25 April 2009

Komunikasi dan Budaya (Bagian-1)

Komunikasi dan budaya secara timbal balik saling berpengaruh satu sama lain. Budaya dimana secara individu-individu disosialisasikan, akan berpengaruh terhadap cara mereka dalam berkomunikasi. Dan cara bagaimana individu-individu itu berkomunikasi, dapat mengubah budaya yang mereka miliki dari waktu ke waktu. Hanya saja, kebanyakan analisis tentang komunikasi antarpribadi mengabaikan hubungan ini dan aspek budaya menjadi kosong dalam studi komunikasi. Sebaliknya, studi-studi tentang komunikasi lintas budaya, menguji pengaruh budaya terhadap komunikasi. Kebanyakan analisis tentang komunikasi lintas budaya membandingkan dan mempertentangkan pola-pola komunikasi dari berbagai macam budaya (Gudykunst & Ting-Toomey, 1988).

Budaya
Ada banyak definisi tentang budaya (lihat Kroeber & Kluckhon, 1952), namun tidak ada sebuah konsensus terhadap suatu defenisi. Konsep bahwa budaya dapat dilihat sebagai segala sesuatu yang dibuat oleh manusia (Herskovits, 1955) atau sebagai sebuah sistem makna yang dimiliki bersama (Geerzt, 1973), hanya merupakan dua kemungkinan konseptualisasi. Budaya juga telah disamakan dengan komunikasi. Hall (1959), menyakini bahwa “budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya” (hal 169). Birdwhistell (1970) mengambil posisi yang sedikit berbeda, budaya dan komunikasi merupakan istilah yang mempresentasikan dua pandangan yang berbeda atau metode representasi dan keterhubungan yang terpola dan terstruktur. Sebagai “budaya” fokusnya terletak pada struktur, sebagai “komunikasi” fokusnya terletak pada proses (hlm. 318).

Keesing (1974) mengisolasikan dua pendekatan utama untuk mengidentifikasikan budaya, yaitu budaya sebagai sistem yang adaptif dan budaya sebagai sistem yang ideal. Bagi orang yang melihat budaya sebagai hal yang adaptif, mereka memiliki kecenderungan untuk melihat budaya sebagai hal yang menyatukan orang-orang untuk sistem ekologi dimana mereka hidup. Harris (1968), misalkan, berpendapat bahwa budaya menurun kepada pola prilaku yang diasosiasikan dengan kelompok orang tertentu, yaitu untuk “kebiasaan” atau untuk “prinsip hidup” seseorang. Para teoritis budaya yang berpandangan seperti ini, melihat budaya sebagai perkembangan menuju keseimbangan.

Teori-teori ideal dari budaya memandang budaya sebagai sistem kognitif atau sistem simbolik. Goodenough (1961) berpendapat, budaya “terdiri dari standar-standar untuk memutuskan apakah sesuatu itu, untuk memutuskan apa yang dapat, untuk memutuskan apa yang dirasakan seseorang mengenai hal tersebut, untuk memutuskan apa yang harus dilakukan mengenai hal itu dan untuk memutuskan bagaimana caranya melakukan sesuatu itu“ (hlm. 522). Geerzt (1966) sebagai salah satu dari pendukung utama aliran “budaya sebagai sistem simbolik” berpendapat, masalah tentang analisa budaya sebanyak masalah dalam menentukan kebebasan sebagai keterikatan, teluk juga jembatan. Citra yang cocok, kalau seseorang harus punya tentang budaya organisasi, bukan jaring laba-laba atau gundukan pasir. Penggunaan gurita oleh Geertz sebagai metafora untuk memahami kebudayaan, bahwa kebudayaan ditata sekaligus tak tertata pada waktu yang bersamaan.

Keesing berargumen bahwa ada beberapa masalah dengan kedua pendekatan pokok atas kebudayaan. Pandangan kebudayaan sebagai sistem adaptif bisa mengarahkan kita pada reduksi kognitif, sementara pandangan kebudayaan sebagai sistem simbolik bisa mengarahkan kita untuk melihat dunia simbol budaya sebagai hal yang secara semu seragam. Untuk mengatasi permasalahan dalam kedua tipe definisi tersebut, Keesing meminjam pembedaan antara kompetensi dan performasi linguistik untuk menjelaskan kebudayaan. Keesing menunjukan bahwa kebudayaan harus dipelajari dalam latar sosial dan ekologis, dimana di dalamnya manusia berkomunikasi satu sama lain. Rohner (1984) berpendapat bahwa seorang individu adalah anggota kelompok masyarakat, seorang individu berpartisipasi dalam sistem sosial dan saling berbagi kebudayaan.

Keesing (1974) menekankan bahwa budaya merupakan teori mengenai “permainan yang dimainkan” dalam masyarakat. Secara umum dia mengemukakan bahwa kita sangat tidak sadar akan aturan-aturan permainan yang sedang dimainkan, tapi kita berperilaku seolah-olah ada kesepakatan umum mengenai aturan-aturan itu. Sebagai ilustrasi, jika kita bertemu dengan orang asing dari Mars dan orang itu (Martian) meminta kita untuk menjelaskan mengenai aturan-aturan dari budaya kita, kita mungkin tidak bisa mendeskripsikan banyak hal mengenai aturan itu karena kita sangat tidak sadar akan aturan-aturan itu.

Keesing (1974) berpendapat bahwa kita menggunakan teori kita mengenai permainan yang dimainkan untuk menginterpretasikan sesuatu yang tidak lazim yang kita jumpai. Kita juga menggunakan teori dalam berinteraksi dengan orang lain yang kita temui dalam masyarakat kita. Keesing juga menjelaskan bahwa anggota-anggota suatu budaya sama sekali tidak memiliki secara tepat pandangan yang sama tentang budaya. Tidak satu individupun mengetahui semua aspek budaya, dan tiap orang mempunyai pandangan yang khas tentang budaya. Meskipun demikian, teori-teori yang dianut bersama oleh anggota-anggota suatu budaya berbagi, betapapun, cukup bertumpang-tindih sehingga mereka bisa mengkoordinasikan prilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari.

* Gudykunst, William B., Ting-Toomey, Stella. Communication in Personal Relationships Across Cultures: An Introduction, dalam Communication in Personal Relationships Across Cultures, William B. Gudykunst et al. (ed.). Thousan Oaks: Sage Publications.

23 April 2009

Tulisan Ku Dimuat Koran Jakarta

Hari ini Koran Jakarta memuat tulisan ku. Terima kasih Koran Jakarta.

Strategi Regulasi dan Tantangan Konvergensi


Perkembangan teknologi memang begitu cepat. Baru saja 3G diimplementasikan, telah dan akan hadir 3,5G, bahkan 3,9 G, WiMAX, LTE, bahkan Next Generation Networks (NGN) lainnya. Dengan teknologi yang cepat berubah, banyak pihak yang mengatakan bahwa regulasi selalu terlambat mengikuti perkembangan teknologi.

Walaupun teknologi berkembang dengan cepat, sebagaimana juga dianut oleh banyak negara, hendaknya dalam membuat satu kebijakan berbasis technolgy neutral, artinya bukan teknologinya yang diatur tapi lebih ke layanannya maupun penggunaan misalnya frekuensi-nya. Memang netral teknologi tidak sepenuhnya dapat diterapkan, tapi paling tidak ini mengurangi ketidakpastian regulasi yang disebabkan perubahan teknologi.

Strategi yang bisa dilakukan jika memang diperlukan regulasi terkait dengan hadirnya teknologi baru adalah dengan mencari kemungkinan perubahan atau penambahan serta sinergi pengaturan dari tingkat yang terendah, seperti Peraturan Dirjen, Peraturan Menteri hingga Peraturan Pemerintah. Jika memang tidak memungkinkan, maka perubahan UU merupakan alternatif terakhir yang harus ditempuh, tentunya dengan melihat seberapa banyak perubahan yang diperlukan terhadap UU, sehingga bisa berupa revisi atau memang diperlukan UU yang baru.

Agar tidak terlalu tertinggal dengan perkembangan teknologi, sedapat mungkin regulasi yang dibuat juga memperhatikan dan mengantisipasi perkembangan teknologi apa yang ada di kemudian hari. Dengan begitu, bukan saja tidak terlalu tertingal, bahkan bisa sejalan dengan perkembangan teknologi yang ada. Salah satu antisipasi adalah konvergensi.

Tantangan Konvergensi
Konvergensi menjadi kunci masa depan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bahkan tak perlu menunggu waktu terlalu lama, konvergensi antara telekomunikasi, media (penyiaran) dan informatika telah hadir di sekitar kita. Hanya saja, perkembangan tersebut belum tercermin dalam UU yang terkait dengan telekomunikasi, termasuk penyiaran. Selain UU tersebut, UU lain yang bersinggungan dengan TIK adalah UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


Tantangan ke depan terutama adalah bagaimana pemangku kepentingan dapat menjawab perkembangan konvergensi. Semangat utama perubahan menuju regulasi konvergen adalah menjaga harmonisasi antara kepentingan masyarakat banyak dan industri telekomunikasi, antara kemajuan teknologi konvergensi dengan kebutuhan masyarakat akan layanan teknologi informasi yang murah, handal, aman dan berkualitas, juga antara kepentingan nasional dan global. Dengan menjaga harmonisasi ini, diharapkan pada gilirannya akan mendukung kemajuan masyarakat Indonesia secara keseluruhan menuju bukan saja masyarakat informasi tapi ke arah masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based society).

Secara obyektif, regulasi juga harus mampu berperan sebagai pendorong perkembangan dan inovasi teknologi informasi dan komunikasi, memberi ruang bagi terselenggaranya sistem penyelenggaraan pertahanan negara dan keamanan nasional, memberi tempat jaringan berbasis IP dan peluang usaha bagi seluruh masyarakat untuk menjadi pemilik maupun penyelenggara jaringan/jasa telekomunikasi.

Satu hal yang tidak bisa diabaikan dari tantangan ke depan adalah mengenai bagaimana format regulator ke depan. Saat ini dapat dilihat begitu banyak lembaga negara yang dapat dijadikan perbandingan. Namun, industri konvengensi tentu membutuhkan regulator yang unik. Dan yang jelas, dibutuhkan lembaga yang tidak hanya mengurusi telekomunikasi saja, tapi ke arah yang lebih luas. Yang perlu dikedepankan adalah lembaga ini harus independen dari kepentingan penyelenggara, dan bahkan bebas dari pengaruh politik. Namun tentu saja diskusi kelembagaan ini akan panjang dan akan terjadi tarik menarik yang cukup kuat antarpihak yang berkepentingan. Kita tunggu saja.

21 April 2009

Media Massa dalam Sistem Kapitalis

Untuk memahami posisi media masa dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu kita pahami asumsi-asumsi dasar media yang melatar belakangi media massa. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tantang pengalaman dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini media massa memiliki posisi yang begitu penting dalam proses transformasi pengetahuan.

Asumsi dasar kedua ialah media masa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik. Pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara luas.

Menurut Denis McQuail terdapat ciri-ciri khusus institusi media massa antara lain
[1]:
1. Memproduksi dan mendistribusi “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu
2. Menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain, dari pengirim ke penerima, dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya
3. Media meyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik
4. Partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakikatnya bersifat sukarela, tanpa adanya keharusan yang atau kewajiban sosial
5. Institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan
6. Meskipun institusi media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum.

Diantara ciri-ciri media massa di atas, yang erat sekali hubungannya dengan topik pembicaraan kita adalah mengenai keterikatan media massa dengan industri pasar secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Sistem kapitalis sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju dan berkembang, mengalami suatu perkembangan yang amat pesat dengan segala konsekuensinya. Secara umum, seperti yang dialami negara-negara kapitalis, sistem kapitalis modern pada dasarnya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menyangkut peran media.

Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar antara lain informasi politik dan ekonomi. Di lain pihak media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara. Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.

Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak lepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang diantara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.

Dalam masyarakat yang sistem sosial politiknya demokratis, akan menyediakan informasi yang layak bagi rakyatnya sebaliknya dalam masyarakat yang tidak demokratis, sistem komunikasi (dalam hal ini media massa) yang ada digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya.

Penguasaan terhadapmedia massa adalah aspek utama penguasaan politik dan ekonomi. Secara politik kalangan industri media dan komunikasi dapat menentang dan bahkan sekeras mungkin berupaya mengurangi berbagai intervensi negara dalam aktivitas mereka. Kekuatan ini akan segera bereaksi apabila pemerintah berencana mengeluarkan suatu usulan atau kebijakan terhadap sistem media dan komunikasi. Kebijakan pemerintah ini dipandang sebagai kejahatan besar terhadap praktek pasar bebas dalam industri media, tak peduli apakah maksud dibalik kebijakan tersebut.

Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media yang “nakal”, daripada menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan merekayasa.

Sebagai capitalist venture media massa beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Menurut Smythe“…Fungsi utama media adalah menciptakan kestabilan segmen khalayak, bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis”
[2]. Kalau kita kaji banyak teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara sistem kapitalis dan institusi media massa, baik dari perspektif Marxist maupun yang non Marxist. Diantara teori-teori itu antara lain:

1. Marxisme-pandangan klasik
Media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kepentingan kelas tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut untuk mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan
[3]. Pemikiran dasar teori inilah yang kemudian mendorong lahirnya teori-teori lain seperti teori politik ekonomi, teori kritik dan teori hegemoni budaya.

2. Teori Media Politik Ekonomi
Pendekatan teori ini lebih diarahkan pada pendekatan yang memusatkan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan (isi) ideologis media. Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja pada media.

Dalam tinjauan Garnham, institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat, yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Kepentingan-kepentingan tersebut, berkonsekuensi pada kurangnya jumlah sumber media yang independen, munculnya sikap masa bodoh terhadap khalayak pada sektor kecil serta menciptakan konsentrasi pada pasar besar[4].

Menurut Smythe, kelemahan pendekatan politik ekonomi adalah unsur-unsur media yang berada dalam kontrol publik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja pasar bebas. Meski pendekatan ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komiditi, pendekatan ini kemudian melahirkan ragam pendekatan yang menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dan membentuk perilaku publik media sampai batas-batas tertentu[5].

3. Teori Kritik

Yang dimaksud dengan teori kritik di sini merupakan karya aliran Frankfurt (aliran Marxis ketiga). Para ahli teori kritik menganut pendekatan yang disebut budaya. Mereka yang prihatin terhadap tanda-tanda kegagalan ramalan Marxis tentang revolusi perubahan sosial, beralih mengandalkan kemampuan superstruktur yang terutama berujud dalam media massa guna menggantikan proses perubahan sejarah ekonomi.


Dalam pandangan pendekatan ini, budaya massa yang komersial dan universal merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya keberhasilan monopoli modal tersebut. Seluruh sistem produksi barang, jasa dan ide yang diproduksi massal membuka kemungkinan diterimanya sebagaian atau seluruh sistem kapitalisme. Mereka yang berpandangan ini dapat dikatakan melakukan upaya mengkombinasikan pandangan serba-media dengan dominasi satu kelas sosial
[6].

4. Teori Hegemoni Media
Teori ini lebih menekankan pada ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme yang dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para kelas pekerja. Sehingga, upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka.
Pergeseran perhatian dari faktor ke faktor ideologi terkait erat dengan kelanjutan hidup kapitalisme. Pergeseran ini, dinilai Williams
[7], telah mengangkat derajat media massa setara dengan alat ideologi negara lainnya.

5. Pendekatan Sosial Budaya
Pendekatan lebih melihat tinjauan positif dari produk media massa dengan keinginan untuk memahami makna dan peran yang dibawakan budaya terakhir dalam kehidupan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pendekatan ini juga berusaha menjelaskan cara budaya massa berperan mengintegrasikan golongan masyarakat yang mungkin menyimpang serta menentang.
Pendekatan sosial budaya mendalami pesan dan publik melalui pemahaman pengalaman sosial kelompok-kelompok kecil masyarakat dengan cermat, kritis dan terarah. Tujuannya, dapat memberikan penjelasan mengenai pola pilihan dan reaksi terhadap media
[8].

6. Pendekatan Fungsional Struktural
Teori ini memandang institusi media dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan yang dimaksud terutama berkaitan dengan kesinambungan, ketertiban, integrasi, motivasi, pengarahan (bimbingan), dan adaptasi. Masyarakat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari atas beberapa bagian yang saling berkaitan atau subsistem, setiap subsistem tersebut memiliki peran yang berarti. Di sini, media diharapkan dapat menjamin integrasi ke dalam, ketertiban dan memiliki kemampuan memberikan respons terhadap subsistem lainnya. Namun kenyataannya, pendekatan fungsional struktural seringkali menjadi subsistem yang memiliki ketergantungan penuh pada sistem kapitalis. Sehingga kemampuan untuk melakukan fungsi media secara ideal tidak bisa terealisir karena dikalahkan kepentingan pemodal.


INDUSTRI MEDIA: SEBUAH TELAAH KRITIS

Menurut Gordon sebagaimana dikutip Rahayu, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation
[9].

Customer requirement merujuk pada pengertian harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas dan ketersediaan; competitive environment merupakan lingkungan persaingan yang dihadapi perusahaan. Sementara social expectation berhubungan dengan tingkatan harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Industri media seiring dengan revolusi teknologi komunikasi mencapai tahap industri modern dengan segala konsekuensinya. Hal ini menempatkan media pada sisi yang dilematis yakni antra pemenuhan fungsi media secara komprehensif dengan kepentingan bisnis.

Dalam pandangan Robert Mc Chesney, “produk-produk yang dihasilkan oleh bisnis media biasanya bernilai cukup baik dalam produksi hiburan yang menghasilkan keuntungan besar buat mereka. Tetapi apabila dibandingkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut, kualitas yang dihasilkan bisa kita bilang menyedihkan. Pada pokoknya, keseluruhan bisnis media membuat berbagai keterbatasan terhadap kehidupan politik dan budaya”
[10].

Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Di antara kelemahannya itu antara lain: Pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko usaha. Sebagian besar pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, dimana beberapa industri media menciptakan serangkaian hambatan yang menutup peluang pendatang baru yang mereka kuasai.

Tapi dalam artian penekanan harga, produksi dan keuntungan, kekuatan oligopolistik yang ada justru mengarah ke arah terbentuknya monopoli yang sangat jauh dari mitos: pasar yang penuh persaingan. Para kapitalis media lebih suka mengelompokan diri dan menjadikan kekuatan ekonomi berpusat dan bersifat monopolistik Selanjutnya jika seluruh media kemudian membentuk pasar monopoli maka sesungguhnya hal ini bisa berefek pada sistem demokrasi. Kita tentu menyadari bahwa dalam pasar pendapatan dan kekayaan sangat menentukan kekuatan dan kekuasaan orang.

Dalam kata pengantar untuk bukunya Agus Sudibyo, Dedy N. Hidayat menulis, media adalah realitas dalam dirinya sendiri. Kemampuan untuk menjadi pemain dalam industri media, contohnya, jelas tidak secara berimbang dimiliki publik. Pemain industri media kita tampaknya hanya akan terdiri dari kaum yang itu-itu saja. Media pun memiliki fungsi ideologis dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Ini akan mecakup masalah siapa, kepentingan apa dan perspektif mana yang akan memperoleh akses ke media mereka. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, bagaimanapun juga media pertama-tama perlu dilihat sebagai institusi ekonomi dan karenanya manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan pasar[11] .

Kedua, dalam kaitannya dengan sistem media ini berarti sistem komunikasi yang lahir tentunya harus mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pemilik modal media. Pasar bakal memenuhi keinginan masyarakat sesuai dengan kriteria apa yang paling menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal. Akibatnya pasar didorong oleh niat para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, pasar tidak akan pernah dapat mengatasi konsekuensi-konsekuensi setiap paket yang disiarkan. Memang tidak dapat diabaikan banyak produk media masa yang positif dalam arti memuaskan publik namun banyak pula pada kenyataannya mengandung aspek negatif. Tidak sedikit media yang memproduksi acara-acara dangkal dan tidak sesuai konteks budaya, hanya karena persoalan pesanan.

Ketiga, pada tingkat individu pasar juga merupakan indikasi yang menunjukan kedangkalan terhadap apa yang disebut sebagai kebutuhan dan keinginan manusia. Berdasarkan data lapangan menunjukan bahwa nilai-nilai sosial budaya semacam cinta kasih, toleransi, kekeluargaan dan solidaritas sosial digantikan oleh nilai material. Prestasi ekonomi adalah landasan uatama untuk memberikan ukuran kehormatan dan harga diri bukan karena secara moral ia berbudi luhur.

Dan keempat, banyak kekuatan ideologi pasar sebagai suatu mekanisme pengatur untuk media berasal dari metafora tentang pasar bebas ide-ide (marketplace of ideas). Pasar diandaikan sebagai suatu mekanisme pengatur yang bersifat bebas nilai dan netral. Akan tetapi dalam kenyataanya pasar bebas ide itu berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quolah serta mewakili pandangan yang tidak melawan sistem yang ada.

PENUTUP
Media massa mempunyai keterikatan dengan industri pasar, yang secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Media massa mengalami kontradiksi dimana di satu sisi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, sementara di sisi lain media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara.


Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak terlepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang di antara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.

Ketika modal dan kekuasaan mengepung media massa, kalangan industri media massa lebih menyerupai “pedagang”, mengendalikan pers dengan memanfaatkan kepemilikan saham atau modal untuk mengontrol isi media atau mengancam institusi media massa yang “nakal” daripada menyerupai “politisi”, mengendalikan pers dengan merekayasa hukum.

Dari uraian, ada tiga hal penting yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu industri. Ketiga hal itu tersebut berkaitan dengan customer requirements, competitive environment, dan social expectation.
Persoalan modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan bahkan bisa jadi menyebabkan kontraproduktif bagi para kapitalis. Kelemahan itu sendiri seperti: pasar yang ada sekarang ini lebih cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, pasar didorong para pemilik modal untuk menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya, pasar menunjukan kedangkalan terhadap kebutuhan dan keinginan manusia serta kenyataan bahwa pasar bebas ide, bebas nilai dan netral, berlaku bagi produk yang komersil dan tidak berbenturan dengan status quo.



[1] McQuil, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.), Jakarta: Erlangga, 1987, hlm.40.
[2] Smythe, Dallas, Communication: Blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Volume 1, Number 3,1977,hlm.1.
[3] Op.cit, hlm.63.
[4] Garnham, N., Contribution to a Political Economy of Mass Communication, Media, Culture and Society 1(2): 123.
[5] Loc.cit, hlm.120.
[6] Op.cit. hlm.64-65.
[7]Lihat Williams, R. Base and Superstructure, New Left Review, 1973,hlm82.
[8] Lihat Hall, S., The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed in Media Studies, dalam M. Gurevitch dkk., Culture, Society and Media, London: Metheun,1975,hlm.56-90.
[9] Rahayu, Analisis Dampak Pergeseran Karakteristik Industri Pers pada Strategi Perusahaan dan Pembangunan Sumber Daya Manusia, dalam Jurnal Komunikasi, Vol.V/Oktober 2000, hlm.38.
[10] Chesney, Robert Mc., Konglomerasi Media Massa dan Ancaman Terhadap Demokrasi, Andi Achdian (terj), Jakarta : Aji, Th. 1998, hlm.29.
[11] Hidayat,Dedy.N, Pengantar, dalam Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001,hlm.x.

19 April 2009

Media Massa, Kapitalisme dan Sistem Kapitalis

A. Media Massa
Berbicara mengenai media massa, tentu kita memahaminya dalam konteks komunikasi massa. Sebagai sebuah pemahaman dasar, Littlejohn berpendapat bahwa komunikasi massa merupakan proses dimana organisasi media menghasilkan dan mengirimkan pesan kepada masyarakat umum dan proses yang terdiri dari pesan yang dicari, digunakan, dipahami dan dipengaruhi oleh khalayak
[1].

Banyak ahli mendefinisikan apa itu media massa. Dari sekian definisi itu dapat kita kemukakan garis besarnya media massa adalah perangkat dari komunikasi massa yang digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus-menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara. Media yang dimaksud bisa beragam seperti televisi, radio, koran, film dan sebagainya.

B. Kapitalisme

Interpretasi terhadap istilah kapitalisme mengandung banyak versi yang merujuk pada sumber berbagai teori. Sebagai sistem pemikiran yang dipahami sebagai kenyataan empiris; sebagai suatu tahapan sejarah yang terus berkembang hingga saat ini; sebagai suatu paham yang secara eksplisit diperjuangkan dan ditentang, kapitalisme menimbulkan dinamika tersendiri dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial. Tanpa pretensi mengaburkan polarisasi yang amat luas, kiranya perlu dipahami terlebih dahulu makna dan sejarah perkembangan kapitalisme hingga mempunyai bentuk seperti sekarang ini.

Secara etimologi Peter L. Berger memberi penjelasan yang cukup ringkas mengenai kapitalisme
[2]. Istilah “capital” (capitale dari bahasa latin caput yang berarti “kepala”) muncul pertama kalinya pada abad ke-12 dan ke-13, yang artinya dana, persediaan barang, sejumlah uang dan bunga pinjaman. Dalam abad ke-18 istilah ini digunakan oleh banyak orang dalam artian yang sempit, khususnya dengan mengacu pada kapital produktif. Tentu saja Karl Marx berperan dalam menjadikan istilah ini menjadi suatu konsep sentral yang disebut dengan “cara produksi” (mode of production). Kata benda “kapitalis” bermula pada pertengahan abad ke-17 yang mengacu pada pemilik “kapital”.

Kata kapitalisme pertama kalinya ternyata tidak dipopulerkan oleh Adam Smith yang biasa dianggap sebagai teorisi kapitalisme klasik. Juga tidak oleh Karl Marx kepada siapa istilah itu selalu diasosiasikan, meskipun Marx banyak menyebut istilah capital, capitalist atau capitalistic dalam analisanya mengenai peranan modal, pemilik modal dan cara produksi dalam suatu proses industrialisasi di Eropa Barat.

Kata ini menjadi umum setelah karya besar Sombart (Warner Sombart) terbit. Dan sejak itu secara umum telah dianggap sebagai lawan kata “sosialisme”. Meskipun demikian, etimologi ini memang menunjuk pada beberapa unsur kunci dari fenomena kapitalisme yakni: kapitalisme berakar pada uang dan ini adalah cara khusus untuk mengelola produksi [3].

Kapitalisme sebagaimana ditekankan oleh Marx di halaman pertama dari capital, adalah suatu sistem produksi komoditi. Di dalam sistem kapitalis para pemproduksi tidak sekedar menghasilkan bagi keperluannya sendiri atau untuk kebutuhan individu-individu yang mempunyai kontak pribadi dengan mereka. Kapitalisme melibatkan pasar pertukaran (exchange market) yang mencakup nasional bahkan seringkali mencakup dunia internasional. Menurut Marx setiap komoditi mempunyai suatu aspek ‘ganda’. Di satu pihak ‘nilai pakai’ (use-value), di pihak lain ‘nilai tukarnya’ (exchange value) [4].

Secara sederhana, terminologi yang banyak dipakai untuk menggambarkan kapitalisme adalah kegiatan produksi yang diperuntukan bagi pasar yang dilakukan oleh perorangan maupun secara bersama-sama dengan tujuan memperoleh keuntungan. Suatu hal yang juga penting untuk diperhatikan adalah bahwa kapitalisme merupakan konsep fundamental dari suatu sistem pemikiran ekonomi yang banyak dilatarbelakangi unsur pemilikan, persaingan dan rasionalitas.

Tentu saja pemaknaan terhadap kapitalisme juga amat dipengaruhi konteksnya. Perubahan sistem kapitalisme dalam sejarah membawa dampak pada perubahan beberapa substansinya. Untuk memahami perubahan-perubahan itu perlu kiranya kita bahas perkembangannya.

C. Sistem Kapitalis
Menurut Dudley Dillard, yang dimaksud dengan sistem kapitalis adalah hubungan-hubungan di antara para pemilik pribadi atas alat-alat produksi yang bersifat nonpribadi (tanah, tambang, instalasi, industri dan sebagainya, yang secara keseluruhan disebut kapital), dengan para pekerja yang meski bebas, namun tidak punya modal[5].

Di dalam sistem kapitalis, para pemproduksi tidak sekadar menghasilkan keperluannya sendiri atau individu-individu yang mempunyai kontak pribadi dengan mereka. Menurut Marx, kapitalisme melibatkan pasar pertukaran (exchange market) yang mencakup nasional atau bahkan seringkali mencakup dunia internasional[6].


II. PERKEMBANGAN KAPITALISME


A. Kapitalisme Awal
Kalau kita mencoba menarik sejarah pada masa sebelum kapitalisme menjadi sistem yang berkembang, asal-usul lembaga kapitalis sudah terdapat di zaman kuno. Menurut Dudley Dillard, Flanders abad ke-13 dan Florence pada abad ke-14 merupakan dua kantong kapitalis penting. Sejarah keduanya dapat menjelaskan kondisi-kondisi hakiki bagi perkembangan kapitalisme di Inggris
[7].

Di antara berbagai kejadian dan lingkungan historis yang secara berarti mempengaruhi pembentukan modal di Eropa, pada tahap awal berkembangnya kapitalisme dapat kita ringkas dari tulisan Dudley [8]. Pertama, reformasi protestan pada abad 16 dan 17 juga disertai perubahan perubahan ekonomis yang mengakibatkan berkembangnnya kapitalisme di Eropa Utara, khususnya di Belanda dan Inggris.

Kedua, revolusi harga, harta dari dunia baru, membawa dampak mendalam pada kapitalisme Eropa. Emas dan perak dari tambang-tambang di Mexico, Peru dan Bolivia meningkatkan persediaan logam mulia Eropa hingga sampai tujuh kali lipat dan meningkatkan harga-harga hingga dua atau tiga kali lipat selama 1950-1640. Inflasi sepanjang abad ini menguntungkan para kapitalis.
Ketiga, merkantilisme. Kapitalisme awal (1500-1750) juga menyaksikan timbulnya negara-negara nasional kuat di Eropa Barat yang menjalankan kebijakan merkantilisme.

Para kritisi cenderung mengidentikkan merkantilisme dengan pemupukan emas dan perak yang menyebabkan apa yang disebut neraca menguntungkan dari ekspor serta mengatasi impor dalam hubungan dagang dengan masyarakat dan bangsa lain. Sumbangan positif dalam arti historis merkantilisme terletak pada terciptanya kondisi yang diperlukan bagi perubahan ekonomi yang pesat dan kumulatif di negeri-negeri Eropa Barat. Tahap selanjutnya pergeseran dari prakarsa publik ke prakarsa perseorangan menandai peralihan dari bentuk awal kapitalisme ke permulaan tahap kapitalisme klasik.

B. Kapitalisme Klasik
Di Inggris mulai abad ke-18, fokus pembangunan kapitalis bergeser dari perdagangan ke Industri. Revolusi Industri dapat didefenisikan sebagai periode peralihan dari dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri. Karya besar Adam Smith (1776) mencerminkan ideologi kapitalisme klasik.
Smith, sebagaimana ditulis Dudley, menganjurkan untuk membongkar birokrasi negara dan menyerahkan keputusan-keputusan ekonomi kepada kekuatan-kekuatan pasar yang mengatur dirinya sendiri secara bebas
[9].

Pada perkembangannya munculah kebijaksanaan laissez faire pasca revolusi Prancis dan perang Napoleon menyapu bersih sisa-sisa feodalisme dan melonggarkan cengkraman merkantilis. Banyak kebijaksanaan teori Smith mulai bisa terealisir. Perdagangan bebas, keuangan yang kuat (dengan standar emas), anggaran belanja berimbang, bantuan kemiskinan minimum, sederhananya mengembalikan individu kepada diri masing-masing

C. Kapitalisme Monopoli
Dalam tahap kompetitif, perusahaan-perusahaan tumbuh mencari keuntungan yang lebih besar dan menambah kapasitas investasi untuk mengeluarkan produk-produk, yang secara esensial tidak dapat dibedakan dari produk-produk saingan, selalu dapat dijual dengan atau sedikit di bawah harga pasar yang sedang berlaku. Ketika sejumlah perusahaan berhasil maju dan tumbuh, dan yang lainnya tertinggal dibelakang dan tersingkir, maka rata-rata perusahaan dalam suatu industri menjadi demikian besar.

Dengan adanya pertumbuhan korporasi raksasa, Paul M. Sweezy mengatakan, kapitalisme meninggalkan tahap kompetitifnya dan memasuki tahap monopoli[10]. Keuntungan-keuntungan monopoli memungkinkan pertumbuhan yang bahkan secara lebih cepat ketimbang di masa lalu. Kebutuhan untuk mempertahankan monopoli harga mengharuskan kebijaksanaan untuk menurunkan dan dengan berhati-hati mengatur ekspansi kapasitas produksi.

Dalam tahap kompetitif kapitalisme, akumulasi modal selalu cenderung melampaui ekspansi pasar. Akibatnya adalah krisis periodik dan depresi dimana banyak modal dilikuidasi atau didevaluasi sebagai pendahuluan yang diperlukan bagi suatu pembaharuan proses akumulasi. Masalah ketidakseimbangan antara akumulasi dan ekspansi pasar ini menjadi jelas dalam kapitalisme monopoli.

Dalam suasana monopoli, persaingan di antara berbagai korporasi raksasa tidak menghilang, melainkan bergeser dari segi harga ke segi promosi penjualan (melalui iklan, pembedaan dan inovasi produksi, perubahan-perubahan model dan bentuk-bentuk lain dari peremajaan dan lain-lain). Karena usaha penjualan saja tidak cukup untuk menetralisasi kecenderungan pasar ke arah stagnasi, hal ini makin menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin kelancaran jalannya proses akumulasi. Negara dapat melawan stagnasi melalui pengeluaran yang cukup besar untuk kesejahteraan dan atau perang, dua hal yang tidak terelakkan dalam kapitalisme monopoli.

Kesejahteraan merupakan suatu cara menentramkan massa dan mencegah mereka berpaling kepada politik revolusioner. Dan peperangan, sebagai sarana yang digunakan oleh setiap kekuatan kapitalis yang terkemuka untuk memaksimalkan ruang gerak ekonominya serta untuk mengontrol negara-negara tergantung yang terbelakang dan mempunyai potensi untuk melepaskan diri.

D. Kapitalisme Modern
Keuntungan kapitalisme monopoli yang memungkinkan pertumbuhan secara lebih cepat, dan adanya keterbatasan dengan perlunya keberhati-hatian dalam mengatur ekspansi kapasitas produksi, menimbulkan suatu dorongan yang tak tertahankan pada pihak perusahaan yang monopolistik untuk berpindah dan keluar dari wilayah kerja historisnya untuk memasuki industri-industri dan pasar-pasar baru. Dengan demikian unit produksi tipikal dalam kapitalisme maju dan modern adalah suatu korporasi raksasa, baik bersifat konglomerat (bergerak dalam berbagai industri) maupun multinasional (bergerak dibanyak negara).

Pada mulanya, hubungan antara bagian-bagian yang maju dan terbelakang dalam sistem kapitalis dunia didasarkan pada kekuatan. Ini artinya, yang lebih kuat menaklukan yang lemah, merampas sumber-sumber ekonomi mereka, membelenggu mereka dalam hubungan dagang yang yang tidak seimbang, dan mengorganir kembali struktur-struktur ekonomi mereka untuk melayani kebutuhan-kebutuhan bangsa Eropa.

Selama operasi-operasi tersebut, emperium-emperium kolonial besar dibangun dan diperebutkan oleh bangsa-bangsa Spanyol, Portugis, Belanda, Prancis dan Inggris. Kekayaan yang dikeruk dari koloni-koloni ke metropolis-metropolis itu merupakan suatu faktor penting dalam perkembangan ekonomi pihak metropolis. Secara bertahap, unsur kekuatan surut ke belakang untuk digantikan oleh hubungan-hubungan ekonomi perdagangan dan penanaman modal, meski hal itu tak berarti melemahkan pola keterbelakangan atau menghentikan pemindahan kekayaan dari pinggiran ke pusat.

Dalam keadaan seperti itu, Inggris mendukung doktrin liberalisme ekonomi dan berhasil dengan baik untuk mengekspornya ke banyak negara lain, baik maju maupun terbelakang. Hal tersebut meneguhkan kembali hegemoni ekonomi Inggris dan menjadikan usaha mempertahankan penjajahan formal semakin tidak diperlukan lagi. Imperialisme dari kapitalisme muda nampaknya telah berlangsung lebih lama dari yang diperlukan.

Keadaan ini tidak berlangsung lama. Kekuatan-kekuatan kapitalis besar bermunculan untuk menantang supremasi Inggris. Prancis bangkit kembali, Jerman bersatu, Amerika mulai menyadari potensi yang besar, dan Jepang dengan sengaja membuang struktur feodalnya untuk menandingi bangsa-bangsa kapitalis yang maju dan sekaligus menangkis ancaman penaklukan dan penjajahan yang telah menelan Cina.

Di semua negara tersebut, pembentukan monopoli dengan cara seperti itu terus maju dengan pesat. Dan berbagai teknologi baru, dalam bidang metalurgi, produksi energi, minyak bumi, kimia dan sebagainya, memunculkan urgensi baru dalam penguasaan sumber-sumber bahan mentah dan pasar.

Karena itu, dekade penutup abad ke-19 menyaksikan kebangkitan suatu imperialisme baru. Negara-negara maju makin cenderung menggunakan kekuatan untuk menaklukan negara-negara jajahan, menyingkirkan lawan-lawannya, dan menduduki lebih dulu basis-basis dan wilayah yang memiliki nilai strategis yang potensial dan aktual. Militerisme menjadi semakin menentukan dalam semua aspek kehidupan kekuatan-kekuatan dominan.

Akibat dari situasi ini meletuslah Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang mempunyai konsekuensi besar bagi sistem kapitalis dunia, yaitu: perubahan besar pembagian koloni-koloni dan tanah-tanah jajahan yang menguntungkan negara-negara yang menang, tampilnya Amerika Serikat sebagai negara kapitalis yang terkuat secara ekonomi, revolusi sosialis dalam kekaisaran Rusia dengan mengusai seperenam dari orbit kapitalisme serta timbulnya pertumbuhan pesat pergerakan-pergerakan pembebasan nasional dibanyak negara terbelakang. Sejak itu kekuatan-kekuatan kapitalis dominan harus mampu mengatasi bukan hanya perselisihan yang merugikan mereka sendiri, tapi juga tantangan-tantangan dari sistem sosialis dan gerakan-gerakan kemerdekaan yang semakin militan di wilayah–wilayah jajahan mereka.

Perang Dunia Kedua dan akibatnya, secara tepat mencerminkan kenyataan ini. Amerika Serikat yang bertambah kaya setelah perang ketika kekuatan imperialis lain rusak hebat, tanpa diragukan lagi menjadi pemimpin dunia kapitalis. Dekolonisasi non-revolusioner mengakibatkan timbulkan neo-kolonialisme dari bentuknya yang klasik, dan dalam perkembangannya di banyak wilayah di dunia dari empirium lama ke dalam emperium kolonial Amerika yang baru.

Pengendoran yang merata dari berbagai kekuatan imperialis lain ini, mengakibatkan kokohnya dan kemauan untuk menerima hegemoni AS atas keseluruhan sistem kapitalis. Secara militer, ini berarti bahwa AS harus memikul bagian yang lebih besar dari beban “melindungi dunia bebas”[11], suatu fungsi yang telah melibatkan dua perang besar (Korea dan Vietnam) dan banyak tindakan militer atau polisi yang tersebar luas di berbagai bagian dunia.

Keadaan tersebut tidak berarti tanpa keuntungan-keuntungan ekonomi yang penting bagi negara-negara maju di Eropa dan Jepang. Mereka dapat bersaing secara efektif dengan AS dalam pasar dunia yang sebagian besar ditopang pembiayaan militer AS, tanpa harus bertindak secara militer. Korporasi-korporasi raksasa mereka telah memberi indikasi yang makin kuat bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk tetap bertahan dalam perlombaan dan bahkan untuk menembus AS sendiri.

Menurut Sweezy, tidak banyak diingkari, masa depan kapitalisme akan ditentukan di negara-negara maju[12]. Karenanya, melalui tindakan yang tepat dari pemerintah dalam kebijakan fiskal dan moneter serta perencanaan industri, kapitalisme dapat bekerja dengan baik di Uni Sovyet, Eropa Timur dan Jepang. Jika kebijakan yang sesuai dalam perdagangan, penanaman modal dan bantuan-bantuan diterapkan bagi negara-negara terbelakang, maka kapitalisme bukan hanya bertahan di negara-negara maju, namun juga memungkinkan negara-negara terbelakang memperoleh status sebagai negara maju. Hanya saja, jika hal itu tidak terlaksana dengan baik, maka revolusi sosialis proletar yang diprediksi Marxis klasik akan terjadi di negara-negara maju.

Pada perkembangannya, sepuluh tahun antara 1958 dan 1968, terlihat kemajuan signifikan terhadap perbandingan konsentrasi jumlah sektor industri. Pada beberapa sektor, seperti koran dan film, konsentrasi telah terjadi sebelum tahun 1950-an. Seperti diungkapkan Kenneth George, pada masa tersebut, rata-rata rasio konsentrasi industri meningkat dari 56.6 % ke 65.5 %. Meski, betatapapun, penggambaran rata-rata tersebut terdapat variasi signifikan[13].

Dalam sistem kapitalis kesempatan korporasi untuk bertahan dan tumbuh tergantung pada kemampuannya untuk mempertahankan dan meningkatkan keuntungan. Sejak awal 1960-an, telah tendensi yang konsisten terhadap penurunan keuntungan. Yang membuat perusahaan-perusahaan makin mengecil. Berhadapan dengan krisis keuntungan berkelanjutan, diversifikasi menawarkan satu strategi untuk mempertahankan keuntungan. Diversifikasi ini pada titik yang lebih jauh akan melahirkan multi konglomerasi.[14]


[1] Littlejohn, Stephen W., Theories Of Human Communication, Albuquerque New Mexico: Wadsworth Publishing Company,1998, hlm.327.

[2] Lihat, Berger, Peter L., Revolusi Kapitalis, Mohammad Oemar (Terj.), Jakarta: LP3ES, 1990, hlm.20-21.
[3] Ibid, hlm.21.
[4] Gidden, Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Soeheba Kramadibrata (Terj.), Jakarta: UI-Press,1985,hlm.57.
[5] Dillard, Dudley, Kapitalisme, dalam Dawam Rahardjo (ed.), Kapitalisme Dulu dan Sekarang, Jakarta:LP3ES, 1987, hlm.15.
[6] Op.cit.
[7] Ibid, hlm. 16.
[8] Ibid, hlm.18-20.
[9] Ibid, hlm 23.
[10] Sweezy, Paul M., Kapitalisme Moderen, dalam Dawam Rahardjo (ed.), Kapitalisme Dulu dan Sekarang, Jakarta: LP3ES, 1987, hlm.7.

[11] Ibid, hlm. 12.
[12] Ibid.
[13] Murdock, Graham dan Peter Golding, Capitalism, Communication and Classs Relation, dalam Curran, James, Micahel Gurevitch and Janet Woolacott (ed.), Mass Communication and Society, London: Edward Arnold, 1977, hlm. 23.
[14] Ibid, hlm. 24.

09 April 2009

Quick Count Menyesatkan?

Beberapa jam setelah pemungutan suara Pemilu 9 April hari ini ditutup dan mulai dihitung, beberapa televisi sudah menyiarkan perkembangan perhitungan cepat (quick count) hasil Pemilu. Persentasi siapa-siapa partai yang bertengger di puncak atas, silih berganti mengikuti masuknya data-data surveyor dari sekitar 2000-an TPS yang disebar di seluruh penjuru negeri.

Sistem quick count, sudah dimulai dalam pemilu legislatif pada 5 April 2004 lalu dan pemilihan presiden putara pertama, 5 Juli 2004 lalu. Pada pemilu legislatif, quick count LP3ES hanya memiliki selisih rata-rata di bawah satu persen dari hasil resmi yang disampaikan KPU. Kemudian pada pilpres putara pertama, quick count makin mantap dengan selisih hanya sekitar 0,5 persen saja.

Mengulangi suksesnya, LP3ES-NDI juga melakukan penghitungan cepat dari hasil penghitungan suara di 1.362 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia, atau 68% dari rencana 2.000 TPS yang digunakan sebagai sampel. TPS dipilih secara acak dan ketat untuk dapat mewakili “miniatur” Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Hasilnya, SBY-Kala menang. Dengan margin error tambah-kurang 1,1% pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil hampir serupa juga terjadi pada penghitungan cepat yang diadakan IMT, Pooling Center, Fortuga, Astaga.com dan SCTV. Dari 32 propinsi yang dihitung, SBY-Kalla memperoleh 60,21% dan Mega-Hasyim mendapat 39,79%. Adapun margin error adalah 2,5%.

Meski dianggap berhasil, pemilihan Gubernur Sumatera Selatan dan Jawa Timur membuat hasil quick count juga diragukan. Mungkinkah quick count salah dan berbeda? Karena berdasar teori sampling, hal itu mungkin saja terjadi seperti salah dalam mengambil sampel dari populasi, sehingga sampel tidak bisa mewakili populasi. Soal berbeda, apa yang didapat oleh Institute for Social Empowerment and Democracy yang bekerja sama dengan TVRI lima tahun lalu saat Pilpres menunjukkan hasil berbeda, dimana Mega-Hasyim menang tipis atas SBY-Kalla.

Beberapa persoalan terkait dengan quick count adalah, pertama, karena tentu saja masalah sample yang diambil. Dalam penelitian, sampel sangat menentukan, apakah dapat mengeneralisasi hasil yang didapat dari beberapa TPS diangkat ke tingkat nasional. Kedua, hasil yang dicapai dengan persentase, tidak menggambarkan hasil anggota legislatif nantinya. Mengingat, ada perbedaan perhitungan antara quick count, dengan hitung-hitungan bilangan pembagi pemilih. Sehingga, meski persentasi tinggi, belum tentu perwakilan di DPR juga akan sama. Apalagi ada perbedaan antara hasil DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.

Sehingga, meski quick count sudah membuktikan diri bahwa apa yang disampaikan hanya berselisih sedikit dengan penghitungan manual yang dilakukan, namun sesungguhnya, pemanfaatan quick count dapat menggiring opini publik yang tidak fair bagi peserta pemilu dalam proses penghitungan manual yang sedang berlangsung. Perubahan posisi perolehan suara akibat perbedaan hasil penghitungan antara quick count, berbasis TI yang juga dipakai KPU serta hasil manual sebagai hasil final, sangat kritis.

Karena itu, jika sekadar dijadikan hiburan “main tebak manggis” atau menjadikan politik sebagai budaya massa dan budaya hiburan layaknya infotainment, melihat hasil quick count boleh-boleh saja. Namun begitu, hendaknya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak mengklaim hitungannya yang paling benar. Sebab UU Pemilu kita sesungguhnya hanya mengakui penghitungan suara manual. Sehingga baiknya ditunggu saja KPU menyelesaikan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU.

07 April 2009

Beberapa Pendapat Saya Saat Pemilu 2004

Tak terasa, Hari Pemungutan Suara Pemilu hanya tinggal menghitung jam saja. Para caleg tentu dag dig dug menanti keputusan rakyat, apakah dirinya dipilih menjadi wakil mereka duduk di DPR Pusat, DPR Tk. I, DPRD Tk.II serta DPD.

Sebagai Pemilu pertama yang demokratis, Pemilu 2004 tentu menyimpan masalah dan kenangan. Setelah bongkar-bongkar arsip, ada beberapa pendapat saya yang cukup jadi pembicaraan mengenai Pemilu saat itu, terutama dengan diterobosnya sistem TI KPU, yaitu tulisan yang dimuat di Rakyat Merdeka dan Kompas. Silakan membaca, siapa tahu masih relevan dengan Pemilu saat ini.



Naif Salahkan TI untuk Tolak Pemilu

Rakyat Merdeka, 15.04.2004

MELIHAT kinerja komputerisasi penghitungan suara pemilu 2004 ini, sedikitnya 17 parpol menuntut KPU untuk menghentikan pelaksanaan penghitungan suara dengan memakai sistem elektronik seperti sekarang. Apa yang dituntut para parpol, memang ada benarnya.

Karena ketidaksiapan sistem teknologi informasi yang dipakai berikut perangkat pendukungnya, segala macam kecurigaan tidak bisa dihindari. Apalagi proses peng- hitungan suara sendiri belumlah selesai. Namun hal tersebut bukanlah alasan untuk menyatakan pemilu tidak sah maupun perlu diulang.

Adalah sangat naif jika permasalahan yang terjadi dalam penghitungan suara elektronik dijadikan tameng untuk menolak hasil pemilu. Memang dalam proses pemasukkan data ke komputer tidak disaksikan pihak-pihak yang berkompeten terhadap hasil penghitungan suara, namun secara tegas UU No 12/2003 menyatakan bahwa data elektronik bukanlah penghitungan yang dipakai dalam penentuan anggota DPR, DPRD dan DPD. Data yang sah tetap saja yang dihitung secara manual dan tersertifikasi hingga sampai KPUD II.

Menurut UU No 12/2003 pula, pasal 104 menyatakan bahwa pengumuman penetapan hasil pemilu dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh hari) setelah pemungutan suara. Dan pada pasal 102 juga dinyatakan bahwa jika ada keberatan terhadap rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak menghalangi proses pelaksanaan pemilu.

Untuk sisi teknologi informasi, ke depannya mutlak diperlukan audit sistem teknologi informasi agar dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 5 Juli mendatang sistem ini dapat optimal pemanfaatannya dengan mengantarkan data penghitungan yang cepat dan presisi. Jika tidak begitu, sungguh sia-sia dana Rp 200 miliar yang ternyata hanya berfungsi sebagai kalkulator, dan itu pun hitungannya salah.

Sebaiknya, memang tayangan penghitungan suara yang menyesatkan karena bukan berdasar daerah pemilihan dihentikan saja. Sebab dimungkinkan terjadinya perbedaan signifikan antara penghitungan manual dan elektronik, yang memungkinkan terjadi perselisihan antarkomponen bangsa. Namun, karena biaya yang dikeluarkan untuk pemilu juga tidak sedikit, effort masyarakat yang dengan sukarela datang ke TPS-TPS serta membantu proses jalannya pemilu dengan dana swadaya untuk bisa mendirikan tenda, sangat tidak menghargai jerih payah tersebut jika kemudian pemilu diminta untuk diulang.

Untuk para tokoh-tokoh bangsa yang berniat mendesak pemilu ulang, apalagi dengan alasan penghitungan elektronik, sebaiknya berpikir kembali tentang keinginan tersebut. Teknologi informasi tetaplah hanya sebagai alat, bukan penentu menang atau kalah dalam pemilu. Dan baiknya dinantikan saja hasil perhitungan secara manual, baru kemudian jika dirasakan ada yang tidak beres dapat meminta untuk menghitung kembali surat suara, dan bukannya pemilunya.
Terimalah dengan lapang dada kekalahan yang didapat untuk memperbaikinya di pemilu 2009 mendatang. Ingat, kata banyak orang besar, demokratis tidaknya seseorang bukan hanya dilihat ketika orang itu berkuasa, namun juga ketika kalah dalam perebutan kekuasaan.


---------------------------------------------------------------------------------------

TNP, "Cracker" dan Tindakan Hukum
Kompas, 30 April 2004

Pihak kepolisian, yang dalam hal ini satuan Cyber Crime Direktorat Reserse Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya, telah menangkap Dani Firmansyah, yang diduga kuat sebagai pelaku cracking (bukan sekadar hacking) situs Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beralamat di http://tnp.kpu.go.id. Seperti diketahui, pada 17 April 2004 lalu, tampilan nama-nama partai dalam situs tersebut menjadi tidak biasa dan lucu seperti Partai Jambu, Partai Kolor Ijo, Partai Wirosableng, Partai Kelereng, Partai si Yoyo, Partai Air Minum Kemasan Botol, Partai Dukun Beranak maupun Partai Mbah Jambon.

Penangkapan ini cukup menarik. Selain karena memang apa yang di-crack terkait dengan proses penghitungan suara pemilu yang mempunyai magnitude besar, berulang kali ditegaskan bahwa sistem teknologi informasi KPU yang menyedot dana sekitar Rp 200 miliar mempunyai keamanan berlapis. Dan uniknya, jika ada tindakan hukum terkait dengan perbuatan tersangka, hingga sekarang, pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Hal itu dikarenakan kita belum mempunyai UU yang secara spesifik mengatur kejahatan berbasis teknologi informasi.


* * *
Satu hal yang lebih dulu patut dikedepankan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam penghitungan suara pemilu untuk DPR, DPRD dan DPD, adalah gagalnya sistem ini untuk menampilkan 80 persen suara pemilih Pemilu 2004 dalam waktu sembilan jam seperti yang digembar-gemborkan. Bahkan yang ada, data yang ditampilkan dari TNP tertatih-tatih, sempat tiba-tiba jumlah suara yang masuk menjadi 70 juta, beberapa kali sistem "reset" ke posisi perolehan suara "0" dan sempat terhenti beberapa jam. Semua itu menandakan bahwa sistem elektronik yang dipakai KPU tidak begitu siap menunjang perhelatan akbar yang melibatkan 585.812 TPS.

Awal dari caruk-marutnya pemanfaatan teknologi informasi sebagai pendukung penghitungan suara telah dimulai sejak penentuan topologi jaringan, perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang akan dipakai serta rekrutmen mereka yang menjadi "the man behind the gun". Sebab pemanfaatan teknologi informasi sesungguhnya merupakan kesatuan yang integral. Kelemahan pada satu titik memberikan implikasi yang tidak sedikit pada hasil keluaran (output).

Seperti dalam hal topologi jaringan. Dengan sistem sentralistik yang digunakan KPU, itu artinya data center KPU akan menanggung beban yang demikian berat dan rentan akan gangguan. Sebab semua data dikirimkan, diolah dan disimpan di titik yang sama. Sistem seperti ini secara keamanan juga begitu rentan dari serangan dari orang-orang "iseng". Berbeda dengan sistem jaringan yang terdistribusi, dimana bebannya terbagi, penghitungan lebih mudah dan jika ada gangguan keamanan, maka sistem tidak secara keseluruhan terganggu.

Kemungkinan adanya serangan hacker maupun cracker, telah diprediksi jauh hari sebelum sistem TI KPU mulai dipakai. Lewat media ini pula (15/3/2004), saya telah mengingatkan agar KPU merangkul semua komponen bangsa, baik yang berpotensi maupun tidak, melancarkan serangan ke sistem informasi pemilu. Pernyataan kontraproduktif yang membanggakan kehandalan dan begitu amannya sistem yang dipakai, terbukti kemudian justru membangunkan "macan tidur" yang tertantang pernyataan "dagang" KPU.


* * *
Siapa pun yang telah ditangkap pihak kepolisian berkaitan dengan pengubahan tampilan nama partai-partai di situs TNP, hendaknya diperlakukan dengan baik dan menjunjung asas praduga tak bersalah. Apalagi, kejahatan hacking maupun cracking tidaklah dapat disamakan dengan kejahatan umum biasa. Jika pihak kepolisian mempunyai cukup bukti untuk menyeretnya ke pengadilan, perlu diperhatikan apakah angka-angka digital "1" dan "0" dapat dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan. Pasal 184 KUHAP hingga kini belum berubah, belum mengakui data elektronik sebagai alat bukti di pengadilan.

Masuknya cracker dalam sistem penghitungan suara pemilu, menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dalam proses penghitungan suara mengandung kelemahan yang krusial. Karenanya, perlu diwaspadai kemungkinan adanya pengkambinghitaman terhadap pihak-pihak tertentu yang menyebabkan persoalan 'asli' yaitu ketidaksiapan teknologi informasi yang dipakai KPU, yang seharusnya menjadi tanggung jawab KPU beralih ke pihak lain dengan tudingan melakukan penjebolan sistem TI KPU.

Sebab berbeda dengan carder yang sebut-sebut harus diperangi karena tergolong melakukan pencurian, di banyak negara, hacker ("white cracker") begitu mendapat tempat yang khusus dan merupakan aset bangsa. Sepert Jepang, Kementrian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI) sampai mengadakan olimpiade yang bertujuan mencari dan mendidik bibit muda yang memiliki teknik dan pengetahuan hacking komputer. Pemenang lomba pun diberi hadiah berupa kesempatan belajar ke Amerika Serikat.


* * *
Ketika di awal kasus pembobolan situs TNP merebak, ada wacana untuk menyeret pelaku jika kemudian tertangkap dengan pasal-pasal Antiterorisme. Namun kemudian, pihak kepolisian membidik tersangka dengan UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Padal 22, 38 dan 50. Ini penting untuk dikritisi. Sebab, terminologi telekomunikasi seperti dinyatakan pasal 1 ayat (1) dalam undang-undang tersebut lebih mengarah pada penyelenggaraan pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari informasi melalui apa yang dinamakan jaringan.

Memang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 21 tahun 2001 disebutkan bahwa internet dianggap sebuah sebuah jasa telekomunikasi, namun ini tetap berada di luar konteks hacking maupun cracking. Hal itu dikarenakan aturan-aturan tersebut ketinggalan jaman dan belum mengikuti konvergensi teknologi informasi sebagai perkawinan dari telekomunikasi, media dan informatika.

Sehingga penggunaan pasal 22 dan 38 serta sanksi yang ada pada pasal 50, tetap dapat diperdebatkan bahkan kalau boleh dibilang tidak cocok. Apa yang diatur di sana hanyalah sebatas penyelenggaraan jaringan dan jasa transmisi data, bukan apa dan bagaimana informasi elektronik dan sanksi-sanksi apa yang dijatuhkan jika semisal terjadi manipulasi informasi.

Persoalannya tidak akan demikian rumit jika kita mempunyai undang-undang yang mengatur pemanfaatan teknologi informasi. Sayangnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hingga kini masih digodok pemerintah. Sehingga, masih diperlukan waktu agar RUU ini bisa disampaikan dan dibahas di DPR kemudian diundangkan. Karenanya, sebelum RUU ITE tersebut menjadi UU, untuk sementara waktu, dengan amat menyesal dan suka maupun tidak pelaku hacking maupun cracking masih berada di luar tatanan hukum kita
.

04 April 2009

Ilmu Pengetahuan, Prilaku Manusia dan Komunikasi

Untuk menarik hubungan antara ilmu pengetahuan dan prilaku manusia, ada empat pendekatan yang dilakukan para ilmuwan untuk itu. Pertama, hubungan sebab akibat (causality). Pada hubungan ini, faktor yang diberikan dipengaruhi faktor lain meski melalui intervening variabel. Kedua, hubungan yang melihat hubungan sebab akibat (causal relationship). Perubahan yang terjadi pada beberapa variabel pada kondisi tertentu menghasilkan efek yang sama pada variabel lain. Ketiga, metode ilmiah (scientific method). Pencarian kebenaran melalui akurasi observasi dan interpretasi dari fakta. Dan keempat, hipotesa (hypothesis). Pengujian prediksi untuk beberapa peristiwa.

Hanya saja, perlu diingat bahwa berbagai cara menciptakan pengetahuan, masing-masing memiliki kekuatan dan batasnya masing-masing. Seperti, meski selama beberapa abad para peneliti sosial telah mencoba menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mempelajari prilaku manusia dan masyarakat dan esensi logika dari metode ilmiah ini begitu mudah, namun dalam aplikasi pada ilmu-ilmu sosial menjadi lebih rumit. Karenanya, metode ilmiah ini menjadi tugas yang berat bagi para peneliti sosial.

Ada empat alasan mengapa implementasi metode ini begitu sulit. Pertama, sebagian besar bentuk ketertarikan dan kepentingan prilaku manusia sulit untuk diukur. Dicontohkan, bagaimana mudahnya mengukur derajat titik didih air, berat atom. Namun, begitu sulit, ketika dihadapkan pada pengukuran hal-hal yang terkait dengan prilaku manusia seperti agresivitas ataupun sikap.
Kedua, prilaku manusia sangat kompleks. Karenanya, prilaku manusia tidak bisa hanya dilihat dari penjelasan hubungan sebab akibat. Berbeda dengan dengan hal lain yang disebabkan oleh satu faktor saja, yang dengan mudah pula dikontrol, sangat sulit untuk mengisolasikan satu faktor saja yang berkaitan dengan penyebab aksi prilaku manusia.

Ketiga, manusia mempunyai tujuan dan mampu merefleksikan dirinya sendiri. Manusia merespons sesuatu yang diharapkan akan terjadi. Secara konstan pula merevisi tujuan dan menentukan potensi apakah tujuan tersebut berhasil atau gagal. Karenanya, manusia berpikir tentang berbuat atau tidak berbuat dengan merefleksikan nilai, kepercayaan dan sikap.

Dan keempat, dugaan sederhana mengenai hubungan sebab akibat terkadang menjadi masalah ketika diaplikasikan pada diri kita sendiri. Bahkan terkadang kita marah ketika pernyataan sebab akibat diaplikasikan pada diri kita. Seperti tidak butuhnya kita akan orang lain untuk menilai diri kita ataupun dalam kaitannya dengan media, meski terbukti bahwa banyak orang dipengaruhi oleh media, kita akan menolak pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa kita tidak dapat dengan mudahnya dipengaruhi media.

Alasan lain yang membuat ilmuwan sosial tidak mendapat penghormatan sebagaimana yang didapat para ilmuwan di bidang eksakta adalah karena alam dari ilmu sosial itu sendiri. Menurut Kenneth Bailey, ilmuwan sosial saat ini baik yang mengaku diri mereka ilmuwan maupun mereka yang melakukan pendekatan lebih subyektif dalam mempelajari masyarakat, mereka lebih melihat diri mereka sendiri sebagai humanis daripada ilmuwan.

Untuk memahami bagaimana fungsi komunikasi dalam dunia yang begitu kompleks ini, Stephen Littlejohn mendefinisikan teori sebagai representasi terbaik dari subyek yang sedang dipelajari berdasar pengamatan sistematis peneliti. Sedang Denis McQuail, mendefinisikan teori sebagai seperangkat gagasan dari bermacam keadaan dan asli yang mungkin menjelaskan atau menginterpretasikan beberapa fenomena. Littlejohn dan McQuail belakangan menjawab kenyataan penting masing-masing mengenai komunikasi dan komunikasi massa.

McQuail mengurai empat macam teori komunikasi massa. Pertama, teori ilmiah sosial (social scientific theory). Teori ini berdasar pada penelitian empiris. Bentuk teori ini mencakup lingkup, kegiatan dan akibat dari komunikasi massa. Hipotesa diuji dengan membuat obervasi obyektif dan sistematik berdasar media massa, penggunaan media dan pengaruh media.

Kedua, teori normatif (normative theory). Teori ini menerangkan bagaimana media yang ideal seharusnya beroperasi dalam sistem spesifik dari nilai-nilai sosial.

Ketiga, teori operasional (operational theory). Teori ini sejenis dengan teori normatif namun cenderung bersifat praktis. Teori ini tidak hanya melibatkan bagaimana sebaiknya media berjalan tapi juga bagaimana media tersebut dijalankan untuk mencapai tujuan tertentu. Teori mengenai periklanan dan prilaku konsumen dapat dengan teori ini.

Dan keempat, teori tiap hari (everyday theory). Teori ini bisa disebut juga teori pribadi (personal theory) karena merupakan ilmu dan gagasan yang dipunyai tiap orang berdasar minat terhadap dunia komunikasi.

Banyak yang berpendapat bahwa cara paling baik menteorikan media adalah dengan teori kritis. Teori ini khususnya memberi perhatian pada soal ketidaksamaan dan penindasan. Menurut Littlejohn, teori kritis memberi perhatian pada konflik kepentingan dalam masyarakat dan cara berkomunikasi dominasi abadi dari kelompok di atas kelompok lainnya. Pendapat Littlejohn ditanggapi Kurt Lang dengan mengatakan bahwa kita semua ini kritis karenanya untuk memberi arti lebih pada pengetahuan bukanlah menjadi monopoli aliran tertentu saja.

Teori komunikasi massa merupakan teori-teori komunikasi massa, yang masing-masing lebih atau kurangnya, terkait dengan media yang diberikan, pemirsa, waktu, kondisi dan pembuat teori. Namun begitu, janganlah dilihat hal tersebut sebagai masalah. Sebab teori komunikasi massa dapat dipersonalisasikan dan dinamis.

Salah satu pelajaran penting adalah bahwa teori komunikasi massa bukanlah sekadar penjelasan yang terperinci dari fakta dan realita. Teori-teori berbeda dalam bentuk dan perspektif filosofis. Aliran-aliran teori berguna untuk memahami persamaan dan perbedaan antara teori-teori.

Hanya saja, penjabaran macam-macam teori komunikasi massa lebih ditekankan pada uraian McQuail. Sehingga, tidak terlihat jelas perbedaan pengkategorian teori-teori komunikasi massa dari peneliti lain. Hal itu berguna untuk melihat persamaan dan perbedaan pengklasifikasian teori-teori. Selain teori-teori yang dicontohkan tidak begitu jelas, tidak ditemukan pula evaluasi terhadap teori-teori tersebut. Sebab ketika kita menemukan teori-teori komunikasi, ada daftar evaluasi terhadap kesempurnaan teori seperti: cakupan teoritis, kelayakan, nilai heuristik, validitas, simplisitas logis dan keterbukaan teori-teori tersebut terhadap paradigma alternatif. Pembahasan mengenai teori kritis dalam terasa begitu menyederhanakan peran teori ini. Sebab teori ini, dengan mempertahankan pendapat bahwa media merupakan kekuatan yang besar bagi kepentingan-kepentingan dominan dalam masyarakat, merupakan satu cabang penelitian mengenai dampak media yang paling penting. Dalam tesis hegemoni media disebutkan, media merupakan instrumen dari ideologi yang dominan dan dengan mewakili kepentingan mereka yang memang sudah memiliki kekuasaan berarti mengalahkan kepentingan kelompok yang kecil.

Pernyataan yang mengatakan bahwa komunikasi massa dapat dipersonalisasikan agaknya perlu dikritisi. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan dengan akibat dari pengaruh media yang merupakan sesuatu yang kompleks. Sebab komunikasi massa merupakan produk dari interaksi antar berbagai struktur masyarakat, kebutuhan, keinginan dan ketergantungan individu yang mustahil dapat disederhanakan sedemikian rupa. Kecuali, hal itu memang hanya untuk menarik mereka yang tidak begitu menyukai pembahasan ini agar tertarik dan tidak menganggap teori-teori komunikasi massa sebagai suatu hal yang menakutkan.

01 April 2009

Menolak Politisasi Blogger

Barisan bloger kian mendapatkan tempat saja. Semalam Capres Prabowo bertemu dengan para blogger untuk, tentu saja, mengenalkan dirinya, programnya dan muaranya adalah dukungan blooger dalam proses pen-capres-annya. Apa yang dilakukan Prabowo, bukan merupakan Capres pertama yang menggaet blogger. Beberapa waktu itu, Wapres JK juga mengajak para blogger bertemu, bahkan tokoh blogger sebagaimana dikutip dari Okezone.com, ikut dalam aktivitas kampanye JK.

Tiap aktivitas punya pilihan-pilihan, begitu juga dengan blogger. Wajar jika tokoh-tokoh politik menyeret blogger dalam barisan pemberi dukungan, mengingat potensi blogger cukup besar. Jika pengguna internet di Indonesia menurut catatan APJII sekitar 30 juta, tentu angka ini bukan angka sembarangan jika dimasukkan dalam kalkulasi hitungan dukungan politik. Namun, tentu upaya tokoh politik tidak akan berarti apa-apa jika para blogger menyambut dengan dingin. Yang terjadi, beberapa blogger (karena tidak semua blogger tertarik dan mau ditarik), menyambut ajakan tersebut. Tentu dengan beragam motivasi.

Perkembangan penggunaan media IT sebagai sarana kampanye dan menarik dukungan, memang tuntutan jaman. Namun sebagai blogger, saya menyayangkan jika para blogger atau atas nama blogger Indonesia, kemudian ditarik ke wilayah politik. Nge-blog adalah sebuah hobi, kesenangan, sarana berbagi cerita, ilmu maupun sekadar iseng-iseng mengisi waktu. Jika memang ada tulisan blog mengenai politik silakan-silakan saja, namun tidak dengan mengkomunitaskan blogger dengan partai politik, apalagi jika kemudian mengiming-imingi komunitas blog tertentu mencontreng partai tertentu.

Kembalikan Blogger ke khittah-nya, dan tolak politisasi blogger
.