Tak terasa, Hari Pemungutan Suara Pemilu hanya tinggal menghitung jam saja. Para caleg tentu dag dig dug menanti keputusan rakyat, apakah dirinya dipilih menjadi wakil mereka duduk di DPR Pusat, DPR Tk. I, DPRD Tk.II serta DPD.
Sebagai Pemilu pertama yang demokratis, Pemilu 2004 tentu menyimpan masalah dan kenangan. Setelah bongkar-bongkar arsip, ada beberapa pendapat saya yang cukup jadi pembicaraan mengenai Pemilu saat itu, terutama dengan diterobosnya sistem TI KPU, yaitu tulisan yang dimuat di Rakyat Merdeka dan Kompas. Silakan membaca, siapa tahu masih relevan dengan Pemilu saat ini.
Naif Salahkan TI untuk Tolak Pemilu
Rakyat Merdeka, 15.04.2004
MELIHAT kinerja komputerisasi penghitungan suara pemilu 2004 ini, sedikitnya 17 parpol menuntut KPU untuk menghentikan pelaksanaan penghitungan suara dengan memakai sistem elektronik seperti sekarang. Apa yang dituntut para parpol, memang ada benarnya.
Karena ketidaksiapan sistem teknologi informasi yang dipakai berikut perangkat pendukungnya, segala macam kecurigaan tidak bisa dihindari. Apalagi proses peng- hitungan suara sendiri belumlah selesai. Namun hal tersebut bukanlah alasan untuk menyatakan pemilu tidak sah maupun perlu diulang.
Adalah sangat naif jika permasalahan yang terjadi dalam penghitungan suara elektronik dijadikan tameng untuk menolak hasil pemilu. Memang dalam proses pemasukkan data ke komputer tidak disaksikan pihak-pihak yang berkompeten terhadap hasil penghitungan suara, namun secara tegas UU No 12/2003 menyatakan bahwa data elektronik bukanlah penghitungan yang dipakai dalam penentuan anggota DPR, DPRD dan DPD. Data yang sah tetap saja yang dihitung secara manual dan tersertifikasi hingga sampai KPUD II.
Menurut UU No 12/2003 pula, pasal 104 menyatakan bahwa pengumuman penetapan hasil pemilu dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) setelah pemungutan suara. Dan pada pasal 102 juga dinyatakan bahwa jika ada keberatan terhadap rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak menghalangi proses pelaksanaan pemilu.
Untuk sisi teknologi informasi, ke depannya mutlak diperlukan audit sistem teknologi informasi agar dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 5 Juli mendatang sistem ini dapat optimal pemanfaatannya dengan mengantarkan data penghitungan yang cepat dan presisi. Jika tidak begitu, sungguh sia-sia dana Rp 200 miliar yang ternyata hanya berfungsi sebagai kalkulator, dan itu pun hitungannya salah.
Sebaiknya, memang tayangan penghitungan suara yang menyesatkan karena bukan berdasar daerah pemilihan dihentikan saja. Sebab dimungkinkan terjadinya perbedaan signifikan antara penghitungan manual dan elektronik, yang memungkinkan terjadi perselisihan antarkomponen bangsa. Namun, karena biaya yang dikeluarkan untuk pemilu juga tidak sedikit, effort masyarakat yang dengan sukarela datang ke TPS-TPS serta membantu proses jalannya pemilu dengan dana swadaya untuk bisa mendirikan tenda, sangat tidak menghargai jerih payah tersebut jika kemudian pemilu diminta untuk diulang.
Untuk para tokoh-tokoh bangsa yang berniat mendesak pemilu ulang, apalagi dengan alasan penghitungan elektronik, sebaiknya berpikir kembali tentang keinginan tersebut. Teknologi informasi tetaplah hanya sebagai alat, bukan penentu menang atau kalah dalam pemilu. Dan baiknya dinantikan saja hasil perhitungan secara manual, baru kemudian jika dirasakan ada yang tidak beres dapat meminta untuk menghitung kembali surat suara, dan bukannya pemilunya.
Terimalah dengan lapang dada kekalahan yang didapat untuk memperbaikinya di pemilu 2009 mendatang. Ingat, kata banyak orang besar, demokratis tidaknya seseorang bukan hanya dilihat ketika orang itu berkuasa, namun juga ketika kalah dalam perebutan kekuasaan.
---------------------------------------------------------------------------------------
TNP, "Cracker" dan Tindakan Hukum
Kompas, 30 April 2004
Pihak kepolisian, yang dalam hal ini satuan Cyber Crime Direktorat Reserse Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya, telah menangkap Dani Firmansyah, yang diduga kuat sebagai pelaku cracking (bukan sekadar hacking) situs Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beralamat di http://tnp.kpu.go.id. Seperti diketahui, pada 17 April 2004 lalu, tampilan nama-nama partai dalam situs tersebut menjadi tidak biasa dan lucu seperti Partai Jambu, Partai Kolor Ijo, Partai Wirosableng, Partai Kelereng, Partai si Yoyo, Partai Air Minum Kemasan Botol, Partai Dukun Beranak maupun Partai Mbah Jambon.
Penangkapan ini cukup menarik. Selain karena memang apa yang di-crack terkait dengan proses penghitungan suara pemilu yang mempunyai magnitude besar, berulang kali ditegaskan bahwa sistem teknologi informasi KPU yang menyedot dana sekitar Rp 200 miliar mempunyai keamanan berlapis. Dan uniknya, jika ada tindakan hukum terkait dengan perbuatan tersangka, hingga sekarang, pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Hal itu dikarenakan kita belum mempunyai UU yang secara spesifik mengatur kejahatan berbasis teknologi informasi.
* * *
Satu hal yang lebih dulu patut dikedepankan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam penghitungan suara pemilu untuk DPR, DPRD dan DPD, adalah gagalnya sistem ini untuk menampilkan 80 persen suara pemilih Pemilu 2004 dalam waktu sembilan jam seperti yang digembar-gemborkan. Bahkan yang ada, data yang ditampilkan dari TNP tertatih-tatih, sempat tiba-tiba jumlah suara yang masuk menjadi 70 juta, beberapa kali sistem "reset" ke posisi perolehan suara "0" dan sempat terhenti beberapa jam. Semua itu menandakan bahwa sistem elektronik yang dipakai KPU tidak begitu siap menunjang perhelatan akbar yang melibatkan 585.812 TPS.
Awal dari caruk-marutnya pemanfaatan teknologi informasi sebagai pendukung penghitungan suara telah dimulai sejak penentuan topologi jaringan, perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang akan dipakai serta rekrutmen mereka yang menjadi "the man behind the gun". Sebab pemanfaatan teknologi informasi sesungguhnya merupakan kesatuan yang integral. Kelemahan pada satu titik memberikan implikasi yang tidak sedikit pada hasil keluaran (output).
Seperti dalam hal topologi jaringan. Dengan sistem sentralistik yang digunakan KPU, itu artinya data center KPU akan menanggung beban yang demikian berat dan rentan akan gangguan. Sebab semua data dikirimkan, diolah dan disimpan di titik yang sama. Sistem seperti ini secara keamanan juga begitu rentan dari serangan dari orang-orang "iseng". Berbeda dengan sistem jaringan yang terdistribusi, dimana bebannya terbagi, penghitungan lebih mudah dan jika ada gangguan keamanan, maka sistem tidak secara keseluruhan terganggu.
Kemungkinan adanya serangan hacker maupun cracker, telah diprediksi jauh hari sebelum sistem TI KPU mulai dipakai. Lewat media ini pula (15/3/2004), saya telah mengingatkan agar KPU merangkul semua komponen bangsa, baik yang berpotensi maupun tidak, melancarkan serangan ke sistem informasi pemilu. Pernyataan kontraproduktif yang membanggakan kehandalan dan begitu amannya sistem yang dipakai, terbukti kemudian justru membangunkan "macan tidur" yang tertantang pernyataan "dagang" KPU.
* * *
Siapa pun yang telah ditangkap pihak kepolisian berkaitan dengan pengubahan tampilan nama partai-partai di situs TNP, hendaknya diperlakukan dengan baik dan menjunjung asas praduga tak bersalah. Apalagi, kejahatan hacking maupun cracking tidaklah dapat disamakan dengan kejahatan umum biasa. Jika pihak kepolisian mempunyai cukup bukti untuk menyeretnya ke pengadilan, perlu diperhatikan apakah angka-angka digital "1" dan "0" dapat dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan. Pasal 184 KUHAP hingga kini belum berubah, belum mengakui data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan.
Masuknya cracker dalam sistem penghitungan suara pemilu, menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dalam proses penghitungan suara mengandung kelemahan yang krusial. Karenanya, perlu diwaspadai kemungkinan adanya pengkambinghitaman terhadap pihak-pihak tertentu yang menyebabkan persoalan 'asli' yaitu ketidaksiapan teknologi informasi yang dipakai KPU, yang seharusnya menjadi tanggung jawab KPU beralih ke pihak lain dengan tudingan melakukan penjebolan sistem TI KPU.
Sebab berbeda dengan carder yang sebut-sebut harus diperangi karena tergolong melakukan pencurian, di banyak negara, hacker ("white cracker") begitu mendapat tempat yang khusus dan merupakan aset bangsa. Sepert Jepang, Kementrian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI) sampai mengadakan olimpiade yang bertujuan mencari dan mendidik bibit muda yang memiliki teknik dan pengetahuan hacking komputer. Pemenang lomba pun diberi hadiah berupa kesempatan belajar ke Amerika Serikat.
* * *
Ketika di awal kasus pembobolan situs TNP merebak, ada wacana untuk menyeret pelaku jika kemudian tertangkap dengan pasal-pasal Antiterorisme. Namun kemudian, pihak kepolisian membidik tersangka dengan UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Padal 22, 38 dan 50. Ini penting untuk dikritisi. Sebab, terminologi telekomunikasi seperti dinyatakan pasal 1 ayat (1) dalam undang-undang tersebut lebih mengarah pada penyelenggaraan pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari informasi melalui apa yang dinamakan jaringan.
Memang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 21 tahun 2001 disebutkan bahwa internet dianggap sebuah sebuah jasa telekomunikasi, namun ini tetap berada di luar konteks hacking maupun cracking. Hal itu dikarenakan aturan-aturan tersebut ketinggalan jaman dan belum mengikuti konvergensi teknologi informasi sebagai perkawinan dari telekomunikasi, media dan informatika.
Sehingga penggunaan pasal 22 dan 38 serta sanksi yang ada pada pasal 50, tetap dapat diperdebatkan bahkan kalau boleh dibilang tidak cocok. Apa yang diatur di sana hanyalah sebatas penyelenggaraan jaringan dan jasa transmisi data, bukan apa dan bagaimana informasi elektronik dan sanksi-sanksi apa yang dijatuhkan jika semisal terjadi manipulasi informasi.
Persoalannya tidak akan demikian rumit jika kita mempunyai undang-undang yang mengatur pemanfaatan teknologi informasi. Sayangnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga kini masih digodok pemerintah. Sehingga, masih diperlukan waktu agar RUU ini bisa disampaikan dan dibahas di DPR kemudian diundangkan. Karenanya, sebelum RUU ITE tersebut menjadi UU, untuk sementara waktu, dengan amat menyesal dan suka maupun tidak pelaku hacking maupun cracking masih berada di luar tatanan hukum kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar