Setelah beberapa hari lalu digelar Debat Capres untuk Pemilihan Presiden Putaran I 8 Juli mendatang, malam ini giliran para pendamping, calon wakil presiden, yang dipertemukan dalam Debat Cawapres. Hadir tiga kandidat cawapres : Prabowo Subianto, Boediono dan Wiranto. Acara dimoderatori oleh Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Komaruddin Hidayat. Entah bagaimana, Komaruddin sebelumnya juga adalah Rektor Universitas Paramadina, sama seperti moderator Debat Capres yang lalu, Anis Baswedan.
Debat ini cukup menarik, mengingat selamat ini Cawapres selalu digandengkan dengan Capres, atau diistilahkan dengan satu paket, sehingga jarang cawapres diuji kemampuan dalam menjawab masalah-masalah bangsa, kemampuan berbicara, dan segala macam kemampuan lainnya, secara sendiri.
Terlepas apakah Debat Cawapres ini akan mempengaruhi pilihan rakyat dalam Pilpres nanti atau tidak, mengingat figur Capres yang tentu akan lebih kuat, ada beberapa catatan yang bisa diambil dari komunikasi politik yang disampaikan maupun terlihat dari para kandidat Cawapres:
1. Penampilan. Penampilan ketiga kandidat cawapres hampir senada, dengan peci hitam. Entah, apakah memang untuk mencerminkan citra seorang muslim atau seperti apa, sesungguhnya yang perlu diingat adalah jika sebagai aksesoris, tidak semua orang cocok dan pas menggunakan peci. Prabowo dan Boediono memakai batik, sementara Wiranto memakai baju kemeja panjang. Catatan yang menarik, batik yang dipakai Prabowo sudah terlalu sering dipakai sehingga hal itu bisa diterjemahkan bahwa Prabowo ingin menunjukkan continuity (ini biasa dilakukan agar rakyat/publik selalu ingat dirinya dalam ”bentuk” yang sama di berbagai forum, atau Prabowo tidak punya corak batik lainnya, tentu hanya Prabowo yang bisa menjawab. Jika di Amerika Serikat Clinton sebelum jadi Presiden dipermak agar tampak lebih tua dengan mengecat rambutnya jadi putih, para cawapres nampaknya perlu mempermak dirinya agar tampak lebih segar dan muda, sebab betapapun mayoritas pemilih Pemilu tetaplah orang-orang/generasi muda.
2. Secara materi, pertanyaan dalam topik ”Membangun Jati Diri Bangsa” merupakan topik yang terbuka sehingga tiap Cawapres bisa menerjemahkan menurut pengalaman masing-masing. Sehingga, beda saat debat Capres, walalupun Boediono sebagai orang pemerintahan, tidak langsung itu berarti Boediono diuntungkan, apalagi Prabowo maupun Wiranto merupakan orang dengan didikan militer kental, sehingga topik ini hanya merupakan pengejawantahan sikap dan pengalaman yang didapat selama ini, bahkan bisa jadi memeprtegas iklan-iklan kampanye mereka, seperti iklan Prabowo yang mengusung masalah utang, kemiskinan, kemandirian bangsa bahkan menjadi ”Macan Asia”.
3. Isi dan Cara Menjawab Pertanyaan. Dari cara menjawab, Wiranto terkesan mengusai panggung dan lebih santai, bahkan diselingi dengan menyanyi. Boediono secara makro mengetahui persoalan yang diajukan, namun memang terlihat beberapa hal berada di luar kemampuannya menjawab, sehingga yang terjawab adalah hal-hal yang normatif saja. Pembawaan Boediono yang begitu tenang dan kalem, memang tidak bisa diharapkan Boediono akan bicara meledak-ledak. Namun, jawaban Boediono yang terlalu berhati-hati juga sangat kentara seklai, sehingga terasa tidak lepas. Mungkin jika topiknya soal ekonomi Boediono akan bicara hal-hal yang lebih dalam dan strategis, daripada seperti saat ini yang hanya kulit-kulit luar-nya saja. Prabowo tampil dengan semangat, namun nampaknya kurang “galak” dan ”menggebu-gebu” seperti yang disuarakannya dalam iklan-iklan kampanye-nya.
4. Konsistensi Program. Semua kandidat sangat konsisten menonjolkan dan mengkomunikasikan pesan/motto kampanyenya dalam Debat Cawapres ini. Namun mungkin yang terjadi, agak sulit juga menghubungkan isu-isu yang diharus ditanggapi Cawapres dengan motto kampanye nya, kecuali saat prolog dan epilog saja.
Adapun secara umum, ada beberapa catatan mengenai debat Cawapres ini:
1. Posisi moderator agak sedikit tidak sentral, berbeda saat Debat Cpares sebelumnya, sehingga bintangnya tetap adalah para kandidat Cawapres. Namun begitu, tetap perlu dipertimbangkan bahwa baiknya menggunakan sistem panelis, sehingga nilai ke-”bintang”-an capres/cawapres tetap bersinar, sebab perhatian publik akan ke capres bukan moderator tunggal karena sistem panelis.
2. Acara Debat Cawapres ini terasa hilang ruh-nya saat harus terpotong dengan iklan-iklan, sehingga yang terjadi seperti parade iklan yang diselingi Debat Cawapres. Baiknya, iklan disajikan di awal dan akhir debat saja, sementara acaranya Debat nya sendiri harus lah utuh sebagai satu kesatuan, sebagaimana debat sesungguhnya yang terjadi bisa off air. Ini cukup serius.
3. Meski hampir sama dengan saat Debat Capres, debat yang sesungguhnya belum terjadi, meski ini yang dikatakan tim kampanye para Capres/Cawapres sebagai debat ala Timur. Perbedaan pendapat sudah mulai dimunculkan, meski itu kurang tajam. Agar tajam, sesungguhnya moderator bisa masuk untuk lebih mendalam pendapat dan memperdebatkannya dengan pendapat kandidat lainnya. Yang justru ramai adalah tayangan seperti di TVOne, dimana terjadi perdebatan di antara Tim Kampanye pasangan Capres/Cawapres, plus dengan para pengamat politik—yang nampaknya juga “fans” bahkan nampak sekali jadi “pembela” pasangan Capres/Cawapres. Untuk kasus ini, saya iseng-iseng bertanya ke putri saya, suka yang mana acara debatnya, eh benar, dia pilih perdebatan yang terjadi antara Tim Kampanye pasangan Capres/Cawapres, plus dengan para pengamat politik. “Lebih hidup dan tidak bikin boring,” katanya hehe anak kecil saja tahu ya... (herusutadi@hotmail.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar