21 April 2009

Media Massa dalam Sistem Kapitalis

Untuk memahami posisi media masa dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu kita pahami asumsi-asumsi dasar media yang melatar belakangi media massa. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tantang pengalaman dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini media massa memiliki posisi yang begitu penting dalam proses transformasi pengetahuan.

Asumsi dasar kedua ialah media masa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik. Pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara luas.

Menurut Denis McQuail terdapat ciri-ciri khusus institusi media massa antara lain
[1]:
1. Memproduksi dan mendistribusi “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu
2. Menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain, dari pengirim ke penerima, dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya
3. Media meyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik
4. Partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakikatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan yang atau kewajiban sosial
5. Institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan
6. Meskipun institusi media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum.

Diantara ciri-ciri media massa di atas, yang erat sekali hubungannya dengan topik pembicaraan kita adalah mengenai keterikatan media massa dengan industri pasar secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Sistem kapitalis sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju dan berkembang, mengalami suatu perkembangan yang amat pesat dengan segala konsekuensinya. Secara umum, seperti yang dialami negara-negara kapitalis, sistem kapitalis modern pada dasarnya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menyangkut peran media.

Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar antara lain informasi politik dan ekonomi. Di lain pihak media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara. Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.

Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak lepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang diantara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.

Dalam masyarakat yang sistem sosial politiknya demokratis, akan menyediakan informasi yang layak bagi rakyatnya sebaliknya dalam masyarakat yang tidak demokratis, sistem komunikasi (dalam hal ini media massa) yang ada digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya.

Penguasaan terhadapmedia massa adalah aspek utama penguasaan politik dan ekonomi. Secara politik kalangan industri media dan komunikasi dapat menentang dan bahkan sekeras mungkin berupaya mengurangi berbagai intervensi negara dalam aktivitas mereka. Kekuatan ini akan segera bereaksi apabila pemerintah berencana mengeluarkan suatu usulan atau kebijakan terhadap sistem media dan komunikasi. Kebijakan pemerintah ini dipandang sebagai kejahatan besar terhadap praktek pasar bebas dalam industri media, tak peduli apakah maksud dibalik kebijakan tersebut.

Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media yang “nakal”, daripada menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan merekayasa.

Sebagai capitalist venture media massa beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Menurut Smythe“…Fungsi utama media adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak, bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis”
[2]. Kalau kita kaji banyak teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara sistem kapitalis dan institusi media massa, baik dari perspektif Marxist maupun yang non Marxist. Diantara teori-teori itu antara lain:

1. Marxisme-pandangan klasik
Media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kepentingan kelas tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut untuk mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan
[3]. Pemikiran dasar teori inilah yang kemudian mendorong lahirnya teori-teori lain seperti teori politik ekonomi, teori kritik dan teori hegemoni budaya.

2. Teori Media Politik Ekonomi
Pendekatan teori ini lebih diarahkan pada pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan (isi) ideologis media. Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja pada media.

Dalam tinjauan Garnham, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat, yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Kepentingan-kepentingan tersebut, berkonsekuensi pada kurangnya jumlah sumber media yang independen, munculnya sikap masa bodoh terhadap khalayak pada sektor kecil serta menciptakan konsentrasi pada pasar besar[4].

Menurut Smythe, kelemahan pendekatan politik ekonomi adalah unsur-unsur media yang berada dalam kontrol publik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja pasar bebas. Meski pendekatan ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komiditi, pendekatan ini kemudian melahirkan ragam pendekatan yang menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dan membentuk perilaku publik media sampai batas-batas tertentu[5].

3. Teori Kritik

Yang dimaksud dengan teori kritik di sini merupakan karya aliran Frankfurt (aliran Marxis ketiga). Para ahli teori kritik menganut pendekatan yang disebut budaya. Mereka yang prihatin terhadap tanda-tanda kegagalan ramalan Marxis tentang revolusi perubahan sosial, beralih mengandalkan kemampuan superstruktur yang terutama berujud dalam media massa guna menggantikan proses perubahan sejarah ekonomi.


Dalam pandangan pendekatan ini, budaya massa yang komersial dan universal merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli modal tersebut. Seluruh sistem produksi barang, jasa dan ide yang diproduksi massal membuka kemungkinan diterimanya sebagaian atau seluruh sistem kapitalisme. Mereka yang berpandangan ini dapat dikatakan melakukan upaya mengkombinasikan pandangan serba-media dengan dominasi satu kelas sosial
[6].

4. Teori Hegemoni Media
Teori ini lebih menekankan pada ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme yang dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para kelas pekerja. Sehingga, upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka.
Pergeseran perhatian dari faktor ke faktor ideologi terkait erat dengan kelanjutan hidup kapitalisme. Pergeseran ini, dinilai Williams
[7], telah mengangkat derajat media massa setara dengan alat ideologi negara lainnya.

5. Pendekatan Sosial Budaya
Pendekatan lebih melihat tinjauan positif dari produk media massa dengan keinginan untuk memahami makna dan peran yang dibawakan budaya terakhir dalam kehidupan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pendekatan ini juga berusaha menjelaskan cara budaya massa berperan mengintegrasikan golongan masyarakat yang mungkin menyimpang serta menentang.
Pendekatan sosial budaya mendalami pesan dan publik melalui pemahaman pengalaman sosial kelompok-kelompok kecil masyarakat dengan cermat, kritis dan terarah. Tujuannya, dapat memberikan penjelasan mengenai pola pilihan dan reaksi terhadap media
[8].

6. Pendekatan Fungsional Struktural
Teori ini memandang institusi media dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan yang dimaksud terutama berkaitan dengan kesinambungan, ketertiban, integrasi, motivasi, pengarahan (bimbingan), dan adaptasi. Masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari atas beberapa bagian yang saling berkaitan atau subsistem, setiap subsistem tersebut memiliki peran yang berarti. Di sini, media diharapkan dapat menjamin integrasi ke dalam, ketertiban dan memiliki kemampuan memberikan respons terhadap subsistem lainnya. Namun kenyataannya, pendekatan fungsional struktural seringkali menjadi subsistem yang memiliki ketergantungan penuh pada sistem kapitalis. Sehingga kemampuan untuk melakukan fungsi media secara ideal tidak bisa terealisir karena dikalahkan kepentingan pemodal.


INDUSTRI MEDIA: SEBUAH TELAAH KRITIS

Menurut Gordon sebagaimana dikutip Rahayu, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation
[9].

Customer requirement merujuk pada pengertian harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas dan ketersediaan; competitive environment merupakan lingkungan persaingan yang dihadapi perusahaan. Sementara social expectation berhubungan dengan tingkatan harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Industri media seiring dengan revolusi teknologi komunikasi mencapai tahap industri modern dengan segala konsekuensinya. Hal ini menempatkan media pada sisi yang dilematis yakni antra pemenuhan fungsi media secara komprehensif dengan kepentingan bisnis.

Dalam pandangan Robert Mc Chesney, “produk-produk yang dihasilkan oleh bisnis media biasanya bernilai cukup baik dalam produksi hiburan yang menghasilkan keuntungan besar buat mereka. Tetapi apabila dibandingkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut, kualitas yang dihasilkan bisa kita bilang menyedihkan. Pada pokoknya, keseluruhan bisnis media membuat berbagai keterbatasan terhadap kehidupan politik dan budaya”
[10].

Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Di antara kelemahannya itu antara lain: Pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko usaha. Sebagian besar pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, dimana beberapa industri media menciptakan serangkaian hambatan yang menutup peluang pendatang baru yang mereka kuasai.

Tapi dalam artian penekanan harga, produksi dan keuntungan, kekuatan oligopolistik yang ada justru mengarah ke arah terbentuknya monopoli yang sangat jauh dari mitos: pasar yang penuh persaingan. Para kapitalis media lebih suka mengelompokan diri dan menjadikan kekuatan ekonomi berpusat dan bersifat monopolistik Selanjutnya jika seluruh media kemudian membentuk pasar monopoli maka sesungguhnya hal ini bisa berefek pada sistem demokrasi. Kita tentu menyadari bahwa dalam pasar pendapatan dan kekayaan sangat menentukan kekuatan dan kekuasaan orang.

Dalam kata pengantar untuk bukunya Agus Sudibyo, Dedy N. Hidayat menulis, media adalah realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, contohnya, jelas tidak secara berimbang dimiliki publik. Pemain industri media kita tampaknya hanya akan terdiri dari kaum yang itu-itu saja. Media pun memiliki fungsi ideologis dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mecakup masalah siapa, kepentingan apa dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanapun juga media pertama-tama perlu dilihat sebagai institusi ekonomi dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan pasar[11] .

Kedua, dalam kaitannya dengan sistem media ini berarti sistem komunikasi yang lahir tentunya harus mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pemilik modal media. Pasar bakal memenuhi keinginan masyarakat sesuai dengan kriteria apa yang paling menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal. Akibatnya pasar didorong oleh niat para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, pasar tidak akan pernah dapat mengatasi konsekuensi-konsekuensi setiap paket yang disiarkan. Memang tidak dapat diabaikan banyak produk media masa yang positif dalam arti memuaskan publik namun banyak pula pada kenyataannya mengandung aspek negatif. Tidak sedikit media yang memproduksi acara-acara dangkal dan tidak sesuai konteks budaya, hanya karena persoalan pesanan.

Ketiga, pada tingkat individu pasar juga merupakan indikasi yang menunjukan kedangkalan terhadap apa yang disebut sebagai kebutuhan dan keinginan manusia. Berdasarkan data lapangan menunjukan bahwa nilai-nilai sosial budaya semacam cinta kasih, toleransi, kekeluargaan dan solidaritas sosial digantikan oleh nilai material. Prestasi ekonomi adalah landasan uatama untuk memberikan ukuran kehormatan dan harga diri bukan karena secara moral ia berbudi luhur.

Dan keempat, banyak kekuatan ideologi pasar sebagai suatu mekanisme pengatur untuk media berasal dari metafora tentang pasar bebas ide-ide (marketplace of ideas). Pasar diandaikan sebagai suatu mekanisme pengatur yang bersifat bebas nilai dan netral. Akan tetapi dalam kenyataanya pasar bebas ide itu berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quolah serta mewakili pandangan yang tidak melawan sistem yang ada.

PENUTUP
Media massa mempunyai keterikatan dengan industri pasar, yang secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Media massa mengalami kontradiksi dimana di satu sisi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, sementara di sisi lain media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara.


Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak terlepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang di antara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.

Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media massa yang “nakal” daripada menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan merekayasa hukum.

Dari uraian, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation.
Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Kelemahan itu sendiri seperti: pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, pasar didorong para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya, pasar menunjukan kedangkalan terhadap kebutuhan dan keinginan manusia serta kenyataan bahwa pasar bebas ide, bebas nilai dan netral, berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quo.



[1] McQuil, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.), Jakarta: Erlangga, 1987, hlm.40.
[2] Smythe, Dallas, Communication: Blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Volume 1, Number 3,1977,hlm.1.
[3] Op.cit, hlm.63.
[4] Garnham, N., Contribution to a Political Economy of Mass Communication, Media, Culture and Society 1(2): 123.
[5] Loc.cit, hlm.120.
[6] Op.cit. hlm.64-65.
[7]Lihat Williams, R. Base and Superstructure, New Left Review, 1973,hlm82.
[8] Lihat Hall, S., The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed in Media Studies, dalam M. Gurevitch dkk., Culture, Society and Media, London: Metheun,1975,hlm.56-90.
[9] Rahayu, Analisis Dampak Pergeseran Karakteristik Industri Pers pada Strategi Perusahaan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Komunikasi, Vol.V/Oktober 2000, hlm.38.
[10] Chesney, Robert Mc., Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Andi Achdian (terj), Jakarta : Aji, Th. 1998, hlm.29.
[11] Hidayat,Dedy.N, Pengantar, dalam Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001,hlm.x.

Tidak ada komentar: