Untuk pelaksanaan agenda Pemilu 2009 memilih anggota DPR/DPRD dan DPD, Pilpres Putaran I serta Pilpres Putaran II, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaparkan kebutuhan total anggaran untuk agenda tersebut mencapai Rp. 47,9 triliun. Terlepas dari apakah angka yang diusulkan KPU ke APBN itu ‘hanya’ Rp. 22,3 triliun dan sisanya dari APBD itu lebih besar atau lebih kecil dari anggaran Pemilu 2004, serta dapat dipangkas atau tidak, perlu disepakati bahwa Pemilu 2009 haruslah lebih baik daripada Pemilu 2004.
Yang cukup krusial dan dapat dijadikan cerminan efisiensi anggaran negara adalah masalah pendaftaran pemilih. Pendaftaran pemilih merupakan tahap pertama yang menentukan hak pilih seseorang dan salah satu faktor penentu keberhasilan Pemilu. Jika seorang warga negara telah memenuhi semua persyaratan sebagai pemilih, ia memiliki hak untuk terdaftar sebagai pemilih dan memberikan suaranya pada Pemilu. Dalam Pemilu 2004 lalu, diperkenalkan apa yang disebut dengan Pendaftaran Pemilih dan Penduduk Berkelanjutan (P4B).
Dalam pelaksanaan P4B, ada dua prinsip yang dipegang. Pertama, tidak ada WNI yang tidak terdaftar, dan tidak ada penduduk WNI yang terdaftar dua kali atau lebih dalam basis data penduduk Indonesia. Dan kedua, tidak ada WNI yang berhak memilih tapi tidak terdaftar, dan tidak ada WNI yang berhak memilih terdaftar dua kali atau lebih dalam daftar pemilih tetap dan tambahan. Dari semangatnya, P4B menawarkan validitas data yang tinggi dan efisiensi. Hanya saja, dalam perjalanannya, ditemukan bahwa proses dan hasil P4B bermasalah.
Beberapa temuan yang mengemuka di antaranya adalah adanya pemilih yang telah meninggal dunia mendapatkan kartu pemilih. Bahkan ada kasus, Balita pun terdaftar jadi pemilih Pemilu. Kasus lain, banyak pemilih yang seharusnya mempunyai hak pilih, tidak terdaftar sebagai pemilih. Yang menarik, kartu pemilih warna biru yang tercetak untuk diberikan pada pemilih, tak hanya banyak yang tidak akurat dalam pencetakan nama, tanggal lahir, jenis kelamin serta alamat, tapi juga banyak yang tercetak lebih dari satu kartu untuk pemilih yang sama.
Hal tersebut memprihatinkan. Data yang kacau dan tidak akurat akan mengakibatkan agenda Pemilu lainnya memiliki potensi kecurangan dan berujung pada konflik. Fenomena yang sering mengemuka, pihak yang kalah, apalagi dengan angka tipis, akan mengangkat isu banyaknya pemilih yang pro dengan partai atau calon tertentu tersebut tidak terdaftar, ada penggelembungan suara maupun ghost voter sebagai biang kekalahan. Muaranya, Pemilu ataupun Pilkada didesak untuk diulang karena sarat dengan kecurangan. Realitas tersebut seharusnya menjadi catatan penting bagaimana mendaftar pemilih untuk Pemilu 2009.
Mengingat masalah data pemilih dan kependudukan mempunyai kaitan yang erat, apalagi data sudah harus di tangan KPU dan KPUD sebagai pengguna paling lambat April 2008 sesuai dengan Surat Edaran Mendagri No. 470/1551/SJ, data penduduk dan pemilih perlu segera dimutakhirkan dan bersifat tidak setengah-setengah. Artinya, data yang didapatkan nantinya bukan semata untuk Pemilu saja—menentukan siapa yang sudah mempunyai hak pilih, tapi merupakan data yang dapat digunakan untuk kepentingan lebih besar, yaitu Single Identity Number (SIN) atau identitas tunggal nasional.
Tentu saja dalam implementasinya proses survei akan membutuhkan kerja ekstra karena harus secara komprehensif mendapatkan data ‘tambahan’ di luar data pribadi biasa tiap warga negara seperti foto, golongan darah ataupun sidik jari. Selain data ‘tambahan’ yang unik, data-data biasa semisal nama, tanggal lahir, alamat maupun jenis kelamin, harus didapat secara akurat.
Memang untuk menuju SIN ada beberapa tahapan lagi yang harus ditempuh, tapi paling tidak data awal tersebut merupakan embrio SIN yang dapat digunakan untuk pemutakhiran dan mengakuratkan identitas pribadi seperti KTP dan lainnya, yang sama untuk individu yang sama. Ini merupakan pemecah kebuntuan untuk memulai SIN. Sebab diskursus mengenai SIN masih berputar-putar mengenai bagaimana konsep penomoran SIN, dimana saat ini masing-masing instansi memiliki sistem penomoran dan data yang berbeda, sementara esensi mendapatkan data individu warga negaranya sendiri terlupakan. Dan proses ini tetap harus dilakukan bagaimanapun konsep penomoran SIN nantinya.
Dengan data yang sama untuk individu yang sama dan kemudian juga terintegrasi, sulit bagi seorang WNI untuk mempunyai misalnya KTP atau Paspor ganda. Kasus-kasus mutakhir seperti pelarian burunon kakap ke LN meski sudah dicekal, penipuan melalui SMS ataupun teror melalui telepon seluler yang sulit dilacak meski kebijakan registrasi bagi kartu prabayar diterapkan, tidak akan terjadi jika tiap indvidu mempunyai hanya satu kartu identitas dengan data yang akurat.
Dalam urusan Pemilu, ditahap pertama setidaknya data mengenai jumlah penduduk dan pemilih dari tingkatan nasional hingga desa/kelurahan didapat secara presisi. Sehingga, kasus adanya dugaan pemilih fiktif semisal di Sulawesi Utara dimana Komite Edukasi Pemilih Pintar (KEPP) Sulawesi Utara menduga ada 200 ribu ghost voter di sana, tidak terjadi lagi.
Pada tahap selanjutnya, kartu yang datanya salah cetak ataupun tercetak lebih dari satu kali dapat dihindari. Begitu juga tak ada Balita ataupun orang yang sudah meninggal lama tapi tetap dapat kartu untuk memilih. Dengan kemajuan seperti itu, setidaknya sasaran tembak untuk menggagalkan hasil Pemilu, termasuk Pilkada, yang diakibatkan validitas data penduduk dan pemilih dapat dihindari. Dan itu dapat dilakukan dengan segera memutakhirkan data penduduk dan pemilih secara akurat dan komprehensif.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar