus yang dirasa memuakkan. Ini merupakan peringatan, meski mendapat mandat yang cukup besar dari rakyat dalam Pemilu, tentunya jangan meninggalkan rakyat dalam sepak terjang menjadi wakil rakyat maupun memimpin rakyat. Sebab inilah yang terjadi sekarang. Presiden misalnya, lebih mendengar dan memperhatikan aspirasi partai politik. Lihat saja dalam komposisi kabinet. Para menteri yang diharapkan profesional dan bekerja untuk rakyat, menjadi kapling-kapling jatah partai politik. Ini tentunya begitu menyakitkan rakyat yang mengharapkan kabinet yang dihasilkan adalah Kabinet kerja dengan orang-orang yang berintegritas, profesional—orang yang tepat untuk posisi yang tepat. Sehingga tak heran jika rakyat kemudian melawan.
Bagi para pemimpin dan Wakil rakyat, inilah saat yang tepat untuk introspeksi, mau dibawa ke mana negeri ini. Sebagai pemimpin misalnya, ketegasan seorang presiden dibutuhkan, dengan kearifan sebagai seorang Bapak Bangsa. Manajemen menakut-nakuti, emosional, tentunya harus diubah. Pencitraan juga jangan lagi dikedepankan, dengan nama National Summit, Program 100 Hari, yang didalamnya, tidak ada sesuatu yang baru dan langsung berdampak bagi rakyat. Yang penting adalah kerja..kerja.. dan kerja secara ikhlas, fokus dan punya target yang harus dicapai dengan rakyat sebagai pengawas dan pengawal target-tagret tersebut.
Dalam ilmu komunikasi politik, ada satu hal yang sering dilupakan dan tidak dilaksanakan ketika seseorang telah sukses menggapai kekuasaan dengan politik pencitraan, yaitu bahwa kekuasaan bukanlah akhir dari perjuangan mendapat kepercayaan rakyat, tapi adalah awal, sebab yang tidak kalah penting adalah apa yang dilakukan setelah kekuasaan itu didapatkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar