Ada dua pendekatan dasar dalam studi mengenai budaya: emic dan etic. Pendekatan emic memfokuskan pada pengkajian budaya dari dalam, pada pemahaman budaya ketika anggota-anggota dari budaya memahami kebudyaan mereka. Sebaliknya, pendekatan etic memfokuskan pada memahami budaya dari luar dengan membandingkan budaya-budaya yang menggunakan karakteristik yang telah ditetapkan sebelumnya.
Perbedaan antara pendekatan emic dan etic dapat ditelusuri lewat pembahasan Pike (1966) tentang fonetik (ujaran-ujaran vokal yang universal) dan fonemik (ujaran-ujaran vokal yang secara budaya bersifat unik). Brislin (1983) berpendapat bahwa dalam pemakaiannya dewasa ini, perbedaan itu pada daarnya digunakan sebagai sebuah metafora untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan antara pendekatan yang bersifat spesfik terhadap budaya (emic, budaya tunggal) dan pendekatan umum terhadap budaya (etic, universal) dalam penelitian. Berry (1980, pp.11-12) menyajikan sebuah rangkuman singkat tentang perbedaan-perbedaan itu (lihat tabel 1.1).
Sebagian besar penelitian sosiologis dan psikologis cenderung bersifat etic, sedangkan sebagian besar penelitian antropologis cenderung bersifat emic. Penelitian komunikasi cenderung menggunakan pendekatan psikologis dan antropologis, dan itu berarti dapat berupa pendkatan emic atau etic.
Ketika pengujian konsep-konsep yang menggunakan metode etic itu diasumsikan berlaku secara lintas budaya, maka pengujian-pengujian itu dimaksudkan sebagai pendekatan etic yang dipaksakan (Berry, 1969) atau pendekatan etic semu (Triandis, Malpass dan Davidson, 1973). Sebaliknya, pendekatan etic yang sebenarnya muncul dari data empiris; pendekatan-pendekatan itu merupakan ciri-ciri umum dari konsep yang sedang dipelajari dalam budaya yang dikaji.
Walaupun pendekatan emic dan etic dipandang sebagai pendekatan yang berlawanan, kedua pendekatan ini dapat digabungkan. Triandis (1972), merekomendasikan data emic dan etic. Satu cara untuk menyempurnakan hal ini memperoleh kelengkapan dari konsep dibawah studi dan termasuk aspek bahwa komunikasi antar budaya, sebagaimana aspek yang khas terhadap budaya yang dipelajari.
Dalam tinjauan pendekatan emic dan etic, dilakukan tinjauan singkat bagaimana pendekatan ini digunakan dalam studi komunikasi dalam hubungan pribadi lintar budaya. Dimulai dengan pendekatan emic. Pendekatan ini didasarkan pada antropologi, sosiolingusitik atau model etnografi dari percakapan. Berikutnya diuji pendekatan etic. Model-model ini didasarkan pada upaya menemukan cara sistematik dimana budaya yang berbeda dan dalam mengisolasi aspek universal dari komunikasi antar budaya.
Penelitian Antropologi dalam Komunikasi :
Pendekatan Emic
Penelitian Antropologi dalam Komunikasi :
Pendekatan Emic
Penelitian antropologi biasanya meliputi pendekatan emic dalam memahami budaya. Tujuan penelitian antropologi adalah menggambarkan beberapa aspek budaya, dari perspektif anggota budaya yang diuji. Kebanyakan penelitian antropologi menguji satu budaya, tetapi terdapat penelitian yang menggunakan perspektif komparatif.
Tidak semua penelitian antropologi memfokuskan diri pada komunikasi. Di sini, penelitian antropologi meluas pada komunikasi antarbudaya. Tidak mungkin untuk membuat tinjauan bahkan ‘ujung dari gunung es’ dari penelitan antropologi pada komunikasi di sini, sedikit contoh dalam dua ilustrasi, meskipun begitu tidak bisa dibuktikan.
Basso (1970) mengamati bahwa keheningan dalam budaya Apache adalah tepat dalam konteks dari hubungan sosial yang tidak pasti dan tidak bisa diprediksi. Keheningan lebih dipilih daripada berbicara ketika status dari orang yang diajak berkomunikasi dengan suku Apache bersikap mendua. Rosaldo (1973, 1980) meneliti tentang seni pidato Ilongot yang juga berguna untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya berkomunikasi dalam hubungan pribadi.
Hall (1959, 1966, 1976, 1983) penelitian antropologi paling banyak frekuensinya disebut dalam kerja studi komunikasi antarbudaya. Hall (1976) bekerja pada konteks komunikasi bahasa rendah—tinggi adalah sangat penting. Dia mendefinisikan komunikasi berkonteks rendah seperti melibatkan pesan-pesan dimana “informasi yang besar (yang menunjukkan makna untuk pesan) tetap dalam kode-kode yang eksplisit” dan komunikasi berkonteks tinggi seperti pesan-pesan dimana “kebanyakan informasi” disamping dalam konteks fisik atau didalam diri seseorang, sementara sangat sedikit dalam kode-kode eksplisit, mengirimkan bagian dari pesan. Skema ini digunakan dalam deskripsi emic tentang komunikasi dalam beragam budaya, sebagaimana dalam perbandingan etic, tentang komunikasi.
Penelitian Sosiolinguistik:
Suatu pendekatan emic
Penelitian sosiolinguistik antarbudaya dirancang untuk menguji kegunaan dari bahasa di dalam budaya yang khusus atau antar budaya. Octis (1986) mengemukakan bahwa kebanyakan perbedaan antarbudaya dalam bahasa adalah “perbedaan dalam konteks dan atau frekuensi kejadian” (hlm. 10). Disimpulkan bahwa perbedaan-perbedaan dalam penggunaan bahasa adalah suatu fungsi dari ‘meliputi isi semantik-pragmatis, sejumlah teman bicara yang termasuk, hubungan sosial dari para pembicara, teman-teman bicara, keadaan, ukuran rutinitas peniruan dari sebuah frekuensi kejadian dalam pengalaman anak-anak muda (hlm. 10)”.
Studi Albert (1972) tentang budaya pidato dalam ilustrasi Burundi pada penelitian sosiolinguistik mengenai penggunaan bahasa. Mendasarkan diri pada wilayah kerjanya, dia mencatat bahwa anggota budaya Burundi menggunakan derajat gaya pidato formal yang berbeda sesuai dengan kasta, usia, jenis kelamin, martabat, hubungan persahabatan, tempat tinggal yang berdekatan dan hubungan ekonomi politik seseorang. Albert menekankan bahwa ‘peranan sosial dengan adat kesopanan, cocok dengan bentuk dan gaya berpidato, dan termasuk tanda-tanda ekstralinguistik dan topik-topik diskusi (hlm. 86).
Etnografi Berpidato:
Sebuah Pendekatan Emic
Etnografi Berpidato:
Sebuah Pendekatan Emic
Penelitian etnografi berpidato melibatkan kombinasi penelitian antropologi dan sosiolinguistik. Penelitian etnografi berpidato berdasar pada hasil kerja Hymes (1962), Gumperz (1971, 1982), Phillipsen (1989) dan siswa-siswa mereka. Penelitian ini memfokuskan pada perbedaan pola komunikasi dan aturan-aturan komunikasi yang digunakan dalam pidato komunitas khusus (misalnya sekelompok orang yang membagi pengetahuan mengenai aturan-aturan komunikasi dan intepretasi pidato). Kepentingan khusus dalm studi etnografi berpidato ini adalah menggambarkan cara berpidato yang dibentuk secara kultural (Hymes, 1974).
Katriel (1986) menggambarkan pidato “dugri” dalam budaya “Sabra” Israel “dugri” (bicara lurus) digunakan untuk mempertunjukkan ketulusan, ketegasan, kealamiahan, dan ketegangan pada perhatian wajah yang membolehkan ekspresi (ungkapan) bebas dari pendapat, pikiran, atau keinginan pembicara yang dapat merupakan ancaman terhadap si pembicara (hlm. III). Pembicara Hebrew menggunakan pidato “Dugri” untuk menggambarkan bahwa mereka telah bersikap jujur terhadap diri mereka sendiri. Pembicara Arab, secara kebalikan, menggunakan pidato ‘dugri” untuk menunjukkan perhatian pada kejujuran dengan menyatakan informasi yang sesungguhnya merupakan hiasan dan selubung (persembunyian).
Morris (1981) melakukan studi lapangan untuk memeriksa wacana dalam Puerto Rico. Ia menggambarkan bahwa wacana tersebut membutuhkan pembicara untuk menciptakan dirinya dan orang lain dalam “risiko” sehingga mereka dapat mengurangi pertentangan yang muncul dengan berbagai cara yang memungkinkan morris menekankan bahwa gambaran sistematik tentang makna yang kabur, menggunakan bahasa secara tidak tepat dan tidak langsung (hlm. 135).
Dimensi Keanekaragaman Budaya:
Pendekatan Etic
Dimensi Keanekaragaman Budaya:
Pendekatan Etic
Aspek etic dari budaya sering diuji dari segi dimensi keanekaragaman budaya. Maksudnya, dimensi yang berdasarkan budaya-budaya itu menjadi berbeda atau sama yang dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan atau kesamaan-kesamaan dalam tingkahlaku komunikasi lintas budaya. Dimensi utama dari keanekaragaman budaya yang diisolasikan oleh para teoritisi lintas budaya adalah individualisme-kolektivisme (seperti hubungan budaya Cina, 1987; Hofstede, 1980; Ito, 1989; Kluckhohn & Strodtbeck, 1961; Triandis, 1995). Dalam budaya individualistik kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan individu lebih diutamakan daripada kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan kelompok. Dalam budaya kolektivistik kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan dalam kelompok lebih diutamakan dari pada kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan individu (Triandis, 1995).
Para teoretisi lain memisahkan dimensi-dimensi yang berbeda dari keaneragaman budaya. Hofstede (1980), misalnya, memisahkan individualisme-kolektivisme dengan tiga dimensi tambahan, yaitu: penghindaran ketidakpastian, jarak kekuasaan, maskulinitas-feminitas. Penghindaran ketidakpastian meliputi tingkat sejauh mana anggota-anggota dari sebuah kebudayaan berusaha menghindari ketidakpastian.
Dalam budaya dengan tingkat penghindaran ketidakpastian yang tinggi, ketidakpastian dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya dan anggota-anggota berusaha menghindari ketidakpastian itu. Dalam budaya dengan tingkat penghindaran ketidakpastian yang rendah, ketidakpastian dipandang sebagai bagian yang penting dari kehidupan dimana dengan ketidakpastian itu anggota-anggota dari kebudayaan tersebut sepakat.
Jarak kekuasaan menunjuk pada tingkat dimana ketidaksetaraan kekuasaan dianggap sebagai hal yang wajar dan melekat dalam individu-individu dalam budaya tersebut. Dalam budaya jarak kekuatan yang tinggi ketiadaan nilai kekuatan dipandang sebagai alami dan mencakup dalam individu-individu yang terlibat. Dalam budaya jarak kekuatan yang rendah masyarakat diasumsikan seimbang atau sejajar dan ketiadaan di antara individu-individu yang dianggap sebagai fungsi dari peran yang masuk dalam situasi khusus.
Maskulinitas dan feminitas dianggap sebagai peran jenis kelamin di dalam sebuah budaya. Dalam budaya maskulin ada peran seks yang rentan untuk pria dan wanita. Di dalam budaya feminim peran seks adalah tidak kaku dan ada ketidakjelasan ekspektasi pria dan wanita.
Penggunaan dimensi dari variability budaya sebagai konsep etic membolehkan kesamaan perbedaan dan perbedaan dalam perilaku yang diprediksikan dalam lintas budaya. Untuk menggambarkannya, Triandis (1995) berargumen bahwa fokus yang relatif terhadap budaya kolektivistik dan individualistik mengarah pada perbedaan orientasi menuju anggota kelompok dan di luar kelompok. Triandis menyatakan bahwa ada suatu perbedaan yang signifikan pada cara berkelakuan tiap individu terhadap anggota-anggota dalam kelompoknya dan anggota-anggota kelompok luar pada budaya kolektivistik. Akan tetapi perbedaan tersebut tidaklah signifikan dalam budaya individualistic. Prediksi jumlah dapat didasari pada masing-masing dimensi variabilitas budaya (lihat Gudykunts & Matsumoto).
Meskipun, dimensi-dimensi variabilitas budaya membuat prediksi-prediksi persamaan dan perbedaan budaya, masing-masing dimensi dimanifestasi dalam suatu cara unik ke dalam masing-masing budaya. Gudykunts dan Nishida (1994), sebagai contoh menjelaskan bahwa untuk memahami kolektivisme di Jepang. Sebagai ilustrasi, Hamaguchi (1980) berisi tentang budaya Jepang “Kontekstualistik”. Diskusi Hamaguchi tentang konteks yang sama dengan deskripsi tentang kolektivisme, tetapi ini juga berisi emic budaya Jepang yang tidak termasuk ke dalam diskusi umum dari kolektivisme. Hal ini diharapkan, sebab cara kolektivisme adalah manifestasi sebuah budaya unik pada budaya tersebut.
Dimensi-Dimensi Universal Hubungan Personal:
Suatu Pendekatan Etic
Triandis (1977) membagi empat dimensi hubungan sosial pendekatan universal. Dimensi pertama adalah asosiasi-tidak asosiasi. Perilaku asosiasi mencakup menolong, suportif, atau kooperatif, sementara sikap tidak asosiasi mencakup perlawanan atau menghindar dari orang lain. Dimensi universal kedua adalah superordinasi-superordinasi. Prilaku superordinat mengkritisi atau memberikan pesanan-pesanan, sementara prilaku subordinat meliputi: menanyakan persetujuan, atau mematuhi (kepatuhan). Dimensi ketiga adalah intimasi-formal. Prilaku intimasi mencakup membuka diri (keterbukaan), Ekspresi emosi, atau sentuhan. Dimensi terakhir dari perilaku sosial universal adalah jelas-samar. Jelas adalah tampak oleh orang lain., sementara perilaku samar adalah tidak tampak oleh orang lain.
Asosiasi-tidak asosiasi, superordinasi-subordinasi, intimidasi, dan perilaku jelas-tersamar adalah universal, akan tetapi derajat kepada siapa dimanifestasikan beragam lintas budaya. Triandis berpendapat bahwa dimensi disosiasi (pemisahan diri) dihubungkan dengan orientasi nilai sifat dasar manusia yang dikemukakan Klukhon & Strodtbeck (1961). Perilaku asosiasi (mudah bergaul) menonjol dalam budaya dimana orang berpendapat bahwa hal tiu merupakan sifat dasar manusia yang baik, dan perilaklu disosiasi (memisahkan diri) dalam budaya disebut disebut orang sebagai sifat dasar manusia yang jelek.
Dimensi atasan-bawahan mirip dengan dimensi jarak kekuatan variabilitas budaya yang dikemukakan Hofstede (1980). Triandis (1984) berpendapat bahwa keberadaan atasana-bawahan dilihat sebagai sifat alami dan sebuah fungsi karakteristik manusia dalam budaya yang punya jarak kekuatan yang tinggi. Perilaku atasan bawahan tidak dilihat sebagai sifat budaya rendah. Dalam budaya rendah, adanya atsan-bawahan dipandang sebagai fungsi peranan manusia dan bukan sebagai karakteristik yang terlahir begitu saja.
Keintiman-formalitas dapat dihubungkan dengan isu umum tentang kontak. Triandis (1984) menyatakan bahwa dalam budaya kontak “orang sering menyentuh, mereka berdiri lebih dekat dengan satu sama lain, mereka mendekatkan badan mereka sehingga mereka berhadapan dengan satu sama lain, mereka melihat satu sama lain di mata, dan mereka menggunakan gerakan yang lebih kuat dalam untuk ekspresi emosionalnya” (hlm. 324). Budaya non-kontak melibatkan pola yang berbeda: sedikit sentuhan, berdiri dengan terpisah, sedikit kontak mata, dan level rendah dari ekspresi emosional. Orang-orang dalam budaya kontak cenderung untuk mengekspresikan perasaannya secara terbuka, sementara anggota budaya non-kontak cenderung untuk menekannya.
Triandis (1984) menyarankan bahwa dimensi jelas-tersembunyi berubah-ubah sebagai fungsi dari variasi budaya longgar-ketat. Boldt (1978) mendefinisikan pengetatan struktural dalam istilah perbedaan peran (jumlah peran dan hubungan peran) dan keterhubungan peran (sifat ikatan di antara peran-peran). Semakin banyak peran yang ada dan semakin ketat mereka terikat, struktur sosial itu pun semakin ketat secara struktural. Triandis berpendapat bahwa terdapat lebih banyak perilaku yang dapat diamati dalam budaya longgar daripada dalam budaya ketat.
Adamopoulos dan Bontempo (1986) memusatkan perhatian terhadap universalitas tiga dimensi dari hubungan antarpribadi dengan menggunakan bahan kesusastraan dari berbagai periode sejarah yang berbeda-beda. Mereka mencatat bahwa afiliasi dan dominasi tampak bersifat universal, tanpa banyak perubahan dalam waktu 3000 tahun. Keintiman, sebaliknya, juga universal, namun perilaku-perilaku yang dianggap intim telah berubah seiring waktu.
Foa dan Foa (1974) mengambil pendekatan yang berbeda dalam mengisolasi dimensi universal perilaku. Mereka menyatakan bahwa sumber daya yang ditukar individu-individu selama interaksi dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok yang tertata dalam sebuah lingkaran: cinta (pukul 12 menggunakan permukaan jam untuk mewakili lingkaran), jasa-jasa (pukul 2), barang-barang (pukul 4), uang (pukul 6), informasi (pukul 8), dan status (pukul 10). Sumber-sumber ini berbeda-beda sepanjang dua dimensi: Pertama, partikularisme. Kepentingan dari identitas individu (penerima atau pemberi) dalam pertukaran (bergerak turun dan naik di permukaan jam, partikularisme paling kecil pada pukul 6 dan paling besar pada pukul 12. Kedua, kenyataan. Tingkatan dimana sumber mempunyai nilai muka, lawan dari nilai simbolik (bergerak dengan horisontal melintas permukaan jam, kenyataan yang paling kecil pada pukul 9 dan yang paling besar pada pukul 3).
Sumber-sumber yang paling terdekat dari kerangka kerja Foa dan Foa, satu sama lain, semakin banyak kesamaan yang mereka terima, dan semakin besar kepuasan yang muncul ketika sumber-sumber dipertukarkan. Penelitian Foa dan Foa mengindikasikan bahwa struktur sumber dapat diterapkan lintas budaya. Fiske membatasi empat bentuk dasar dari hubungan manusiawi: penggunaan bersama, kesesuaian yang sepadan, tingkatan kewenangan, dan penghargaan pasar.
Penggunaan bersama adalah sebuah hubungan yang sepadan dimana orang-orang dipadukan (untuk tujuan yang ada) sehingga batasan dari diri individu menjadi kabur (tidak jelas). Kesesuaian yang sepadan adalah sebuah hubungan yang sepadan antara orang-orang yang berbeda satu sama lain dan mereka sebaya. Tingkat kewenangan adalah sebuah hubungan yang tidak setara antara dua orang yang tidak sepadan. Penghargaan pasar adalah sebuah hubungan yang ditengahi oleh nilai-nilai dari beberapa sistem pasar. Sistem pasar, contohnya, mungkin didasarkan pada tindakan orang-orang, jasa-jasa, atau barnag-barang. Fiske mengatakan bahwa empat model ini menyediakan “tata bahasa” untuk hubungan sosial. Penelitian Fiske mendukung pernyataan ini. Empat bentuk dasar dari perilaku sosial adalah dasar untuk semua jenis-jenis lainnya dari hubungan-hubungan dan lintas budaya yang universal (menyeluruh).
Fiske mengatakan bahwa semua bentuk perilaku dapat digunakan dalam beberapa situasi dalam beberapa budaya. Anggota-anggota dari budaya, bagaimanapun belajar memilih bentuk-bentuk perilaku yang khas dalam situasi tertentu. Triandis berpendapat bahwa orang-orang dalam budaya yang kolektivistik belajar untuk menggunakan penggunaan bersama dan tingkatan kewenangan daripada kesesuaian yang sepadan dan penghargaan pasar. Anggota-anggota dari budaya individualistik, sebaliknya, lebih belajar untuk menggunakan kesesuaian yang sepadan dan penghargaan pasar daripada dua yang lain. Tingkatan kewenangan juga dapat dilihat berbeda sebagai sebuah fungsi dari jarak kekuasaan. Smith dan Bond mengatakan bahwa harga pasar dikaitkan dengan orientasi maskulin dari Hotstede dengan kesesuaian sepadan dikaitkan dengan orientasi feminin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar