Pengguna internet di kawasan Asia dikabarkan akan meningkat pesat. Dari peningkatan tersebut, menurut penelitian Nielsen/Netratings menemukan bahwa persentase kaum perempuan yang menggunakan internet di Asia Pasific juga meningkat. Ini sama dengan hasil penelitian Netvalue seperti dikutip Nua Internet Surveys beberapa waktu lalu. Di Hongkong, Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan, makin banyak perempuan yang menggunakan internet untuk mengirimkan email, chatting dan menggunakan fasilitas message board.
Meski tidak menjelaskan kondisi di Indonesia, gambaran serupa dapat dilihat dari maraknya kaum perempuan Indonesia yang juga menggunakan teknologi network of network ini. Hadirnya beberapa situs, blog dan mailing list perempuan, pertukaran surat elektronik yang dikirim dan diterima perempuan serta aktifnya perempuan Indonesia ber-chatting ria lewat situs-situs lokal maupun global, menggambarkan hal serupa.
Fenomena meningkatnya pengguna internet perempuan menarik untuk dicermati sebab hal itu menyangkut posisi perempuan di cyberspace. Apalagi seperti dikatakan editor cyberfeminist, Virginia Eubanks (2000), internet dan world wide web secara aktif dan agresif mengobarkan sikap permusuhan terhadap perempuan. “Kami diintimidasi oleh teknologi baru ini.”
Perempuan dalam Digital
Pada tahun 1995, jumlah perempuan yang bergabung dalam jaringan superhighway, diperkirakan hanya sekitar lima persen dari seluruh pengguna internet. Angka ini melonjak sejak tahun 1999. Revolusi terjadi, pengguna internet perempuan diestimasikan lebih dari sekitar 50 persen.
Perpindahahan perempuan ke kehidupan digital ini merupakan sebuah perluasan dari revolusi yang terjadi pada tahun 1960-an. Jika pada saat itu, gerakan perempuan mewakili keputusan untuk mengubah masyarakat dan membuat perubahan dalam kehidupan individu, kini prioritas lebih dari sekadar kerja, keluarga, kesehatan dan keuangan. Konsekuensinya, nilai-nilai bagi perempuan juga berubah, konsisten dengan kehidupan era digital.
Menurut penelitian Netwatch, lembaga riset analis internet, saat ini perempuan memindahkan bolamatanya dari media tradisional seperti majalah ataupun televisi, ke media tanpa medium yang sebelumnya dikuasai kaum pria. Dengan meningkatnya jumlah perempuan yang bergabung dalam komunitas online, itu artinya perempuan telah menentukan bahwa internet tidaklah begitu beresiko. Bahkan dengan perubahan ini mengirim perempuan dalam pencarian sumber informasi, bertemu, berbicara, belajar dan berdagang dengan cara baru.
Hanya saja, beberapa feminis meragukan soal resiko yang harus ditanggung perempuan. Sebabnya, tubuh perempuan merupakan sumber daya yang sederhana. Internet dan world wide web, bukan dari teknologinya, tapi sikap para penggunanya yang secara aktif dan agresif benci terhadap perempuan. Apalagi dengan metafora yang terus hadir: perempuan dengan tubuhnya dan lelaki dengan pikirannya.
Isu Gender
Salah satu fokus diskusi dampak politik internet saat ini adalah gender. Internet tidak membantu perkembangan demokrasi selama persoalan gender masih berlanjut. Isu gender dalam komunikasi online dibagi dalam dua bagian besar. Pertama, komunikasi internet memungkinkan terjadi persamaan dimana perempuan dapat berpartisipasi dan berpikir secara penuh. Dan kedua, interaksi online hanya merefleksikan kehidupan nyata yang didominasi kaum lelaki.
Kerugian yang diderita perempuan lewat internet adalah perempuan seringkali menjadi subyek bermacam bentuk pelecehan dan ‘siksaan’ seksual. Seperti kasus yang terjadi di Amerika Serikat, ketika seorang bernama Alex menamakan dirinya ‘Joan’, seorang wanita cacat dalam bulletin board. Tokoh ‘Joan’ yang membuat banyak perempuan iba berubah menjadi kekecewaan besar begitu mengetahui sesungguhnya tokoh ini tidak nyata.
Dari contoh ini, masalah utama terkait dengan isu gender lebih terkonsentrasi pada penggunaan newsgroups ataupun chatting karena bersifat anonim dan tanpa gender. Seseorang lelaki bisa saja mengaku sebagai perempuan tanpa dapat didengar suaranya, pakaiannya maupun gerak-gerik tubuhnya. Dan begitu seseorang tampil dengan identitas perempuan lewat fasilitas internet tersebut, pelecehan pun dimulai.
Etika dan Pemberdayaan
Hal yang perlu diperhatikan dalam menyikapi isu gender lewat media internet adalah perlunya dimasyarakatkannya etika berinternet. Apalagi dengan sifat sesungguhnya sains dan teknologi yang netral. Dua etika, etika yang lahir dari para feminis dan etika berkomputer itu sendiri, dapat dicarikan kesamaannya sehingga didapat etika alternatif yang bisa ditawarkan. Seperti dalam kasus identitas diri. Jika seseorang memang maskulin, maka dia juga harus memilih identitas ini dan berbahasa sesuai jenis kelamin yang dipilih.
Ketakutan bahwa teknologi internet ini bersifat mengintimidasi, sesungguhnya tidaklah perlu dibesar-besarkan. Cara yang paling efektif mengatasi hal itu adalah pemberdayaan pengetahuan kaum perempuan para pengakses internet. Sebab kunci utama adalah bukan pada teknologi, bukan pada lelaki namun pada mengatasi technophobia kaum perempuan itu sendiri.
Hanya saja, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua situs internet, mailing list ataupun chatting menawarkan nilai tambah bagi perempuan. Seperti yang ada di Indonesia. Beberapa mailing list, seperti gender discourse, rumpun perempuan, wanita muslimah, menawarkan satu pencerahan bagi kaum perempuan, namun ada juga yang hanya menawarkan gambar-gambar tubuh perempuan.
Untuk membangun komunitas perempuan di internet yang baik, patutlah ditiru bagaimana komunitas Echo, komunitas internet terbaik untuk perempuan di Amerika Serikat, berjalan. Nama asli semua Echoid, anggota Echo, secara mudah dapat dicari dalam sistem. Echo selain terbuka hanya khusus anggota, seseorang tidak dapat dipertimbangkan sebagai Echoid sampai bertemu secara tatap muka.
Yang perlu disoroti juga adalah maraknya situs-situs perempuan. Beberapa situs seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Perempuan, LBH Apik ataupun Suara Ibu Peduli, memang khusus dihadirkan untuk kaum perempuan Indonesia berbagi informasi, berkonsultasi, berdiskusi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah pribadi, keluarga, cinta, seks, pekerjaan, kesehatan, sosial budaya dan keuangan. Namun ada juga situs yang memang khusus berisi, sekali lagi, gambar-gambar perempuan mengumbar tubuhnya seperti situs Perempuan Sexy-Sexy, situs online majalah cetak yang memang terkenal dengan gaya swimsuit-nya ataupun situs Exotic Azza yang menyebut dirinya sebagai situs “Javanesse Erotica” dan mengutip biaya dalam dolar AS untuk aksesnya.
Persoalan ini tentunya tidak sekadar menjadi persoalan pembuatan dan penyebaran pornografi semata lewat media internet. Lebih luas lagi, menyangkut sanksi tegas yang perlu diberlakukan bagi pembuat, pengedar dan pelakunya, budaya dan watak masyarakat. Yang bisa dilakukan masyarakat, selain sanksi hukum, adalah memutus mata rantai eksploitasi tubuh wanita. Cara sederhana yang bisa dilakukan seperti dengan tidak memproduksi gambar-gambar vulgar. Situs-situs yang hanya menampilkan perempuan dalam konotasi esek-esek sebaiknya ditutup.
Dan merupakan pekerjaan tidak mudah, adalah bagaimana usaha para aktivis perempuan dan kaum perempuan itu sendiri agar tidak sampai diekploitasi ataupun sengaja mengeksploitasi dirinya atas nama apapun. Meski menghilangkan persoalan tersebut menyangkut peradaban yang lebih luas, ini merupakan tantangan bagi kaum perempuan di abad ke-21. Jangan sampai persoalan pemberdayaan perempuan, hanya seperti menunggu “Godot”, tokoh yang ditunggu dalam drama karya Samuel Beckett, yang ternyata tidak pernah datang atau sesungguhnya tidak pernah ada.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar