19 Mei 2008

Kita Butuh Single Identity Number

Tentu Anda akan mengalami kejengkelan yang sama, ketika misalnya, beberapa koruptor kakap yang sudah ditetapkan sebagai tersangka bahkan tinggal menunggu vonis hukuman dengan mudahnya kabur ke luar negeri. Rasa jengkel bisa berubah menjadi heran ketika kita mengetahui bahwa hal itu lumrah terjadi karena begitu banyak orang bisa mempunyai KTP ganda, paspor ganda, SIM ganda dan bahkan surat-surat kepemilikan tanah ganda. Kok bisa seperti itu ya? Adakah yang salah dengan sistem administrasi kependudukan kita?


Ya, diakui atau tidak, memang ada yang salah dengan administrasi kependudukan kita. Hingga saat ini, kita belum mempunyai data yang tertib, akurat dan unik, sehingga kasus-kasus seperti telah disebutkan sebelumnya, begitu sering terjadi. Selain dampak negatif, pelayanan publik juga menjadi tidak maksimal. Kita dikepung oleh beragama identitas diri yang berbeda-beda dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Padahal, jika berbagai layanan publik dapat dilakukan dengan satu identitas, tentu alangkah mudah dan efektifnya.


Untuk memiliki data administrasi kependudukan yang tertib, akurat dan unik, pemanfaatan teknologi informasi dapat dioptimalkan. Dengan teknologi informasi, maka data dan informasi yang dihasilkan akan lebih efisien, efektif, akurat serta akses yang lebih cepat. Dan untuk mengkoordinasikan semua data dan informasi yang ada, maka diperlukan adanya Single Identity Number (SIN). Identitas yang unik begitu mendesak diperlukan apabila pemerinta berniat untuk meningkatkan pelayananannya kepada publik dan mendapat kepercayaan dari publik—satu hal yang begitu krusial diperlukan untuk menjamin kelangsungan jalannya roda pemerintahan.

Urgensi SIN
Identitas informasi di Indonesia, kalau boleh dibilang, begitu tumpang tindih. Hal itu terjadi karena pengumpulan informasi berbeda-beda berdasar kepentingannya sehingga informasi bersifat sektoral. Salah satu bentuk tumpang tindih identitas ifnormasi terhadap obyek yang sama, dapat dilihat bila kita membandingkan sistem penomoran bidang tanah yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menggunakan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) dengan sistem penomoran bidang tanah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Nomor Obyek Pajak (NOB).


Kondisi yang membuktikan identitas informasi tumbuh dan berkembang pada masing-masing institusi atas obyek yang sama, juga terjadi pada penomoran identitas personal dalam sistem kependudukan (KTP), perpajakan (NPWP), kepolisian (SIM dan BPKB) serta keimigrasian (paspor). Karena tak ada identitas yang unik untuk obyek yang sama, sebenarnya bukanlah hal mengherankan jika kemudian ada orang yang mempunyai beberapa KTP misalnya.


Seharusnya, untuk obyek yang sama, perlu identitas unik yang sama meskipun dikelola lembaga yang berbeda. Di sinilah pentingnya single identity number. Dengan SIN akan menhasilkan keterpaduan sistem informasi. Dengan adanya keterpaduan, maka proses analisis dan informasi yang melibatkan data dari berbagai lembaga dapat dilakukan dengan mudah. Sehingga, penyajian informasi-informasi yang bersifat strategis menjadi lebih tertib, akurat dan mudah diakses.


Pengembangan SIN berdampak positif dalam pelayanan kepada masyarakat, secara dapat lebih optimal. Institusi-institusi yang terlibat di dalam sistem dapat melakukan ekstraksi informasi lintas-sektoral. SIN juga berkontribusi besar karena mengandung data informasi terkait dengan ekonomi, sosial dan lingkungan. Sebagai sebuah instrumen, SIN juga dapat digunakan untuk memonitor kepatuhan warga negara dalam memenuhi kewajibannya.


SIN juga dapat digunakan sebagai alat untuk menelusuri dan analisis terhadap sumber daya pendapatan, terutama terkait dnegan perpajakan. Sehingga, SIN berperan sebagai pengakselerasi peningkatan negara dari sektor keuangan.

Menuju SIN
Dalam hal identitas nasional, hampir semua negara memilikinya. Meski ada juga yang menggunakan istilah berbeda seperti di Amerika Serikat dengan social security number.Namun tetap saja, dibanding data yang berbeda antara satu lembaga atau keperluan dengan lembaga atau kepentingan lain, satu identitas yang unik terhadap warga negara diperlukan.


Setelah melihat betapa bermanfaatnya SIN, persoalan yang menyeruak ke permukaan adalah bagaimana mengkonvergensikan beberapa identitas dari berbagai lembaga terhadap obyek yang sama. Dari berbagai lembaga pemerintahan, ada keinginan agar SIN tidak tidak merusak sistem yang dibangun masing-masing lembaga tersebut. Maksudnya, SIN tetap mengakomodasikan identitas yang sudah ada dan dibangun masing-masing institusi.


Pemikiran tersebut, setidaknya merupakan langkah maju. Hanya saja, hal itu perlu dijabarkan lebih jauh bagaimana memperoleh hubungan lebih jauh antara identitas dari lembaga-lembaga yang ada menjadi satu identitas yang unik. Sehingga, identitas yang dihasilkan tetaplah bersifat unik, sama secara nasional, lengkap dan permanen. Jika SIN tidak mencakup hal-hal tersebut, manfaat SIN sendiri diragukan.


Hal lain yang begitu kritis diperlukan dalam mengimplementasikan SIN adalah “political will” dari pemerintah, termasuk juga lembaga-lembaga yang berkepentingan dengan current identity dan perubahan menuju SIN, untuk mengakselerasi terwujudnya SIN. Bahkan, ketika SIN diimplementasikan pun, perubahan ini perlu mendapat dukungan dan penyikapan yang positif dari birokrasi. Tanpa ada keinginan baik dan kultur pemerintah yang berubah, SIN tetaplah hanya sebatas wacana saja.


Selain “political will”, pemerintah perlu segera mendorong regulasi yang terkait dengan SIN. Tanpa adanya kepastian hukum, seperti jika terjadi pencurian ataupun pengerusakan data informasi yang disimpan di basis data, maka masyarakat justru makin khawatir dengan perubahan ke SIN. SIN bisa jadi bumerang ketidakpercayaan terhadap pemerintah, karena SIN bisa menjadi gateway membuka semua informasi terhadap satu obyek.


Masalah ini perlu mendapat perhatian serius karena terkait dengan bagaimana format SIN itu sendiri. Jika di dalamnya tercantum tanggal lahir, maka menebak SIN pihak-pihak lainnya bisa lebih mudah. Sehingga jika tidak dilindungi regulasi yang kuat mengenai informasi elektronik, kejadian cyber semisal penyalahgunaan kartu kredit akan makin terjadi. Apalagi, Indonesia cukup terkenal di jajaran atas terkait cybercrime.

Tidak ada komentar: