Sebulan lalu, ketika beberapa lembaga riset mulai mengumumkan hasil quick count Pemilu 9/4, yang juga jadi politainment di beberapa stasiun TV karena disiarkan secara lansgung, lewat media ini saya menegaskan bahwa ada sesuatu yang salah dengan quick count yang ditayangkan dan disampaikan ke masyarakat, dan bahkan cenderung menyesatkan.
Beberapa persoalan terkait dengan quick count adalah, pertama, karena tentu saja masalah sample yang diambil. Dalam penelitian, sampel sangat menentukan, apakah dapat mengeneralisasi hasil yang didapat dari beberapa TPS diangkat ke tingkat nasional. Kedua, hasil yang dicapai dengan persentase, tidak menggambarkan hasil anggota legislatif nantinya. Mengingat, ada perbedaan perhitungan antara quick count, dengan hitung-hitungan bilangan pembagi pemilih. Sehingga, meski persentasi tinggi, belum tentu perwakilan di DPR juga akan sama. Apalagi ada perbedaan antara hasil DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.
Analis saya tersebut Alhamdullilah terbukti. Kemarin malam, 9/5, KPU mengumumka hasil ”akhir” perolehan suara dan kursi DPR dari Pemilu 9/4 lalu. Dimana perbandingan antara hasil quick count dan hasil KPU dapat dilihat sebagai berikut.
Hasil KPU ”Manual”:
Hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dibacakan oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menetapkan bahwa: Partai Demokrat memperoleh 148 kursi di DPR (26,43 persen), Golkar (108 kursi, 19,29 persen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (93 kursi, 16,61 persen), Partai Keadilan Sejahtera (59 kursi, 10,54 persen), Partai Amanat Nasional (42 kursi, 7,50 persen), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi, 6,96 persen), Partai Gerakan Indonesia Raya (30 kursi, 5,36 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (26 kursi, 4,64 persen), dan Partai Hati Nurani Rakyat (15 kursi, 2,68 persen).
Jumlah suara sah dalam Pemilu 2009 mencapai 104.099.785 suara, sedangkan suara tidak sah mencapai 17.488.581 suara.
Beberapa persoalan terkait dengan quick count adalah, pertama, karena tentu saja masalah sample yang diambil. Dalam penelitian, sampel sangat menentukan, apakah dapat mengeneralisasi hasil yang didapat dari beberapa TPS diangkat ke tingkat nasional. Kedua, hasil yang dicapai dengan persentase, tidak menggambarkan hasil anggota legislatif nantinya. Mengingat, ada perbedaan perhitungan antara quick count, dengan hitung-hitungan bilangan pembagi pemilih. Sehingga, meski persentasi tinggi, belum tentu perwakilan di DPR juga akan sama. Apalagi ada perbedaan antara hasil DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.
Analis saya tersebut Alhamdullilah terbukti. Kemarin malam, 9/5, KPU mengumumka hasil ”akhir” perolehan suara dan kursi DPR dari Pemilu 9/4 lalu. Dimana perbandingan antara hasil quick count dan hasil KPU dapat dilihat sebagai berikut.
Hasil KPU ”Manual”:
Hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dibacakan oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menetapkan bahwa: Partai Demokrat memperoleh 148 kursi di DPR (26,43 persen), Golkar (108 kursi, 19,29 persen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (93 kursi, 16,61 persen), Partai Keadilan Sejahtera (59 kursi, 10,54 persen), Partai Amanat Nasional (42 kursi, 7,50 persen), Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi, 6,96 persen), Partai Gerakan Indonesia Raya (30 kursi, 5,36 persen), Partai Kebangkitan Bangsa (26 kursi, 4,64 persen), dan Partai Hati Nurani Rakyat (15 kursi, 2,68 persen).
Jumlah suara sah dalam Pemilu 2009 mencapai 104.099.785 suara, sedangkan suara tidak sah mencapai 17.488.581 suara.
Hasil Quick Count:
Sumber: Detikcom.
Persoalan perbedaan karena memang quick count tidak cocok diterapkan untuk konversi dari suara yang didapat partai dengan keterwakilan di DPR.
Lalu apakah quick count bisa dipakai dalam Pilpres mendatang? Count count memang bisa lebih dipakai untuk Pilpres karena tidak ada konversi dan tidak banyak variabel serta pilihan. Namun, pemanfaatan quick count dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis”, melihat hasil quick count boleh-boleh saja. Namun begitu, hendaknya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak mengklaim hitungannya yang paling benar. Sebab UU Pemilu kita sesungguhnya hanya mengakui penghitungan suara manual. Sehingga, dalam pilpres mendatang, tetap saja baiknya ditunggu saja KPU menyelesaikan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar