13 Juni 2009

Belajar ICT dari India

Sebagai Katalis Transformasi dan Tempat Complain
Berbicara mengenai India, memang sungguh menarik. Pasalnya, meski kemiskinan masih merajalela di mana-mana karena jumlah penduduknya yang besar, namun dalam hal potensi sektor teknologi informasi, India termasuk negara yang kuat. Sebab seperti diketahui, selain terkenal dengan Taj Mahal-nya, India juga dikenal sebagai negara pengembangan perangkat lunak (software) dan sumber daya manusia asal India dipakai bahkan menduduki posisi kunci di perusahaan-perusahaan terdepan di dunia yang berbisnis di sektor teknologi informasi.
Dengan modal itu, tak mengherankan jika India menunjukkan kecenderungan pemanfaatan e-government yang meningkat secara signifikan, sedikitnya 15 persen per tahun. Karenanya, ada nada optimis bahwa India akan menjadi salah satu negara terdepan di dunia dalam hal pemanfaatan e-government. Hal itu telah dimulainya di tingkat regional.

Orang Muda dan Terdidik
Berdasar penelitian yang dilakukan market information group, TNS, yang menarik dari penggunaan e-government di India adalah penggunanya yang mayoritas berusia 35-44 tahun (46%) dan 25-34 tahun (45%). Termasuk 35% berusia di bawah 25 tahun. Sehingga, walaupun pada kenyataannya e-government dimanfaatkan untuk segala usia, namun yang terbanyak adalah orang muda.
Dari penelitian yang sama didapat pula bahwa pengguna internet pada rentang usia 25-34 dan 35-44 itulah yang lebih banyak memanfaatkan segala jenis layanan e-government yang disediakan dibanding rentang usia lainnya. Dan pengguna layanan e-government berjenis kelamin pria lebih banyak dibanding perempuan. Sedang berdasar jenjang pendidikan, mayoritas yang memanfaatkan e-government adalah orang-orang terdidik, dimana pengguna tertinggi berlatar belakang pendidikan tinggi dan pascasarjana.
Adapun jika melihat jenis pemanfaatannya, di India para pengguna mengakses layanan pemerintahan secara elektronik dengan berbagai keperluan. Di antaranya adalah untuk mencari informasi dan downloading. Pencarian informasi di sini termasuk mendapatkan informasi dari situs-situs pemerintahan dan hasil cetakan formulir yang dipunyai kemudian mengirimkannya lewat pos maupun mesin faksimili. Penggunaan lainnya adalah memberikan informasi pribadi maupun keluarga untuk disampaikan ke pemerintah seperti formulir pajak yang sudah diisi, aplikasi layanan-layanan maupun perubahan alamat.
Kemudian, e-government juga untuk dimanfaatkan untuk membayar tagihan-tagihan yang terkait dengan pemerintahan serta melibatkan penggunaan kartu kredit atau rekening bank semisal untuk membayar surat ijin mengemudi, pembayaran sampah maupun pelanggaran lalu lintas. Tak ketinggalan, e-government juga digunakan masyarakat di sana untuk mengekspresikan serta berpartisipasi dalam konsultasi antara komunitas dengan pemerintah.

Transformasi dan Complain
Di India, e-government berperan sebagai katalis transformasi di India. Hal itu bisa dilihat di Kerala, kota kecil di Barat Daya India, yang berdiri pada tahun 1956. Pemerintah Daerah Kerala dan Pemerintah Pusat begitu mendukung Kerala dengan teknologi, finansial, struktur bisnis model dan proses reengineering untuk mengimplementasikan proyek-proyek e-government yang spesifik.
Jadilah Kerala kini menikmati teledensitas telepon yang paling tinggi di India. Semua sentral telepon telah berganti dari analog ke digital. Kerala juga mempunyai dua gerbang kabel bawah laut dengan kapasitas bandwidth 10 giga bits per detik, yang menangani sekitar 70 persen dari trafik komunikasi data nasional. Kerala juga berhasil mengatasi kegagapan masyarakat akan teknologi informasi dan menelurkan sekitar 4000 insinyur tiap tahunnya.
Dengan menyiapkan masyarakat, prioritas dan sumberdaya yang ada, serta kemauan politik, e-government di Kerala dapat mempromosikan pembanguan ekonomi dan good governance untuk membantu warga dan kalangan bisnis menemukan kesempatan-kesempatan baru. E-government merupakan katalis transformasi dari birokrasi era industri ke era informasi.
Bayangkan, tanpa e-government, maka banyak proses bisnis membutuhkan jalan berliku dan dilakukan secara manual. Tak heran, dengan cara seperti itu, dibutuhkan waktu 1-10 tahun untuk mendapatkan persetujuan. Tentu saja, jika hal itu didiamkan berlarut-larut, maka Kerala akan ditinggal para investor yang lebih memilih lingkungan bisnis yang lebih atraktif dan efisien dalam pengurusan perijinan dan segala macamnya. Sebab dalam ekonomi global, pemerintah lokal dan nasional secara aktif berkompetisi untuk mendapatkan investasi, pekerjaan dan juga pajak.
Peran strategis lain dari pengembangan e-government di India adalah untuk transparansi dan melawan korupsi. Untuk peran tersebut, implementasi bukti nyata dapat dilihat dengan apa yang terjadi di Karnataka dan Gujarat yang masing-masing mengimplementasikan komputerisasi data pertanahan dan komputerasi pos-pos pengecekan.
Dengan proyek berlabel “Bhoomi” sebagai layanan online data pertanahan di Karnataka memperlihatkan bagaimana database pemerintahan begitu terbuka yang memungkinkan pemberdayaan warga masyarakat dari keputusan yang sewenang-wenang. Di Karnataka, ada sekitar 20 juta data yang dimiliki 6,7 juta petani yang telah terkomputeriasi.
Sebelumnya, petani harus mencari akuntan pedesaan yang sulit ditemui karena tugasnya yang terus berkelilin dari satu desa ke desa lain, untuk mendapatkan salinan dokumen yang dibutuhkan untuk banyak keperluan semisal pinjaman bank. Seitdaknya, dibutuhkan waktu 3-30 hari untuk mendapatkan dokumen tersebut dengan biaya 100-2000 Rupee, tergantung kepentingan dokumen bagi petani dan ukuran tanah. Sementara untuk perubahan data dibutuhkan waktu 1-2 tahun memperbaharui dokumen yang dimaksud.
Melalui proyek Bhoomi, kopi salinan dari dokumen bisa didapatkan secara online dengan memasukkan nama pemilik atau nomor persil pada kios-kios komputer di 180 kantor badan pertanahan dengan biaya hanya 15 Rupee. Para petani juga dapat melihat aplikasi mutasi tanah melalui komputer layar sentuh yang tersedia. Selain itu, secara bertahap, database pertanahan juga mulai di-upload sehingga dapat dilihat melalui situs internet.
Dari evaluasi yang dilakukan tim independen, didapat hasil bahwa program Bhoomi telah meningkatkan layanan pemerintahan dan menekan korupsi. Selama periode 12 bulan, 5,5 juta petani telah membayar 15 Rupee sehingga menjadi pemasukan bagi negara sekitar 82,5 juta Rupee atau sekitar Rp. 15 miliar.
Gujarat juga merasakan manfaat pengembangan e-government dengan menghadirkan komputerisasi di sepuluh pos pengecekan antarkota menuju Kota Gujarat. Tujuan pengecekan adalah menginspeksi beban muatan truk-truk yang masuk dan validitas dokumen. Jika dibandingkan, dengan sistem manual hanya didapatkan dua persen truk yang diketahui kelebihan muatan, namun dengan komputerisasi termasuk menggunakan jembatan timbang elektronik, 100 % truk-truk yang kelebihan dapat dikenai penalti.
Dengan mengurangi korupsi di jembatan timbang tersebut, denda yang didapat pun secara signifikan meningkat. Selama tiga tahun uang denda yang didapat hingga mencapai 50 juta Dolar Amerika Serikat. Hanya saja, sayangnya, kemudian pimpinan proyek ini dipindahkan, dan operator swasta yang menjalankan sistem tersebut angkat kaki karena tidak diperpanjangnya kontrak akibat perselisihan pembayaran. Dan karena korupsi tidak secara murni hanya menyangkut administrasi dan satu sisi saja, pendapatan memang tetap pada angka 50 juta dolar Amerika Serikat, namun angka itu didapat saat sistem tidak bekerja. Disebut-sebut sesungguhnya angka itu hanyalah 10% dari denda yang berhasil dikumpulkan.
E-government di India juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat complain jika ada sesuatu yang tidak disukai masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan dibuatkan situs khusus untuk itu complaints.mdconline.gov.id yang diluncurkan Maret lalu. Aplikasi yang dibangun Banglore-based eGovernments Foundation didesain untuk untuk menerima keluhan dari warga masyarakat pada beberapa layanan yang disediakan Municipal Corporation of Delhi (MDC), dan juga menelusuri bagaimana pelayan publik merespons keluhan yang disampaikan.

Rencana 5 Tahun
Dalam pengembangan ICT, Pemerintah India mempunyai rencana besar dengan menyiapkan rencana pembangunan lima tahun (2002-2005). Termasuk dalam rencana tersebut adalah membangun portal sebagai one stop destination untuk akses informasi publik dan membuat database warga negara dan menerbitkan smart card, yang memungkinkan berfungsi sebagai kartu multifungsi: untuk membayar tagihan, pemilu elektronik dan pembuatan ataupun perpanjangan passport. Dana yang dialokasikan untuk proyek database itu sendiri mencapai 130 juta Dolar Amerika Serikat.
Namun begitu, konsep-konsep tersebut sebagian kecil sudah terealisasikan. Seperti di Kota Andra Pradesh, sebelah Selatan India, yang telah berubah menjadi zona high-tech. Pemerintah Daerah di sana selama tiga tahun menyiap infrastruktur teknologi informasi yang dibutuhkan untuk kemudian membangun “i-community”. Dengan memberikan layanan pemerintahan secara elektronik seperti pembayaran tagihan, registrasi kelahiran dan kematian, koneksi ke sekolah lokal maupun rumah sakit, termasuk juga layanan kesehatan dan pertanian.
Hanya saja, mengingat sumber daya manusia yang berlebih di India, banyak pekerja yang memprotes keberadaan proyek i-community ini. Karenanya, konsep yang dikembangkan di Andra Pradesh terlihat akan sulit untuk bisa dijadikan percontohan di daerah-daerah lain. Apalagi, pada kenyataannya, banyak pegawai negara yang tidak mengerti bagaimana cara menggunakan komputer atau mengaksesnya.
Persoalan di Andra Pradesh, di atasi Kota Banglore dengan menempatkan komputer di tiap departemen, membuat situs untuk tiap distrik dan melatih para pegawai negara di sana agar bisa menggunakan teknologi informasi. Selain itu, dibangun pula 225 pusat pelatihan di seluruh kota untuk mengedukasi pelajar, perempuan dan keluarga dengan pendapat rendah tentang manfaat teknologi informasi. Rencana berikutnya adalah menyiapkan 7.500 kios informasi di seluruh penjuru wilayah.
Dalam pengembangan infrastruktur, yang menarik adalah India mungkin berbeda dengan negara-negara lain seperti Indonesia yang jaga image untuk tidak bekerja sama dengan vendor-vendor tertentu, India bekerja sama dengan beberapa vendor. Misalnya saja IBM yang membangun e-government center di Gurgaon. Pusat e-government menawarkan teknologi, dukungan dan infrastruktur untuk membantu pemerintah dan provider layanan untuk mendesain, membangun dan melakukan pengujian konsep aplikasi layanan pemerintahan secara elektronik di sana.Bahkan IBM menghadirkan e-district pertama di India, yaitu di distrik Tiruvar di Tamil Nadu.
Begitu juga dengan Oracle yang terlibat dalam proyek e-government di 28 kota di India. Beberapa proyek yang sukses dengan memanfaatkan teknologi Oracle di antaranya adalah eSeva di Andhra Pradesh yang menydiakan layanan pemerintah ke warga masyarakat hingga mencapai sejuta transaksi per bulannya, kemudian juga pada Jawatan Kereta Api India yang menangani 75 ribu pemesanan tiap bulannya untuk 74 kota. Oracle juga meluncurkan E-Governance Center of Excellence, yang akan menyediakan platform untuk membangun model aplikasi e-governance.
Tak ketinggalan adalah perusahaan dunia, Microsoft. Dalam kunjungan ke India tahun 2002, Bill Gates menyatakan bahwa perusahaannya akan menginvestasikan 400 juta Dolar Amerika Serikat di India yang dalam tiga tahun akan ditingkatkan. Investasi itu akan digunakan untuk pendidikan, kerja sama, inovasi teknologi dan ekspansi Microsoft Development Center, setelah dibangun di Kanada. Jadilah kini India sebagai salah satu dari Microsoft center yang ada di dunia. Hal yang sama, untuk mebangun Microsoft center, sempat ditawarkan Indonesia saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Bill Gates di Amerika Serikat bulan Mei lalu.
Namun hingga kini belum jelas bagaimana kelanjutan ajakan Indonesia itu. Apalagi hal itu tentu akan menjadi kontradiksi, sebab di lain pihak pemerintah sendiri begitu menggembar-gemborkan untuk menggunakan produk open source dengan program bertajuk Indonesia Go Open Source (IGOS), sehingga penggiat IGOS pun berkeberatan dengan keinginan pemerintah bekerja sama dengan Microsoft. Belajar dari India, dengan sumberdaya teknologi informasi yang pada kenyataannya jauh lebih baik daripada Indonesia, agaknya bantuan, kerja sama maupun investasi, selama itu menguntungkan untuk kemajuan bangsa, bermanfaat dalam mengembangkan sumber daya manusia, perlu mendapat pertimbangan tersendiri.
Pernah dimuat di Majalah E-Indonesia.

Tidak ada komentar: