23 Mei 2009

Menyoal Fatwa Haram Facebook

Ulama dari Pondok Pesantren se Jawa-Madura menetapkan bahwa Facebook adalah haram jika digunakan secara berlebihan. Pengharaman ini dilakukan untuk proses mencari jodoh melalui Facebook. Ini cukup menarik. Sebab, dalam beberapa waktu terakhir ini ada beberapa fatwa haram yang dikeluarkan, seperti merokok, maupun beryoga, yang sayangnya, fatwa tersebut ternyata tidak diindahkan banyak kalangan perokok maupun yang gemar olah raga yoga. Lalu bagaimana dengan Facebook (yang awalnya haram dibatasi dalam soal perjodohan)?

Facebook begitu cepat berkembang. Sejak diluncurkan 4 Februari 2004, di Indonesia sudah saja sudah ada sekitar 1,5 juta orang pengakses dan penggemar setia FB. Angka ini mungkin akan terus bertambah, dan FB akan menjadi pandemi mengingat beberapa layanan yang memikat pengguna, terutama sekali menghubungkan jalinan silaturahmi yang telah sekian tahun terputus—menghubungkan kita kembali dengan teman-teman masa kecil, remaja, kuliah, bahkan saudara yang sudah lama tidak ada kabar beritanya. Menakjubkan bukan. Tidak heran, resto di mall, caffee, maupun tempat makan favorit, kerap ramai oleh kumpul-kumpulnya reuni apakah SD, SMP, SMA, kuliah. Ya, semua itu karena FB, yang sedikit banyak begitu mempengaruhi kehidupan kita. Tokoh-tokoh maupun selebritas, yang secara ”normal” susah didekati, bisa tiba-tiba saja menjadi teman virtual kita.

Pemilu kemarin, bahkan jelang Pilpres nanti, FB juga marak dengan para caleg yang mencari pendukung lewat dunia maya. SBY, JK maupun Megawati, juga sudah bersiap membuat FB untuk pencitraan politik dan mencari pemilih. Peranan ini tentu tak lepas dari fenomena penggunaan FB dalam kampanye yang dilakukan Barack Obama dalam kampanye Pilpres nya, yang membuat Obama menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat.

Jika diperhatikan, FB juga telah dipakai untuk beberapa hal. Dari hal-hal yang bersifat permainan, survey, juga beragam komunitas. Ada komunitas penggemar majalah tertentu, stasiun televisi tertentu, buku, masakan, politik, dan sebagainya, pokoknya FB merubah area yang tadinya masuk di yahoogroups, misalnya, langsung ke FB. Yang menarik, saat ini banyak orang lebih mudah digapai melalui message di FB atau comment status dibanding email atau telepon langsung (hehe kok bisa ya...) Ya lihat saja, wartawan-wartawan sekarang misalnya, menanyakan nara sumber nya—termasuk juga menghubungi narasumber, juga melalui FB. Dengan jawaban yang tertulis, tentunya proses editing lebih mudah dan tak perlu salah tulis dari translasi wawancara verbal.

Namun memang, FB harus digunakan secara bijaksana. Memang menarik membuat status dan memberi comment status orang lain. Namun ingat, jangan terlalu sering bikin status maupu kasih comment, sebab itu artinya Anda tidak fokus dengan pekerjaan Anda. Secukupnya saja kasih comment maupun update status. Sebab, bekerja juga adalah ibadah. Kalau sepanjang hari waktu dihabiskan ke FB, produktivitas menurun, sehingga jangan heran kalau banyak kantor mulai menutup akses ke FB. Selama, masih wajar, tentunya ”main” FB boleh-boleh saja.

Sehingga semua berpulang di diri kita sendiri. Sesuatu yang berlebihan, juga tidaklah elok. Sebab internet merupakan wilayah yang netral, dia dapat digunakan untuk hal-hal positif serta negatif, dimana kitalah yang menentukan pilihan itu. Untuk hal positif, begitu banyak yang bisa dilakukan. Beberapa sekolah, misalnya, menggunakan FB dalam proses belajar mengajar, bahkan melibatkan orang tua untuk monitoring perkembangan dan keadaan buah hatinya tercinta. Untuk hal negatif, juga tentunya sangat mudah. Kita bisa menyebarkan fitnah, mengumbar foto atau video yang melanggar UU Pornografi dan Pornoaksi, bahkan transaksi seks serta judi online.

Karena berpulang pada diri sendiri, di sinilah peran orang tua, guru, ulama, pemuka agama, bahkan presiden sekalipun, untuk mengingat anaknya, para murid, jamaah, rakyat, agar menggunakan FB secara cerdas dan bertanggung jawab. Sebab betapapun, internet adalah alat, bukan tujuan, dimana tujuannya adalah kita menjadi lebih cerdas, lebih berdaya, mempunyai network luas, yang muaranya adalah adalah agar Indonesia menjadi lebih baik di masa mendatang, lebih cerdas, sehat, mandiri, dan sejahtera. Itu bisa dicapai, jika kita saling mengerti tugas dan tanggung jawab masing, dan tidak membakar lumbung untuk menangkap seekor tikus alias melarang FB untuk mencegah hal yang bersifat negatif.



Soal mencari jodoh di FB, ya ini cukup sulit. Terkadang, kita sendiri tidak tahu siapa jodoh kita, dan bagaimana cara bertemunya. Ada yang bertemu di acara keramaian, bertemu di kereta api, bus kota, ada yang dijodohkan, ya termasuk ada yang bertemu melalui wahana virtual, dan berakhir ke pelaminan. Hingga saat ini, belum ada penelitian bahwa pernikahan yang berawal dari pertemuan di FB, maupun media internet, berakhir berantakan termasuk apakah akan panjang jodoh mengingat FB saja baru dikenal masyarakat kita.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

yang saya nggak ngerti itu mas, MUI kok semakin mudah saja memutuskan atau menetapkan hukum sesuatu hal. padahal dalam fiqh, melakukan suatu ijtihad itu berat, perlu proses yang lama, kajian mendalam, ditimbang, dikritisi, lalu ditunda beberapa waktu untuk melihat apakah ada suatu perubahan terhadap suatu hal tsb. setelah itu dibahas kembali, sampai yakin betul dan diusahakan aklamasi para ulama mujtahid. di ormas NU misalnya, yang namanya fatwa itu hanya bisa dikeluarkan pada forum tertentu, misalnya muktamar. itupun apabila sebelumnya telah menjadi agenda pembahasan bertahun-tahun majelis fatwa NU yang ditanggapi semua cabang (ada ketentuannya minimal tanggapan berapa cabang) - demi tercapai mashlahat yang bersifat umum dan berlaku universal bukan karena keinginan suatu kelompok ataupun suatu daerah saja.

tidak semua ulama bisa memiliki keahlian fiqh sebagai mujtahid. kebanyakan ulama ya menguasai fiqh dalam kaitan ibadah, bukan dalam hal hukum agama. tidak banyak ulama berkualifikasi sebagai mufassir (penafsir Al Quran) sekaligus ahli hadist. padahal itu syarat utama menjadi mujtahid. diantara yang memiliki kualifikasi sebagai muffasir dan ahli hadist tersebut belum tentu juga bisa dianggap layak menjadi mujtahid yang boleh memutuskan fatwa. jadi sedikit sekali ulama yang bisa dan boleh memberikan fatwa untuk ummat.

sebuah fatwa harus kita cermati apa telah melalui metodologi yang benar. jangan hanya karena yang bicara MUI maka lalu dianggap pasti benar. belum tentu. wong bapak saya saja juga jabatannya ketua MUI tapi apa bidangnya, kualifikasinya itu mencukupi sebagai mujtahid yang memutuskan fatwa? belum tentu.

fatwa itu harus adil dan diputuskan sepenuhnya berdasarkan ilmu / bukti empirik tidak boleh dipengaruhi like or dislike dari mujtahidnya. lha kalau kita lihat sekarang ini, MUI seperti obral fatwa sesuai siapa lobi dan kasih pesanan. ada demo ahmadiyah tahu-tahu dijadikan haram. mau pemilu, tiba-tiba golput haram. ini dasarnya apa, rujukannya mana, wong jaman nabi, khulafaur rasyidin, para salafussalih hingga rejim Islam ummayyah dan abbassiah dulu tidak ada pemilu. kan aneh itu.

sekarang kok tiba-tiba facebook. hahaha. ngawur banget gitu loh. ini jangan-jangan karena ada pengurus MUI yang ketahuan selingkuh di FB hahaha. tetapi klaim fatwa seperti ini yang menyebabkan kredibilitas MUI semakin diragukan orang. wong orang tahu kualitas pengetahuan MUI tentang Internet itu paling cuma seberapa? kok tahu-tahu memfatwakan facebook? nggak paham kok njeplak.

jelas itu keluar dari kaidah fatwa.

banyak orang yang tidak mengerti bahwa di dalam struktur keagamaan Islam, majelis seperti MUI ini bukanlah suatu otoritas yang bisa mengikat ummat. berbeda dengan agama katolik dimana gereja adalah otoritas yang tunggal, mewakili kerajaan Tuhan di dunia. lha MUI itu tidak mewakili siapapun. bukan wakil ulama bukan pula wakil ummat Islam. MUI itu cuma kumpulan ulama yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa siapapun ...

hal semacam ini perlu diluruskan dan terus disebarluaskan agar ummat yang awam tidak terombang-ambing, ragu-ragu di dalam memanfaatkan suatu teknologi. bisa balik ke jaman batu kita ini hehehe ...

salam,

pataka

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Anonim mengatakan...

Yang saya tahu itu hanya Allah SWT yang berhak menentukan halal atau haram sesuatu. Bahkan junjungan kita Rasulullah SAW juga hanya sebatas menyampaikan apa-apa yang diperintahkan Allah dan apa-apa yang dilarang Allah. Nah lalu siapakah MUI itu? Apakah kedudukan mereka diatas Rasullulah SAW, apakah kedudukan MUI sejajar dengan Allah SWT atau mereka adalah wakil Allah yang baru di muka bumi? Wallahhualam bi Sawwab, silakan tafsirkan sendiri :)
Namun sejarah pernah mencatat kejadian yang kurang lebih sama seperti ini. Suatu jaman yang dikenal dengan Dark Ages. Kejadiannya pada abad pertengahan di Eropa Barat. Saat itu kekuasaan gereja sangat kuat, melebihi kekuasaan pemerintah (raja-raja saat itu). Kekuasaan yang sedemikian besar menjadikan gereja sangat korup. Para kardinal, uskup hingga pemimpin tertingginya (sekarang paus) berlomba-lomba mengumpulkan harta. Meskipun bila tampil di publik mengenakan baju keuskupan, namun dibalik itu mereka menimbun emas dan permata. Bandingkan dengan muktamar di Indonesia, tampil di publik sarungan, namun saat muktamar mobil mewah sekelas jaguar berseliweran.Banyak lagi kemiripan-kemiripan antara kejadian gereja korup pada jaman dark ages dengan MUI, semisal seorang bangsawan yang ingin menjadi raja, dia dapat melakukan "titipan"(menyogok) gereja untuk melakukan impeachment pada raja, kemudian dia naik tahta. Nah di alam sekarang karena alamnya berbeda, maka kejadiannya juga berbeda, namun spiritnya tetep sama, perebutan kekuasaan. MUI memiliki massa simpatisan, yang sangat berharga pada saat pemilu dan aksi-aksi demo.
In the end, kita lihat pada akhir dark ages (abad 16-17) kristen akhirnya terpecah, lahirlah protestan yang kemudian menulis abad pertenhahan sebagai dark ages catholic corruption. Nah tinggal ini yang kita lihat. End of story dari Dark Ages Indonesia seperti apa, tapi tanda-tandanya sih sudah kelihatan beberapa, seperti menurunnya perolehan suara partai islam. Partai sekuler berjaya mendulang dukungan rakyat. Jangan salahkan rakyat, rakyat cuma domba-domba yang tersesat, kalo mau disalahkan, maka salahkanlah penggembala domba (imam maksudnya)tidak menjadi suri tauladan yang baik.