11 Mei 2008

Kualitas Layanan dan Hak Konsumen

Seperti diketahui, di era sekarang ini, telah terjadi perubahan paradigma hubungan konsumen yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan penyedia layanan. Hubungan yang tadinya menjadinya konsumen layaknya obyek, kini saatnya menjadikan konsumen sebagai subyek. Untuk itu, para penyedia layanan yang terkait dengan TIK mulai saat ini perlu mengedepankan pemberian layanan yang berkualitas bagi konsumennya.


Menurut UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi selain harus mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga harus tetap menjamin mutu serta tidak mengakibatkan kerugian di pihak konsumen.

Secara lebih tegas, pasal-pasal dalam UU tersebut menyebutkan apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen, serta apa yang menjadi hak dan kewajiban pelaku usaha. Terkait dengan kualitas layanan, pelaku usaha wajib menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan barang da/atau jasa yang tidak memenuhi atau sesuai dengan standar yang dipersyaratkan.

Pembinaan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh pemerintah yang dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. Sementara pengawasannya dilakukan bersama oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.

Mengingat tugas seperti itu, makanya regulator telekomunikasi bersama pemerintah saat ini telah mengeluarkan beberapa aturan standar mengenai kualitas layanan (quality of services, QoS), beberapa layanan jasa telekomunikasi—dari PSTN hingga telepon bergerak seluler. Dengan aturan yang menjadi standar tersebut, maka penyedia jasa layanan telekomunikasi yang tidak dapat memenuhi standar tentu saja akan mendapatkan sanksi.


Sesunguhnya, soal penerapan kualitas layanan ini janganlah dianggap sebagai suatu beban. Dengan standar minimal yang harus dipenuhi, seyogyanya kualitas layanan menjadikan tantangan bagi para penyelenggara jaringan dan jasa untuk berkompetisi secara sehat memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Tanpa standar minimal, maka yang terjadi dengan pengertian kualitas adalah apa yang bisa diberikan penjual produk saja, bukan apa yang seharusnya konsumen dapatkan.

Selain mutu, UU Perlindungan Konsumen juga memberikan hak bagi konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi produk yang dijual. Hak konsumen tersebut menjadi kewajiban pelaku usaha. Contoh pemberian informasi yang tidak lengkap, sering terjadi ketika operator telekomunikasi beriklan soal tarif. Untuk tarif, memang sepertinya terjadi persaingan yang tajam antarpenyelenggara jaringan dan jasa TIK, baik voice maupun data, untuk menggaet dan mempertahankan loyalitas penggunanya. Namun, terkadang atau bahkan sering tarif yang disampaikan tidak informatif dan menimbulkan kerugian di sisi pelanggan.

Misalnya saja ada tawaran dari operator telekomunikasi y untuk menggunakan layanan bicara Rp. x/jam. Angka yang disodorkan memang murah, namun apakah angka itu bisa dicapai oleh pengguna? Tentu tidak semudah yang dibayangkan. Tarif segitu baru dapat dicapai jika pembicaraan tidak terputus selama satu jam, dan itu hanya berlaku untuk tarif dalam satu operator bersangkuta (on net). Jika baru setengah jam putus, ya tarifnya akan berbeda, termasuk untuk ke operator lain.

Contoh lainnya misalnya ada tawaran untuk berbicara Rp. z/detik. Karena tadinya hitungannya adalah per menit, maka ketika dibagi menjadi 60 detik, tarif kelihatan jauh lebih murah. Memang basis perhitungannya berubah menjadi detik, namun jika Rp. z/detik dikalikan 60 detik, tarifnya tidak lebih murah. Tarif yang tidak informatif, dimana syarat dan ketentuan berlaku tidak dipublikasikan secara jelas, jelas muaranya akan merugikan konsumen.

Pelaku usaha wajib pula memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila produk yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Misalnya saja, pernah ada operator berkeinginan memberikan tarif SMS murah, beragam bonus yang diberikan, namun yang terjadi justru sentralnya jeblok. Termasuk juga tawaran pembicaran murah per jam yang dicontohnya sebelumnya. Gimana mau murah, wong rata-rata durasi pembicaran yang tercapai hanya sekitar 30 menitan saja.

Atau untuk layanan internet. Banyak ISP, termasuk operator 3G menawarkan kecepatan up to sekian kbps atau mbps. Namun karena up to, jika bit rate terebut tidak tercapai, ya konsumen diminta maklum karena tak ada kecepatan minimal yang wajib diberikan dari angka maksimal yang disampaikan. Lagi-lagi konsumen merasa dirugikan.

Pelaku usaha dilarang juga menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan produk dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana dijanjikan. Karena itu pula, pernah ada desakan agar pelaku usaha SMS Premium menghentikan layanan SMS premiun yang mengiming-imingi hadiah. Karena menurut Pasal 14 UU 8/1999, penarikan hadiah tidak jelas batas waktunya serta tidak diumumkan melalui media massa.


Selain itu, SMS premium yang menawarkan pulsa gratis bagi sekian puluh pengirim pertama tanpa jelas layanan yang diberikan apalagi tawaran bagi “pengirim tercepat” juga merupakan jebakan karena start time-nya yang tidak ada yang tahu. Apalagi jika disepakati bahwa tujuan akhir memberikan layanan TIK adalah menumbuhkan perekonomian, lokomotif peradaban dan alat mencerdaskan bangsa, tentu apakah itu penyedia jaringan, penyedia jasa TIK, termasuk content provider, tidak akan lagi memberikan layanan tanpa nilai tambah kepada masyarakat. Dengan begitu diharapkan, tak ada lagi tudingan bahwa SMS Premium menjadi SMS penyedot pulsa atau apapun namanya. Sebab, industri ini juga harus dijaga dari pihak-pihak yang hanya menggunakan TIK sebagai media vacum cleaner penyedot uang dari masyarakat tanpa memberikan layanan bermanfaat.

Selain UU No. 8/1999, UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi juga memberikan perlindungan bagi konsumen telekomunikasi. Seperti tertuang pada Pasal 15, jika terjadi kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi, kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya. Aturan ini juga pernah disampaikan ketika jaringan beberapa operator bermasalah sehingga konsumen tidak dapat menggunakan jasa dari operator tersebut.

Terkait dengan privacy (hak pribadi), penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya. Walaupun rekaman dapat diberikan oleh penyelenggara jasa te!ekomunikasi untuk kepentingan proses peradilan pidana atas permintaan permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, serta permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu, namun dalam kondisi normal, hak pribadi konsumen tetap dihargai.

Meksi begitu, tak dapat dipungkiri, banyaknya pengiriman email serta SMS ‘sampah’ yang menerobos ruang pribadi konsumen. Untuk memperkuat koridor, mau tidak mau, UU ITE menjadi sandaran untuk menghadapi serangan email dan SMS ‘sampah’. Meski bisa jadi itu dianggap belum cukup. Seperti di Australia misalnya, untuk mengatasi penggunaan SMS, termasuk juga telepo seluler, sebagai sasaran telemarketing, dikeluarkan Do Not Call Register Act 2006. Jadi siapapun yang tidak sudi menerima SMS maupun telepon ‘sampah’ dipersilakan untuk mendaftarkan nomornya ke regulator setempat—ACMA. Nomor yang terdaftar artinya dilarang untuk dikirimi SMS ‘sampah’ serta ditelepon untuk menjadi sasaran telemarketing.

Apakah kita akan melindungi konsumen hingga ke arah sana atau mengadopsi aturan tersebut, tentunya perlu kajian lebih dalam dan menanti perkembangan. Jika dengan UU ITE nantinya ditambah aturan mengenai SMS Premium tidak mempan mengatasi persoalan tersebut, maka Do Not Call Register perlu diadopsi. Sebab ruang privat konsumen nantinya bukan sekadar akan diganggu telemarketing, namun juga untuk keperluan lain dengan modus yang sama, merayu konsumen agar terbujuk dengan apa yang ditawarkan penelepon atau pengirim SMS. Selain terganggu, muaranya adalah konsumen akan dirugikan lagi.

Tidak ada komentar: