* * *
Empat tahun lalu, hanya beberapa jam setelah penghitungan suara pemilihan presiden putara kedua dimulai pada tanggal 20 September 2004, hasil penghitungan cepat (quick count) LP3ES yang bekerja sama dengan Metro TV, Yayasan Tifa dan NDI, telah berani mengumumkan bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla berhasil mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi secara nasional dengan 61,2% suara : 38,8% suara. Ini artinya, dengan sistem quick count, telah dapat ditentukan siapa yang berhak menjadi presiden dan wakil presiden untuk lima tahun mendatang, meski belum semua TPS datanya masuk ke pusat tabulasi nasional pemilu (TNP).Melihat hal tersebut, satu pertanyaan menggelitik yang sempat mencuat dan menjadi wacana adalah jika ada quick count, maka untuk apa agi pemanfaatan TI yang konon menghabiskan dana ratusan miliar rupiah dengan hasil kerja yang tidak memuaskan. Sementara quick count, yang tidak menjadi beban negara, hasilnya begitu menakjubkan karena hanya berselisih sedikit saja dengan hasil akhir perhitungan manual.
Ketepatan sistem quick count, sudah teruji sejak pemilu legislatif pada 5 April 2004 lalu dan pemilihan presiden putara pertama, 5 Juli lalu. Pada pemilu legislatif, quick count LP3ES hanya memiliki selisih rata-rata di bawah satu persen dari hasil resmi yang disampaikan KPU. Kemudian pada pilpres putara pertama, quick count makin mantap dengan selisih hanya sekitar 0,5 persen saja.
Mengulangi suksesnya, LP3ES-NDI juga melakukan penghitungan cepat dari hasil penghitungan suara di 1.362 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia, atau 68% dari rencana 2.000 TPS yang digunakan sebagai sampel. TPS dipilih secara acak dan ketat untuk dapat mewakili “miniatur” Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Hasilnya, SBY-Kala menang. Dengan margin error tambah-kurang 1,1% pada tingkat kepercayaan 95%.
Hasil hampir serupa juga terjadi pada penghitungan cepat yang diadakan IMT, Pooling Center, Fortuga, Astaga.com dan SCTV. Dari 32 propinsi yang dihitung, SBY-Kalla memperoleh 60,21% dan Mega-Hasyim mendapat 39,79%. Adapun margin error adalah 2,5%.
Hanya saja, karena berdasar teori sampling, hasil quick count bisa saja berbeda yang disebabkan salah dalam mengambil sampel dari populasi, sehingga sampel tidak bisa mewakili populasi. Ini seperti yang didapat oleh Institute for Social Empowerment and Democracy yang bekerja sama dengan TVRI, yang menunjukkan hasil berbeda dimana Mega-Hasyim menang tipis atas SBY-Kalla.
Pemanfaatan TI dalam Pemil/Pilkada jelas berbeda dengan hitung cepat. Jika digunakan, yang dilakukan adalah progressive result per TPS, bukan sampling seperti quick count. Sehingga, keluarannya bukanlah sekadar persentase, tapi dapat dilihat angka-angka perolehan suara bahkan untuk tiap TPS. Secara normatif, hasil penghitungan berbasis TI dapat dijadikan pengontrol proses perolehan suara per TPS apakah terjadi manipulasi atau tidak. Bahkan dengan hasil yang optimal, sistem ini bisa lebih valid dan reliable daripada quick count.
Hanya persoalannya, sistem penghitungan elektronik telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena tidak bisa mengantarkan data yang valid, cepat dan akurat. Dalam pemilu legislatif, dengan diserangnya situs Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) di alamat http://tnp.kpu.go.id/ oleh cracker, sudah menandakan bagaimana pemanfaatan teknologi informasi dalam pemilu gagal. Hal itu menyusul ingkarnya janji KPU yang menjamin, ‘hanya’ dalam waktu sembilan jam setelah pemungutan suara selesai dilakukan, maka 80 persen suara pemilih Pemilu 2004 sudah dapat diketahui hasilnya.
Keraguan dengan sistem TI juga mencuat ketika pilpres putaran pertama. Sebab melihat Keputusan KPU No. 79 Tahun 2004 Tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 Putaran I, yang mencatat total keseluruhan suara yang sah adalah 118.656.868, terjadi perbedaan yang cukup signifikan mencapai lebih dari 11 juta suara antara perhitungan manual dan elektronik. Posisi terakhir perolehan suara berbasis TI yang ditayangkan melalui situs http://tnp.go.id/ adalah 107.306.368.
Apapun hasil yang diperlihatkan dalam pilpres II, yang pada hari pertama telah mencapai angka lebih dari 37 juta suara atau 130 kali dari jumlah pemilih yang dijadikan sampel quick count, nampaknya tidak mengubah citra pemanfaatan TI. Hal itu karena sistem ini sejak awal memang tidak menjalani proses audit menyeluruh dan dikelola oleh tim independen seperti diminta Majelis hakim Mahkamah Konstitusi agar tidak menimbulkan kerancuan antara hasil penghitungan suara berbasis TI dan data manual.
Karena itu, jika ada daerah yang berkeinginan memanfaatkan TI dalam penghitungan suara, termasuk memanfaatkan TI ‘warisan’ KPU, untuk memberikan kepercayaan pada masyarakat, audit sebelum sistem dipakai mutlak dilakukan. Tanpa audit, sistem tetap tidak dapat diandalkan untuk dapat membantu hajat daerah. Selain itu, TI Pilkada hendaknya tidak berada di bawah KPUD dikarenakan akan terjadi kebingungan di masyarakat, data mana yang akan dipakai sebagai acuan penghitungan yang sah.
* * *
Walaupun quick count sudah membuktikan diri bahwa apa yang disampaikan hanya berselisih sedikit dengan penghitungan manual yang dilakukan, namun sesungguhnya, pemanfaatan quick count dan juga penggunaan teknologi informasi oleh KPUD dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Perubahan posisi perolehan suara akibat perbedaan hasil penghitungan antara quick count, berbasis TI dan manual, akan sangat kritis dalam Pilkada kali ini karena akan bersentuhan secara langsung dengan masyarakat di tingkat bawah.Belajar dari kasus Jatim, dan Sumatera Selatan, karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis”, siapa yang menang dan akan menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota, melihat hasil quick count yang hanya perkiraan dan penghitungan suara berbasis TI, boleh-boleh saja. Namun begitu, hendaknya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak mengklaim hitungannya yang paling benar. Sebab yang diakui UU sesungguhnya hanya penghitungan suara secara manual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar