Sejarah Kelahiran Suratkabar
Sebelum ada suratkabar, hadir lebih dulu newsletters. Koran pertama dikembangkan secara tidak teratur di Belanda, Inggris dan Prancis (1618-1648). Lembaran berita ini disebut corantos, yang secara bertahap digantikan laporan harian atau diurnos. Pada saat itu, tidak ada yang namanya kebebasan pers. Pencetakan koran dan material lainnya harus menggunakan ijin dan yang mengeluarkannya dapat mengontrol isi.
Kebebasan berbicara dan mengkritisi sensor mulai ada sekitar tahun 1644, ketika John Milton menulis Aeropagitica, yang menyatakan kebebasan berbicara dalam beragama. Dalam terminologi politik, John Stuart Mill, Edumund Burke dan lainnya, mempromosikan pers bebas. Politisasi pers yang muncul menjadi penting dalam membangun dukungan terhadap revolusi Amerika dan mendefinisikan pers bebas di sana.
Kebebasan pers secara formal di AS sejak 1787. Keinginan untuk memproteksi kebebasan berbicara dan pers, hal itu kemudian dimasukan dalam Amandemen Pertama konstitusi di sana. Hasilnya, kemudian muncul keberagaman pers. Koran yang dipakai sebagai alat politik, kemudian hadir mewakili keberagaman pandangan politik.
Untuk menjalankan fungsi politik, pandangan-pandangan mengenai hal itu harus tersirkulasikan sebaik keberagaman media ini. Caranya, dengan menjual suratkabar yang murah agar bisa menjangkau audiens yang luas. Koran murah pertama kali diluncurkan Benjamin Day, 1833. Koran yang bernama “New York Sun”, hanya dijual satu penny, yang kemudian dikenal dengan “Koran Penny”. Untuk bisa dijual pada harga itu, Day tidak hanya bergantung pada iklan semata, namun juga dengan meningkatkan oplah penjualan.
Pembaca koran meningkat ketika terjadi Perang Sipil (1861-1865) karena orang-orang ingin mengetahui perkembangan terakhir mengenai konflik yang terjadi. Setelah masa perang, hadirlah era baru dunia jurnalistik, jurnalisme investigasi. Era baru ini menjadikan suratkabar lebih hidup, lancang, sadar diri, tidak sabar dan penuh sensasi.
Babak selanjutnya dalam sejarah koran di AS ditandai dengan adanya yellow journalism dan responsible journalism, yang bahkan dikatakan terjadi perang yang dramatis. Hearst’s Morning Herald Journal, dengan yellow journalisme-nya, menampilkan foto-foto yang penuh sensasi, topik utama yang besar-besar dan mengabaikan kepribadian, cerita tentang kemanusiaan dan terkadang melakukan wawancara palsu.
Sementara ‘lawan’ Hearst, Pulitzer, menciptakan jurnalisme baru yang mengetengahkan tanggung jawab sosial dalam tulisan di suratkabar. Jurnalisme yang bertanggung jawab ini berlanjut pada tahun 1896 ketika Adolph Ochs membeli The New York Times. Ochs tegas-tegas melarang sensasionalitas dalam foto-foto, cerita-cerita bohong dan tipuan. Dampaknya, pembaca dari kalangan kelas menengah meningkat. Ini pula yang kemudian menyebabkan suratkabar sebagai media massa mencapai puncaknya (1890-1920).
Setelah melewati rentang waktu yang panjang, akibat teknologi baru, persaingan dalam makin tajam. Apalagi dengan kehadiran internet, koran lokal kini bisa dibaca di seluruh dunia. Karenanya kebutuhan untuk meng-online-kan suratkabar menjadi kebutuhan serius meski edisi internet tersebut belum bisa dikatakan menghasilkan uang. Namun begitu, internet dapat juga dianggap sebagai ancaman terhadap ekonomi suratkabar dan standar jurnalistik.
Perkembangan Suratkabar di Indonesia
Sejak pertama kali suratkabar terbit di Batavia 1744, pers Indonesia tidak pernah lepas dari pengekangan. Karena itulah kemudian muncul istilah “pers perjuangan” sebagai media untuk melawan penjajahan. Mengetahui hal itu, pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat ijin terbit, sensor dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.
Pemerintah kolonial kemudian meninggalkan sejumlah aturan yang dibawa ke alam kemerdekaan. Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. Isinya jelas, kontrol terhadap pers.
Meski telah dihapus dengan UU No 23/1954, pers Indonesia tidak berarti terbebas dari pemasungan. Seperti dikatakan Presiden saat itu, Soekarno, saat melantik Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Kantor Berita Antara 15 Oktober 1952. “Saya tidak menginginkan siaran berita yang obyektif, tetapi jelas memihak pada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi.” Karena itu, pers yang bermusuhan dengan revolusi harus dilenyapkan. Sehingga tidak heran, tindakan, tuduhan dan pembredelan pers terjadi berkali-kali.
Seperti pada tahun 1952, telah diambil tindakan bredel terhadap dua suratkabar, Merdeka dan Berita Indonesia, dan 12 tuduhan lainnya terhadap pers. Tuduhan pelanggaran dengan jumlah yang sama juga terjadi di tahun 1953. Pada tahun 1954 hanya terjadi 8 tindakan kemudian meningkat lagi pada tahun 1955 dengan 13 tindakan dan 32 tindakan pada tahun 1956.
Terparah, ketika pada tanggal 14 Maret 1957 saat Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB-Staat van Orlog en Beleg). Pada masa itu, terjadi 125 tindakan terhadap pers, termasuk di dalamnya penutupan tiga kantor berita, pembredelan 10 suratkabar dan penahanan tujuh wartawan.
Pers otoriter juga dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Pembredelan, sensor dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dilarang UU Pokok Pers (pasal 4 dan 8 ayat 2), dengan Permenpen 01/1984 pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), melestarikan kekangan terhadap pers. Sebab dengan definisi “pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan.
Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, membuat pers menemukan kemerdekaanya. Yaitu, ketika Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mencabut pemberlakuan SIUPP. Menurut Yunus, kebebasan pers adalah satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara. Ini berarti bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari konsep demokrasi bahkan merupakan salah satu unsur fundamental.
Sejak titik balik itulah, pers Indonesia dapat mengabarkan berita secara transparan tanpa kekhawatiran SIUPP yang akan dicabut. Tidak perlu takut lagi untuk menampilkan tokoh-tokoh kontroversial yang menggugat maupun berseberangan dengan pemerintah. Begitu juga, tidak perlu ragu lagi untuk menyajikan berita atau laporan-laporan yang sebelumnya dinilai beresiko.
Dengan dihapuskannya lembaga SIUPP, beberapa media yang sempat ‘mati’, kini pun hidup kembali. Seperti Majalah Berita Mingguan Tempo dan suratkabar Sinar Harapan. Kalaupun tidak menghidupkan yang ‘mati’, dengan segala kemudahan implikasinya kini mudah ditemui suratkabat, majalah, berita radio dan televisi maupun situs berita online baru.
Selain menghapuskan SIUPP, pada tahun 1999 Presiden Abdurrahman wahid kemudian juga menghapuskan Departemen Penerangan. Meski para wartawan masih tetap mendapat ancaman intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan, dengan dihapuskannya Deppen paling tidak pers punya hak untuk menyebarkan informasi yang bebas dari sensor melalui bentuk media apapun.
Mengikuti trend pengantaran media saat ini, Indonesia tidak ketinggalan dalam hal itu. Sebut saja dalam hal cetak jarak jauh, maupun penggunaan internet. Beberapa suratkabar seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Bisnis Indonesia dan banyak lagi lainnya, telah dapat dibaca lewat layar monitor komputer. Tidak hanya yang berbasis koran atau majalah, media yang yang langsung menghuni jaringan maya ini pun ada, sebut saja seperti Detik.com, Kompas.com, Okezone.com, vivanews.com dan lain-lain.
Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor, cukup signifikan. Lewat situs Apakabar, Pijar Online, IndoKini ataupun Indonews, pendapat maupun cerita-cerita unik yang tak mungkin dipublikasikan media umum di Indonesia, bisa dibaca. Situs-situs tersebut, termasuk hadirnya Tempo Interaktif, membalikan pendapat bahwa kebebasan pers bisa dipasung hanya karena sebuah SIUPP.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Assalaamu'alikum, Bang ini artikel yang agak langka, sudilah kiranya mengijinkan saya mengkopy sebagian dengan tetap mencantumkan link sumber, terima kasih, semoga sukses selalu.
permisi saya copy iaa postingannya untuk bhn tgs makasih
Artikelnya keren, bolehkah saya mengambil bahan penulisan karya ilmiah dari sini?
Posting Komentar