Het wonder is geschied, Insulinde, de schoone slaapeter, is ontwaakt (Suatu keajaiban telah terjadi, Insulinde, putri yang tidur itu, telah bangkit).
Kalimat yang diucapkan Mr C Th van Deventer 100 tahun lalu, mengomentari kelahiran Boedi Oetomo sebagai penanda Kebangkitan Nasional Indonesia, cukup relevan ditanyakan kembali saat ini menjelang kita memperingati Satu abad Kebangkitan Nasional, terutama untuk sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Akankah 2008 menjadi momentum Kebangkitan TIK Nasional atau justru terpuruk dan terhempas dari percaturan masyarakat digital yang mengglobal?
Pertanyaan tersebut menarik untuk dikedepankan. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meyakini bahwa pada tahun 2030 nasib Indonesia akan berubah, menjadi satu dari lima negara maju di dunia. Lembaga keuangan dan konsultasi dunia juga memberikan prediksi hampir sama, bahkan disebut-sebut akan menjadi satu dari tujuh besar dunia sebelum 2015. Harapan maupun ramalan itu bisa jadi hanya sekadar angan semata jika kita tidak secara serius dan konsisten mengubah paradigma pembangunan ekonomi—seperti dikatakan Don Tapscott dalam bukunya The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence” (1995), dari industri yang berbasis pada baja, kendaraan dan jalan raya ke arah ekonomi baru yang dibentuk oleh silikon, komputer dan jaringan.
Indikator kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan TIK dalam pembangunan ekonomi di antaranya dapat dilihat dalam E-Readiness yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit untuk tahun 2007. Indonesia hanya berada di peringkat 67 dengan nilai 3.39. Sementara untuk pemanfaatan layanan pemerintahan elektronik (e-government), Indonesia berada pada peringkat 106 dari 189 negara yang disurvei oleh PBB dalam pengembangan e-government. Posisi ini merosot dari posisi sebelumnya pada peringkat 96.
Jika melihat metode evaluasi e-readiness, ada enam kategori penilaian yaitu konektivitas dan infrastruktur teknologi, lingkungan bisnis, sosial dan budaya, legal, visi dan kebijakan pemerintah, serta adopsi masyarakat dan dunia bisnis. Masing-masing kategori, kemudian dijabarkan dalam sekitar 100 kriteria. Di antara kriteria tersebut adalah penetrasi telepon bergerak, internet maupun broadband, keterjangkauan tarif broadband, keamanan internet, angka melek internet, payung hukum untuk mengatur internet, strategi pembangunan digital maupun ketersediaan layanan online, baik sektor pemerintahan maupun bisnis.
Dari kriteria tersebut, selain kondisi penetrasi telepon bergerak yang memang cukup baik dengan mendekati angka 100 juta pengguna, hal yang wajar jika posisi Indonesia cukup terbelakang. Pengguna internet kita menurut catatan APJII baru pada angka 25 juta-an, layanan broadband kita masih terbatas dan tarifnya pun masih mahal. Untuk layanan online, baik untuk sektor bisnis maupun pemerintah, diakui sudah tumbuh. Namun, layanan tersebut masih belum menjadi layanan utama mengingat infrastruktur yang belum merata dan menjangkau seluruh pelosok desa, SDM yang terbatas dan tak ketinggalan adalah kesadaran memanfaatkan TI secara cerdas. Maret lalu, RUU ITE yang bertahun-tahun diperjuangkan akhirnya disahkan menjadi UU, namun saat penilaian dilakukan tentu saja kemajuan ini belum masuk dalam hitungan.
Dalam hal industri perangkat TIK, posisi Indonesia juga masih hanya menjadi ‘penonton’ dan pengguna (user) para vendor besar kelas internasional. Kalaupun banyak pihak lokal dilibatkan, posisinya tak bergeming hanya sebagai distributor produk-produk luar negeri, industri perangkat lokal tidak jalan, kalau tidak mau dikatakan tidak ada.
Bersamaan dengan maraknya investasi asing di sektor TIK kita, termasuk penguasaan asing di beberapa operator telekomunikasi, industri konten juga tidak bisa menghindari hal itu. Mayoritas industri konten Indonesia saat ini juga dikuasai asing. Hal ini tentu memprihatinkan dan membuat kita bertanya-tanya apakah orang Indonesia tidak ada yang pintar untuk membuat konten yang bagus. Ataukah memang, kepintaran orang-orang kita di bidang TIK hanya yang negatif saja, semisal cybercrime yang selalu masuk dalam urutan 10 besar di dunia?
Belajar dari Malaysia, negeri Jiran yang bercokol di posisi 36 e-readiness, dalam menghadapi Era Informasi, jauh hari di tahun 1991 PM Malaysia kala itu, Mahathir Muhammad, mengemukakan Vision 2020 agar Malaysia menjadi satu negara maju. Strategi baru yang dijalankan Malaysia adalah meletakan landasan menghadapi era digital itu dengan mengkreasikan Multimedia Super Corridor (MSC). MSC merupakan proyek pembangunan terkait dengan TIK yang paling komprehensif. Lebih dari sekadar technology park, MSC merupakan kendaraan untuk mentransformasikan sosial dan ekonomi Malaysia menuju masyarakat berpengetahuan di tahun 2020.
Ketertinggalan Indonesia sesungguhnya dapat dikejar dengan kesungguhan dan kerja keras dari semua pemangku kepentingan (stakeholders) TIK Indonesia—dari pemerintah, regulator, kalangan industri, legislatif hingga masyarakat biasa.
Setelah disahkannya UU ITE, beberapa percepatan yang diharapkan dapat segera dirampungkan di antaranya adalah efektifnya ID SIRTII (Indonesia Security Incident Responses Team on the Internet Infrastucture) guna membantu pengawasan keamanan jaringan telekomunikasi berbasis IP, serta mengingat pengguna internet yang kalah jauh dengan pengguna telepon seluler (ponsel), strategi e-learning, e-business maupun e-government, dapat diubah menjadi m-learning, m-business maupun m-government dimana layanan pendidikan, bisnis maupun pemerintah dapat dilakukan dengan melalui ponsel.
Urusan akses dan infrastruktur ini akan lebih lengkap jika program Kewajiban Pelayanan Universal (Universal Service Obligation-USO) mulai dapat dijalankan dan rencana pembangunan Palapa Ring, dimana fase pertama akan mengarah ke Indonesia Timur, segera dimatangkan seta diimplementasikan.
Dalam pengembangan produksi lokal, sesungguhnya pemerintah dan regulator telekomunikasi telah memberikan kewajiban pada penyelengara telekomunikasi untuk mengalokasikan 30% capital expenditure dan 50% operational expenses-nya dari total belanjanya untuk menggunakan produk nasional. Dana riset milyaran rupiah telah pula digelontorkan Depkominfo/Postel untuk pengembangan produk telekomunikasi, khususnya WiMax. Bahkan bulan Mei nanti direncanakan diluncurkan produk WiMax versi Indonesia yang bekerja di frekuensi 2,3 GHz.
Banyak kalangan menilai langkah ini terlambat dan diragukan, namun sesungguhnya jika tidak dimulai dari sekarang kapan lagi industri nasional bereposisi dari sekadar user atau penonton hilir mudiknya perangkat produksi asing menjadi produsen dan memacu industri TIK untuk ekspor.
Yang juga menjadi PR kita bersama adalah bagaimana SDM Indonesia mempunyai kualitas penguasaan TIK secara merata melalui jalur pendidikan formal dan non formal, maupun pengembangan standar kompetensi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan implementasi TIK. Saat ini ada indikasi kian membanjirnya tenaga kerja TIK dari luar negeri ke tanah air. Kalau tadinya tenaga kerja asing itu masuk bersama dengan vendor, selain tetap melalui jalur yang sama, yang angkanya meningkat menyusul vendor-vendor yang jumlah juga kian banyak dan beragam, tenaga kerja asing juga masuk seiring dengan naiknya investasi asing dalam sektor TIK.
Agar seabad Kebangkitan Nasional tidak justru menjadi kematian TIK Nasional, tak ketinggalan, kita semua haruslah menggunakan layanan TIK secara cerdas. Artinya, menggunakan TIK sebagai alat untuk meningkatkan nilai tambah pengetahuan maupun ekonomi, bukan sekadar alat berkomunikasi bahkan dijadikan alat penyedot finansial masyarakat hingga kebiasaan menabung jadi kian berkurang. Upaya kita semua dan waktu yang akan menjawab, apakah Putri Insulinde sekarang akan tetap tertidur atau bangkit seperti yang pernah dikatakan Van Deventer 100 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar