Ada tiga pendekatan kepada persuasi politik: propaganda, periklanan dan retorika. Dengan persamaannya adalah semuanya bertujuan, disengaja dan melibatkan pengaruh. Sedang perbedaannya meliputi, pertama, perbedaan dalam meneruskan pesan dengan tekanan satu ke banyak dan dua arah. Kedua, orientasi pendekatan, perorangan atau kelompok. Ketiga, pandangan berbeda yang memungkinkan adanya masyarakat. Dan keempat, masing-masing menggunakan fokus yang berbeda dalam merumuskan masalah.
Propaganda
Jacques Ellul (1965) mendefinikan propaganda sebagai komunikasi yang “digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, diersatukan secara psikologis dan dugabungkan di dalam suatu organisasi.” Bagi Ellul, propaganda erat kaitannya dengan organisasi dan tindakan, yang tanpa propaganda praktis tidak ada.
Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda memisahkan propagandis dari khalayaknya. Namun menurut Ellul, propagandis sebenarnya merupakan wakil suatu organisasi yang berusaha mengontrol anggotanya. Sehingga disimpulkan, propagandis adalah seorang teknikus kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa negara atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara, mempergunakan propaganda sebagai suatu mekanisme kontrol sosial.
Ellul membagi tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan sosiologi. Propaganda politik melibatkan usaha pemerintah, partai atau golongan untuk mencapai tujuan strategis dan taktis. Sementara propaganda sosiologis merupakan perembesan cara hidup yang berangsur-angsur masuk ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik.
Ellul juga membedakan propaganda integrasi dengan agitasi dan propaganda vertikal dengan horisontal. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita. Sedang propaganda integrasi bertujuan menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang.
Yang dimaksud propaganda vertikal adalah propaganda satu satu ke banyak dengan mengandalkan media massa bagi penyebarannya. Sedangkan propaganda horisontal lebih banyak melalui komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi dibanding komunikasi massa.
Jika dihubungkan dengan kelima dasar identifikasi unsur-unsur komunikasi yang dikemukakan Harold Lasswell (1948)—siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa dan dengan akibat apa, titik fokus kampanye propaganda dirumuskan Dan Nimmo (2000) lebih ke arah: siapa, mengatakan apa dan melalui saluran mana.
Beberapa pertimbangan untuk fokus pada siapa meliputi status komunikator, kredibilitas komunikator serta daya tarik komunikator. Sedang untuk mengatakan apa, berbagai pesan propagandis berhubungan isi dan struktur pesan. Fokus dengan saluran mana, berkait dengan media apa yang digunakan dan dipercaya orang serta media yang sesuai dengan orang tertentu.
Periklanan
Periklanan massal adalah komunikasi satu ke banyak. Namun berbeda dengan propaganda yang ditujukan pada orang-orang sebagai anggota kelompok, periklanan mendekati mereka terutama sebagai individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat. Bila orang bertindak secara independen sampai pada pilihan yang sama, maka pilihan individual itu berkonvergensi.
Dimensi periklanan dalam persuasi politik, menjadikan kandidat laksana produk. Produk menjadi sebuah kombinasi yang beraneka ragam dari kandidat itu sendiri, citra politisi dan platform yang menyokong, yang dipromosikan dan disampaikan kepada khalayak yang tepat (Bruce I. Newman, 1999). Produk yang tidak dikenal, dengan teknik pemasaran yang baik, dapat dijual kepada pemilih sehingga memperoleh kesuksesan.
Dan Nimmo (2000) membagi tipe periklanan menjadi komersial dan nonkomersial. Periklanan komersial meliputi periklanan konsumen untuk menjual produk dan jasa dan periklanan perusahaan yang ditujukan kepada manajemen industri, profesional serta pedagang grosir maupun eceran. Periklanan nonkomersial dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, kelompok politik, pemerintah dan para kandidat politik.
Periklanan dapat juga dibagi menjadi periklanan produk dan periklanan institusional. Periklanan produk mempromosikan penjualan barang atau jasa. Dalam dunia politik, periklanan ini berkenaan dengan citra. Menurut Newman, citra merupakan subyek yang menyurutkan dan menaikkan kemampuan politisi dalam menghadapi bermacam isu dan skandal yang muncul. Kesuksesan penciptaan citra menghendaki perhatian terhadap opini publik dan apa yang diperdebatkan publik secara konstan.
Sama dengan citra merk, citra merk untuk sebuah produk mewakili semua persepsi tentang merk dan dibentuk berdasar informasi yang dimiliki konsumen tentang merk tersebut, citra politik tidak dapat dipisahkan dari obyek politik yang mempengaruhi perasaan orang dan sikap tentang politisi. Dalam politik, citra diciptakan melalui impresi visual yang dikomunikasikan lewat tampilan fisik politisi, kemunculan di media, pengalaman serta rekornya sebagai pemimpin politik yang semua informasi tersebut terintegrasikan ke dalam pemikiran rakyat. Citra dari kandidat juga dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan rakyat dalam negara kepadanya.
Periklanan institusional mempromosikan reputasi sebuah industri, badan usaha, bisnis atau kegiatan komersial lainnya. Periklanan institusional mirip dengan hubungan masyarakat. Periklanan ini berusaha meyakinkan orang bahwa sebuah institusi memiliki reputasi di belakang suatu merk dagang. Hal itu untuk menjawab anggapan bahwa orang lebih cenderung berurusan dengan lembaga yang dipercaya daripada yang tidak dipercayainya.
Fokus kampanye periklanan, menurut Dan Nimmo adalah kepada siapa dan dengan akibat apa. Beberapa pertanyaan kepada siapa yang harus dijawab pengiklan politik dalam merumuskan kampanye adalah apa yang memotivasi khalayak dan apa karakteristik kepribadian dan sosial khalayak. Sedangkan dengan akibat apa, lebih cenderung menfokuskan pada bagaimana komunikasi persuasif melibatkan orang-orang dalam menciptakan kembali citra mereka tentang politik.
Retorika
Retorika merupakan bentuk persuasi yang menonjolkan komunikasi dua arah, dialektika, negosiasi dan drama. Melalui retorika, yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas.
Karena merupakan komunikasi dua arah, satu ke satu dan bukan satu ke banyak, retorika politik, merupakan proses yang memungkinkan terbentuknya masyarakat melalui negosiasi. Melalui retorika politik, kita menciptakan masyarakat dengan negosiasi yang terus berlangsung tentang makna situasi dan tentang identitas kita dalam situasi tersebut.
Adapun tipe-tipe retorika politik, seperti digolongkan Aristoteles dalam Retorika, meliputi deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan pada apa yang akan terjadi di masa depan jika ditetapkan kebijakan tertentu. Retorika forensik bersifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau menjatahukan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Fokus kampanye retoris, menurut Dan Nimmo adalah bagaimana menciptakan dan merayu khalayak. Sementara yang dimaksud khalayak, diklasifikasikan Hugh Duncan (1962) meliputi: khalayak umum, pelindung komunitas, kawan dan orang dekat, diri sendiri dan khalayak ideal.
Dari ketiga cara berpikir tentang persuasi politik tersebut, nampak bahwa persuasi merupakan transaksi kreatif yang dimana yang dipersuasi ikut memberi tanggapan terhadap lambang dalam imbauan persuader. Hal itu membantah argumentasi di banyak literatur bahwa persuasi hanya manipulatif dimana khlayak bereaksi terhadap lambang-lambang secara otomatik. Dalam pengertian Burke, yang dipersuasi terlibat secara aktif dalam persuasi itu sendiri.
Agar persuasi tidak seperti robot yang digerakkan oleh propaganda, periklanan dan retorika, William McGuire (1968) mengatakan bahwa ada enam tahap pemrosesan informasi agar persuasi itu terjadi: harus ada imbauan persuasif, orang harus memperhatikannya, harus memahaminya isinya, menerimanya, tetap pada opini yang baru dianutnya serta bertindak lebih lanjut berdasarkan pandangan itu.Keenam langkah persuasi McGuire dapat dipandang sebagai tahap-tahap yang diidentifikasikan di dalam proses persuader dan yang dipersuasi menyusun makna atau citra bersama tentang pesan persuasif. Dengan mengikuti langkah McGuire kita dapat menggabungkan tahap penyusunan citra dengan kelima unsur komunikasi Lasswell: sumber (siapa?), pesan (mengatakan apa?), saluran, penerima (dengan siapa?) dan tujuan (dengan akibat apa?).
Propaganda
Jacques Ellul (1965) mendefinikan propaganda sebagai komunikasi yang “digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, diersatukan secara psikologis dan dugabungkan di dalam suatu organisasi.” Bagi Ellul, propaganda erat kaitannya dengan organisasi dan tindakan, yang tanpa propaganda praktis tidak ada.
Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda memisahkan propagandis dari khalayaknya. Namun menurut Ellul, propagandis sebenarnya merupakan wakil suatu organisasi yang berusaha mengontrol anggotanya. Sehingga disimpulkan, propagandis adalah seorang teknikus kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa negara atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara, mempergunakan propaganda sebagai suatu mekanisme kontrol sosial.
Ellul membagi tipologi propaganda menjadi propaganda politik dan sosiologi. Propaganda politik melibatkan usaha pemerintah, partai atau golongan untuk mencapai tujuan strategis dan taktis. Sementara propaganda sosiologis merupakan perembesan cara hidup yang berangsur-angsur masuk ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik.
Ellul juga membedakan propaganda integrasi dengan agitasi dan propaganda vertikal dengan horisontal. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita. Sedang propaganda integrasi bertujuan menggalang kesesuaian di dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang.
Yang dimaksud propaganda vertikal adalah propaganda satu satu ke banyak dengan mengandalkan media massa bagi penyebarannya. Sedangkan propaganda horisontal lebih banyak melalui komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi dibanding komunikasi massa.
Jika dihubungkan dengan kelima dasar identifikasi unsur-unsur komunikasi yang dikemukakan Harold Lasswell (1948)—siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa dan dengan akibat apa, titik fokus kampanye propaganda dirumuskan Dan Nimmo (2000) lebih ke arah: siapa, mengatakan apa dan melalui saluran mana.
Beberapa pertimbangan untuk fokus pada siapa meliputi status komunikator, kredibilitas komunikator serta daya tarik komunikator. Sedang untuk mengatakan apa, berbagai pesan propagandis berhubungan isi dan struktur pesan. Fokus dengan saluran mana, berkait dengan media apa yang digunakan dan dipercaya orang serta media yang sesuai dengan orang tertentu.
Periklanan
Periklanan massal adalah komunikasi satu ke banyak. Namun berbeda dengan propaganda yang ditujukan pada orang-orang sebagai anggota kelompok, periklanan mendekati mereka terutama sebagai individu-individu tunggal, independen, terpisah dari kelompok yang menjadi identifikasinya dalam masyarakat. Bila orang bertindak secara independen sampai pada pilihan yang sama, maka pilihan individual itu berkonvergensi.
Dimensi periklanan dalam persuasi politik, menjadikan kandidat laksana produk. Produk menjadi sebuah kombinasi yang beraneka ragam dari kandidat itu sendiri, citra politisi dan platform yang menyokong, yang dipromosikan dan disampaikan kepada khalayak yang tepat (Bruce I. Newman, 1999). Produk yang tidak dikenal, dengan teknik pemasaran yang baik, dapat dijual kepada pemilih sehingga memperoleh kesuksesan.
Dan Nimmo (2000) membagi tipe periklanan menjadi komersial dan nonkomersial. Periklanan komersial meliputi periklanan konsumen untuk menjual produk dan jasa dan periklanan perusahaan yang ditujukan kepada manajemen industri, profesional serta pedagang grosir maupun eceran. Periklanan nonkomersial dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat, kelompok politik, pemerintah dan para kandidat politik.
Periklanan dapat juga dibagi menjadi periklanan produk dan periklanan institusional. Periklanan produk mempromosikan penjualan barang atau jasa. Dalam dunia politik, periklanan ini berkenaan dengan citra. Menurut Newman, citra merupakan subyek yang menyurutkan dan menaikkan kemampuan politisi dalam menghadapi bermacam isu dan skandal yang muncul. Kesuksesan penciptaan citra menghendaki perhatian terhadap opini publik dan apa yang diperdebatkan publik secara konstan.
Sama dengan citra merk, citra merk untuk sebuah produk mewakili semua persepsi tentang merk dan dibentuk berdasar informasi yang dimiliki konsumen tentang merk tersebut, citra politik tidak dapat dipisahkan dari obyek politik yang mempengaruhi perasaan orang dan sikap tentang politisi. Dalam politik, citra diciptakan melalui impresi visual yang dikomunikasikan lewat tampilan fisik politisi, kemunculan di media, pengalaman serta rekornya sebagai pemimpin politik yang semua informasi tersebut terintegrasikan ke dalam pemikiran rakyat. Citra dari kandidat juga dipengaruhi oleh seberapa besar dukungan rakyat dalam negara kepadanya.
Periklanan institusional mempromosikan reputasi sebuah industri, badan usaha, bisnis atau kegiatan komersial lainnya. Periklanan institusional mirip dengan hubungan masyarakat. Periklanan ini berusaha meyakinkan orang bahwa sebuah institusi memiliki reputasi di belakang suatu merk dagang. Hal itu untuk menjawab anggapan bahwa orang lebih cenderung berurusan dengan lembaga yang dipercaya daripada yang tidak dipercayainya.
Fokus kampanye periklanan, menurut Dan Nimmo adalah kepada siapa dan dengan akibat apa. Beberapa pertanyaan kepada siapa yang harus dijawab pengiklan politik dalam merumuskan kampanye adalah apa yang memotivasi khalayak dan apa karakteristik kepribadian dan sosial khalayak. Sedangkan dengan akibat apa, lebih cenderung menfokuskan pada bagaimana komunikasi persuasif melibatkan orang-orang dalam menciptakan kembali citra mereka tentang politik.
Retorika
Retorika merupakan bentuk persuasi yang menonjolkan komunikasi dua arah, dialektika, negosiasi dan drama. Melalui retorika, yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas.
Karena merupakan komunikasi dua arah, satu ke satu dan bukan satu ke banyak, retorika politik, merupakan proses yang memungkinkan terbentuknya masyarakat melalui negosiasi. Melalui retorika politik, kita menciptakan masyarakat dengan negosiasi yang terus berlangsung tentang makna situasi dan tentang identitas kita dalam situasi tersebut.
Adapun tipe-tipe retorika politik, seperti digolongkan Aristoteles dalam Retorika, meliputi deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan pada apa yang akan terjadi di masa depan jika ditetapkan kebijakan tertentu. Retorika forensik bersifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau menjatahukan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Fokus kampanye retoris, menurut Dan Nimmo adalah bagaimana menciptakan dan merayu khalayak. Sementara yang dimaksud khalayak, diklasifikasikan Hugh Duncan (1962) meliputi: khalayak umum, pelindung komunitas, kawan dan orang dekat, diri sendiri dan khalayak ideal.
Dari ketiga cara berpikir tentang persuasi politik tersebut, nampak bahwa persuasi merupakan transaksi kreatif yang dimana yang dipersuasi ikut memberi tanggapan terhadap lambang dalam imbauan persuader. Hal itu membantah argumentasi di banyak literatur bahwa persuasi hanya manipulatif dimana khlayak bereaksi terhadap lambang-lambang secara otomatik. Dalam pengertian Burke, yang dipersuasi terlibat secara aktif dalam persuasi itu sendiri.
Agar persuasi tidak seperti robot yang digerakkan oleh propaganda, periklanan dan retorika, William McGuire (1968) mengatakan bahwa ada enam tahap pemrosesan informasi agar persuasi itu terjadi: harus ada imbauan persuasif, orang harus memperhatikannya, harus memahaminya isinya, menerimanya, tetap pada opini yang baru dianutnya serta bertindak lebih lanjut berdasarkan pandangan itu.Keenam langkah persuasi McGuire dapat dipandang sebagai tahap-tahap yang diidentifikasikan di dalam proses persuader dan yang dipersuasi menyusun makna atau citra bersama tentang pesan persuasif. Dengan mengikuti langkah McGuire kita dapat menggabungkan tahap penyusunan citra dengan kelima unsur komunikasi Lasswell: sumber (siapa?), pesan (mengatakan apa?), saluran, penerima (dengan siapa?) dan tujuan (dengan akibat apa?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar