11 Maret 2009

Representasi Terorisme dalam Media

Representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam media massa. Menurut Eriyanto, representasi penting dalam dua hal. Pertama apakah seseorang, satu kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua bagaimana representasi itu ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan visualisasi apa dan bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam media massa kepada khalayak (Eriyanto, 2001 ; 113).

Hal yang paling utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau obyek tersebut ditampilkan. Menurut John Fiske, saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh para pembuat teks media. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas, bagaimana peristiwa itu dikonstruksikan sebagai realitas oleh media.

Dalam bahasa tulisan, umumnya berhubungan dengan judul-judul besar yang dipakai oleh media tersebut sebagai judul berita tentang suatu peristiwa tertentu. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, bagaimana realitas tersebut digambarkan dalam bahasa tulis, kata-kata, kalimat, dan sebagainya.

Dan level ketiga , adalah bagaimana peristiwa tersebut diorganisir kedalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan kedalam koherensi sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat, hal ini dalam media massa bisa dicapai dengan pemilihan nara sumber yang mendukung pernyataan-pernyataan media tersebut (dalam Thesis, 2002 ; 45).

Banyak definisi yang dikemukakan mengenai terorisme. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengkaitkan antara terorisme dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam resolusinya No 50/186, PBB menegaskan bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah “…creates an environment that destroys the freedom from fear of the people”.

Sementara itu, definisi terorisme yang dikemukakan dalam “The Mind of A Terrorist Fundamentalist: The Psychology of Terror Cults” (Morgan, 2001) disebutkan bahwa terorisme adalah:

“…the systematic use of terror or unpredictable violence against government, publics or individual to attain a political objective. Terrorism has been used by political organization with both rightist and leftist objectives, by nationalistic and ethnic groups, by revolutionaries, by environmentalist, and by the armies and secret police of governments themselevs.”

Dalam perangnya melawan terorisme, menyusul Tragedi 11 September 2001, pemerintah Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai aktivitas yang: “(a) involves a violent or an act dangerous to human life, property or infrastructure and (b) apperars to be intended : to indimidate or corce a civilian population, to influence the policy of a government by intimidation or coercion or to affect the mass destruction, assasination, kidnapping or hostage-taking” (Bush, 2001).

Jika diperhatikan satu per satu, nampak ada kesamaan dari beberapa definisi tersebut. Dimana terorisme merupakan aktivitas yang melanggar HAM, dapat dilakukan siapa saja dan organisasi mana saja baik dengan tujuan politis, pengerusakan peralatan maupun infrastruktur dengan teror yang sistematis serta penggunaan kekerasan.

Jadi terorisme merupakan penggunaan teror yang sistematis atau kekerasan yang tidak diprediksikan melawan pemerintah, publik maupun individu dengan tujuan politis. Terorisme digunakan tidak saja oleh organisasi politik yang berhaluan kiri maupun kanan, nasionalis dan kelompok etnis namun juga oleh tentara dan intelijen dalam pemerintahan itu sendiri.

Terorisme adalah kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime) dan dikategorikan pula sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crime against humanity). Digolongkan demikian karena tindak pidana terorisme selau menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan jadi korbannya.

Tidak hanya terbatas korban jiwa, tapi terorisme juga menyebabkan pengrusakan, penghancuran bahkan pemusnahan harta benda, lingkungan hidup, sumber-sumber ekonomi, kegoncangan sosial dan politik, bahkan meruntuhkan eksistensi negara. Penggunaan berbagai senjata, mulai dari bahan peledak, senjata kimia, senjata biologi, bahkan mungkin penggunaan senjata nuklir telah lazim dipraktekan dalam kejahatan terorisme.

Tindak pidana terorisme pada umumnya dilakukan secara terencana oleh orang-orang terlatih, sistematis, terorganisasikan dan kerapkali pula bersifat lintas negara. Karenanya, sekarang ini tidak ada satu negara pun yang negaranya dapat bebas dari ancaman segala bentuk terorisme (Turan, 2002).

Tipologi terorisme (The Psychology of Teror-The Mind of the Terrorist dalam Majalah Sabili 31 Oktober 2002):
1. Revolutionary. Jenis teror ini bertujuan menggulingkan atau mengganti pemerintahan yang ada. Misalnya: Red Army Faction, PLO, Sandinista
2. Political, yakni kelompok-kelompok yang memfokuskan dirinya untuk mendapatkan power atau supremasi, mengganti pemerintahan yang mengganggu atau untuk mengubah keyakinan
3. Nationalis,Model ini mempromosikan kepentingan etnis atau kelompok agama tertentu yang dianggap sedang dianiaya oleh kelompok lainnya. Misalnya: Sikh radikal dan IRA
4. Cause Base, yaitu kelompok-kelompok yang mengabadikan dirinya untuk tujuan sosial atau keagamaan dengan menggunakan kekerasan untuk menghadapi keluhan, ketidakpuasan atau kemarahan. Misalnya: Kelompok “Kampanye Anti Aborsi”, Feminist Terrorist in Nepal
5. Enviromental, yakni kelompok-kelompok yang mendedikasikan dirinya untuk memperlambat perkembangan yang mereka yakini telah menyebabkan gangguan terhadap binatang. Misal: Animal Liberation Front
6. State Sponsored, kelompok jenis ini tercipta pada satu kondisi, di mana rezim yang berkuasa menyediakan dana, sumber-sumber intelijen atau material untuk grup-grup teror yang biasanya beroperasi di luar perbatasan mereka. Misal: negara-negara penjajah di abad 18-awal abad 20
7. Genocide—satu kondisi di mana suatu pemerintahan mencoba untuk membasmi suatu kelompok minoritas dalam teritorialnya (Kamboja, Rwanda, Bosnis, Irak dan Turki.

Majalah adalah media massa yang paling terspesialisasi, dimana segmen pembaca yang dituju sangat jelas dari awalnya. Informasi yang terangkum dalam majalah mendapat analisis lebih mendalam daripada suratkabar, hal ini dikarenakan majalah biasanya terbit mingguan sehingga disitulah kelebihan majalah dibanding suratkabar harian.

Tipe-tipe majalah menurut U.S industrial outlook dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu consumer magazines, farm magazines, dan business publications, dan dalam setiap kategori tadi terdiri dari bermacam-macam sub kategori yang menandakan tingginya level spesialisasi dalam majalah. Selanjutnya sub-sub kategori majalah tersebut bisa dibedakan berdasarkan segmen pembacanya antara lain sebagai berikut:
1) Majalah Kesehatan dan Kebugaran
2) Majalah Olah raga
3) Majalah Gaya hidup
4) Majalah Travel and Leisure
5) Majalah Pria
6) Majalah Wanita
7) Majalah Golongan umur tertentu (spesific age)
8) Majalah Golongan / Budaya tertentu
9) Majalah Kedaerahan atau Etnik
10) Majalah Bisnis (Stan Le Roy Wilson, 1995 ; 137)

1 komentar:

Anab Afifi mengatakan...

Goood reading. Menurut saya, selain terorisme media, kita ini juga menghadapai fenome 'jurnalisma masyarakat lapar'. Selengkapnya dapat dibaca di http://www.freelists.org/post/list_indonesia/ppiindia-Jurnalisme-di-tengah-masyarakat-lapar,2