09 April 2009

Quick Count Menyesatkan?

Beberapa jam setelah pemungutan suara Pemilu 9 April hari ini ditutup dan mulai dihitung, beberapa televisi sudah menyiarkan perkembangan perhitungan cepat (quick count) hasil Pemilu. Persentasi siapa-siapa partai yang bertengger di puncak atas, silih berganti mengikuti masuknya data-data surveyor dari sekitar 2000-an TPS yang disebar di seluruh penjuru negeri.

Sistem quick count, sudah dimulai dalam pemilu legislatif pada 5 April 2004 lalu dan pemilihan presiden putara pertama, 5 Juli 2004 lalu. Pada pemilu legislatif, quick count LP3ES hanya memiliki selisih rata-rata di bawah satu persen dari hasil resmi yang disampaikan KPU. Kemudian pada pilpres putara pertama, quick count makin mantap dengan selisih hanya sekitar 0,5 persen saja.

Mengulangi suksesnya, LP3ES-NDI juga melakukan penghitungan cepat dari hasil penghitungan suara di 1.362 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia, atau 68% dari rencana 2.000 TPS yang digunakan sebagai sampel. TPS dipilih secara acak dan ketat untuk dapat mewakili “miniatur” Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Hasilnya, SBY-Kala menang. Dengan margin error tambah-kurang 1,1% pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil hampir serupa juga terjadi pada penghitungan cepat yang diadakan IMT, Pooling Center, Fortuga, Astaga.com dan SCTV. Dari 32 propinsi yang dihitung, SBY-Kalla memperoleh 60,21% dan Mega-Hasyim mendapat 39,79%. Adapun margin error adalah 2,5%.

Meski dianggap berhasil, pemilihan Gubernur Sumatera Selatan dan Jawa Timur membuat hasil quick count juga diragukan. Mungkinkah quick count salah dan berbeda? Karena berdasar teori sampling, hal itu mungkin saja terjadi seperti salah dalam mengambil sampel dari populasi, sehingga sampel tidak bisa mewakili populasi. Soal berbeda, apa yang didapat oleh Institute for Social Empowerment and Democracy yang bekerja sama dengan TVRI lima tahun lalu saat Pilpres menunjukkan hasil berbeda, dimana Mega-Hasyim menang tipis atas SBY-Kalla.

Beberapa persoalan terkait dengan quick count adalah, pertama, karena tentu saja masalah sample yang diambil. Dalam penelitian, sampel sangat menentukan, apakah dapat mengeneralisasi hasil yang didapat dari beberapa TPS diangkat ke tingkat nasional. Kedua, hasil yang dicapai dengan persentase, tidak menggambarkan hasil anggota legislatif nantinya. Mengingat, ada perbedaan perhitungan antara quick count, dengan hitung-hitungan bilangan pembagi pemilih. Sehingga, meski persentasi tinggi, belum tentu perwakilan di DPR juga akan sama. Apalagi ada perbedaan antara hasil DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.

Sehingga, meski quick count sudah membuktikan diri bahwa apa yang disampaikan hanya berselisih sedikit dengan penghitungan manual yang dilakukan, namun sesungguhnya, pemanfaatan quick count dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Perubahan posisi perolehan suara akibat perbedaan hasil penghitungan antara quick count, berbasis TI yang juga dipakai KPU serta hasil manual sebagai hasil final, sangat kritis.

Karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis” atau menjadikan politik sebagai budaya massa dan budaya hiburan layaknya infotainment, melihat hasil quick count boleh-boleh saja. Namun begitu, hendaknya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak mengklaim hitungannya yang paling benar. Sebab UU Pemilu kita sesungguhnya hanya mengakui penghitungan suara manual. Sehingga baiknya ditunggu saja KPU menyelesaikan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU.

Tidak ada komentar: