09 Juli 2009

Kenapa SBY-Boediono Bisa "Menang"?

Meski hasil Pemilu secara resmi masih menunggu penghitungan manual yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), quick count yang dalam Pilpres relatif lebih valid dibanding Pilleg, menunjukkan bahwa SBY-Boediono memimpin (baca: memenangi) Pilpres 2009, bahkan hanya melalui satu putaran.

Yang mungkin bisa dianalisis adalah mengapa SBY-Boediono "menang"? Strategi apa yang membuat perolehan suara SBY-Boediono mengungguli pasangan Megawati-Prabowo maupun JK-Wiranto? Ada beberapa catatan yang bisa dikemukakan:

1. Faktor penentu tetap adalah figur SBY. Walaupun disebut-sebut dan sering dicap peragu, sosok SBY yang tenang, begitu juga Boediono, menjadi faktor orang memilih pasangan ini. Dengan postur tinggi besar, bahasa tertata dan sistematis, menjadikan SBY masih menjadi idola Indonesia untuk hingga 5 tahun ke depan.


2. Ketenangan dan tetap menjaga emosi juga menjadikan SBY menjadi pilihan. Bayangkan, dalam ”Debat Pilpres Final” secara hitung-hitungan politik, JK sebenarnya JK di atas angin, karena begitu banyak ”sentilan” JK yang diarahkan ke SBY. Namun tentu ini berbanding terbalik dengan apa yang diperoleh JK-Wiranto. Sehingga, dari pendapat masyarakat pasca penyontrengan yang direkan bebrapa televisi, dapat disimpulkan bahwa tipe SBY masih lebih disukai dibandingkan calon lainnya. Kuncinya ternyata, sebagai Bapak bangsa, rakyat Indonesia masih menginginkan presiden yang tenang, jaga emosi dan perasaan orang lain. Mungkin saja, dengan begitu, rakyat merasa bahwa perasaan mereka juga tetap akan diperhatikan, negara dalam keadaan tenang dan walaupun di bawah tekanan, tetap tenang. Sebab jika presidennya grasa-grusu, bagaimana dengan rakyat dan nasib bangsanya, mungkin begitu yang ada dipikiran mereka.

3. Slogan: ”Lanjutkan”. Slogan ini lebih sederhana dan jelas maksudnya. Jika terpilih, dan diharapkan rakyat memilihnya untuk melanjutkan kursi kepresidenan, maka program-program yang sudah dijalankan selama ini, akan dilanjutkan. Tentu berbeda dengan slogan ”Membangun Ekonomi Kerakyatan”, yang masih agak diawang-awang dan belum tentu dapat dikerjakan, apalagi wong cilik sendiri banyak yang merasa ditinggalkan ketika Megawati berkuasa. Begitu juga dengan ”Lebih Cepat Lebih Baik”. Selama ini publik kadung dicekoki ”Biar Lambat Asal selamat”, selain dalam kehidupan, dalam spanduk-spanduk di jalan raya, ”Ngebut Berarti Benjut”, ”Jangan Negbut, Keluarga Menunggu di Rumah”, membuat slogan tersebut menjadi kontradiktif, sebab yang normatif adalah Lebih Tepat, Lebih Baik.

4. Rekam Jejak. Meski tidak ada yang sempurna, pasangan SBY-Boediono dirasa lebih baik dibanding pasangan lainnya, yang masih diselimuti beragam kasus-kasus kontroversial semisal masalah pelangggaran HAM, menjual aset-aset negara maupun konflik kepentingan akan bisnis keluarga,

5. Dukungan partai politik. Secara hitung-hitungan matematis, dengan dukungan 23 parpol, tentu potensi menang sudah di tangan. Namun, bilamana mesin parpol tidak bisa jalan, SBY-Boediono sendiri sudah menyiapkan tim-tim yang seabrek jumlahnya.

6. Iklan. Sebenanrya, seluruh kandidat mencoba membuat iklan yang menggugah hati masyarakat. Mega-Prabowo dengan keberpihakan pada petani, nelayan, dan mengkritisi hasil kerja SBY seperti dalam kasus Sekolah Gratis, JK-Wiranto dengan lagu ”Tombo Ati”, SBY-Boediono mencuri perhatian dengan mengusung lagu ”Indo Mie”. Sebagai makanan rakyat, sangat jarang jika ada di antara kita yang tidak pernah makan Indo Mie (bukan iklan nih...), sehingga ujung nya mudah ditebak, ”Indo Mie selera ku” yang diganti ”SBY Presiden ku”. Tapi iklan lainnya yang menarik adalah ”Dari raykat untuk Rakyat” yang tentunya mencoba menegaskan bahwa mereka adalah rakyat biasa yang akan mengabdi pada rakyat, secara halus ini jawaban kepada kandidat yang lain, yang orang tuanya adalah Proklamator, pengusaha terkenal serta Begawan Ekonomi.

Walau begitu, bukan berarti tidak ada faktor negatif yang sempat dianggap dapat menggembosi SBY-Boediono, seperti pernyata beberapa anggota Tim Kampanye yang mengutak-atik masalah SARA, adanya Kampanye Negatif mengenai Istri Cawapres Boediono, termasuk soal sihir yang diungkap sendiri oleh SBY. Meksi di kahir cerita, SBY-Boediono tetap menang, tapi faktor tersebut juga tidak bisa diabaikan begitu saja, dan bisa jadi bahan pelajaran kandidat Capres/Cawapres ke depan untuk memilih Tim Kampanye yang tetap tenang, santun serta tetap diperlukan Tim yang cerdasr, terutama mengerti dalam hal komunikasi politik.

Ada tambahan lain?

1 komentar:

Bima Indra Gunawan mengatakan...

Ada satu lagi.... seperti biasa (dunia telekomunikasi), faktor incumbent juga menjadi faktor yang sangat mempengaruhi.
Bisa kita lihat ketika deklarasi pasangan SBY-Boediono, begitu banyak bagian dari pemerintahan yang hadir seperti gurbernur, pejabat daerah dll.